Monday, March 26, 2018

Wisata Kebun Teh Gunung Gambir: Hanya Untuk Petualang Sejati!

     
Jalan rusak sepanjang 14 km
     Meskipun saya sudah tinggal di Jember selama bertahun-tahun tetapi saya benar-benar tidak tahu jika di Jember ada kebun teh. Ini saya ketahui tatkala melihat Google maps bahwa di kecamatan Sumberbaru tepatnya di gunung Gambir ada kebun teh. Saya pun klik sana sini dan melihat betapa menariknya lokasi itu serasa di Bandung saja. Saya pun bersumpah bahwa suatu hari nanti saya harus bisa kesana. Nah rupanya tanggal 24 Maret kemarin ada kesempatan buat berangkat kesana. Sebelumnya saya mencoba melihat aneka review (yang jumlahnya tak banyak) dari orang-orang yang pernah pergi kesana. Satu hal yang saya tangkap bahwa jalan ke sana sangat parah. Saya tidak memiliki gambaran sampai seberapa parah karena di desa saya sendiri banyak terdapat jalan parah. Oleh sebab itu pagi-pagi saya mencoba berangkat dengan istri kesana sekitar pukul 7. Syukurlah pagi itu cerah dan sudah lama tidak turun hujan sehingga saya perkirakan jalan menuju ke sana tidak akan sulit. Saya berangkat dengan menggunakan motor matic sebagai jaga-jaga kalau semua di luar dugaan. Sebenarnya saya mau ajak saudara-saudara yang lain membawa mobil tetapi saya khawatir kalau jalannya tidak bisa dilalui mobil dan memang demikian akhirnya.
     Setelah hampir 1 jam menyusuri jalan raya akhirnya saya pun tiba di pertigaan menuju gunung Gambir. Di situ ada papan petunjuk 16 km lagi menuju gunung Gambir. Maaf tidak ada fotonya karena pertigaan itu sangat ramai dan banyak petugas amal yang meminta sumbangan sehingga cukup semrawut dan kurang aman buat mengambil foto. Kalau saya berhenti maka saya akan semakin menambah kesemrawutan jalan di situ. Yang menarik adalah tiap beberapa ratus meter selalu saya temui petugas-petugas amal seperti ini. Dua kilometer jalanan mulus meski sempit sampai ada papan petunjuk 14 km ke Gunung Gambir. Di situlah saya belok kanan dan langsung disambut dengan jalan rusak parah. Saya menduga jalan rusak parah ini tidak akan panjang atau paling tidak kemudian saya akan menemui jalan bagus. Akan tetapi dugaan saya meleset total. Jalan rusak parah teruslah yang saya temui. Jalan berbatu-batu menanjak dan kadang miring. Konsentrasi harus 100% dan sama sekali tidak boleh lengah karena jika tidak maka kita akan terguling keluar jalan. Benar-benar sebuah siksaan berat! Saya tidak tahu bagaimana situasi jalan sehabis hujan? Pasti batu-batu akan menjadi licin dan membuat roda berkurang daya cengkeramannya. Saya sudah sering melewati jalan parah tetapi tidak ada yang separah ini. Saya sukar memberikan kata-kata yang pas untuk menggambarkan seberapa parahnya. Berhubung motor matic memiliki ground clearence rendah maka sebentar-sebentar membentur batu di jalan.
Kecepatan motor rata-rata hanya 10 km/jam. Kecepatan ini saya dapat dari Endomondo yang saya nyalakan di hape dengan hanya mengandalkan sinyal GPS tanpa internet sehingga hanya bisa melihat track dan kecepatan tetapi tidak bisa melihat peta dan kondisi medan.  Tidak direkomendasikan membawa mobil karena banyak truk memuat kayu sengon sedang parkir di tengah jalan yang sudah sempit. Saya tidak tahu bagaimana cara mobil berpapasan dengan truk di jalan yang sangat sempit begitu.  Mungkin salah satu harus mundur hingga menemukan ruang yang agak lapang atau menunggu atau bagaimanalah saya sungguh-sungguh tidak tahu.
     Setelah beberapa kilometer saya berhenti untuk mengecek dimana keberadaan saya dengan GPS tetapi sial rupanya entah kenapa saya tidak bisa membuka Google Maps (seperti offline). Ada sinyal XL HSDPA tetapi Google Maps cuma loading tidak habis-habisnya. Saya lalu mencoba hape istri yang menggunakan Telkomsel dan nasibnya sama saja. Ah sudahlah akhirnya kami melupakan Google Maps. Saya pun jalan terus dan semakin ke atas jalan semakin bertambah rusak berat. Waktu seolah berjalan sangat lambat. Di kanan kiri banyak rumah penduduk. Saya tidak tahu entah bagaimana mereka bisa tahan dengan jalan yang ada di depan mereka. Pantas saja saya melihat hanya ada 1-2 motor matic, selebihnya motor manual semuanya yang relatif lebih nyaman dan aman dikendarai di jalan bobrok.
     Sampai akhirnya mental istri down ketika tiba di sebuah kebun kopi.  Istri memaksa saya berhenti dan langsung pulang saja. Saya sendiri juga masih tidak tahu masih berapa kilometer lagi yang harus saya tempuh agar bisa di lokasi tetapi berhubung mental istri sudah jatuh maka saya pun akhirnya berputar balik. Perjalanan turun juga sama saja susahnya dengan kala menanjak. Jika saat naik saya lebih banyak memainkan gas maka kini saya harus menekan tuas rem terus menerus sepanjang jalan. Benar-benar motor matic sangat tak layak buat medan berat seperti itu. Saat sampai di rumah saya perkirakan (dari Google Maps) jarak yang masih harus saya tempuh sekitar 3 km lagi untuk menuju lokasi wisata dari titik terakhir saya berhenti di kebun kopi.  Hmm… sebuah perjalanan yang gagal namun saya tak pernah menyesal. Ada sejumlah tips jika ingin berangkat kesana agar tidak menemui kegagalan:

1. Wisata teh gunung Gambir ini bukan wisata keluarga! Wisata ini lebih cocok hanya buat petualang saja. Bagi yang tidak memiliki mental petualang sebaiknya urungkan saja niat berkunjung kesana. Jalan yang rusak parah sepanjang 14 km akan membuat mental siapapun gampang jatuh. Jadi jangan bawa anak atau istri. Lebih baik bawa teman beramai-ramai
Titik stop terakhir sebelum putar balik
yang sama-sama suka berpetualang! Selain itu dengan beramai-ramai akan lebih aman dan bisa saling membantu jika ada masalah karena setelah kebun kopi itu jalan sepi sekali.
2. Tidak untuk motor matic. Ground clearance rendah akan membuat suara benturan dengan batu di jalan yang menyakitkan telinga dan bikin deg-degan. Motor matic juga tidak memiliki engine brake sehingga ketika turun harus menyalakan rem terus menerus yang membuat rem cepat panas dan berdecit-decit plus bikin jari cepat pegal.
3. Tidak juga buat mobil. Jalan sempit sekali dan banyak truk yang parkir akan menyulitkan mobil.
4. Pastikan kendaraan dalam kondisi sangat prima khususnya ban. Selama perjalanan satu yang sangat saya takutkan yaitu ban gembos atau bocor. Saya tidak bisa membayangkan mendorong motor sepanjang jalan yang ultra rusak itu hingga menemukan tempat untuk menambal. 
     Pantas saja sebagian besar orang-orang Jember ketika saya tanya tentang keberadaan wisata ini mereka hanya bisa menjawab tidak tahu. Sekarang akses ke lokasi wisata saja susahnya sudah setengah mati seperti ini bagaimana orang akan berkunjung? Meskipun demikian masih ada sejuta rasa penasaran di dada saya. Masih berharap suatu saat bisa berangkat kesana (tentu tanpa istri yang sudah ogah diajak kesana lagi) dan menyaksikan sendiri kebun teh yang masih berada di kabupaten sendiri. 

Monday, March 19, 2018

Ketika Semuanya Dikorbankan Demi Ramadlan dan Lebaran


     Bulan Ramadlan masih akan tiba 2 bulan lagi tetapi semua warga kampung saya sudah heboh untuk menyambutnya. Salah seorang keponakan saya sudah menambah pinjaman hutang di bank ratusan juta rupiah dengan alasan untuk persiapan kulakan kue-kue lebaran. Orang tua saya juga sudah sejak Januari bekerja habis-habisan mulai pagi hingga malam dari Senin ke Senin untuk membuat baglog jamur dengan prediksi bahwa setiap bulan puasa permintaan akan jamur meningkat. Saya yakin di tempat-tempat lain juga tengah berlangsung hal-hal yang sama. Semuanya berlomba-lomba mencuri start jelang lebaran.  Padahal coba kita renungkan sejenak sebenarnya apakah yang sudah diperintahkan oleh Allah untuk dikerjakan umatnya pada bulan Ramadlan dan Lebaran?? Benar, meningkatkan ibadah. Allah memerintahan untuk melakukan puasa pada siang hari. Pada malam hari shalat Tarawih dan tadarus dan begitu akhir Ramadlan berzakat sementara itu pada saat Lebaran kita disunnahkan bersilaturahmi kepada sesama dan meminta maaf. Allah juga tidak pernah menyuruh umat Islam bersiap melakukan apapun untuk menyambut Ramadlan dan Lebaran terkecuali bulan Rajab dan Syaban hanya disunnahkan untuk berpuasa sunnah sekedar sebagai latihan agar saat Ramadlan nanti tubuh kita sudah terbiasa.
     Akan tetapi apakah yang selalu terjadi setiap bulan Ramadlan di kampung saya? Biasanya bulan Ramadlan jatuh berbarengan dengan saat tanam tembakau dan saat itu sedang musim kemarau. Cuaca panas terik setiap hari dan bekerja di bawah matahari membuat orang cepat merasa haus. Itulah sebabnya saat Ramadlan banyak orang yang tidak melakukan ibadah puasa di kampung saya. Sayang sekali puasa wajib yang cuma 1x/tahun saja tidak dilaksanakan hanya demi tembakau yang belum bisa dipastikan hasilnya. Malam hari pun saat shalat Tarawih dan tadarus banyak yang mangkir karena sibuk mengeringkan daun tembakau di gudang. Zakat maal? Apalagi jauh deh. Paling cuma zakat fitrah doang yang tak lebih dari beras 2,5 kg. Yang aneh adalah begitu shalat ied tiba semua mendadak berduyun-duyun datang ke masjid. Lebaran adalah hari kemenangan setelah berjuang berpuasa selama 30 hari. Kalau tidak pernah berjuang apakah bisa merayakan kemenangan? Kalau memang bisa lantas kemenangan dari mananya? Berjuang saja tidak, lantas bagaimana bisa merayakan kemenangan? Sebuah logika yang agak aneh menurut saya.
     Begitu Lebaran tiba pun ibarat gas sudah langsung di-mentok-in. Semua uang dihabiskan hanya demi “pesta” lebaran selama 2-3 hari. Semuanya dibeli termasuk mercon yang sebenarnya malah sering bikin celaka. Rumah dicat habis-habisan. Baju baru dibeli walau di lemari sudah ada ratusan baju sampai tak muat isinya. Motor dan mobil baru pun dibeli demi sekedar mengesankan orang dan gengsi walau dari hasil ngutang (baca: kredit). Padahal kalau saya bersilaturahmi ke rumah kerabat atau tetangga saat lebaran saya tidak pernah memperhatikan kondisi rumah, perabotnya, ataupun kendaraannya. Saya tidak pernah mau ambil pusing apakah rumahnya habis dicat atau ada perabot baru. Saya juga tidak mau repot mengurusi apakah kendaraannya baru atau tidak. Saya datang bukan buat semuanya itu. Saya lebih peduli dengan sambutan si tuan rumah. Sebagus apapun rumahnya kalau sambutan tuan rumahnya tidak menyenangkan maka saya juga tidak akan merasa nyaman dan senang. Saya tidak menganggap bahwa Lebaran itu tidak penting atau tidak istimewa tetapi cara kebanyakan dari kita dalam menyambut Lebaran itulah yang seharusnya sudah saatnya kita renungkan kembali. Apakah memang seperti itu yang telah diperintahkan oleh Allah? Berlebih-lebihan dan cuma mengumbar gengsi? Itukah makna Lebaran sejati? Padahal kalau kita mau menengok di sekeliling kita, masih banyak orang yang kesulitan meskipun hanya sekedar mau menyiapkan kue-kue lebaran ala kadarnya.  

Saturday, March 17, 2018

Cepat Atau Lambat Kesombongan Pasti Akan Hancur

     [Kisah Nyata] Ada salah seorang anggota keluarga dekat saya (sebut saja pak X) yang boleh dibilang sangat jumawa atau sombong. Kesombongannya karena dia merasa memiliki harta lebih banyak dibandingkan orang-orang di sekitarnya. Padahal Allah sudah memberinya peringatan berkali-kali bahwa harta takkan pernah kekal selamanya. Para pengusaha sukses baik skala dunia maupun nasional juga toh pada akhirnya harus menemui ajal yang merengut semua kesuksesan mereka. Setiap kali pak X berdebat dengan orang lain selalu saja harta miliknya yang ditonjolkannya. Sampai suatu ketika ada acara pengajian rutin majelis taklim yang diadakan di rumah saya. Usai acara, ketua majelis meminta semua jamaah untuk vote akankah kegiatan majelis taklim dihentikan sementara atau diteruskan selama bulan pemrosesan tembakau. Begitu sang ketua selesai berbicara, tanpa diminta pak X langsung berkata dengan lantang jika sebaiknya acara pengajian rutin dihentikan saja sementara waktu. Saya tahu pak X ini memang “nyego” (bahasa Jawa) atau maniak banget dengan tembakau. Baginya hidupnya sudah diabdikan 100% buat tanaman tembakau. Mungkin dia merasa terganggu jika saat memproses tembakau masih diharuskan untuk mengikuti pengajian rutin. Padahal sebenarnya berapa lama sih acara pengajian rutin ini? Paling lama juga 1 jam dan itupun cuma 1x/seminggu pada saat malam lagi! Saya cuma heran, apa susahnya sih menyisihkan waktu 1 jam/seminggu untuk beribadah yang akan menjadi bekal di kehidupan nanti? Bukankah Masih banyak tersisa ratusan jam lainnya per minggu yang bisa digunakan untuk kegiatan lain? Padahal di kampung-kampung lain saya tidak pernah mendengar kasus semacam ini.
     Sang ketua tetap menginginkan vote tetapi pak X juga terus ngotot memaksakan kemauannya tanpa vote sehingga suasana menjadi panas bahkan menjurus kepada perpecahan. Pak X bahkan melontarkan argumen jika tidak menanam tembakau maka tidak akan bisa naik haji. Yang lebih buruk lagi pak X telah melecehkan sang ketua yang memang saya tahu orang kurang mampu ekonominya. Akhirnya vote batal dilakukan karena ulah pak X ini dengan hasil bahwa bagi yang bersedia maka boleh ikut terus melaksanakan pengajian rutin dan bagi yang mau berhenti tidak masalah.  Setelah peristiwa itu terbetik kabar grup majelis taklim memang pecah. Satu grup lebih memilih mengikuti pak X dengan berhenti melakukan pengajian rutin sementara grup lainnya tetap bertahan dengan pengajian rutinnya.
     Beberapa waktu kemudian ketika malam tiba (pukul 21.30) mendadak terdengar bunyi letusan berkali-kali dan saya sangat tahu karena sudah sering mengalaminya jika itu adalah bunyi gudang tembakau yang sedang terbakar. Rupanya gudang salah seorang warga tengah terbakar dan lokasinya dekat dengan gudang pak X. Api pun dengan cepat membesar dan meluluhlantakkan 3 gudang sekaligus termasuk gudang pak X dalam hitungan menit. Pak X pun menderita kerugian yang tak sedikit. Ternyata jika Allah berkehendak maka semua bisa diratakan hanya dalam tempo sekejap saja. Apakah hingga sekarang pak X sudah tersadar akan peringatan Allah itu? Kalau saya amati tidak ada yang berubah dengan diri pak X. Dia masih tetap jumawa. Rupa-rupanya kejadian itu tidak membuatnya tersadar bahwa harta hanyalah titipan semata. Mungkin kalau pak X sudah jelang ajal akan terasa benar bahwa semua yang telah dimilikinya tidak akan ada gunanya sama sekali.
     Kisah lain adalah tentang pak P. Beliau seorang pengusaha sukses di kampung tetapi memang sombong. Saya pernah menyaksikan sendiri kesombongannya itu ketika sedang mengikuti sebuah selamatan di rumah salah seorang kerabat. Pak P datang belakangan ketika acara hampir mulai di ruangan yang sudah hampir penuh. Setelah menengok kanan kiri rupa-rupanya dia tidak menemukan tempat duduk dan tanpa malu-malu dia pun “mengusir” salah seorang yang sudah duduk terlebih dulu. Yang diusir pun mungkin juga merasa malu dengan kelakuan pak P sehingga memilih pindah tempat. Satu - dua tahun kemudian di suatu siang saya mendengar berita dari speaker masjid jika pak P sudah meninggal. Agak kaget juga padahal selama ini kelihatannya baik-baik saja. Kebetulan salah satu anaknya adalah teman baik saya. Saya coba mengorek keterangan mengenai apa yang telah terjadi. Rupanya pak P ini sudah lama sakit dan seminggu sebelum meninggal sudah diopname di RS dan juga menjalani operasi (katanya kepalanya di-bor segala) tetapi rupanya nyawanya sudah tidak bisa diselamatkan. Akhir hidup yang pasti tidak menyenangkan dan tentu menyakitkan buat pak P. 
     Satu kesamaan dari dua buah cerita di atas adalah kesombongan tidak terkait dengan usia. Dari tataran usia berapapun bisa saja memiliki sifat itu bahkan orang yang menjelang ajal pun juga masih bisa mengumbar kesombongan. Kesombongan juga biasanya disebabkan oleh kepemilikan semisal harta, jabatan, atau keturunan. Saya masih ingat betul ada salah seorang ustadz dulu yang pernah menyampaikan bahwa sombong adalah “baju” Allah karena itulah ketika manusia sombong maka sebenarnya dia sedang mencoba mengenakan “baju” Allah dan jelas tidak seorang mahluk pun yang akan mampu mengenakan “baju” Allah. Akhirnya manusia itu akan jatuh dan binasa.