Monday, November 21, 2016

Balada TKW/TKI

     Saya tertarik membuat tulisan ini setelah beberapa waktu belakangan ini para tetangga dan kerabat marak menjadi TKW. Tekanan ekonomi memang luar biasa sekarang ini. Kalau hanya mengandalkan upah yang cuma berdasarkan UMR akan sulit sejahtera. Mau berusaha sendiri juga membutuhkan banyak modal sementara mendapatkan modal juga bukan perkara ringan karena bagaimana pun si kreditur juga harus memiliki agunan. Apakah bisa seseorang tiba-tiba datang ke bank tanpa membawa agunan akan diberikan pinjaman begitu saja? Bagi kreditor baru seandainya diberikan pinjaman juga nilainya sangat kecil. Bank tak mau mengambil resiko memberikan pinjaman kepada kreditor yang belum diketahui reputasinya sama sekali. Selain itu biaya adm ini itu saat meminjam juga tidak kecil. biaya-biaya seperti materai, provisi, pendaftaran BPJS-TK, pembukaan rekening baru, dll bisa membuat dana yang diterima oleh si penerima kredit akan tergerus. Selain itu bunga kredit juga tidak kecil. bagi orang yang sama sekali tidak memiliki aset apapun yang bisa dijadikan agunan tentu akan sangat sulit mendapatkan kredit dari bank.


Yup akhirnya satu-satunya jalan pintas termudah adalah menjadi TKW atau TKI. Alasannya:

1. Tidak memerlukan pendidikan tinggi. Cukup tamat SMP. Contoh saja untuk ke Korea Selatan cukup tamat SMP. Masih tidak punya ijazah SMP? Bisa beli kok apalagi ijazah SMP ini relatif lebih murah dibandingkan ijazah sarjana. Ini juga yang membuat banyak anak-anak perempuan di daerah saya banyak yang memilih untuk tidak meneruskan ke jenjang SMA. Buat apa bersekolah SMA yang bikin pusing dan menghabiskan banyak duit kalau dengan ijazah SMP saja mereka sudah bisa meraih banyak duit?
2. Proses cepat. Pendidikan di penampungan pun juga hanya memakan waktu paling lama 4 bulan. Bahkan bagi yang sudah pernah menjadi TKI atau TKW tidak perlu melalui proses ini. Setelah mereka pulang ke Indonesia dalam tempo 1-2 bulan mereka sudah bisa berangkat lagi. Dalam setahun sudah bisa membeli semua yang diinginkan. Ini anak tetangga baru bekerja 3 bulan di Taiwan dengan sistem potong gaji sudah bisa kirim banyak uang.
3. Biaya bisa diatur. Kalau tidak ada biaya sama sekali bisa menggunakan sistem potong gaji. Memang tidak semua lowongan pekerjaan bisa menggunakan sistem ini. Biasanya ini berlaku untuk caregiver di Taiwan.

Terus apa dong penyebab seseorang memilih untuk menjadi TKW/TKI:
   1.   Tekanan ekonomi keluarga. Contohnya saja mayoritas masyarakat di daerah saya berprofesi sebagai petani. Sudah bukan rahasia lagi jika bertani semakin lama semakin sulit. Biangnya apalagi jika bukan musim yang semakin tidak menentu yang membuat gagal panen. Musim hujan sama sekali tidak ada hujan sementara kemarau malah hujan terus menerus. Tanaman padi yang seharusnya mendapatkan banyak air malah kekeringan sedangkan tanaman palawija busuk terkena hujan deras. Walhasil bangkrut deh dan hutang menumpuk.

    2.   Gaya hidup dan gengsi. Terkadang bukan masalah ekonomi yang menjadi dasar seseorang memilih menjalani profesi sebagai TKW/TKI. Saudara istri saya di Banyuwangi bisa dibilang hidup lebih dari cukup. Sawah luas, rumah bagus, dan kendaraan juga bagus tetapi mungkin karena masih merasa kurang puas dengan apa yang dimiliki maka si kepala keluarga rela meninggalkan istri dan anak-anaknya untuk bekerja di Jepang. Begitu juga saudara istri saya yang lain sebut saja mbak SO saya anggap kehidupan mereka secara ekonomi tidak ada masalah tetapi entah juga kenapa mbak SO 2 tahun lalu nekad meninggalkan anak dan suaminya untuk bekerja di Taiwan. Akhirnya yang terjadi seumur hidup ada TKW/TKI yang menghabiskan hidupnya di LN. Sebut saja tetangga saya mbah TY. Saya sebut mbah karena memang sudah sepuh sekali. Mbah TY ini sejak saya masih orok sudah menjadi TKW di negeri jiran. Belum tentu setahun sekali pulang ke Indonesia. Kalau pulang juga paling lama cuma sebulan habis itu balik lagi ke Malaysia. Karena jarangnya pulang ke Indonesia saya sampai berpikir mbah TY itu sudah bukan lagi WNI tetapi mungkin sudah menjadi WN Malaysia. Rumah megah telah yang dibangun oleh mbah TY pun ditempati oleh anaknya. Saya kadang agak heran apa yang sebenarnya dicari oleh mbah TY ini? Semuanya sudah dimilikinya olehnya tetapi kenapa masih terus menjadi TKW tanpa henti di Malaysia? Mau sampai kapan?
Ada sebuah kisah yang cukup lucu namun tragis juga. Ada seorang TKW di Taiwan yang saat bekerja di Taiwan sering sekali pos gaya hidup selama tinggal di Taiwan yang menurut ukuran orang-orang di desa tentu saja wow ruarbiazah. Semua barang-barang lux dibelinya. Hidup bak kaum jetset tetapi begitu kembali ke kampung halaman pos-pos dia di FB berubah 180 derajat. Barang-barang lux yang telah dibelinya selama di Taiwan dijualnya satu per satu dengan harga murah sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari hingga ludes tandas. Sungguh ironis. 


Lantas siapa yang dikorbankan jika seseorang menjadi TKW/TKI?
1.       Anak untuk yang sudah berkeluarga. Membicarakan TKW/TKI memang tidak ada habis-habisnya. Ada tetangga mbak HR kalau tidak salah sudah 30 tahun menjadi TKW di Malaysia sama sekali tidak pernah pulang dan tidak ada kabarnya. Dia baru muncul sekitar 2 tahun lalu dengan mendatangi putra satu-satunya yang akan menikah. Bagaimana bisa seorang ibu meninggalkan anak satu-satunya saat masih kecil selama berpuluh tahun tanpa memberi kabar apapun? Depan rumah mertua saya juga ada mbak AN malah meninggalkan putrinya yang masih berusia 3 bulan untuk bekerja di Taiwan. Putrinya ini akhirnya dirawat oleh bapaknya tetapi masalahnya bapaknya terlalu sibuk sehingga kurang terawat. Pakaian dan badannya sering terlihat kotor tak terawat. Yang menyedihkan adalah kemampuan sosial dan verbalnya sangat minim maklum pendidikan dari bapaknya kurang sekali. Dibandingkan anak-anak yang usianya jauh di bawahnya tampak kurang berkembang. Ada pula kisah si PT anak ibu EK. PT ini adalah hasil hubungan gelap EK dengan kekasih gelapnya seorang pria berkebangsaan India di Malaysia. Di sini PT tinggal bersama neneknya seorang janda MJ karena ibunya balik lagi kerja di Malaysia dan jarang sekali pulang. Mungkin karena kurangnya figur orang tua dalam kehidupannya maka PT ini menjadi anak liar dan bengal. Suka sekali mencuri bahkan modem saya pernah dicurinya. Sampai-sampai saya datangkan pak RW, pamannya, dan guru sekolahnya untuk bermusyawarah tetapi dia tidak mau mengaku sama sekali padahal semua bukti dan saksi sudah mengarah ke dia. Persis seperti kasus Jesica vs Mira meski semua bukti sudah mengarah ke seorang pelaku tetapi masih juga pelaku sulit ditangkap. Si PT ini begitu tenang dan dingin menghadapi semua orang dewasa di sekelilingnya persis seperti Jesica. Padahal normalnya kalau seandainya saya masih anak-anak seumuran dia dulu pasti sudah ketakutan setengah mati disidang kayak PT dengan banyak orang dewasa terlepas entah saya bersalah atau tidak.  Kadang saya heran dengan si PT ini meski badan wadaknya masih anak-anak tetapi catatan kriminalnya bisa dibilang cukup panjang padahal perilaku kriminal kan selayaknya cuma dilakukan orang dewasa? Pernah juga dia mencuri uang jutaan rupiah di rumah tetangganya. Waktu itu tetangganya datang ke rumah saya curhat jika dia barusan kehilangan uang setelah PT bermain ke rumahnya. Pernah juga dia mencuri uang pamannya sendiri. Pamannya sendiri mengakui kalau tidak bisa mengendalikan PT tetapi saya melihat kalau sebenarnya pamannya ini juga “setengah” melindungi PT akan perbuatan-perbuatan kriminalnya. Mungkin karena kasihan dengan PT yang tidak diasuh oleh orang tuanya sendiri hingga sekarang. 
2.       Pasangan hidup. Sudah bukan rahasia lagi jika suami atau istri yang ditinggalkan akan mudah berbuat serong. Yang namanya hidup bukan hanya melulu tentang uang. Manusia juga memerlukan kehangatan cinta kasih yang takkan bisa digantikan oleh uang. Tak jarang seorang TKW ketika pulang membawa seorang bayi atau anak dari hubungan gelap selama di negeri orang. Sering pula ketika pulang seorang istri mendapati suaminya sudah menikah lagi tanpa setahu si TKW.

     Masalah TKW/TKI. Masalah yang dialami TKW/TKI biasanya terjadi bukan saat masih bekerja di LN tetapi ketika sudah kembali ke kampung halamannya. Ya ketika mereka kembali ke tanah air mereka mendapati bahwa semuanya masih “sama” dalam artian mereka masih menghadapi masalah yang sama dengan dulu saat meninggalkan Indonesia yaitu tidak mampu survive. Ketika kembali ke kampung mereka cuma menghabiskan hari-hari tanpa tujuan. Mau bekerja di sini mereka tidak punya skill dan skill yang mereka dapat di negara lain tidak bisa digunakan di sini dan kalaupun bisa digunakan bayaran yang mereka akan terima ibarat bumi dengan langit. Bekerja sebagai caregiver di Taiwan sebulan kini seorang TKW bisa mengantongi uang bersih 7 jutaan rupiah karena untuk biaya hidup sudah ditanggung 100% oleh majikan. Saya tidak tahu berapa biaya hidup di sana sekarang tetapi saya asumsikan saja sekitar 5 jutaan/bulan. Jadi sebenarnya seorang caregiver di Taiwan memiliki gaji sekitar 12 juta/bulan. Pekerjaan apa di Indonesia yang cuma dengan tamat SMP bisa dibayar segitu sekarang ini? Tentu susah sekali mendapatkannya. Padahal tetangga saya seorang manajer lulusan S1 sebuah pabrik minyak goreng sawit yang cukup ternama di Kalsel gajinya hanya Rp 15 juta/bulan. Sementara dia sudah mengabdi hampir 20 tahunan di perusahaan itu. Betapa jomplangnya bukan? Tetapi itulah sebuah realitas. 

     Akhirnya si TKW cuma bisa MANTAB alias makan tabungan yang lama kelamaan sudah pasti habis dan ini bisa menimbulkan perasaan tidak nyaman. Akibatnya banyak TKW yang kemudian tidak kerasan berlama-lama tinggal di kampung dan lebih memilih berangkat lagi menjadi TKW. Siklus ini akan terus menerus berulang seperti yang dialami oleh mbah TY itu. Ada juga yang mencoba menjadi pengusaha tetapi mereka pikir untuk sukses itu cukup dengan modal besar saja dan ternyata itu salah. Ada seorang kenalan teman yang bekerja di Korea yang kemudian bisa mendulang uang milyaran rupiah. Merasa punya modal gede langsung mendirikan sebuah toko alat tulis dan fotocopy. Tokonya gede dan berada di kawasan startegis tetapi yang namanya usaha tidak cukup modal gede. Saya melihat sih tokonya bagus dan barang yang dijualnya lengkap tetapi sayang pelayanannya kurang bagus. Entah kenapa mesin fotococpynya seringkali ngadat dan pegawainya lelet banget kerjanya. Lama-kelamaan tokonya sepi dan lebih sering tutup sampai akhirnya bulan kemarin saya melihat tokonya  sudah berpindah tangan menjadi warung nasi. Saya juga punya sobat kental yang memiliki toko alat tulis semacam itu. Waktu pulang dari kerja di LN beh luar biasa banyak uangnya seolah takkan pernah habis 7 turunan. Akan tetapi sejak tokonya berdiri banyak sekali keluhan darinya tentang bisnis toko alat tulis seperti pegawai yang tidak setia, biaya-biaya yang terus membengkak, margin yang semakin menipis, pajak yang gila, dll. Saya melihat usahanya itu sekarang seperti kerakap tumbuh di batu. Lagi-lagi saya cuma bisa menarik kesimpulan jika modal gede hanyalah merupakan salah satu poin saja untuk berhasil secara finansial. Jika memang seorang TKW atau TKI ingin sukses saat kembali ke tanah airnya maka tidak cukup dengan mengandalkan modal besar belaka. Skill, manajemen, dan kerja keras juga tak kalah pentingnya. Kalau seorang TKW atau TKI melihat semuanya itu terlalu sulit atau susah dan tidak ada kesungguhan maka jangan kaget jika mereka kemudian memilih untuk balik lagi ke LN karena di sana mereka lebih mudah mendapatkan uang. Akan tetapi mau sampai kapan??