Friday, October 7, 2016

Aplikasi Rese Bernama Instagram




Sudah beberapa bulan ini menggunakan aplikasi instagram dan kalaulah saya disuruh memberi bintang maka saya akan kasih 1 bintang alias jelek sekali. Tidak ada aplikasi yang merepotkan dan sering membuat masalah selain Instagram ini.

1. Mungkin karena basicnya aplikasi android/iOS dan bukan web maka jika membuka situs instagram dari web dijamin bakal kecewa karena akan banyak sekali fitur yang hilang. Tidak bisa mention dan bahkan tidak bisa lihat foto atau video yang sudah diposting. Begitu juga tidak bisa post foto atau video meskipun komen masih bisa. Padahal Twitter atau Facebook mau diakses dari aplikasi atau web sama saja tidak ada bedanya. Sebenarnya sih mengakses sebuah situs atau layanan dengan web lebih irit karena di browser biasanya ada fitur kompresi untuk menghemat kuota. 

2. Sering tidak bisa mention atau tag teman di foto dan ini bisa berlangsung berhari-hari. Yang unik adalah kadang dalam 1 hape dengan 2 akun yang berbeda, yang satu bisa mention, yang satu lagi tidak bisa. Kadang dengan 2 hape dengan 1 akun yang sama di hape satu bisa mention ganti ke hape lain tidak bisa mention. Rese benar. Adik saya sampai memiliki 3 akun buat jaga-jaga kalau ada salah satu akunnya yang bermasalah.

3. Foto yang terlalu panjang pada satu sisi akan terpotong padahal di FB atau Twitter memposting foto yang ukuran salah satu sisinya jauh lebih panjang daripada sisi lainnya bukan masalah. Di Twitter memang di thumbnail akan terlihat terpotong tetapi kalau diklik fotonya bisa penuh.

4. Selalu bermasalah saat upload video. Pagi ini saya coba upload video berekstensi mpg tidak bisa. Akhirnya terpaksa saya render ke MP4 baru bisa padahal kalau dirender tak jarang hasilnya bermasalah saat diupload. Saya pernah memiliki video yang saya tonton normal-normal saja tetapi begitu diupload dan diplay lewat instagram kepala saya jadi hilang di dalam video itu. Cuma terlihat mulut ke bawah. Kok bisa ya? Pernah juga upload video audionya jelas-jelas normal tetapi begitu diupload dan play audionya terputus-putus. Kadang gerakan jadi terlihat lebih lambat atau tiba-tiba orientasi video berubah (jadi landscape atau sebaliknya portrait). Beda sekali dengan upload video di FB atau Twitter nyaris tanpa masalah. Sekarang bener-bener deh seperti mimpi buruk upload video di instagram. Kadang juga terlalu banyak dikompress oleh instagramnya sehingga video menjadi pecah gak karuan.
5. Durasi video dibatasi hanya maksimal 1 menit. Jadi kalau upload video lebih dari 1 menit terpaksa dipotong menjadi beberapa bagian lalu diupload satu per satu.
6. Boros kuota internet. Instagram adalah monster kuota.  Kalau sehari saya berani buka FB beberapa kali maka kalau instagram paling cuma sekali. Buka sebentar saja langsung makan banyak kuota. Video yang langsung autoplay dan entah bagaimana cara mematikannya sungguh menguras kuota.

Dengan banyak kekurangan itu saya tetap menggunakan instagram karena teman-teman dan saudara sekarang juga banyak yang memiliki akunnya di situ. Jadi yah mau bagaimana lagi? Saya tidak punya pilihan padahal saya selalu update ke versi terbaru.

Update: Akhir Februari 2018
Sampai sekarang Instagram makin parah khususnya buat upload video. Sering saya harus upload belasan kali yang memakan waktu berjam-jam baru normal. Ternyata menggunakan aplikasi terbaru juga setali tiga uang. Masalah tetap saja muncul. Yang selalu saya keluhkan adalah setelah diupload selalu saja muncul masalah. Video pasca upload hasilnya selalu berbeda dengan sebelum diupload. Saya heran dimana bagusnya aplikasi instagram ini?! Benar-benar sangat buruk!


Thursday, October 6, 2016

Pengalaman Buruk Menjadi Pasien BPJS/JKN

Sudah lebih sebulan tidak menulis artikel. Biangnya apalagi jika bukan karena badan sedang sakit. Awalnya demam menggigil disertai nyeri perut selama seminggu. Wah sepertinya kena demam tifoid. Karena sudah beberapa kali terkena demam tifoid jadi sudah hapal bener gejalanya. Seperti biasa kalau terkena demam ini biasanya saya meminum antibiotik. Adapun antibiotik yang biasa saya minum adalah Ciprofloxacine karena sudah terbukti sangat efektif melawan demam tifoid. Memang sebenarnya tidak betul meminum antibiotik tanpa periksa dan resep dokter tetapi saya juga dihadapkan pada satu masalah. Jika periksa ke Puskesmas menggunakan BPJS saya pernah diberikan antibiotik golongan Sulfa untuk demam tifoid ini. Bukannya tidak manjur, hanya saja saya merasa antibiotik Sulfa ini kurang manjur buat demam tifoid sehingga proses penyembuhannya jadi terlalu lama akibatnya waktu “downtime” tubuh saya jadi lama. Beda dengan Cipro yang ibarat minum sebutir saja sudah mulai bisa dirasakan khasiatnya. Itulah yang membuat saya malas ke Puskesmas. Dulu sebelum era BPJS jika sakit saya tidak pernah ke Puskesmas tetapi langsung ke RS atau dokter spesialis praktek pribadi dan memang kalau demam tifoid selalu diresepkan Cipro ini. Berhubung sekarang era BPJS jadilah periksa harus ke faskes 1 dulu yaitu Puskesmas atau dokter umum yang hasilnya ada penurunan kualitas pelayanan dan obat tetapi ya sudahlah aturannya memang sudah seperti itu mau gimana lagi?

Sesudah sembuh dari demam tifoid eh datang lagi tuh demam tetapi kali ini disertai batuk parah. Aduh kayaknya bronchitis akut kumat. Dulu saya sempat terkena bronchitis akut yang berubah menjadi kronis. Sudah ke Puskesmas, RS, bahkan klinik memakan 3 bulan baru benar-benar sembuh. Berkaca dari pengalaman itu akhirnya saya coba minum antibiotik yang pernah menyembuhkan saya dari Bronchitis yaitu Cefixime. Jadilah saya minum lagi Cefixime selama 5 hari dan baru 2 minggu benar-benar sembuh dari batuk yang sangat mengganggu.

Baru seminggu pulih eh demam datang lagi. Kali ini demam tidak tinggi tapi terasa menggigil siang malam. Saya coba minum Ibuprofen tetapi cuma turun sebentar, setelah itu demam lagi. Belakangan malah ada sakit kepala segala. Saya kebingungan. Penyakit apalagi ini? Kalau demam tifoid saya tidak yakin karena tidak ada nyeri perut dan biasanya demam hanya terjadi malam hari. Kalau Bronchitis kok sama sekali tidak ada batuk? Mulailah saya menerka-nerka. Apakah HIV atau hepatitis? Rasanya juga tidak mungkin. Saya rutin donor darah sejak 2 tahun, pasti PMI sudah lama akan menolak darah saya. Lagipula tidak ada sejarah hubungan seks beresiko yang saya lakukan. Lantas apa? Yang jelas demam adalah pertanda infeksi. Karena tidak mau berspekulasi saya kemudian berangkat periksa ke RS (pakai umum). Saat di ruang dokter, internisnya menanyakan apakah saya pernah ke luar Jawa? Saya jawab tidak. Tidak berapa lama kemudian dokter memberikan saya sebuah surat rujukan periksa di lab. Dokter hanya berpesan jika ingin gratis maka saya bisa menggunakan BPJS dan meminta surat rujukan dari Puskesmas karena biaya periksa lab ini cukup mahal. Aduh.. mana lagi bokek.. Dokter juga memberikan saya resep Paracetamol dan Thyamphenicol. Lho masak sih demam tifoid lagi? Yang mengagetkan adalah di bagian bawah surat rujukan tertulis malaria. Dhueerr! Seperti disambar petir di siang hari. Benar-benar sebuah kemungkinan yang sama sekali tidak pernah terlintas dalam otak saya. Selama ini bukannya saya tidak pernah melihat orang terserang malaria tetapi setahu saya orang yang terkena malaria adalah mereka yang memang sudah terkena malaria di luar Jawa. Kalau orang yang tinggal di sekitar saya dan tidak pernah ke luar Jawa belum pernah ada yang terserang malaria. Antara percaya dan tidak saya coba WA teman dokter. Si teman bilang jika itu tidak mungkin karena nyamuk yang menularkan malaria kan memang tidak ada di Jawa? Saya pikir itu masuk akal. Nyamuk Anophles kan memang tidak ada di sini lantas bagaimana saya bisa terkena? Aneh sekali.

 Akhirnya resep tidak saya tebus. Saya akhirnya ke Puskesmas untuk meminta surat rujukan keesokan harinya. Oleh dokter Puskesmas saya sempat diinterogasi kok resep tidak ditebus, saya jawab saya tidak yakin dengan penyakit saya. Dokter Puskesmas juga tidak yakin jika saya terkena malaria. Beliau hanya berpesan kalau sudah selesai periksa di lab supaya saya mengcopy hasil labnya dan diberikan kepadanya. Akhirnya dokter Puskesmas bersedia memberikan surat rujukan tetapi bisa diambil sore. Sorenya sekitar jam 15 saya ke Puskesmas. Di sana sudah sepi sekali. Yang buka hanya UGDnya dan ada seorang perawat di situ. Setelah bertanya-tanya akhirnya surat rujukan diberikan oleh perawat yang sedang jaga itu. Rupanya surat itu dititipkan oleh dokter ke perawat di UGD. Setelah saya baca sebentar surat rujukan itu ada yang aneh yaitu pihak yang dituju kok dokter bedah padahal saya pinginnya ke interna. Mau saya tanyakan saat itu juga tetapi dokternya sudah tidak ada. Akhirnya saya cuma berpikir mungkin dokter punya pertimbangan sendiri.

 Besoknya pagi-pagi saya berangkat ke RS dengan membawa surat rujukan itu. Setelah antri lama maka SEP-pun keluar. Langsung buru-buru saya bawa ke poli interna tetapi di sana ditolak karena SEP dan rujukan ke poli bedah. Semua berkas pun saya bawa ke poli bedah. Di poli bedah saya juga ditolak dengan alasan surat periksa lab atas perintah internis dan bukan dokter bedah. Wah buntu dong. Si petugas loket bedah (2 orang perempuan( ngotot supaya saya memperbaiki surat rujukan ke faskes 1. Wah saya dikeroyok 2 orang nih. Saya menolak dengan alasan rumah saya jauh. Masak sih orang sakit disuruh bolak balik kesana kemari terus terusan. Manusiawi enggak? Kalau saya balik ke puskesmas hari itu (Jumat) maka saya baru bisa kembali lagi ke RS hari Senin. Berarti makin lama dong saya akan menunggu diperiksa di lab padahal logikanya masak sih orang sakit disuruh terus menunggu dan menunggu? Apakah harus menunggu parah dulu atau mampus dulu baru ditangani? Lagipula ini kan cuma rawat jalan kenapa harus dipersulit? Kalau rawat inap saya bisa memaklumi mungkin karena kamar sedang penuh sehingga tidak bisa menerima pasien baru. Sebenarnya kesalahan rujukan adalah kesalah dokter Puskesmas tetapi seolah-olah petugas loket menyalahkan saya. Seolah-olah saya sendiri yang membuat surat itu. Aneh. Saya juga sama ngototnya tidak mau memperbaiki surat rujukan itu karena saya merasa itu bukan kesalahan saya kok. Sebenarnya ini bukan kali pertama Puskesmas itu membuat surat rujukan yang salah. Dulu istri saya juga pernah dapat surat rujukan yang salah. Hanya saja oleh RS-nya (bukan RS yang saya sedang periksa ini) tetap diberikan layanan dengan baik. Karena merasa saya sudah menemui jalan buntu akhirnya saya bilang kepada petugasnya kalau memang saya tidak diberikan layanan apapun tidak masalah tetapi saya mau minta SEP itu sekarang juga! Waktu itu yang terpikir adalah saya mau bawa cerita saya ini ke sebuah harian lokal, biar ketahuan kalau RS ini suka mempersulit pasiennya. Kalau melihat prosedurnya sih memang pihak RS tidak salah tetapi saya hanya berpikir bahwa yang dihadapi oleh RS adalah pasien alias orang sakit dan bukan pelaku kriminal atau demonstran, jadi kenapa tidak mau memberikan kelonggaran? Apa ruginya sih memberikan kemudahan? Apalagi jelas-jelas kesalahan bukan dilakukan pasien. Lagipula kalau tidak sakit orang juga enggak bakalan pergi ke RS kok. Rupanya petugas loketnya mau mengalah sehingga menelepon ke poli interna agar memberikan saya dispensasi. Saya bawa semua dokumen balik ke interna. Di sana dijelaskan jika hanya dikasih dispensasi untuk periksa lab. Jika ingin mendapatkan obat harus merevisi surat rujukan. Dah saya tidak mau ambil pusing, dengan cepat saya bawa surat periksa lab ke lab. Berhubung hasil lab lama keluarnya maka saya pulang ke rumah. Sempat terpikir resep internis. Saya coba kembali meminum Cipro dan lagi-lagi demam saya turun. Berarti memang benar demam tifoid atau sebenarnya ada penyakit lain saya tidak tahu pasti.

Saya ambil hasil lab Selasa. Hasilnya ternyata malaria negatif. Kadar gula hanya 89 padahal itu juga habis sarapan. Mungkin itu yang bikin badan suka lemas dan sakit kepala. Saya tidak tahu mengapa kadar gula bisa serendah itu? Selain itu HB hanya 11. Baru kali ini periksa HB secara kuantitatif. Selama ini cek HB hanya di PMI saat donor darah secara kualitatif dan hasilnya darah selalu tenggelam sehingga lolos untuk donor. Saya tidak tahu angka 11 itu rendah atau tidak. Hanya saja memang sudah di bawah angka normal HB pria sebesar 13,5. Saya tidak tahu apakah itu pula yang membuat saya sering lemas. Yang agak mencemaskan ada gejala albuminuria. Sepertinya saya memang kurang mengkonsumsi air putih. Keesokan harinya saya bawa surat hasil lab ke Puskesmas dan dikatakan oleh dokternya semua baik-baik saja. Saya cuma dikasih vitamin B Complex 5 biji tetapi tidak saya minum. Kalau supleman di rumah sudah ada yang jauh lebih bagus. OK tulisan ini saya cukupkan sampai di sini tetapi nanti akan saya buat artikel baru yang masih berkaitan dengan program JKN atau BPJS ini di lain waktu.