Wednesday, March 30, 2016

Revolusi Layanan Angkutan Umum di Indonesia



     Jika menengok beberapa puluh tahun ke belakang maka akan terlihat revolusi besar-besaran pada pelayanan angkutan umum di Indonesia. Dulu semasa saya masih kecil ketika hanya beberapa gelintir orang yang memiliki kendaraan bermotor pribadi bisa dibilang angkutan umum adalah raja di jalan raya. Setiap saya dan keluarga akan pergi ke kota kecamatan sekedar berbelanja maka kami menggunakan angkudes padahal jarak ke kota tidaklah jauh hanya sekitar 7 km. Kami berangkat dulu naik sepeda pancal ke pasar desa kemudian kami titipkan sepeda pada salah seorang kenalan. Selanjutnya kami mencegat angkudes di depan pasar desa. Saya ingat tiap beberapa menit (mungkin sekitar 15 menit) selalu lewat satu angkudes namun biasanya selalu penuh sehingga tidak bisa mengangkut kami. Biasanya setelah 1-2 jam barulah kami bisa menemukan angkudes yang kosong. Orang-orang desa menyebut angkudes dengan colt. Mungkin karena saat itu mobil angkutan sebagian besar bermerek Colt. Angkudes ini bukanlah angkutan yang mengutamakan kenyamanan apalagi keamanan. Satu mobil angkudes yang idealnya hanya diisi 7 penumpang bisa diisi sampai 14 penumpang. Semua penumpang dan barang dijejalkan bak sarden dalam kaleng. Tempat duduk paling depan yang idealnya muat 2 orang bisa diisi 4 orang. Kalau ada polisi sedang patroli biasanya para penumpang disuruh tiarap sama sopirnya supaya tidak kelihatan Jangan berpikir tentang AC. Jadinya di dalam mobil panas dan pengapnya bukan main. Perjalanan 15 menit saja keringat sudah seperti orang habis kecebur sungai. Di dalam mobil sering masih disesaki dengan aneka tas belanjaan, ayam, bahkan ikan segar. Semua bau itu masih ditambah dengan bau asap, parfum, debu, keringat, dan bensin. Bagi yang tidak tahan bisa mabuk beneran dengan gejala pusing dan muntah-muntah. Sungguh sangat tidak nyaman apalagi ditambah dengan sikap kenek dan sopir yang kasar komplit sudah penderitaan menggunakan Angkudes masa lalu. Jelang saya SMA (sekitar tahun 90-an) seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat maka makin banyak orang yang memiliki motor dan mobil. Rupanya si Angkudes ini juga mulai terkena dampaknya. Kalau semula bisa beroperasi dari subuh hingga jam 9 malam maka perlahan mereka mulai mengurangi jam beroperasi seiring dengan sepinya penumpang. Lewat jam 5 sore mereka sudah berhenti beroperasi. Begitu pula ritnya juga sudah sangat berkurang. Kalau semula tiap 15 menit selalu melihat angkudes lewat kini bisa molor ½ hingga 1 jam sehingga waktu ngetem di terminal jadi semakin panjang dan ini membuat para penumpang semakin tidak nyaman. Orang semakin malas menggunakan Angkudes ini. Apalagi sejak itu mulai muncul ojek yang dengan sigap mau mengantarkan penumpang sampai ke depan rumah membuat armada angkudes semakin berkurang. Terakhir saya menggunakan Angkudes tahun 1999 tatkala pulang dari Surabaya bersama-sama teman kampus. Teman-teman saya sempat heran melihat tarif angkudes yang sudah buruk pelayanannya masih mahal lagi. Untuk jarak rumah saya – Balung yang hanya 15 km tiap orang dikenakan Rp 3000 kala itu padahal uang segitu kalau dibelikan bensin premium bisa dapat 3 liter bensin yang kalau digunakan untuk naik motor bisa menempuh jarak rumah saya sampai ke kota Jember 3x bolak balik. Beberapa tahun kemudian saya melihat akhirnya ludes sudah armada angkudes Ambulu-Balung. Armada Angkudes yang biasanya berjajar-jajar ngetem di dekat jembatan Balung kini tinggal kenangan. Begitu juga Angkudes Ambulu – Ajung kini tinggal beberapa biji yang bisa dihitung jari yang masih bertahan. Padahal dulu terminal angkudes di alun-alun kecamatan Ambulu tidak pernah sepi penumpang dan Angkudes dari subuh sampai malam. Tiap beberapa menit sekali selalu terdengar suara dari speaker petugas terminal yang memberangkatkan angkudes. Bahkan kantor terminal Angkudes itu sudah tidak ada lagi sekarang. Lagi-lagi semua tinggal kenangan. Begitu juga dengan trayek-treyak Angkudes lain sudah banyak menghilang. Contoh dulu saat saya masih SMP ada trayek Ambulu-Puger lewat jalur selatan tapi sudah lama lenyap. Trayek Ambulu-Blater dan Ambulu-Watu Ulo juga sudah musnah. 


     Tak jauh dari juga ada terminal bus antar kota dalam propinsi. Terminal ini memang masih relatif baru. Dulunya bus-bus selalu ngetem di tengah kota kecamatan. Berhubung sering memenuhi jalan akhirnya mereka dibuatkan terminal sendiri yang jauh dari pusat kota. Pada masa saya masih kecil merupakan masa kejayaan bus AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi) ini. Mereka beroperasi mulai jam 2 dini hari hingga jam 9 malam. Tiap 15 menit selalu lihat bus lewat depan pasar desa. Kalau kami sekeluarga akan berwisata ke Surabaya (mengunjungi KBS-Kebun Binatang Surabaya) biasanya kami menggunakan bus ini. Kami berangkat jam 2 ini supaya saat sampai di Surabaya masih pagi. Jam 7 biasanya kami sudah tiba di Surabaya. Waktu itu terminal busnya masih di Jayabaya dan belum di Bungurasih (Purabaya). Tetapi usai krisis ekonomi 98 perlahan armada bus ini terus berkurang baik jumlah maupun trayeknya. Kalau dulu bisa sampai jam 9 malam beroperasi kini bus terakhir yang berangkat dari terminal di sini hanya sampai jam 12 siang. Sejumlah trayek juga sudah hilang. Dulu ada trayek Solo langsung dan juga Blitar-Trenggalek langsung tetapi kini telah lama tiada.



     Kini nasib angkutan umum memang semakin mengenaskan dan tidak menarik. Kemudahan memiliki kendaraan pribadi membuat orang lebih suka menyetir sendiri daripada naik angkutan umum. Dengan uang muka Rp 500 ribu orang sudah bisa membawa pulang motor baru dan dengan uang muka Rp 10 juta sudah bisa menyetir mobil baru nan kinclong. Akibatnya jalanan sekarang penuh dengan kendaraan pribadi. Kemacetan menjadi agenda harian. Bukan hanya di kota-kota besar tetapi di kota-kota kecil juga kemacetan menjadi pemandangan sehari-hari. Angka kecelakaan terus meningkat karena orang-orang yang tidak terampil menyetir "dipaksa" menyetir di jalan raya. Kalau dulu yang terlihat sering mengebut di jalan raya adalah anak-anak laki-laki dengan motor sport tetapi kini ibu-ibu dan remaja putri dengan motor maticnya kalau naik dah kayak di sirkuit balapan MotoGP saja. Saya pernah melihat anak perempuan SMU masih pakai seragam pulang sekolah naik motor matic kencang sekali. Saya coba hitung kecepatannya dengan cara membuntutinya di belakang. Ternyata kecepatannya sudah di atas 100 km/jam padahal itu anak tidak sedang menggunakan helm dan jaket. Coba kalau anak itu mengalami kecelakaan dan cacat atau meninggal. Siapa yang akan menanggung akibatnya? Sudah saatnya pemerintah merevitalisasi angkutan publik dan membatasi penggunaan kendaraan pribadi. Kalau melihat di tiap-tiap kecamatan ada bekas stasiun kereta api peninggalan Belanda dulu alangkah baiknya jika dihidupkan kembali (mimpi kali yeee...). Coba kalau masing-masing kecamatan memiliki 1 stasiun pasti akan menyenangkan kemana-mana naik KA (kayak di Jepang ya?). Tidak perlu susah payah menyetir yang kadang kantuk menyerang yang bisa berujung kecelakaan maut.

UPDATE: 28-03-2017
     Faktor lain yang menjadi penyebab semakin minimnya minat orang menggunakan kendaraan umum adalah keamanan. Sudah bukan hal baru jika angkutan umum syarat dengan kejadian kriminal. Kejadian tidak menyenangkan pernah saya alami dulu saat menggunakan bus kota di Surabaya. Waktu itu ada segerombolan copet yang naik ke atas bus. Mereka melewati penumpang yang sudah berdesakan di dalam bus. Alhasil STNK saya hilang. Orang yang berdiri di sebelah saya kehilangan dompet. Si sopir dan keneknya diam saja. Mungkin mereka takut juga karena gerombolan copet ini lebih banyak jumlahnya. Sampai sekarang ceritanya juga masih sama saja. Desember 2016 lalu waktu mau ke Surabaya, adik saya berpesan supaya jangan menggunakan bus umum. Saudara iparnya sudah 3x terkena gendam di dalam bus umum. Meskipun lebih mahal akhirnya saya lebih memilih menggunakan KA. PT KAI rupanya sudah melakukan revolusi besar-besaran terhadap armada gerbongnya. Terakhir kali naik KA tahun 2011 sudah beda sekali dengan sekarang. Dulu tahun 2011 naik menggunakan KA bisnis masih belum ada AC-nya tetapi sekarang ekonomi pun sudah pakai AC. Pelayanannya juga sangat profesional. Meskipun saya membayar lebih mahal dibandingkan naik bus tetapi saya merasa tidak rugi sama sekali. Seharusnya semua moda angkutan umum dikelola seperti ini. Padahal saya sempat berpikir naik KA ekonomi ntar masih kayak dulu harus berjejalan bahkan sampai berdiri segala malah penumpang sampai masuk lewat jendela segala. Ternyata semua sudah berubah menjadi jauh lebih baik. Salut untuk PT KAI yang mau berubah lebih baik. Rencana sih sekarang kalau pergi kemana-mana enak naik KA saja. Semoga ke depan semakin banyak dibuka jalur rel baru.

Gambar: terminal bus Ambulu kini (pribadi)

Thursday, March 24, 2016

Tips Memanfaatkan Sisa Antibiotik


Di kulkas saya sudah lama menumpuk banyak antibiotik yang tidak terpakai. antibiotik ini berasal dari Resep dokter yang memang tidak diminum karena pasiennya alergi atau mengalami efek samping yang intolerable. Yang paling sering berobat ke dokter adalah ibu saya maka bisa dipastikan itu semua berasal dari obat-obatan beliau. Saya lihat ada beberapa macam antibiotik seperti Amoxycilin, Tetracyclin, Cefotaxim, dan Ciprofloxacin nah yang terbanyak itu amoxycilin dan Tetracyclin. Awalnya dulu saya buang antibiotik jika sudah banyak menumpuk. Mau saya kasihkan tetangga tapi saya takut mereka tidak bisa menggunakan dengan benar sehingga timbul resistensi.


Beberapa bulan lalu ibu saya mengeluh jika tanaman pisang di kebun banyak yang layu terus mati. Setelah saya lihat dan saya cocokkan dengan buku Budidaya Pisang dan berbagai sumber di internet maka saya itu disebabkan serangan bakteri. Di pekarangan saya dulu semasa saya masih kecil penuh dengan tanaman pisang tapi lambat laun populasinya terus berkurang karena serangan penyakit jamur dan bakteri.

Gejala paling nyata adalah adalah jika buah pisang dipotong maka akan tampak daging pisang cokelat tua padahal normalnya warna daging pusing putih atau krem. Kalau dimakan buahnya rasanya pahit. Pikiran saya langsung pingin membeli bakterisida di toko pertanian dekat rumah tetapi saya tahu kalau bakterisida bukan barang murah. Sebotol B*ct*cyn 200 ml bisa berharga Rp 50 ribu lebih. Waduh berat di kantong neh. Akhirnya saya jadi teringat antibiotik sisa dalam kulkas. Saya ambil antibiotik semuanya terus saya gerus hingga menjadi bubuk halus kemudian saya larutkan dalam air bersih. Memang larutan ini cenderung cepat mengendap jika dibiarkan agak lama. Agar lebih merata bisa menggunakan cairan perata dan pembasah yang biasa dijual di toko pertanian tetapi cairan jadinya terasa agak kental. Sebelum digunakan selalu kocok-kocok larutan biar tercampur merata. Selanjutnya ambil spuit. Cari saja yang bekas refil tinta printer atau kalau mau beli baru bisa di toko pakan ternak atau apotik. Saya sarankan pakai spuit yang berukuran besar misal 20 ml biar tidak sebentar-sebentar mengisi tabungnya. Selain itu spuit besar memiliki jarum yang besar sehingga tidak rawan macet tersumbat. Kalau spuit 3 ml saya coba banyak sekali macetnya. Oya untuk dosisnya dikira-kira saja sendiri. Saya pikir kemungkinan terjadi phytotoxic kecil karena pisang merupakan tanaman yang besar. Kalau saya coba larutkan 10 tablet dalam 200 ml air yang cukup untuk kira-kira 10 pohon ukuran besar. Jadi masing-masing pohon dapat 20 ml atau 1 tabung spuit penuh. Nah sekarang tinggal actionnya, coblos saja tuh batang pisangnya dengan spuit. Tekan obat sampai habis pelan-pelan sampai semua obat habis diserap tanaman. 

Saya sudah memanfaatkan tips ini untuk tanaman di sawah yaitu pada tanaman padi untuk mengendalikan penyakit kresek. Hanya saja saya agak kuatir dengan resiko phytotoxic pada tanaman padi maka untuk larutan di atas masih saya encerkan lagi. Jadi 200 ml larutan antibiotik saya gunakan untuk mengisi 6 tangki semprot dimana masing-masing tangki berkapasitas 14 liter air. Hasilnya syukurlah tidak terjadi phytotoxic. Lebih hemat lagi dan yang terpenting tanaman bebas serangan penyakit.


Sumber gambar:
1
2

Saturday, March 12, 2016

Hobi Utak Atik Antena Parabola

Dish 9 feet jadul

Sejak SCTV mengudara via UHF di Surabaya tahun 1990 daerah saya sudah mulai bisa menikmati siaran TV swasta yang sebelumnya cuma ada siaran TVRI-Surabaya doang. Meski cuma sinyal spill over (cipratan) dari Surabaya tapi lumayan bisa menonton aneka acara yang wow sekali. Acara-acara SCTV jauh beda dengan acara-acara yang ditayangkan oleh TVRI yang cenderung membosankan karena cuma itu-itu melulu. Mulai dari film-film barat, kartun, sampai musik OK-OK banget semuanya. Masih ingat ada Mission Impossible, Growing Pain, Miami Vice, McGyver, American Funniest Home Videos (dengan Bob Saget sebagai hostnya), Kuis Keluarga Lifebuoy, dll. Waktu itu siaran SCTV di Surabaya cuma merelay siaran dari RCTI di Jakarta. Hanya pas jam 5 sore acara SCTV diganti Siaran Berita Daerah Jawa Timur relay dari TVRI Surabaya. Taglinenya “Saluran hiburan dan informasi”.

Meski demikian memiliki antena UHF termasuk barang mewah kala itu. Di desa saya cuma beberapa orang yang punya. Jenisnya harus yang memiliki sensitivitas tinggi sehingga masih bisa menangkap siaran TV meski dari jarak sangat jauh. Oleh sebab itu ukuran antenanya mesti panjang beamnya, elemennya banyak, dan reflektornya lumayan lebar. Itupun pakainya kadang masih diparalel, 2 antena dijadikan 1 tiang atau 4 antena dalam 1 tiang supaya mendapatkan daya tangkap siaran yang lebih baik. Kalau antena UHF produksi jaman sekarang pernah saya coba sudah tidak mampu menangkap siaran TV UHF dari Surabaya. Bahkan menangkap siaran TV lokal yang stasiunnya masih 1 kabupaten saja sering tidak bisa (meski sudah dikasih booster UHF) ataupun kalau bisa semutnya masih banyak sekali. Antena UHF yang sekarang sangat minimalis. Directornya cuma terbuat dari plat tipis yang logamnya entah dari aluminium beneran atau tidak. Kalau dulu director dijamin aluminum asli dan berupa pipa-pipa kecil. Beamnya juga pendek. Jadilah sekarang meski saya punya antena UHF tadi sangat jarang saya pakai. Belum tentu 1x/tahun saya pakai. Saya gunakan jika lewat parabola ada acara bola yang diacak. Saya pernah coba gunakan untuk menangkap siaran JemberTV saja tidak bisa.

Tak lama kemudian stasiun-stasiun TV yang bermunculan semakin banyak. Setelah SCTV diikuti dengan TPI, Anteve, TVRI SBY programa 2 (?), RCTI, Indosiar, GTV, Lativi, TV 7, Trans tv, Metro, JTV, dll. Stasiun UHF RCTI Surabaya baru muncul tahun 1995 setelah SCTV memisahkan diri dari RCTI. Saya masih ingat iklan SCTV di sebuah koran kala itu “Siapkan kipas angin dan obat nyamuk, seorang teman akan berkunjung”. Tak tahunya yang berkunjung adalah SCTV dalam keadaan sudah berpisah dengan RCTI. SCTV pun mulai memidahkan base siarannya ke Jakarta. Semua stasiun-stasiun TV yang bisa saya tangkap itu masih berlokasi di Surabaya. Kalau pas cuaca bagus ya dapat gambar bagus tapi kalau cuaca lagi tidak kondusif ya gambarnya bergoyang-goyang gak karuan, rolling atas bawah, kanan kiri, bikin sakit kepala bahkan kadang blank atau cuma bintik-bintik menyemut. Suara yang keluar dari TV pun cuma mendengung-dengung jadilah suara aktor filmnya terputus-putus bercampur dengan dengungan TV. Itu semua sudah pakai booster dan kadang tiangnya bisa sampai setinggi 20 m. Awalnya saya pakai bambu tapi bambu mudah lapuk dan akibatnya 2 kali bambu patah yang mengakibatkan antena roboh kemudian ringsek. Akhirnya saya ganti dengan pipa besi meski harus mengeluarkan biaya lebih besar. Stasiun-stasiun relay UHF mulai ada di kota saya sekitar tahun 2000-an. Yang unik dari semua stasiun-stasiun TV swasta itu adalah jika saat berita nasional jam 7 malam atau Dunia Dalam Berita jam 9 malam mereka harus merelay dari TVRI. Oya jaman itu saya masih pakai TV hitam putih 14" lho karena bisa hidup tanpa listrik PLN. Jadi cuma mengandalkan pasokan listrik dari aki. Untuk mengoperasikan boosternya saya menggunakan inverter. Jadi dari power DC aki saya ubah menjadi AC dengan inverter lalu baru bisa dipakai booster. Inverternya juga cuma buatan sendiri karena waktu itu lagi hobi solder menyolder gara-gara di sekolah SMA ada mata pelajaran ketrampilan elektronika. Entah desainnya yang kurang tepat atau gimana inverternya cepat sekali panas. Bahkan boxnya sampai meleleh karena terbuat dari plastik. Baru dipakai sebentar saja panasnya sudah gak karuan. Para tetangga belum ada yang punya antena UHF saat itu karena mereka tidak ada yang memiliki inverter ini. Seingat saya di toko dekat rumah juga enggak ada yang jual inverter ini. 

Dengan datangnya listrik tahun 1994 maka ada kesempatan untuk memasang antena parabola. Para tetangga juga ada yang mulai memasang antena parabola. Antena UHF saya jual ke saudara saya karena saya merasa sudah tidak tahan dengan gambarnya yang penuh semut. Saat itu harga peralatan parabola relatif mahal.  Saya beli receiver yang belum ada remotenya. Kalau mau pindah channel seperti mencari siaran radio hanya kalau pakai parabola harus tahu juga polarisasinya vertikal atau horizontal. Lama-lama hapal juga kalau channel A di polarisasi vertikal dan B horizontal. Para tetangga yang datang menonton selalu berjubel tiap malam dan itu mengganggu saya yang sedang belajar karena mereka ribut sekali. Maklum karena itu hanya satu-satunya media hiburan. Acara favorit apalagi kalau bukan Siluman Ular Putih (SCTV) atau The Legend of The Condor Heroes (TPI). Waktu itu hanya ada satelit Palapa (maklum hanya punya dish parabola fix belum pakai aktuator) tapi siarannya lumayan banyak. Bahkan beberapa premium channel masih FTA seperti TNT and Cartoon Network (sempat FTA 1 tahun), HBO, Discovery Channel, CNN. Selain semua channel-channel lokal, ada juga channel-channel luar negeri seperti Perancis CFI, Filipina GMA, Malaysia TV3, Australia (ABC) yang logonya kayak angka 8 tidur, ABN (Asia Business News) yang mirip Bloomberg sekarang. TNT tayang malam hari mulai jam 7 kalau tidak salah. Isinya film-film Amerika klasik seperti Gone With The Wind. Kadang film-filmnya masih hitam putih. Cartoon Network mulai siaran jam 6 pagi setelah TNT tutup. Kartun yang paling saya suka waktu itu The Flintstones. Itu channel-channel luar negeri yang masih saya ingat. Beberapa channel masih hitam putih (seperti GMA) di pesawat TV saya karena menggunakan siaran format NTSC sementara TV saya hanya bisa menayangkan siaran PAL. CFI kadang berganti siaran dengan MCM beberapa jam yang merupakan channel khusus musik Perancis. GMA sering banget diacak jadi saya kurang begitu paham apalagi bahasanya menggunakan tagalog. ABC agak sering saya tonton karena ada acara dokter hewan yang merawat hewan-hewan sakit (saya lupa nama acaranya), ada juga sinetron Home and Away, dan acara Healthy Wealthy and Wise yang membahas gaya hidup sehat. Kadang juga ada cartoonnya. ABN nyaris tidak pernah saya lihat karena isinya angka-angka indeks saham dan komoditas yang saya kurang paham waktu itu. TV3 Malaysia lumayan bagus cuma kalau pas ada film barat atau Hongkong diacak. Anehnya kalau pas iklan langsung FTA. Kalau pas Imlek biasanya menayangkan film-film Hongkong yang bagus-bagus dan FTA. Waktu itu di Indonesia imlek belum menjadi hari besar. Acara lain yang masih saya ingat pula adalah Malaysia Hari Ini. Di akhir era analog ada satu stasiun TV India yang sempat mampir ke Palapa tapi sayang gambarnya kurang jelas. Sampai akhirnya saya coba menggerakkan manual ke barat dan timur. Ke barat saya cuma dapat 2 satelit Asiasat yang waktu itu ada channel Starsport masih FTA. Lumayan bisa nonton bola EPL gratis. Makin ke barat ada insat dengan channel-channel India. Ke timur ada channel-channel mandarin yang mungkin milik RRC (Chinasat?). Sampai kemudian receiver saya rusak tersambar petir. Saya serviskan bisa benar sebentar tapi kemudian rusak lagi. Lama kelamaan siaran-siaran TV di Palapa mulai bermigrasi ke digital hingga hilang satu per satu di receiver analog saya dan terpaksa saya balik ke antena UHF. Apalagi kemudian cukup pakai antena internal sudah bisa menikmati siaran TV UHF walaupun gambarnya tidak sejernih jika menggunakan antena eksternal. Oya di perpustakaan kampus saya dulu disediakan juga fasilitas parabola. Dishnya super gede (mungkin 24 feet) dan sudah pakai aktuator. Kalau lagi tidak ada tugas kuliah saya sering nonton di situ. Saya paling suka SonyTV (mungkin SET kalau sekarang?) karena banyak kartunnya (FTA). Sepertinya merelay dari Cartoon Network yang sudah diacak.

Setelah itu beberapa tahun vakum tidak utak utik parabola. Apalagi saat itu harga receiver digitalnya sangat mahal bisa jutaan rupiah. Tetangga-tetangga yang memiliki parabola juga sudah menjual dishnya ke pedagang besi tua keliling dengan harga murah. Dipikirnya siaran-siaran TV lewat parabola sudah berakhir padahal sebenarnya hanya berpindah format dari analog ke digital. Sampai akhirnya harga receiver parabola terus turun dan saya beli yang pertama merek M*T**K karena cuma merek itu yang ada di toko dekat rumah. Saya pakai 1 tahun rusak deh. Akhirnya saya pakai merek H**S*N malah 1 bulan koit. Berikutnya W**GS*T sama aja 1 tahun rusak. Ke-4 saya coba membeli yang lebih bagus yaitu DM500. Ternyata DM ini memiliki kemampuan lebih banyak dibandingkan receiver-receiver lain sebelumnya yang saya miliki. Kalau receiver- receiver sebelumnya hanya bisa menonton siaran FTA maka dengan DM bisa menonton siaran yang diacak baik dengan BISS, NDS, atau Irdeto. Kalau BISS cukup input key sementara NDS dan Irdeto harus lewat fly atau c*rd sh*ring (CS) . Saya sempat 1 tahun berlangganan CS tapi kemudian saya memilih berhenti karena server CS sering down dan menurut saya ribet. Kalau down bisa berhari-hari. Sebenarnya biaya berlangganan CS jauh lebih murah dibandingkan berlangganan paidTV sendiri. Waktu itu channel-channel Multi Choice yang paling menarik saya ada di intelsat 7/10. Ada channel-channel film dan bola dengan Super Sportnya. Apalagi kala itu ada masalah dengan siaran liga inggris di indonesia karena monopoli Astro. Teman-teman saya penggila bola sampai jauh-jauh datang ke rumah dini hari hanya sekedar buat nonton EPL di Super Sport . Mereka tidak mau berlangganan Astro yang mahal itu. Selain itu ada channel-channel tripel X (nama channelnya Test 1, 2, 3, dan 4 seperti dari Taiwan) di Telstar 18 yang membuat peminat CS makin banyak tapi sayang hanya sebentar sebelum menghilang karena pindah satelit. Sekitar 2 tahun kemudian DM saya rusak total digantikan G*tm*c*m HD karena mulai bermunculan channel-channel HD. Meski saya sudah lama tidak menggunakan CS tapi kayaknya sekarang masih banyak orang yang menggunakan CS meski menurut saya sudah tidak sepopuler dulu lagi. 
DM 500 (in memorian)


Pengalaman menarik lainnya saat mencoba mendapatkan satelit Yamal 202. Saat pertama Yamal booming saya sempat melihat sendiri punya teman di Kencong channel-channelnya memang bening-bening. Katanya sih yang diburu neng Irennya (channel RenTV) yang katanya ada film tripelnya pada waktu dini hari. Posisi dishnya sendiri udah nungging hampir 90 derajat ke barat. LNBnya harus diberi sekat dengan telenan yang sudah dipotong karena polarisasi Yamal circular (L/R) bukan linear. Kalau LNB sudah dipasang sekat begini biasanya transponder yang berpolarisasi linear akan turun SQ-nya. Berhari-hari tiap sore tracking Yamal cuma dapat beberapa TP dan 3 channel dan itupun gambarnya seperti VCD rusak. Sepertinya arah barat dish saya kurang bebas karena masih banyak pepohonan. Akhirnya saya lupakan Yamal.

Kini era antena UHF dan dish parabola telah lama berlalu di desa saya. Mungkin sudah ada 10 tahun ini peranannya diganti oleh TV kabel. Dengan biaya pasang sekarang Rp 200 ribu dan abonemen Rp 15 ribu/bulan semua orang di desa saya berlomba-lomba pasang TV kabel. Cukup murah dan gak pakai ribet seperti pasang parabola apalagi awal-awal siaran TV kabel juga menyiarkan banyak channel premium seperti ESPN, HBO, Cinemax, Star Movies, dll. Siapa yang tidak ngiler berlangganan? Sampai akhirnya ada isu banyak razia TV kabel yang menayangkan channel premium. Para pengusaha TV kabel pun banyak yang tiarap. Mereka hapus channel-channel premium mereka tetapi itu tidak lama. Sekarang operator TV kabel di desa saya sudah pasang kembali channel-channel premium. Saya lihat ada si BaimSemprot 1-2-3, NatGeo, Nicklelodeon, dan Sutarspot (total ada 50 channel). Sebenarnya asik juga dengan abonemen sangat murah sudah bisa menikmati channel-channel premium hanya saja kelemahan TV kabel masih menggunakan siaran analog. Dibandingkan parabola yang sudah digital MPEG jauh lebih bening menggunakan parabola. Selain itu kabelnya terlihat memperburuk pemandangan dengan penataan kabel yang kadang terkesan semrawut melewati pepohonan dan tiang listrik. Dulu pernah saya lihat ada kabelnya yang lepas dari tiang atau putus dan saya pas lewat dekat kabel itu. Untung saya tidak kesetrum. Kabel ini juga rawan tersambar petir. 

Kalau sekarang saya masih menggunakan parabola dengan receiver FTA G*tm*c*m. Sudah 3 tahun receiver itu menemani saya dan cuma saya gunakan untuk sekedar menonton siaran-siaran TV FTA dan sesekali BISS kalau ada yang share keysnya (biasanya buat menonton pertandingan bola). Heran ini receiver awet banget padahal prestasi saya selama ini paling lama pakai receiver cuma 1 tahun padahal istri saya kalau nonton TV bisa mulai pagi sampai malam. Kalau enggak ada BISS yang FTA saja dah bejibun mulai dari Telstar 18 sampai intelsat 17. Cukup pasang aktuator maka satelit yang bisa ditangkap lebih banyak. Hanya saja menurut pendapat saya aktuator mudah sekali rusak. Saya sudah menghabiskan kira-kira 3 aktuator. Awalnya pakai V*n*s baru 2 tahun dol (ini bahasa Jawa, gak tahu deh bahasa Indonesianya apa). Lalu ganti T*n*k* beli baru pakai di rumah langsung terbakar motornya saat mengangkat dish 9 feet. Kemudian dikasih H*ns*n lama oleh teman lumayan awet bisa hampir 2 tahun tapi kemudian motornya hangus terbakar. Saya juga melihat banyak orang yang memiliki dish-dish besar (sepertinya sisa era analog dulu) seperti tidak pernah digerakkan dishnya. Saya menduga aktuator mereka macet. Semakin besar dish maka beban yang dipikul aktuator akan semakin berat yang berarti biaya operasional dan maintenancenya akan semakin tinggi. Apalagi sekarang sudah bejibun operator paidTV. Dengan dish offset yang super mini sudah dapat puluhan channel premium. Nasib dish besar ke depan akan semakin suram. Mungkin hanya bagi yang hobi tracking satelit-satelit outbeam yang masih mau menggunakan dish-dish besar.

Sekarang posisi dish saya cuma ke Palapa doang karena saya sudah malas utak atik lagi. Berbagai perkembangan terbaru seperti receiver yang support pupu pun (P*werv*) atau tanbe*g saya sudah tidak begitu mengikutinya lagi. Saat ini saya lebih suka menghabiskan waktu dengan internet daripada TV. Mungkin suatu hari nanti jika internet sudah sangat murah dan kencang sekali mungkin era parabola atau TV kabel akan ditinggalkan. Dengan modal koneksi internet kita bisa menonton TV dari negara manapun tanpa dibatasi beam satelit. Di negara maju trennya sudah seperti itu. Dish-dish besar tidak hanya membuat pemandangan menjadi jelek tetapi juga biaya maintenancenya sangat tinggi. Dish di rumah juga kayaknya sudah tidak fokus lagi karena angin kencang yang sempat menerjang beberapa hari lalu tetapi saya biarkan saja. Malas harus naik-naik genteng apalagi udara sangat panas sekarang.


UPDATE 21-Mei-2017
Cepat atau lambat era televisi satelit atau teresterial akan berakhir. Teknologi internet akan menggantinya. Salah satu kelebihan internet adalah tidak dibatasi beam satelit. Kita bisa menonton stasiun TV yang disiarkan dari negara manapun dan kapanpun. Sekarang saya dan keluarga sudah sangat jarang menonton TV apalagi sejak tarif listrik naik tajam. Anak-anak juga lebih banyak melihat tayangan Youtube dibandingkan menonton TV sekarang.

Friday, March 11, 2016

Musim Berburu Belalang Hutan


     Bulan Februari dan Januari setiap tahun adalah puncak musim berburu belalang di sini. Belalang? Yup benar! Kok belalang diburu sih? Emang buat apa? Hehehe.. belalang yang diburu di sini adalah belalang yang hidup di hutan jati dan bukan belalang yang tinggal di sawah. Belalang hutan memiliki ciri khas yang sedikit berbeda dengan belalang sawah yaitu pada ukuran tubuh belalang hutan lebih besar. Belalang hutan mendapatkan makanannya dari daun jati jadi dijamin bebas pestisida. Meski demikian saya belum pernah mengonsumsi belalang hutan ini karena takut alergi. Alasannya dulu pernah mengonsumsi larva tawon madu dan hasilnya seluruh tubuh membengkak. Kapok deh sejak itu makan makanan dari serangga. Meski demikian banyak yang bilang rasanya enak seperti udang. Cara mengolahnya bermacam-macam. Ada yang cukup dengan digoreng atau dibakar saja. Ada juga yang mengolahnya menjadi keripik belalang. Konsumennya banyak sekali dan bisa dibilang tidak peduli berapa pun pasokan belalang per hari selalu ludes terjual. Maklumlah murah meriah. Kalau beli udang segar berapa duit coba?

     Ada 2 macam tipe pemburu belalang. Ada yang sekedar untuk menghabiskan waktu sambil menunggu padi panen dan ada yang memang berniat komersial. Bagi yang bertujuan komersial dalam 1 hari bisa mendapatkan ratusan belalang. Seekor sekarang dijual Rp 500. Jadi kalau bisa menangkap 200 ekor udah dapat pemasukan tambahan Rp 100 ribu dan itu bukan jumlah yang kecil mengingat menangkap belalang tidak memerlukan modal besar apalagi di musim paceklik seperti saat ini. Cukup jaring yang biasanya digunakan menangkap ikan bisa juga digunakan untuk menangkap belalang.

     Lokasi habitat belalang hutan ini adalah sebuah hutan jati yang cukup jauh dari rumah saya (sekitar 15 km). jalan ke sana juga tidak mulus. Saya pernah kesana sekali sekitar tahun 2000 atau 2001 dan mungkin keadaan sekarang sudah berbeda saya juga kurang tahu. Mendekati dan masuk hutan jalan berbatu-batu. Menjelang masuk hutan ada sungai sangat lebar yang cuma ada rakit penyeberangan. Baik motor ataupun sepeda bisa naik rakit ini dengan membayar sejumlah uang. Hanya kalau lagi banjir bandang biasanya rakit berhenti beroperasi. Masuk ke dalam hutan disambut oleh pohon-pohon jati besar dan lebat. Kadang saya pernah menemui ada jejak kaki yang kata orang itu jejak kaki banteng. Saya sendiri belum pernah masuk jauh hingga ke dalam hutan karena merasa tidak aman saja. Dari orang-orang yang sudah pernah atau sering berburu belalang di dalam hutan ada binatang-binatang berbisa seperti ular dan laba-laba beracun. Tetangga sebelah pernah terkena sengatan laba-laba beracun itu. Untung tidak terjadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Begitu juga ular bedor harus diwaspadai karena ular ini memiliki warna kulit sama dengan daun jati kering sehingga susah dibedakan dengan lingkungan sekitarnya. Apalagi katanya ular bedor ini larinya cepat. Belum lagi resiko menginjak semak berduri. Anak tetangga malah sempat dikejar-kejar anjing liar dalam hutan. Yang tak kalah mengerikan adalah sungai tadi. Beberapa tahun lalu sempat memakan korban. Kalau tidak salah ada pemburu belalang yang nekad menyeberang saat banjir dengan berenang yang kemudian hanyut terbawa arus. Tubuhnya baru ditemukan beberapa hari kemudian sudah dalam keadaan membusuk. Kemungkinan rakit sedang berhenti beroperasi dan si pemburu berinisiatif menyeberang sendiri tanpa rakit. Meski demikian tidak menyurutkan puluhan (atau ratusan?) orang setiap tahun untuk menjadi pemburu belalang di hutan itu tanpa peduli dengan bahaya yang mengancam.


UPDATE: 28-03-2017
Bagi yang suka dengan masakan belalang ini bisa bikin ketagihan. Kira-kira sebulan lalu kakak perempuan saya yang merupakan pecinta masakan ini makan lumayan banyak belalang goreng dan hasilnya keracunan. Dia muntah-muntah dan hampir pingsan. Jadi bagi yang ingin menikmati masakan belalang ini sebaiknya jangan berlebihan. Entar jadi nikmat membawa sekarat.

Wednesday, March 2, 2016

Menyikapi Aturan Kewajiban Membayar Kantong Plastik Rp 200 di Supermarket dan Minimarket


Beberapa hari lalu ketika saya berangkat berbelanja ke sebuah minimarket bersama dengan istri mendadak di tengah jalan saya teringat kalau mulai saat itu setiap mendapatkan kantong plastik dari minimarket atau supermarket diharuskan membayar Rp 200/kantong padahal sebelumnya gratis. Maklumlah masih belum terbiasa membawa tas belanja karena sudah terbiasa dikasih kantong plastik gratis saat berbelanja untuk membawa barang belanjaan. Saat membayar di kasir mbak kasirnya menjelaskan kalau saya diharuskan membayar Rp 200/kantong. Saya Cuma tersenyum dalam hati. Saya sebenarnya sudah tahu aturan ini sejak 1 bulan sebelumnya dari berbagai berita di internet. Saya melihat para konsumen di kanan kiri saya semuanya tidak ada yang bawa kantong atau tas dari rumah. Sepertinya mereka masih belum mengetahui aturan baru ini.

Tidak masalahlah saya bayar Rp 400 untuk 2 kantong plastik. Cuma saya berjanji untuk membiasakan membawa kantong plastik sendiri lain kali. Belakangan saya bawa kantong plastik yang saya lipat kemudian saya masukkan saku. Saya coba memilih yang agak tebal sehingga tidak mudah robek. Dengar-dengar dana itu nantinya akan digunakan pemerintah untuk pengelolaan sampah. Anehnya yang membuat saya agak heran kenapa aturan ini hanya dikenakan untuk konsumen yang belanja di supermarket atau minimarket? Sementara kalau saya berbelanja di warung sebelah tetap saja kantong plastiknya gratis. Saya beli di toko-toko juga masih gratis. Padahal mereka totalnya juga menyumbang sampah kantong plastik yang saya pikir jauh lebih banyak daripada mini atau supermarket. Di tempat saya Cuma ada 1 supermarket dan 4 minimarket sementara toko-toko dan warung jumlahnya ratusan.

Kalau di rumah saya sudah puluhan tahun selalu mencoba bersikap bijak dengan kantong plastik. kantong plastik bekas belanjaan tidak pernah langsung dibuang kecuali kalau terlalu kotor atau tercemar bahan berbahaya. Kantong-kantong plastik ini dilipat kemudian dikumpulkan. Jadi kalau pas butuh tidak perlu beli lagi. kantong plastik ini dimanfaatkan untuk membungkus barang-barang supaya tidak terkena debu misal mixer, oven, atau cetakan-cetakan kue yang memang jarang dipakai. Kadang juga digunakan untuk membungkus makanan buat mengirim makanan untuk pekerja di sawah. Kalau stok kantong plastik ini sudah overload biasanya saya bakar saat pagi hari ketika belum banyak angin. Saya memang memisahkan sampah rumah tangga menjadi 4: organik, kaca, plastik, dan logam. Sampah organik termasuk sisa makanan atau bahan makanan biasanya saya buang di satu tempat hingga membusuk sendiri dan menjadi tanah. Tanah ini kalau kering bisa diayak kemudian dimanfaatkan menjadi media pot bunga atau polybag tanaman. Sampah plastik saya bakar sedangkan kaca saya kumpulkan dan kalau sudah cukup banyak saya hancurkan dengan palu kemudian saya kubur. Sampah logam termasuk barang elektronik rusak saya kasihkan pemulung gratis. Saya jadi teringat teman yang pernah kuliah di Jepang. Dia dulu pernah bilang kalau di Jepang buang sampah malah harus membayar. Jadi motor dibatasi usia pakainya dan kalau sudah habis masa pakainya harus dibuang dan biaya buangnya bisa lebih mahal dari harga motornya. Kadang untuk menghindari biaya membuang yang mahal itu, pemilik motor menghibahkan cuma-cuma motornya kepada orang yang masih mau memakainya. Teman saya mendapatkan hibah motor dari dosennya kala itu.


Yang jadi problem adalah para tetangga saya. Mereka masih belum banyak yang menyadari kalau sampah plastik termasuk kantong plastik ini sangat merusak lingkungan. Saya memiliki pekarangan yang cukup luas di belakang. Di sekelilingnya para tetangga tinggal. Tetangga-tetangga itu semuanya memiliki pekarangan sempit sehingga mereka kesulitan membuang sampahnya. Jadilah pekarangan saya menjadi TPA (tempat pembuangan sampah akhir) bagi para tetangga. Mereka buang semuanya ke situ mulai dari botol shampo, sandal bekas, baju bekas, gelas pecah, dan terbanyak kantong plastik ini. Susahnya kantong plastik ini berbentuk seperti parasut sehingga ketika tertiup angin mereka beterbangan kemana-mana. Jadilah seluruh pekarangan penuh dengan kantong plastik. Yang menyebalkan lagi ada sebagian tas plastik yang sudah terkubur tanah sehingga saya harus menggalinya dulu. Kalau saya ada waktu saya bawa zak kemudian seluruh kantong plastik itu saya kumpulkan dan saya masukkan ke dalam zak kemudian saya bakar. Proses itu bisa memakan waktu sehari penuh. Akhirnya daripada dipusingkan dengan ulah para tetangga yang suka buang sampah sembarangan itu, saya bangun tembok setinggi 1,5 m mengelilingi pekarangan. Selesai sudah, saya tidak terganggu sampah mereka lagi. 

Ini foto tetangga saya (posisi di belakang rumah) yang suka membuang sampah sembarangan. Kalau ada angin kencang maka semua sampah itu sudah pasti akan masuk ke pekarangan saya jika tidak ada pagar tembok.

Sampah plastik merupakan sampah yang sulit terurai secara alami. Ada yang bilang butuh waktu 400 tahun untuk terurai. Waduh berapa turunan manusia itu? Cara paling bijak memang dengan mendaur ulang tapi unit-unit pendaur ulangnya juga belum ada. Di tempat saya setahu saya Cuma ada 1 tempat usaha pendaur ulangan sampah plastik bekas dan itupun tempatnya jauh. Kalau dibakar juga kurang benar sebenarnya karena asap hasil pembakaran plastik masih mengandung bahan beracun. Cuma saya pikir itu masih menjadi solusi terbaik sementara. Kalau dinas kebersihan kota sebelah masih menggunakan cara lama dalam menangani sampah plastik yaitu dengan sanitary landfill.

Dulu sekali sebenarnya saya kurang suka kalau belanja dikasih tas plastik. Saya selalu mencoba membiasakan diri membawa tas sendiri sampai suatu ketika ada supermarket yang mempersulit saya. Saya belanja ke supermarket itu awalnya bawa tas sendiri (tas plastik anyaman) dari rumah namun oleh SATPAM dilarang membawa tas ke dalam lokasi belanja. Saya tidak tahu alasannya. Sengaja saya tidak membawa tas plastik bekas karena tas plastik anyaman jauh lebih kuat dan tebal. Kalau tas plastik dari supermarket sering jebol karena jalan di tempat saya banyak lubangnya selain itu ada barang-barang belanjaan yang memiliki sudut tajam. Terpaksa saya menitipkan tas tersebut ke tempat penitipan. Saya kemudian belanja dengan troli atau keranjang supermarket. Nah repotnya pas di kasir, kalau saya meminta barang belanjaan saya dimasukkan ke dalam tas saya maka saya harus keluar antrian dan kembali ambil tas di tempat penitipan. Kalau ini saya lakukan maka orang yang berbelanja antri di belakang saya bisa marah-marah karena harus menunggu saya mengambil tas dulu. Akhirnya ya terpaksa pakai tas plastik dari supermarket itu. Tas yang saya bawa dari rumah jadi tidak ada gunanya. Sejak saat itu saya jadi malas bawa tas sendiri dari rumah.

Beberapa tahun belakangan munculan tas plastik biodegradable. Katanya tas plastik ini dibuat dari bahan singkong atau jagung. Saya pikir itu ide yang sangat bagus. Hanya dalam jangka panjang mesti dipikirkan akan terjadi “rebutan” antara isi perut manusia dengan “isi perut” plastik. Kita tahu singkong dan jagung masih menjadi sumber karbohidrat utama bagi manusia. Kalau sebagian produksi dua produk itu digunakan untuk proses pembuatan plastik maka bisa mengurangi pasokan sumber karbohidrat buat manusia yang dikuatirkan akan membuat harganya meroket.

Ok kembali ke aturan kewajiban biaya Rp 200/kantong untuk tas plastik saya kira itu bagus dan semoga dananya benar-benar digunakan oleh pemerintah untuk pengelolaan sampah dengan lebih baik. Semoga juga sampah plastik ke depannya perlahan-lahan namun pasti akan semakin berkurang jumlahnya. Saya berharap pemerintah bisa memperluas aturan ini ke seluruh penjual, pedagang, atau siapa saja yang terlibat dalam proses jual beli tanpa terkecuali. Kalau sekarang masih melibatkan super atau minimarket sebagai tahap awal itu bisa dimaklumi.  Semoga ke depan Indonesia benar-benar bebas sampah plastik. Kata teman saya yang pernah ke Jepang kalau ada orang wisata dan memiliki bungkus plastik bekas maka dibawanya sampah itu dalam saku kemudian dibawa hingga menemukan tempat sampah baru membuangnya di situ. Bandingkan dengan di sini, pantai penuh dengan aneka sampah terutama plastik. Bahkan ada yang pernah pos di internet gambar lautan kita sudah penuh dengan kantong plastik sampai kelihatan seperti ubur-ubur laut. Memang mendisiplinkan masyarakat kita tidak semudah membalik telapak tangan. Contoh di keluarga saya sendiri, bapak saya kalau merokok selalu membuang abu, puntung rokok, dan bungkusnya begitu saja di lantai rumah dan dapur. Sudah diperingatkan berkali-kali untuk membuangnya di tempat sampah tapi tidak mempan jadinya kemudian dibiarkan saja. Kalau saya sempat saya punguti semua sampah rokok itu dan saya masukkan ke tempat sampah. Ayo para pembaca kita sukseskan gerakan berbelanja dengan membawa tas sendiri. Ini cuma jadi soal kebiasaan.


UPDATE 21-Mei-2017
Rupanya kebijakan itu cuma berjalan seumur jagung. Sudah beberapa bulan kebijakan itu tidak berlaku di minimarket atau supermarket. Jadi sekarang sudah tidak dikenakan biaya Rp 200 untuk tas kresek alias GRATIS. Cuma katanya sih tas kresek itu sekarang sudah dibuat mudah terurai. Semoga saja memang benar demikian.