Sunday, August 7, 2016

Perlunya Bantuan Inovasi Untuk Mengatasi Kekeringan Parah di Kecamatan Wuluhan-Jember

Jagung 2014 walau kelihatan bagus tetapi produktivitas rendah

Saya adalah petani yang tinggal di wilayah Jember bagian selatan tepatnya di kecamatan Wuluhan. Bisa dibilang saya berada di titik paling selatan Jawa Timur. Dalam satu tahun saya dan kebanyakan petani di sini membudidayakan 3 komoditas pertanian yaitu padi (Januari-Maret), tembakau H8 (Mei-Juli), dan jagung (Agustus-Oktober). Di sini sudah tersedia irigasi teknis yang airnya berasal dari arah utara. Masalah yang sering ditemui petani adalah saat musim tanam jagung yaitu kekurangan air pada tanaman. Setiap tahun kejadian ini selalu berulang terus menerus. Bahkan pada musim hujan pun meskipun sudah tersedia air dari irigasi teknis tetapi jumlahnya sering tidak mencukupi khususnya pada posisi sawah yang agak jauh dari sungai. Akhirnya petani saling berebutan air. Saat akan mengairi padi di sawah saya selalu bangun dini hari sekitar pukul 00 untuk memasukkan air ke sawah saya. Kalau saya memasukkan air pada siang atau pagi hari, baru 5 menit memasukkan air pasti sudah ada petani lain yang menutup lubang masuknya air ke sawah saya. Begitu sumbatan di lubang itu saya buka 5 menit kemudian pasti sudah ada yang menutupnya lagi. Biasanya itu dilakukan oleh petani yang posisi sawahnya lumayan jauh dari sungai. Kebetulan posisi sawah saya agak dekat dengan sungai. Biasanya ujung-ujungnya berbuntut keributan dan itu cukup sering terjadi. Bahkan tak jarang ada orang-orang tertentu yang nekad mencuri air dari sawah saya. Begitu air sudah masuk ke dalam sawah maka lubang pembuangannya dijebol dan airnya dialirkan ke sawahnya. Sejak itulah saya selalu menghindari bentrok rebutan air dengan memilih waktu dini hari saat semua orang sedang tertidur lelap. Jika saya buka lubang pemasukan air pukul 00 maka pukul 3 atau 4 pagi saya cepat-cepat tutup kembali karena kalau sampai ada yang tahu bisa ada yang marah atau tidak senang. Padahal itu semua terjadi pada musim hujan yang notabene masih ada pasokan air tambahan dari hujan.

Pada musim tanam tembakau sudah masuk musim kemarau ditambah kebutuhan air pada tembakau tidak banyak maka dengan mengandalkan sumur atau belik sudah sangat cukup. Pada musim tanam tembakau ini juga air di sungai sengaja tidak dialirkan karena untuk memenuhi kebutuhan budidaya padi untuk wilayah yang lebih utara. Dalam 1 tahun wilayah saya hanya bisa bercocok tanam padi 1x sementara wilayah yang lebih utara bisa 2x tanam padi. Malah untuk awal 2016 ini penanaman padi mundur menjadi awal Februari karena kemarau panjang selama 2015. Selama Januari hampir 1 bulan tidak turun hujan. Banyak petani yang kemudian salah membuat prediksi. Akibatnya usia persemaian bibit padi menjadi terlalu tua karena mulai disemai awal Desember. Normalnya usia bibit 20-25 HSS (Hari Setelah Semai) sudah bisa ditanam tetapi karena hujan tidak kunjung turun maka jadilah bibit ditanam awal Februari pada usia 40 bahkan 50 HSS. Beberapa petani nekad menanam sesuai jadwal atau awal Januari agar bibit tidak terlalu tua dengan cara mengairi sawah dengan menggunakan pompa air (termasuk saya). Akibatnya biaya BBM yang dikeluarkan sangat besar. Untuk luasan ¼ ha saja berdasarkan pengalaman saya menggunakan 2 pompa air bensin bisa menghabiskan masing-masing 10 liter per hari. Jika harga 1 liter bensin Rp 6500 maka Rp 6500x10x2 = Rp 130 ribu padahal air dari hasil memompa itu paling lama 3 hari bisa bertahan di sawah. Sesudah itu air dengan cepat mengering dan tanah kembali retak-retak. Tanah yang cepat mengering itu juga membuat gulma sukar dikendalikan. Gabungan kemarau panjang dan usia bibit yang terlalu tua membuat produktivitas padi melorot sampai 50%. Jika normalnya ¼ bau bisa menghasilkan 2 ton gabah basah maka musim panen padi kali ini hanya menghasilkan 1 ton bahkan ada yang hanya 7 kuintal. Sialnya harga gabah merosot juga karena pedagang mengeluh karena rendemen gabah rendah. Ibarat jatuh sudah tertimpa tangga.

Saat kesulitan air yang paling besar adalah saat tanam jagung atau mulai dari bulan Agustus. Kenapa memilih tanaman jagung? Karena tanaman jagung secara ekonomis masih cukup bagus nilainya dan relatif tahan terhadap kekeringan. Mulai bulan Agustus biasanya air sungai mulai mengalir tetapi tidak setiap hari atau tidak cukup sering. Terkadang 10 hari sekali atau seminggu sekali. Kalau tingkat kekeringannya sangat parah seperti tahun 2015 maka dengan periode giliran air seperti itu tentu tidak cukup atau terlalu lama untuk mengairi jagung. Yang perlu diketahui bahwa debit air sungai di saluran sekunder dan primer pada musim kemarau dan hujan sangatlah berbeda. Pada musim hujan air dari saluran sekunder bisa masuk langsung ke saluran tersier dan kalenan kecil-kecil sehingga memiliki daya jangkauan luas tetapi pada musim kemarau air hanya mengalir sampai di
saluran air sekunder dekat sawah saya saat kemarau
saluran sekunder sehingga petani harus menyedotnya dengan pompa lalu dialirkan ke sawah. Jadi bisa dibilang pada musim kemarau, hanya lokasi sawah yang dekat dengan saluran sekunder yang bisa menikmati air sungai. Yang agak jauh atau jauh jangan harap bisa menikmatinya. Yang lebih menyebalkan lagi adalah waktu giliran air selalu tidak bisa diprediksi tetapi biasanya paling cepat setelah ashar atau pukul 16.00 bahkan tak jarang pukul 19.00 baru datang airnya. Jadilah terpaksa para petani harus begadang semalaman untuk mengairi air. Untuk posisi sawah yang lebih selatan malah mungkin dinihari baru tiba airnya. Itupun kalau stok air di sungai sedikit tidak sampai 24 jam kemudian aliran airnya juga sudah mati.



Solusinya hanyalah dengan membuat belik (sumur) tetapi pada musim kemarau debit belik sangat kecil. Contoh saat saya bertanam jagung pada akhir musim kemarau 2014 untuk luasan ¼ bau saya membutuhkan waktu hampir seminggu dengan berangkat pukul 5 pagi dan pulang pukul 5 sore setiap hari. Air di dalam belik hanya mampu disedot paling lama 15 menit dengan kekuatan rendah saat pagi hari sementara kalau semakin siang bisa mengecil menjadi hanya 3 menitan. Jika menggunakan kekuatan sedot pompa cukup tinggi mungkin tidak sampai semenit air di belik sudah licin tandas. Jadi terpaksa pompa air harus sering di on-off kan. Sedot air selama beberapa menit lalu matikan sambil menunggu air di belik penuh yang bisa memakan waktu sampai 30 menit. Begitu penuh sedot lagi. Benar-benar
Mesin pompa air sedang bekerja
pekerjaan yang membosankan dan pompa air yang bekerja on off semacam itu menjadikan boros BBM karena pompa harus selalu memulai menyedot dari nol lagi. Dalam 1 hari hanya bisa mengairi beberapa baris jagung. Akhirnya sambil menunggu, saya sering tiduran di bawah tanaman jagung. Jujur saja rasanya mau gila mengairi air dengan cara seperti ini. Meskipun saya sudah berusaha mati-matian mengairi jagung tetapi laju pengeringan tanah oleh musim kemarau yang ekstrim terlalu cepat dan hasilnya produktivitas jagung saya tetap rendah. Jadi kalau dihitung-hitung biaya dengan hasil tidak seimbang atau merugi. Luasan 1/4 bau dengan kerja super keras seperti itu hanya menghasilkan pendapatan kotor Rp 2 jutaan selama 3 bulan.


Tahun 2015 musim kemarau lebih parah lagi dimana air irigasi tidak sampai ke sawah saya. Titik air sungai terakhir berhenti hanya sampai 1 km di utara lahan saya. Jadilah banyak lahan mangkrak tidak bisa ditanami apapun karena ketiadaan pasokan air. Sebuah dilema dimana air sungai tidak sampai sementara air belik jelas tidak mencukupi. Jumlah lahan yang mangkrak itu mungkin mencapai ratusan hektar. Kalau dihitung dengan uang bernilai pasti banyak kerugian yang harus diderita para petani musim kemarau tahun lalu padahal kebanyakan petani di sini adalah penyewa lahan dan harga sewa cukup mahal bisa mencapai Rp 20-25 juta/ha/tahun.


Yang pasti kejadian itu selalu berulang setiap tahun. Yang saya harapkan dari pemerintah adalah bagaimana agar petani tetap nyaman membudidayakan tanaman saat kemarau dengan adanya jaminan pasokan air yang lebih memadai. Sebenarnya saluran air baik sekunder ataupun tersier sudah sering dikeruk dan dirawat tetapi kalau menurut saya entah mengapa cepat sekali mendangkal. Ada yang bilang penyebabnya karena hutan di wilayah utara terus menerus mengalami kerusakan karena penambangan emas liar. Akibatnya jika hujan deras banyak lereng yang longsor sehingga menyumbat aliran sungai dan mempercepat pendangkalan. Yang menjadi keluhan saya juga adalah mengapa material kerukan ditumpuk terus menerus di tepi sungai? Sekarang tinggi tumpukan itu sudah mencapai 2 meter dan kalau ditumpuk terus akan semakin lebih tinggi lagi. Saat musim hujan tumpukan itu khususnya saat belum ditumbuhi rumput akan larut bersama air dan membuat jalan aspal di sampingnya menjadi berlumpur dan licin yang sangat membahayakan kendaraan yang lewat. Tumpukan itu juga membuat jalan semakin lama semakin menciut lebarnya. Bukankah sudah disediakan lahan khusus untuk membuang hasil kerukan itu? Mengapa tidak dimanfaatkan?

No comments:

Post a Comment