Monday, August 15, 2016

Susahnya Bertransmigrasi...

     Karena semakin hari semakin susah mencari penghidupan di kampung maka akhir 2013 sempat terbersit di dalam benak saya untuk mencoba membuka lembaran hidup baru lewat program transmigrasi. Mengapa kok memilih transmigrasi? Karena dengan transmigrasi ini saya merasa tidak perlu memulai segalanya dari nol. Kalau saya merantau seperti yang kebanyakan para tetangga lakukan maka akan lebih banyak masalah dan hambatan yang akan saya temui.
1. Dengan transmigrasi saya tidak perlu memikirkan akan dimana saya tinggal nanti karena rumah meskipun tidak bagus sudah disediakan di lokasi tujuan. Kalau saya merantau, inilah kesulitan pertama yang akan saya temui. Ketika datang di lokasi tujuan, saya pasti akan kebingungan dimana saya akan tinggal sementara waktu. Apakah menumpang di rumah saudara atau teman? Kalau tidak ada teman atau saudara bagaimana? Berarti saya harus mencari-cari penginapan atau indekos atau kontrakan dulu. Itu merepotkan dan bisa jadi akan cukup memakan biaya.
2. Dengan transmigrasi saya tidak perlu bingung di lokasi tujuan akan melakukan pekerjaan apa. Lahan garapan sudah tersedia bahkan pupuk dan benih serta peralatan pertanian. Coba kalau saya merantau, saya harus survey dulu pastinya kira-kira apa yang bisa saya lakukan. Kalau misalnya bertani maka saya harus sewa lahan, membeli benih dan pupuk serta menyewa atau meminjam peralatan pertanian. Kalau lokasinya tidak cocok untuk bertani maka masalahnya akan semakin ruwet lagi. Saya melihat para tetangga yang merantau ke luar Jawa seperti orang kebingungan di sana. Akhirnya mereka melakukan pekerjaan apa saja seperti jadi tukang ojek, jualan cilok, pedagang sayur, dll padahal di sini mereka adalah petani tulen. Ada juga yang nekad tetap bertahan menjadi petani padahal lahannya sebenarnya sangat tidak cocok untuk pertanian.
3. Program transmigrasi menyediakan jaminan hidup (Jadup) selama 1 tahun. Saat start dalam kehidupan adalah saat tersulit maka dengan Jadup ini akan sangat membantu meringankan beban transmigran. Ya ibarat persneling kendaraan yang paling berat adalah persneling satu. Dengan disediakannya beras dan lauk pauk maka beban keuangan rumah tangga akan berkurang apalagi biasanya lahan pertanian pada tahun-tahun pertama belum bisa berproduksi optimal.
4. Fasilitas layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan yang berdekatan dengan lokasi transmigrasi. Jadi anak-anak tidak perlu menghabiskan banyak uang untuk biaya transportasi ke sekolah. Dengar-dengar ada salah seorang tetangga bercerita jika cucunya yang saat ini tinggal di Kalbar (bukan wilayah transmigrasi) untuk biaya ojek ke sekolah tiap hari harus mengeluarkan uang Rp 20 ribu. Kalau sebulan sudah berapa tuh?


     Saya sendiri sudah sejak 2013 pengen sekali mengikuti program transmigrasi ini tetapi ternyata kenyataan jauh dari harapan. Saya coba mencari-cari informasi mengenai program pemerintah ini lewat internet. Prosedurnya calon transmigran harus mendaftarkan diri secara online di bursa transmigrasi online kemudian nantinya akan dipanggil oleh Depnakertrans untuk melengkapi berkas-berkas persyaratannya. Akhirnya jadilah saya mendaftar online. Saya tunggu berbulan-bulan kok sama sekali tidak ada panggilan dari pihak Depnakertrans sehingga kemudian saya datang sendiri ke kantornya. Ternyata mereka sama sekali tidak mengetahui situs itu padahal domain situs itu .gov yang berarti memang benar-benar milik pemerintah. Yang mereka tahu hanya pendaftaran calon transmigran harus secara offline. Wah kalau begini apa gunanya situs itu? jadilah saya kemudian menyerahkan berkas-berkas berupa fotocopy KK, KTP, dan surat nikah. Oleh petugas transmigrasi dijelaskan bahwa transmigrasi sekarang beda jauh dengan jaman dulu. Kalau dulu program ini dikelola langsung oleh pemerintah pusat tetapi sekarang sudah menjadi wewenang daerah menjadi kerjasama antar daerah. Jadi suatu daerah asal transmigran harus mendapatkan kuota transmigran dari daerah tujuan transmigran. Kalau tidak dapat kuota ya gigit jari alias tidak bisa memberangkatkan transmigran. Saya melihat animo masyarakat mengikuti program ini sangat besar. Di situs bursa transmigrasi online tiap hari saya melihat ada puluhan orang yang baru mendaftar tetapi kalau sistemnya masih seperti ini maka waiting list akan semakin panjang (kok kayak orang mau naik haji?). Bahkan yang cukup menyedihkan sejak tahun lalu situs bursa transmigrasi online itu sudah tidak bisa diakses (down).  Sebenarnya tujuan pemerintah pusat bagus yaitu supaya status lahan tujuan transmigran jelas karena masih banyak lahan di luar Jawa yang statusnya berupa tanah adat yang tidak diperbolehkan menjadi kawasan transmigrasi. Itulah kenapa pada masa lampau sering terjadi bentrok antara transmigran dengan penduduk setempat. Selain itu daerah tujuan juga harus dipersiapkan sebaik mungkin oleh pemerintah termasuk infrastrukturnya supaya nantinya para transmigran betah dan tidak ada kesan “dibuang di tengah hutan”. Itu juga saya kira yang mungkin menjadi salah satu penyebab lambannya proses pemberangkatan transmigran ini.


     Daerah saya tahun 2013 hanya bisa memberangkatkan 4 KK (kepala keluarga) sementara tahun 2014 tidak memberangkatkan transmigran sama sekali karena memang tidak ada kuota dan tahun 2015 pun sepertinya tidak ada yang diberangkatkan. Sekarang sudah tahun 2016 dan masih belum ada kabar sama sekali kapan saya diberangkatkan (mungkin karena memang tidak ada kuotanya). Selama 2014-2015 saya cukup rajin datang ke kantor depnakertrans tetapi berhubung sepertinya harapan untuk diberangkatkan semakin tidak jelas maka saya kini berusaha untuk tidak lagi banyak berharap dan tentu saja jadinya sudah malas datang ke kantor Depnakertrans. Mimpi bertransmigrasi pun saya campakkan. Padahal transmigrasi ini merupakan salah satu program NAWACITA bapak presiden tetapi kenyataannya di lapangan? Ah, sudahlah...


Monday, August 8, 2016

Kesenian Macapat Yang Terus Menerus Tergerus Jaman

Sejujurnya saya bukanlah seniman kesenian tradisional ataupun orang yang berkecimpung di dalamnya tetapi bisa dibilang kehidupan saya cukup dekat dengan kesenian tradisional. Walaupun demikian saya merasa kesenian tradisional merupakan salah satu aset bangsa yang sangat berharga yang tidak boleh hilang begitu saja. Di daerah saya sebenarnya ada beberapa kesenian tradisional yang sudah lama berkembang dan dikenal masyarakat seperti Jaranan Sandur dan Macapat. Untuk Sandur sudah lama sekali saya tidak bisa menyaksikannya lagi di sini karena sepertinya memang sudah menghilang. Entah kalau di daerah lain masih ada yang menyelenggarakannya. Sementara untuk Macapat kadang-kadang masih ada yang menyelenggarakannya meski sudah sangat jarang sekali. Dalam 1 tahun juga belum tentu sekali. Sebenarnya seni Macapat ini bukanlah sebuah tontotan tetapi hanya untuk didengarkan saja karena tidak ada aksi peran di sini. Seni Macapat ini umumnya berupa grup yang terdiri dari orang-orang yang sudah sepuh. Kalau grup Macapat yang anggotanya anak-anak muda saya masih belum pernah melihatnya sama sekali tetapi kalau band pop atau rock malah banyak sekali. Kalau anak-anak muda ditanya tentang seluk beluk kesenian ini pasti banyak yang bakalan tidak tahu. Ya begitulah nasib kesenian tradisional Indonesia umumnya. Saya sendiri juga hanya mengetahui sedikit sekali tentang seni Macapat ini. Tidak ada kaderisasi dan tidak ada dukungan dari pihak berwenang sehingga lambat laun menghilang tergilas perkembangan jaman.




Grup kesenian Macapat yang akan saya ulas ini adalah grup yang didirikan oleh pakdhe saya, bapak Giman, mungkin lebih sekitar 15 tahun lalu. Grup ini diberi nama Ngesthi Kawedhar. Salah satu anggotanya adalah bapak saya sendiri. Dalam pertunjukkannya menggunakan sistem giliran, jadi misal bulan ini di rumah pak A maka bulan depan di rumah pak B, begitu seterusnya. Saat pertunjukkan berlangsung menggunakan aneka gamelan. Uniknya gamelan ini semuanya adalah
Persiapan Macapat
handmade pakdhe saya. Pakdhe saya membuatnya dari drum bekas lalu dipotong-potong kemudian dibentuk menjadi gong, gender, saron, kenong, bonang, kendang, dll. Bagian tersulitnya adalah menyelaraskan nada gamelan itu. pakdhe saya kadang harus menghabiskan banyak waktu untuk menyelaraskannya. Sayangnya pakde saya semakin menua sehingga tenaganya semakin berkurang dan anak cucunya tidak ada yang meneruskan usahanya itu sehingga beliau kemudian memilih berhenti membuat gamelan sampai sekarang.

Pertunjukkan Macapat biasanya dimulai lepas pukul 9 malam dengan bantuan pengeras suara sampai dengan pukul 1 dinihari tetapi pukul 00 sesuai aturan pemerintah pengeras suaranya dimatikan. Pertunjukkan diawali dengan membaca aneka tembang-tembang Jawa seperti Pucung, DandangGula, Pangkur, Gambuh, Sinom, Kinanthi, dll yang diiringi alunan suara gamelan. Jadi peserta Macapat ini harus memiliki skill ganda, selain harus bisa nembang mereka juga harus bisa manjak (menabuh gamelan). Begitu selesai nembang maka mereka harus manjak menggantikan rekannya yang nembang. Memang bikin capek kalau seseorang harus nembang kemudian manjak atau sebaliknya. Oleh sebab itu jika si tuan rumah memiliki cukup banyak duit biasanya mereka lebih suka menyewa panjak sendiri supaya yang nembang tidak kelelahan karena tidak jarang untuk 1 orang bisa nembang sampai ½ jam. 


Sebenarnya tembang-tembang ini berasal dari tulisan Jawa Kuno seperti serat Wulangreh, Kalatidha, dan Wredhatama (sumber Wikipedia). Kalau dilihat isi tembang-tembang Macapat berisi pesan-
Macapat in action
pesan kebaikan seperti untuk selalu ingat kepada Tuhan, berbuat baik kepada sesama, dll. Kalau tidak salah juga macapat ini merupakan salah satu sarana para Walisanga untuk menyebarkan Islam di pulau Jawa. Untuk menembangkannya tidak bisa sembarangan karena setiap tembang ada aturan ritme dan nada yang harus ditaati. Berikut ini saya berikan 1 halaman dari kitab yang berisi tembang-tembang Macapat yang pernah ditembangkan oleh grup kesenian Ngesti Kawedhar. Kitab ini usianya sudah belasan tahun ditulis dengan tangan oleh bapak saya sendiri jadi wajar jika tulisannya jadi agak "mblobor" sekarang. Waktu itu awalnya bapak saya hanya bisa menghapal sedikit sekali tembang-tembang Macapat kemudian dia bertekad belajar sungguh-sungguh kepada seorang kenalannya. Hampir tiap malam beliau belajar dan menghapal tembang-tembang dalam kitab ini sampai akhirnya bapak mampu menguasainya semuanya dengan baik. 
Kitab berisi yang berisi aneka tembang Macapat





Begitu acara selesai pukul 1 dilanjutkan dengan makan ala kadarnya.  Oya untuk saat ini bisa saya sampaikan jika grup Ngesti Kawedhar saat ini sudah bubar karena pakdhe saya sakit-sakitan dan beberapa anggotanya sudah meninggal dunia. Jadi bisa dibilang ini adalah video kenangan sekitar 7 tahun lalu saat giliran di rumah bapak. Syukurlah saya masih memiliki dokumentasinya satu-satunya. Di Wikipedia lengkap tersedia teknis apa dan bagaimana Macapat itu cuma kalau belajar sendiri bakalan sangat sulit (saya sudah lama mencobanya) tanpa ada guru yang membimbingnya. 



Maaf jika videonya terlalu pendek karena jika diupload semua ukurannya sangat besar...

Sunday, August 7, 2016

Perlunya Bantuan Inovasi Untuk Mengatasi Kekeringan Parah di Kecamatan Wuluhan-Jember

Jagung 2014 walau kelihatan bagus tetapi produktivitas rendah

Saya adalah petani yang tinggal di wilayah Jember bagian selatan tepatnya di kecamatan Wuluhan. Bisa dibilang saya berada di titik paling selatan Jawa Timur. Dalam satu tahun saya dan kebanyakan petani di sini membudidayakan 3 komoditas pertanian yaitu padi (Januari-Maret), tembakau H8 (Mei-Juli), dan jagung (Agustus-Oktober). Di sini sudah tersedia irigasi teknis yang airnya berasal dari arah utara. Masalah yang sering ditemui petani adalah saat musim tanam jagung yaitu kekurangan air pada tanaman. Setiap tahun kejadian ini selalu berulang terus menerus. Bahkan pada musim hujan pun meskipun sudah tersedia air dari irigasi teknis tetapi jumlahnya sering tidak mencukupi khususnya pada posisi sawah yang agak jauh dari sungai. Akhirnya petani saling berebutan air. Saat akan mengairi padi di sawah saya selalu bangun dini hari sekitar pukul 00 untuk memasukkan air ke sawah saya. Kalau saya memasukkan air pada siang atau pagi hari, baru 5 menit memasukkan air pasti sudah ada petani lain yang menutup lubang masuknya air ke sawah saya. Begitu sumbatan di lubang itu saya buka 5 menit kemudian pasti sudah ada yang menutupnya lagi. Biasanya itu dilakukan oleh petani yang posisi sawahnya lumayan jauh dari sungai. Kebetulan posisi sawah saya agak dekat dengan sungai. Biasanya ujung-ujungnya berbuntut keributan dan itu cukup sering terjadi. Bahkan tak jarang ada orang-orang tertentu yang nekad mencuri air dari sawah saya. Begitu air sudah masuk ke dalam sawah maka lubang pembuangannya dijebol dan airnya dialirkan ke sawahnya. Sejak itulah saya selalu menghindari bentrok rebutan air dengan memilih waktu dini hari saat semua orang sedang tertidur lelap. Jika saya buka lubang pemasukan air pukul 00 maka pukul 3 atau 4 pagi saya cepat-cepat tutup kembali karena kalau sampai ada yang tahu bisa ada yang marah atau tidak senang. Padahal itu semua terjadi pada musim hujan yang notabene masih ada pasokan air tambahan dari hujan.

Pada musim tanam tembakau sudah masuk musim kemarau ditambah kebutuhan air pada tembakau tidak banyak maka dengan mengandalkan sumur atau belik sudah sangat cukup. Pada musim tanam tembakau ini juga air di sungai sengaja tidak dialirkan karena untuk memenuhi kebutuhan budidaya padi untuk wilayah yang lebih utara. Dalam 1 tahun wilayah saya hanya bisa bercocok tanam padi 1x sementara wilayah yang lebih utara bisa 2x tanam padi. Malah untuk awal 2016 ini penanaman padi mundur menjadi awal Februari karena kemarau panjang selama 2015. Selama Januari hampir 1 bulan tidak turun hujan. Banyak petani yang kemudian salah membuat prediksi. Akibatnya usia persemaian bibit padi menjadi terlalu tua karena mulai disemai awal Desember. Normalnya usia bibit 20-25 HSS (Hari Setelah Semai) sudah bisa ditanam tetapi karena hujan tidak kunjung turun maka jadilah bibit ditanam awal Februari pada usia 40 bahkan 50 HSS. Beberapa petani nekad menanam sesuai jadwal atau awal Januari agar bibit tidak terlalu tua dengan cara mengairi sawah dengan menggunakan pompa air (termasuk saya). Akibatnya biaya BBM yang dikeluarkan sangat besar. Untuk luasan ¼ ha saja berdasarkan pengalaman saya menggunakan 2 pompa air bensin bisa menghabiskan masing-masing 10 liter per hari. Jika harga 1 liter bensin Rp 6500 maka Rp 6500x10x2 = Rp 130 ribu padahal air dari hasil memompa itu paling lama 3 hari bisa bertahan di sawah. Sesudah itu air dengan cepat mengering dan tanah kembali retak-retak. Tanah yang cepat mengering itu juga membuat gulma sukar dikendalikan. Gabungan kemarau panjang dan usia bibit yang terlalu tua membuat produktivitas padi melorot sampai 50%. Jika normalnya ¼ bau bisa menghasilkan 2 ton gabah basah maka musim panen padi kali ini hanya menghasilkan 1 ton bahkan ada yang hanya 7 kuintal. Sialnya harga gabah merosot juga karena pedagang mengeluh karena rendemen gabah rendah. Ibarat jatuh sudah tertimpa tangga.

Saat kesulitan air yang paling besar adalah saat tanam jagung atau mulai dari bulan Agustus. Kenapa memilih tanaman jagung? Karena tanaman jagung secara ekonomis masih cukup bagus nilainya dan relatif tahan terhadap kekeringan. Mulai bulan Agustus biasanya air sungai mulai mengalir tetapi tidak setiap hari atau tidak cukup sering. Terkadang 10 hari sekali atau seminggu sekali. Kalau tingkat kekeringannya sangat parah seperti tahun 2015 maka dengan periode giliran air seperti itu tentu tidak cukup atau terlalu lama untuk mengairi jagung. Yang perlu diketahui bahwa debit air sungai di saluran sekunder dan primer pada musim kemarau dan hujan sangatlah berbeda. Pada musim hujan air dari saluran sekunder bisa masuk langsung ke saluran tersier dan kalenan kecil-kecil sehingga memiliki daya jangkauan luas tetapi pada musim kemarau air hanya mengalir sampai di
saluran air sekunder dekat sawah saya saat kemarau
saluran sekunder sehingga petani harus menyedotnya dengan pompa lalu dialirkan ke sawah. Jadi bisa dibilang pada musim kemarau, hanya lokasi sawah yang dekat dengan saluran sekunder yang bisa menikmati air sungai. Yang agak jauh atau jauh jangan harap bisa menikmatinya. Yang lebih menyebalkan lagi adalah waktu giliran air selalu tidak bisa diprediksi tetapi biasanya paling cepat setelah ashar atau pukul 16.00 bahkan tak jarang pukul 19.00 baru datang airnya. Jadilah terpaksa para petani harus begadang semalaman untuk mengairi air. Untuk posisi sawah yang lebih selatan malah mungkin dinihari baru tiba airnya. Itupun kalau stok air di sungai sedikit tidak sampai 24 jam kemudian aliran airnya juga sudah mati.



Solusinya hanyalah dengan membuat belik (sumur) tetapi pada musim kemarau debit belik sangat kecil. Contoh saat saya bertanam jagung pada akhir musim kemarau 2014 untuk luasan ¼ bau saya membutuhkan waktu hampir seminggu dengan berangkat pukul 5 pagi dan pulang pukul 5 sore setiap hari. Air di dalam belik hanya mampu disedot paling lama 15 menit dengan kekuatan rendah saat pagi hari sementara kalau semakin siang bisa mengecil menjadi hanya 3 menitan. Jika menggunakan kekuatan sedot pompa cukup tinggi mungkin tidak sampai semenit air di belik sudah licin tandas. Jadi terpaksa pompa air harus sering di on-off kan. Sedot air selama beberapa menit lalu matikan sambil menunggu air di belik penuh yang bisa memakan waktu sampai 30 menit. Begitu penuh sedot lagi. Benar-benar
Mesin pompa air sedang bekerja
pekerjaan yang membosankan dan pompa air yang bekerja on off semacam itu menjadikan boros BBM karena pompa harus selalu memulai menyedot dari nol lagi. Dalam 1 hari hanya bisa mengairi beberapa baris jagung. Akhirnya sambil menunggu, saya sering tiduran di bawah tanaman jagung. Jujur saja rasanya mau gila mengairi air dengan cara seperti ini. Meskipun saya sudah berusaha mati-matian mengairi jagung tetapi laju pengeringan tanah oleh musim kemarau yang ekstrim terlalu cepat dan hasilnya produktivitas jagung saya tetap rendah. Jadi kalau dihitung-hitung biaya dengan hasil tidak seimbang atau merugi. Luasan 1/4 bau dengan kerja super keras seperti itu hanya menghasilkan pendapatan kotor Rp 2 jutaan selama 3 bulan.


Tahun 2015 musim kemarau lebih parah lagi dimana air irigasi tidak sampai ke sawah saya. Titik air sungai terakhir berhenti hanya sampai 1 km di utara lahan saya. Jadilah banyak lahan mangkrak tidak bisa ditanami apapun karena ketiadaan pasokan air. Sebuah dilema dimana air sungai tidak sampai sementara air belik jelas tidak mencukupi. Jumlah lahan yang mangkrak itu mungkin mencapai ratusan hektar. Kalau dihitung dengan uang bernilai pasti banyak kerugian yang harus diderita para petani musim kemarau tahun lalu padahal kebanyakan petani di sini adalah penyewa lahan dan harga sewa cukup mahal bisa mencapai Rp 20-25 juta/ha/tahun.


Yang pasti kejadian itu selalu berulang setiap tahun. Yang saya harapkan dari pemerintah adalah bagaimana agar petani tetap nyaman membudidayakan tanaman saat kemarau dengan adanya jaminan pasokan air yang lebih memadai. Sebenarnya saluran air baik sekunder ataupun tersier sudah sering dikeruk dan dirawat tetapi kalau menurut saya entah mengapa cepat sekali mendangkal. Ada yang bilang penyebabnya karena hutan di wilayah utara terus menerus mengalami kerusakan karena penambangan emas liar. Akibatnya jika hujan deras banyak lereng yang longsor sehingga menyumbat aliran sungai dan mempercepat pendangkalan. Yang menjadi keluhan saya juga adalah mengapa material kerukan ditumpuk terus menerus di tepi sungai? Sekarang tinggi tumpukan itu sudah mencapai 2 meter dan kalau ditumpuk terus akan semakin lebih tinggi lagi. Saat musim hujan tumpukan itu khususnya saat belum ditumbuhi rumput akan larut bersama air dan membuat jalan aspal di sampingnya menjadi berlumpur dan licin yang sangat membahayakan kendaraan yang lewat. Tumpukan itu juga membuat jalan semakin lama semakin menciut lebarnya. Bukankah sudah disediakan lahan khusus untuk membuang hasil kerukan itu? Mengapa tidak dimanfaatkan?

Thursday, August 4, 2016

Pengalaman Adalah Guru Terbaik



     Ungkapan di atas saya kira cocok untuk pekerjaan atau usaha di bidang apapun jua. Salah satunya yang dekat dengan kehidupan saya adalah dunia pertanian. Banyak yang menganggap dunia pertanian selalu identik dengan kebodohan, kemiskinan, dan  keterbelakangan. Yah ini semua berangkat dari suatu kenyataan bahwa mayoritas petani memang berpendidikan rendah dan kebanyakan miskin. Para remaja sekarang semakin sedikit yang bersedia terjun langsung ke dunia pertanian. Mereka lebih suka bekerja menjadi buruh toko atau pabrik padahal sektor pertanian adalah pondasi penting kehidupan sebuah bangsa karena yang menghidupi manusia adalah produk-produk pertanian. Lulusan sarjana pertanian pun banyak yang lebih suka bekerja di belakang meja entah di sektor perbankan, manajemen perkebunan besar milik asing, atau sekedar tenaga administrasi. 


     Dunia pertanian adalah dunia yang sangat dinamis. Salah satu yang membedakan dengan sektor lain adalah besarnya konstribusi kekuatan alam dalam kesuksesan sebuah budidaya pertanian. Meskipun faktor-faktor produksi budidaya sudah dipersiapkan dengan matang namun jika musim berubah tidak seperti yang diharapkan maka semuanya akan bisa berantakan. Seperti yang terjadi saat ini musim kemarau basah tengah melanda desa saya. Bulan Juli 2016 yang seharusnya menjadi puncak musim kemarau namun kini hujan mengguyur hampir setiap hari. Sebenarnya awal tahun ini sudah ada warning dari BMKG akan adanya fenomenan La-Nina yang akan terjadi pada musim kemarau ini. La-Nina akan menyebabkan curah hujan tinggi di atas normal. Fenomena ini sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi. Tahun 2010 dan 2013 juga terjadi hal yang sama. Waktu awal-awal musim kemarau ini banyak petani di sini masih optimis jika musim kemarau ini akan normal. Rupanya mereka terbawa oleh keadaan tahun lalu. Sepanjang tahun 2015 memang kemarau kering dan panas yang merupakan fenomena El-Nino. Walaupun tidak menggunakan prediksi BMKG gejala-gejala La-Nina sudah terasa sekali akan datang tahun ini. Awal musim kemarau yang normalnya turun banyak kabut, tahun ini sama sekali tidak kabut. Padahal jika kemarau normal, setiap pagi selalu muncul kabut tebal yang bergulung-gulung yang membuat jarak pandang sangat terbatas (< 5 meter). Suhu minimal harian yang biasanya jika kemarau normal bisa mencapai hingga 18’C sekarang minimal hanya 24’C atau lebih hangat. Angin muson yang biasanya bertiup kencang dari Australia pada musim kemarau, tahun ini entah mengapa tidak kunjung datang. Angin muson ini merupakan angin dingin, kencang, dan kering yang biasanya mulai bertiup sekitar jam 9 pagi. Yang ada sekarang justru kadang-kadang datang tiupan angin panas. 


     Yang mengherankan saya adalah banyak petani yang masih memaksakan diri menanam palawija di musim kemarau basah ini terutama tembakau karena mayoritas petani di sini adalah petani tembakau. Tembakau adalah tanaman yang akan bermasalah dengan hujan sekecil apapun. 
1. Hujan terus menerus membuat lahan yang rendah jadi becek sepanjang waktu. Ini akan menyulitkan petani untuk membajaknya karena lahan yang becek tidak bisa dibajak untuk ditanami palawija karena bongkahan tanah akan lengket ke mata bajak. Hingga akhir Juli hampir 50% lahan mangkrak sejak April lalu. Yang tumbuh hanya rumput dan singgang (tunas padi dari tanaman sebelumnya). Berarti sudah 3 bulan petani tidak mendapatkan penghasilan apapun padahal sebagian besar petani mendapatkan lahan dengan cara menyewa dan Desember biasanya kontrak sudah habis. Selama April-Desember normalnya petani bisa menanam 2 komoditas secara berurutan, biasanya tembakau yang diikuti dengan jagung namun kini berhubung April hingga kini lahan mangkrak maka kemungkinan besar petani akan kehilangan 1 komoditas dengan asumsi hujan terus menerus ini akan cepat berhenti.

2. Hujan terus menerus membuat palawija tidak bisa tumbuh optimal. Contoh untuk tembakau rasio penyulaman di awal musim tanam akan sangat tinggi karena banyak yang mati. Pada hawa yang lembab terus menerus tembakau rentan terserang jamur, virus, dan bakteri. Tanaman yang terserang jamur dan bakteri biasanya tidak lama kemudian akan mati namun yang terserang virus akan bisa hidup terus hanya saja menjadi kerdil. Sekarang sudah saya lihat dimana-mana tembakau petani keriting karena terserang virus ini. Untuk mengurangi serangan virus ini banyak petani menyiasati
Tembakau tidak bisa tumbuh seragam
dengan tidak memupuk sama sekali tanamannya. Persentase serangan virus keriting ini memang bisa  berkurang tetapi tanaman jadi tidak bisa tumbuh subur sehingga daunnya tidak bisa lebar. Setelah tumbuh setinggi 1,5 m biasanya langsung muncul bunga yang menunjukkan fase akhir vegetatif sehingga jumlah daunnya sedikit sekali atau turun hampir 50% dari tanaman normal. Hujan menyebabkan tanaman tembakau tidak tumbuh merata pada lahan yang sama meskipun dengan usia tanam yang sama. Akibatnya saat petik daun, kualitas yang dihasilkannya akan sangat beragam dalam satu nomor daun. Ini akan berakibat menyulitkan proses sortasi dan grading saat penjualan nanti. Absennya kabut juga membuat daun tembakau kurang bisa elastis saat pengeringan. Hujan juga membuat tanaman tembakau menjadi sukulen dan jika dikeringkan di gudang akan memerlukan banyak kayu bakar padahal kayu bakar tidaklah murah. Masalah lainnya yang biasanya muncul di gudang antara lain daun membusuk, warna tidak sesuai harapan, dan tidak berbobot. Serentetan masalah itu sebenarnya bukan hal baru bagi petani yang sudah lama berkecimpung dalam budidaya tembakau dan solusinya hanyalah dengan menanam saat musim benar-benar ideal. Toh masih banyak komoditas lain yang bisa ditanam dengan aman di musim kemarau basah ini semisal jagung. Memang nilai ekonomis jagung tidak seberapa tetapi hanyalah jagunglah yang paling tahan menghadapi musim yang tidak menentu. Yang membuat saya tidak habis pikir mengapa mereka ngotot menanam saat musim sedang tidak bersahabat? Mengapa mereka sedemikan “kepala batu”nya? Paradigma “musim harus ikut kemauan saya bukannya saya harus ikut kemauan musim” masih terasa kental rupanya dalam keyakinan diri mereka.

     Padahal kebanyakan petani menggunakan modal budidaya yang berasal dari hutang di bank yang notabene dengan suku bunga yang tinggi. Mengapa mereka tidak belajar dari kesalahan-kesalahan pengalaman-pengalaman masa lalu? Mengapa mereka selalu mengulang-ulang kesalahan yang sama? Mengapa mereka terus menerus selalu jatuh ke lubang yang sama? Mengapa mereka tidak mau belajar dari kesalahan yang telah lalu? Bukankah pengalaman adalah guru terbaik? Itulah sebabnya para petani banyak yang tidak bisa membangun pondasi modal. Tiap akan memulai menanam sesuatu mereka selalu hutang dulu. Kalau tidak hutang mereka sama sekali tidak memiliki modal. Mereka selalu mulai dari nol. Kalau begini kapan akan tinggal landas? Coba lihat kantor-kantor bank yang biasa memberikan kredit, di awal musim tanam (sekitar Maret-Mei) selalu berjubel dengan petani yang antri untuk pencairan dana. Orang tua saya sendiri pernah datang ke bank pukul 13 dan baru dicairkan sekitar pukul 19. Itupun masih nanti masih ditambah potongan biaya administrasi, biaya materai, biaya BPJS-TK, biaya inilah itulah, dll sehingga seandainya pinjam Rp 10 juta pulang ke rumah paling hanya bisa mengantongi Rp 9,5 juta sementara bank tahunya mereka meminjamkan Rp 10 juta dan mereka akan menghitung bunga dari angka itu.


     Bunga untuk sektor pertanian juga jauh lebih tinggi dibandingkan sektor lain semisal perdagangan. Seorang petani tidak akan bisa melunasi hutangnya jika belum panen padahal panen butuh waktu. Paling cepat taruhlah komoditas yang ditanamnya membutuhkan waktu 4 bulan baru panen maka selama 4 bulan itu petani tidak bisa mencicil. Bank akan memberlakukan bunga akumulasi. Jadi bunga pada bulan pertama akan ditambahkan jumlah kredit awal lalu dihitung sebagai kredit baru pada awal bulan kedua. Begitu seterusnya atau dengan kata lain bunga berbunga beranak bercucu bercicit. Kalau dunia dagang umumnya setiap bulan mereka bisa mencicil karena mereka sudah bisa mendapatkan pendapatan sejak hari pertama mereka beroperasi sehingga bunganya hanya dihitung per 1 bulan dengan demikian perhitungan total bunganya lebih rendah dari sektor pertanian. Inilah yang banyak tidak disadari petani. Mereka sudah digerogoti oleh sistem perbankan tanpa belas kasihan. Waktu beberapa bulan lalu saya meminjam uang di bank langganan kebetulan kepala banknya ganti. Yang sebelumnya saya sudah kenal baik tetapi kepala bank yang baru ini berbeda dengan sebelumnya. Setiap kreditur saat akan pencairan ada semacam tes wawancara padahal sebelumnya bertahun-tahun pinjam di bank ini juga tidak pernah seperti itu. di akhir tes pak kepala ini berpesan bahwa mereka cuma ingin petani bisa melunasi hutangnya tepat waktu atau jauh sebelum jatuh tempo. Dia juga menekankan jika bank tidak mau tahu petani gagal panen atau apapun yang penting lunas. Titik! Duh serasa saya sedang tidak berhadapan dengan seorang bankir tetapi lebih seorang rentenir. Apa sih beda bankir dan rentenir kalau begini? Padahal di dunia bank ada risk seandainya kredit mereka macet. Saya yakin mereka tahu itu. Itulah seharusnya bank melakukan screening calon kreditur dari awal. Yang agak aneh dan tidak habis pikir, menurut saya adalah mengapa jumlah plafon kredit diberikan hanya berdasar atas luas tanam dan bukan agunan? Ada calon kreditur memiliki agunan yang nilainya kecil tetapi berhubung luas tanamnya besar maka mendapatkan kredit yang besar padahal kalau kredit macet agunan yang dijual atau dilelang tidak cukup untuk menutup besarnya kredit.




     Wajar jika pihak bank kini semakin memperketat pemberian kredit khususnya kepada para petani tembakau. Apalagi saya melihat beberapa kali bank sempat mengalami kredit macet untuk petani dengan jumlah luar biasa. Saya pernah mengalami pengalaman sendiri mengajukan kredit ke bank tahun 2014 yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan budidaya tembakau namun berhubung banknya sedang mengalami kemacetan kredit yang luar biasa karena petani tembakau banyak yang menunggak akibat musim yang tidak menentu, tanpa sebab yang jelas pengajuan kredit saya tidak diproses hingga 1 tahun yang kemudian terpaksa saya batalkan. Padahal saya adalah kreditor dengan histori kredit yang excellent karena sama sekali tidak pernah menunggak sejak pertama kali mengambil kredit selama bertahun-tahun. Bahkan meskipun belum jatuh tempo sering sudah saya lunasi. Ibaratnya saya kena getahnya meskipun tidak ikut menikmati nangkanya. Saya kira penting untuk memperhitungkan antara kemampuan dan kemauan. Jangan sampai seperti istilah nafsu besar tenaga kurang. Begitu bank menagih kredit kepada mereka yang sudah jatuh tempo, mereka malah tidak mau kooperatif dan menghindar. Tidak ada yang salah dengan mengambil resiko tetapi bantalan pelindung juga tak kalah penting peranannya supaya kalau terjatuh tidak terasa terlalu sakit. Sudah tiba saatnya para petani tidak hanya belajar membudidayakan tanaman tetapi juga bersikap sebagai investor dengan menjadikan pengalaman sebagai bahan pelajaran untuk mengambil keputusan yang lebih baik di tengah perubahan iklim global yang tidak menentu.