Sudah lebih
sebulan tidak menulis artikel. Biangnya apalagi jika bukan karena badan sedang
sakit. Awalnya demam menggigil disertai nyeri perut selama seminggu. Wah
sepertinya kena demam tifoid. Karena sudah beberapa kali terkena demam tifoid
jadi sudah hapal bener gejalanya. Seperti biasa kalau terkena demam ini
biasanya saya meminum antibiotik. Adapun antibiotik yang biasa saya minum
adalah Ciprofloxacine karena sudah terbukti sangat efektif melawan demam
tifoid. Memang sebenarnya tidak betul meminum antibiotik tanpa periksa dan
resep dokter tetapi saya juga dihadapkan pada satu masalah. Jika periksa ke
Puskesmas menggunakan BPJS saya pernah diberikan antibiotik golongan Sulfa
untuk demam tifoid ini. Bukannya tidak manjur, hanya saja saya merasa
antibiotik Sulfa ini kurang manjur buat demam tifoid sehingga proses
penyembuhannya jadi terlalu lama akibatnya waktu “downtime” tubuh saya jadi
lama. Beda dengan Cipro yang ibarat minum sebutir saja sudah mulai bisa
dirasakan khasiatnya. Itulah yang membuat saya malas ke Puskesmas. Dulu sebelum
era BPJS jika sakit saya tidak pernah ke Puskesmas tetapi langsung ke RS atau
dokter spesialis praktek pribadi dan memang kalau demam tifoid selalu
diresepkan Cipro ini. Berhubung sekarang era BPJS jadilah periksa harus ke
faskes 1 dulu yaitu Puskesmas atau dokter umum yang hasilnya ada penurunan
kualitas pelayanan dan obat tetapi ya sudahlah aturannya memang sudah seperti
itu mau gimana lagi?
Sesudah sembuh dari demam tifoid eh datang lagi tuh demam tetapi kali ini
disertai batuk parah. Aduh kayaknya bronchitis akut kumat. Dulu saya sempat
terkena bronchitis akut yang berubah menjadi kronis. Sudah ke Puskesmas, RS,
bahkan klinik memakan 3 bulan baru benar-benar sembuh. Berkaca dari pengalaman
itu akhirnya saya coba minum antibiotik yang pernah menyembuhkan saya dari
Bronchitis yaitu Cefixime. Jadilah saya minum lagi Cefixime selama 5 hari dan
baru 2 minggu benar-benar sembuh dari batuk yang sangat mengganggu.
Baru seminggu pulih eh demam datang lagi. Kali ini demam tidak tinggi tapi
terasa menggigil siang malam. Saya coba minum Ibuprofen tetapi cuma turun
sebentar, setelah itu demam lagi. Belakangan malah ada sakit kepala segala. Saya
kebingungan. Penyakit apalagi ini? Kalau demam tifoid saya tidak yakin karena
tidak ada nyeri perut dan biasanya demam hanya terjadi malam hari. Kalau
Bronchitis kok sama sekali tidak ada batuk? Mulailah saya menerka-nerka. Apakah
HIV atau hepatitis? Rasanya juga tidak mungkin. Saya rutin donor darah sejak 2
tahun, pasti PMI sudah lama akan menolak darah saya. Lagipula tidak ada sejarah
hubungan seks beresiko yang saya lakukan. Lantas apa? Yang jelas demam adalah
pertanda infeksi. Karena tidak mau berspekulasi saya kemudian berangkat periksa
ke RS (pakai umum). Saat di ruang dokter, internisnya menanyakan apakah saya
pernah ke luar Jawa? Saya jawab tidak. Tidak berapa lama kemudian dokter
memberikan saya sebuah surat rujukan periksa di lab. Dokter hanya berpesan jika
ingin gratis maka saya bisa menggunakan BPJS dan meminta surat rujukan dari Puskesmas
karena biaya periksa lab ini cukup mahal. Aduh.. mana lagi bokek.. Dokter juga
memberikan saya resep Paracetamol dan Thyamphenicol. Lho masak sih demam tifoid
lagi? Yang mengagetkan adalah di bagian bawah surat rujukan tertulis malaria.
Dhueerr! Seperti disambar petir di siang hari. Benar-benar sebuah kemungkinan
yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam otak saya. Selama ini bukannya
saya tidak pernah melihat orang terserang malaria tetapi setahu saya orang yang
terkena malaria adalah mereka yang memang sudah terkena malaria di luar Jawa.
Kalau orang yang tinggal di sekitar saya dan tidak pernah ke luar Jawa belum
pernah ada yang terserang malaria. Antara percaya dan tidak saya coba WA teman
dokter. Si teman bilang jika itu tidak mungkin karena nyamuk yang menularkan
malaria kan memang tidak ada di Jawa? Saya pikir itu masuk akal. Nyamuk
Anophles kan memang tidak ada di sini lantas bagaimana saya bisa terkena? Aneh
sekali.
Akhirnya resep tidak saya tebus. Saya akhirnya ke Puskesmas untuk meminta surat
rujukan keesokan harinya. Oleh dokter Puskesmas saya sempat diinterogasi kok
resep tidak ditebus, saya jawab saya tidak yakin dengan penyakit saya. Dokter
Puskesmas juga tidak yakin jika saya terkena malaria. Beliau hanya berpesan
kalau sudah selesai periksa di lab supaya saya mengcopy hasil labnya dan
diberikan kepadanya. Akhirnya dokter Puskesmas bersedia memberikan surat
rujukan tetapi bisa diambil sore. Sorenya sekitar jam 15 saya ke Puskesmas. Di
sana sudah sepi sekali. Yang buka hanya UGDnya dan ada seorang perawat di situ.
Setelah bertanya-tanya akhirnya surat rujukan diberikan oleh perawat yang
sedang jaga itu. Rupanya surat itu dititipkan oleh dokter ke perawat di UGD.
Setelah saya baca sebentar surat rujukan itu ada yang aneh yaitu pihak yang
dituju kok dokter bedah padahal saya pinginnya ke interna. Mau saya tanyakan
saat itu juga tetapi dokternya sudah tidak ada. Akhirnya saya cuma berpikir
mungkin dokter punya pertimbangan sendiri.
Besoknya pagi-pagi saya berangkat ke RS dengan membawa surat rujukan itu.
Setelah antri lama maka SEP-pun keluar. Langsung buru-buru saya bawa ke poli
interna tetapi di sana ditolak karena SEP dan rujukan ke poli bedah. Semua
berkas pun saya bawa ke poli bedah. Di poli bedah saya juga ditolak dengan
alasan surat periksa lab atas perintah internis dan bukan dokter bedah. Wah
buntu dong. Si petugas loket bedah (2 orang perempuan( ngotot supaya saya
memperbaiki surat rujukan ke faskes 1. Wah saya dikeroyok 2 orang nih. Saya
menolak dengan alasan rumah saya jauh. Masak sih orang sakit disuruh bolak
balik kesana kemari terus terusan. Manusiawi enggak? Kalau saya balik ke
puskesmas hari itu (Jumat) maka saya baru bisa kembali lagi ke RS hari Senin.
Berarti makin lama dong saya akan menunggu diperiksa di lab padahal logikanya
masak sih orang sakit disuruh terus menunggu dan menunggu? Apakah harus
menunggu parah dulu atau mampus dulu baru ditangani? Lagipula ini kan cuma
rawat jalan kenapa harus dipersulit? Kalau rawat inap saya bisa memaklumi
mungkin karena kamar sedang penuh sehingga tidak bisa menerima pasien baru.
Sebenarnya kesalahan rujukan adalah kesalah dokter Puskesmas tetapi seolah-olah
petugas loket menyalahkan saya. Seolah-olah saya sendiri yang membuat surat
itu. Aneh. Saya juga sama ngototnya tidak mau memperbaiki surat rujukan itu
karena saya merasa itu bukan kesalahan saya kok. Sebenarnya ini bukan kali
pertama Puskesmas itu membuat surat rujukan yang salah. Dulu istri saya juga pernah
dapat surat rujukan yang salah. Hanya saja oleh RS-nya (bukan RS yang saya
sedang periksa ini) tetap diberikan layanan dengan baik. Karena merasa saya sudah
menemui jalan buntu akhirnya saya bilang kepada petugasnya kalau memang saya
tidak diberikan layanan apapun tidak masalah tetapi saya mau minta SEP itu
sekarang juga! Waktu itu yang terpikir adalah saya mau bawa cerita saya ini ke
sebuah harian lokal, biar ketahuan kalau RS ini suka mempersulit pasiennya.
Kalau melihat prosedurnya sih memang pihak RS tidak salah tetapi saya hanya
berpikir bahwa yang dihadapi oleh RS adalah pasien alias orang sakit dan bukan
pelaku kriminal atau demonstran, jadi kenapa tidak mau memberikan kelonggaran?
Apa ruginya sih memberikan kemudahan? Apalagi jelas-jelas kesalahan bukan
dilakukan pasien. Lagipula kalau tidak sakit orang juga enggak bakalan pergi ke
RS kok. Rupanya petugas loketnya mau mengalah sehingga menelepon ke poli
interna agar memberikan saya dispensasi. Saya bawa semua dokumen balik ke
interna. Di sana dijelaskan jika hanya dikasih dispensasi untuk periksa lab.
Jika ingin mendapatkan obat harus merevisi surat rujukan. Dah saya tidak mau
ambil pusing, dengan cepat saya bawa surat periksa lab ke lab. Berhubung hasil
lab lama keluarnya maka saya pulang ke rumah. Sempat terpikir resep internis. Saya
coba kembali meminum Cipro dan lagi-lagi demam saya turun. Berarti memang benar
demam tifoid atau sebenarnya ada penyakit lain saya tidak tahu pasti.
Saya ambil hasil lab Selasa. Hasilnya ternyata malaria negatif. Kadar gula
hanya 89 padahal itu juga habis sarapan. Mungkin itu yang bikin badan suka
lemas dan sakit kepala. Saya tidak tahu mengapa kadar gula bisa serendah itu? Selain
itu HB hanya 11. Baru kali ini periksa HB secara kuantitatif. Selama ini cek HB
hanya di PMI saat donor darah secara kualitatif dan hasilnya darah selalu
tenggelam sehingga lolos untuk donor. Saya tidak tahu angka 11 itu rendah atau
tidak. Hanya saja memang sudah di bawah angka normal HB pria sebesar 13,5. Saya
tidak tahu apakah itu pula yang membuat saya sering lemas. Yang agak
mencemaskan ada gejala albuminuria. Sepertinya saya memang kurang mengkonsumsi
air putih. Keesokan harinya saya bawa surat hasil lab ke Puskesmas dan
dikatakan oleh dokternya semua baik-baik saja. Saya cuma dikasih vitamin B
Complex 5 biji tetapi tidak saya minum. Kalau supleman di rumah sudah ada yang
jauh lebih bagus. OK tulisan ini saya cukupkan sampai di sini tetapi nanti akan
saya buat artikel baru yang masih berkaitan dengan program JKN atau BPJS ini di
lain waktu.