Wednesday, April 27, 2016

Indahnya Terumbu Karang Pantai Pasir Putih Situbondo


     Kejadiannya berlangsung tahun 2011 lampau. Saat itu saya dan istri berangkat ke pantai pasir putih Situbondo. Orang-orang di desa saya menyebutnya Pasput (Pasir Putih Situbondo). Awalnya hanya sekedar ingin berpiknik di pinggir pantai. Usai piknik kami berencana langsung pulang karena perjalanan dari rumah cukup jauh dan memakan banyak waktu. Kami berangkat pagi-pagi dan sampai di sana sudah hampir jam 10-an. Sesampainya di pantai karena sudah menjelang tengah hari kami duduk sambil menikmati sate ayam yang dijual pedagang keliling. Rasanya enak juga meski agak mahal. Usai makan kami beristirahat di bawah pohon ketapang sambil menunggu shalat dhuhur. Kami kemudian shalat dhuhur di sebuah mushala kecil yang ada di situ. Selesai shalat kami duduk-duduk di depan mushala sambil menikmati semilir angin. Kemudian datang seseorang yang menawarkan penginapan tapi kami tolak karena kami memang tidak berniat menginap. Buat yang memang pengen menginap jangan kuatir di sini juga disediakan penginapan dengan tarif sekitar Rp 75 ribu/malam. Bagi yang mau menginap di alam terbuka juga ada bumi perkemahannya di selatan jalan (di pinggir hutan jati). Dulu pertengahan tahun 1995 saya pernah menginap di tenda bareng-bareng teman SMA di situ cuma kalau malam anginnya lumayan kencang sehingga jangan lupa membawa jaket.


     O ya si bapak tadi rupanya tidak menyerah dan selanjutnya dia menawarkan sewa perahu. Istri saya langsung menolak karena takut naik perahu. Kalau saya sih sebelumnya sudah pernah naik perahu meski tidak sampai jauh dari pantai. Oleh sebab itu saya yakinkan istri saya jika naik perahu itu aman-aman saja

dan tidak perlu takut. Akhirnya kombinasi saya yang mencoba meyakinkan istri dan desakan si bapak, istri saya mau juga naik perahu. Jadilah kami berlayar diantar nelayan sampai agak jauh dari pantai. Setelah sekitar 15 menit kami dipersilakan menyaksikan terumbu karang dengan menggunakan kotak kayu dengan kaca besar. Kalau tidak pakai kotak ini terumbu karang tidak akan terlihat jelas. Hanya kalau difoto dari atas gambarnya jelek karena hanya kelihatan bayangan-bayangan obyek hijau saja. Kalau pingin gambar yang super jernih tentu harus pakai kamera submersible. Masalahnya tidak punya kamera tipe itu jadinya saya pinjem gambar-gambarnya dari blognya faridmuzaki. Ini nih gambar terumbu karangnya.


     Indah benar bukan? Tidak disangka jika pantai itu memiliki keindahan yang luar biasa di bawah laut. Seandainya saya punya peralatan menyelam pasti pingin menyaksikan dengan mata kepala sendiri keindahan terumbu karang itu di bawah laut. Di lokasi pantai sepertinya tidak ada persewaan alat menyelam dulu. Kalau sekarang entahlah. yang jelas terumbu karang di sini merupakan nilai plus dibandingkan dengan wisata-wisata pantai lainnya di Jatim karena umumnya kalau di pantai-pantai lain saya hanya cuma bisa menyaksikan pemandangan pantai. Usai puas menyaksikan terumbu karang kami balik ke pantai. Di sana kami kembali makan-makan dengan menu bakso dan es kelapa muda. 


     Jelang sore kami mencoba berjalan-jalan di jembatan yang menjorok jauh ke tengah pantai. Jembatan ini

terbuat dari papan-papan kayu. Sebagian papannya sudah terlepas hilang sehingga sangat berbahaya karena bagi pengunjung yang tidak berhati-hati bisa terperosok ke laut di bawahnya. Banyak pengunjung memanfaatkan jembatan ini untuk aktivitas memancing atau untuk tempat landasan saat akan terjun mandi-mandi ke laut. Sebelum pulang kami sempatkan mampir ke lapak suvenir untuk melihat-melihat sekaligus membeli beberapa oleh-oleh buat keluarga di rumah. Ada banyak sekali kerajinan yang dijual di sini dan kebanyakan dibuat dari material hasil laut seperti kerang, pasir, atau batu-batu karang. Harganya juga sangat bervariasi dari murah sampai mahal sesuai dengan kantong. Memang sebuah pengalaman yang sangat singkat sehingga tidak banyak yang bisa kami ceritakan dan rasakan karena cuma sehari (beberapa jam saja) tetapi meski demikian kami anggap kunjungan itu sebagai salah satu momen berwisata yang takkan terlupakan.


Sumber gambar:
Gambar terumbu karang: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSTpaiLMaHiDNKqSZOhvh5rHl5TOQpfYUDV6ZYAcHJowUCAD-BFKjKeGBVKXZ659JhDKnxWvETlccQFaRCaMjOOy8owUhADH_8RqMeEJzMqy2GsqPgjkpnSwX2-F8JQPIgBP3lILPXoWk/s1600/Copy+of+Acropora+reef.2.JPG 

Sunday, April 24, 2016

Nostalgia Kehidupan Mahasiswa Indekos

Selama hampir 5 tahun aku menjalani kehidupan sebagai anak kos dengan suka dukanya. Jatah uang kiriman dari orang tua yang tidak menentu membuatku harus berhemat apalagi jelang tanggal tua. Ibaratnya mengencangkan ikat pinggang yang sudah kencang. Yang penting jangan sampai ikat pinggangnya putus saja... Sampai-sampai saat itu ada lagu "Aku Anak Kos" oleh Project Pop yang menggambarkan betapa merananya kehidupan rata-rata anak-anak kos.

Soal makan tanggal tua selalu identik dengan mi instan dan gorengan. Dua makanan yang sebenarnya tidak sehat tetapi memang sangat murah harganya. Berangkat kuliah jam 7 perut dalam keadaan kosong.

Beberapa  teman sengaja memperbanyak puasa Senin Kamis untuk mengurangi biaya makan. Begitu kuliah usai jam 9 barulah sarapan tetapi kalau tanggal tua menu sarapan biasanya cuma gorengan seperti pisang atau ubi goreng padahal kalau awal bulan bisa makan rawon atau paling tidak nasi pecel. Terkadang jadwal makan aku ulur sampai jam 10 supaya sarapan sekaligus makan siang apalagi jika jadwal kuliah 1 hari penuh. Karena tidak sarapan itulah aku jadi sering mengantuk di kelas. Saat dosen mengajar aku kadang tertidur nyenyak. Gorengan ini sebenarnya meski makan 5 potong juga gak bakalan terasa kenyang bagiku. Untuk mensiasatinya setelah makan gorengan aku minum air putih banyak-banyak. Sore hari untuk menu makan malam yang cukup sering adalah mi instan. Aku pikir tidak ada mahasiswa yang indekos yang tidak pernah makan mi instan. Selain banyak pilihan rasa juga super murah. Beli nasi pecel di warung paling tidak harus sedia budget Rp 3000 padahal saat itu harga mi instan masih kurang dari seribu. Kalau mi instannya rasa soto anggap aja seolah-olah makan soto beneran hahaha... Kalau pengen lebih kenyang bisa beli nasinya saja di warung lalu campur deh sama mi instan. Jadilah karbo lauk karbo. Perut kenyang hati senang hemat uang. Pernah kehabisan uang sama sekali di akhir bulan dan terpaksa pinjam uang teman terus dibelikan mi instan cukup banyak. Hampir seminggu pagi dan sore makan mi instan melulu. Hasilnya diare habis-habisan.


Soal mandi juga kalau tanggal tua terpaksa harus mengirit. Seolah menjadi rutinitas tiap tanggal 20  bapak kos selalu mengurangi jatah air mandi para penghuninya. Mau gak mandi badan terasa lengket oleh keringat tetapi kalau mandi juga mau mandi pakai apa? Akhirnya terpaksa aku akali mandi dini hari. Sebelum adzan subuh saat semua penghuni kos sedang tertidur nyenyak cepat-cepat mandi dan mencuci baju. Meski kadang dengan teknik itu masih juga sering kehabisan air. Kalau sudah begini satu-satunya jalan adalah berangkat kuliah lebih awal terus bawa handuk dan peralatan mandi ke kampus. Di kampus cari toilet terus mandi cepat-cepat sebelum ketahuan banyak mahasiswa lain kan bisa malu? Tetapi tak jarang air di kampus juga macet sehingga lagi-lagi menumpang mandi di rumah bulik meski gak bisa sering-sering karena merasa tidak enak saja. Kan airnya beli dan cukup mahal lagi. Mana aku gak bisa berhemat air mandi lagi soalnya sudah kebiasaan mandi di desa byar byur... tidak pernah memikirkan harga air.


Tanggal tua juga identik dengan jalan kaki. Kalau awal bulan berangkat ke kampus pakai motor maka kalau jatah uang bahan bakar sudah mulai menipis cuma jalan kaki solusinya. Masalahnya hanya kalau jalan raya lagi banjir agak susah jalan kaki. Enaknya jalan kaki bisa bareng rame-rame sama teman. Yah mungkin senasib sepenanggungan kali ya? Beberapa teman yang memang anak orang kaya tentu masih bisa melenggang ke kampus bawa motor atau mobil. Nah kalau pas kenal kadang aku juga bisa menumpang tetapi cuma kalau kebetulan jadwal kuliahnya bersamaan. 


Hiburan tentu menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak kos. Kalau awal-awal bulan masih bisa beli tiket bioskop tetapi kalau sudah akhir bulan cara berhemat hanyalah dengan meminjam atau sewa VCD. Tarifnya murah meriah. Dulu 1 film yang bisa terdiri dari beberapa keping hanya Rp 2000/3hari kalau tidak

salah. Istimewanya lagi bisa ditonton beramai-ramai di kamar kos. Irit kan? Waktu itu belum ada internet kecepatan tinggi yang bisa buat streaming atau download film. Buat download gambar saja dah megap-megap internetnya. Kadang kalau menyewa VCD pun sudah tidak ada duit maka cuma diganti dengan menonton TV meski sebenarnya acaranya tidak begitu menarik. 



Telepon koin bak dewa penolong di akhir bulan khususnya bagi yang punya gebetan padahal kalau awal bulan para mahasiswa bisa bertelepon di box Wartel nan nyaman lengkap dengan kipas angin dan pengharum ruangan. Kalau sekarang box telepon koin memang sudah tidak ada lagi. Cukup dengan koin Rp 100 perak sudah dapat waktu bicara 3 menit. Oleh sebab itu kalau malam Minggu shelter telepon koin selalu penuh bahkan

antriannya bisa cukup panjang. Telepon di box koin memang tidak nyaman karena tidak bisa duduk dan pada malam hari banyak sekali nyamuk. Belum lagi orang yang antri di sebelah selalu tampil dengan wajah tidak sabaran. Begitu juga kalau ada motor lewat yang knalpotnya sudah dimodifikasi duuuhh benar-benar bikin kesal karena suara lawan bicara jadi tidak terdengar jelas. Yang pasti suara telepon koin ini tidak sejernih ponsel jaman sekarang karena pada masa itu jaringan telepon masih belum digital.

Untuk berhemat di akhir bulan caranya dengan melubangi koin kemudian dipasangi benang. Sehingga ketika telepon sudah tersambung bisa ditarik kembali koinnya. Memang telepon koin ini banyak errornya. Aku sering menemukan koin berjatuhan sendiri dari boxnya saat menelepon. Lumayan bisa buat telepon gratis. Yang heboh kalau pas ada bocoran telepon SLJJ (Sambungan Langsung Jarak Jauh) atau interlokal. Biasanya si pembawa berita akan menyampaikan kepada kenalan-kenalannya kalau box A di tempat B mulai hari C bisa digunakan untuk SLJJ. Luar biasa memang kalau ada bocoran karena dulu yang namanya telepon koin cuma bisa digunakan menelon nomor-nomor lokal. Untuk SLJJ harus menelepon lewat Wartel, telepon rumah (PSTN), atau telepon kartu. Kalau anak kos telepon SLJJ pada jam sibuk dijamin bisa puasa berhari-hari sesudahnya. Oleh sebab itu banyak anak kos jika akan menelepon SLJJ dilakukan sebelum pukul 6 pagi karena ada reduksi tarif hingga 80%. Aku sering melihat box yang error itu selalu dipenuhi antrian mahasiswa yang ingin menelepon keluarganya di kampung dari pagi sampai malam. Kalau telepon kartu biasanya untuk berhemat disiasati dengan menambal lubang-lubang pada kartunya sehingga jadilah punya 1 kartu bisa buat menelepon SLJJ berjam-jam .Kartu itu tidak bisa diisi ulang dan setahuku tidak ada masa aktifnya.

Kalau uang awal bulan sudah habis dan jelang tanggal tua masih belum bisa bayar uang kos nah itu benar-benar jadi masalah. Aku pernah telat membayar beberapa kali dan tidak nyamannya saudara bapak kos selalu datang menagih seperti debt collector saja langsung ke kamar. Aku akali supaya tidak bertemu si petugas itu, aku pulang agak malam meski jadwal kuliah di kampus tidak sampai malam hari. Pagi-pagi cepat-cepat berangkat ke kampus meski tidak ada kuliah pagi. Jika tidak ada yang harus aku lakukan di kampus aku habiskan waktu di perpustakaan atau tidur di masjid. Begitu sampai di kamar kos lekas-lekas aku tutup pintu dan jendela kemudian matikan lampu dan tidur meski belum mengantuk. Mau keluar juga intip-intip dulu apakah suasananya aman atau tidak. Kalau masih ada petugas berseliweran, aku tunggu sampai dia pergi. Begitu batang hidungnya sudah tidak kelihatan aku lekas meluncur turun (kamarku di lantai 3), lari ke tempat parkir, nyalakan motor, dan langsung tancap gas segera. Meski kelihatan hidup sebagai anak kos penuh dengan cerita "duka" tetapi kalau sekarang saya mengingat masa-masa itu yang tersisa hanya kenangan manis yang takkan pernah terulang kembali. Terkadang pengen mengulang kembali meski sesaat...



Sumber gambar:


1. majalahkesehatan.com
2. fjb.kaskus.co.id

3. kholisnast.blogspot.com

Thursday, April 14, 2016

Demam Berdarah the Silent Killer

Saya juluki the silent killer karena penyakit ini sering tidak terdeteksi sejak dini. Bahkan kerap tenaga kesehatan “kecolongan” dengan penyakit ini. Biasanya tahu-tahu si penderita sudah berada pada stadium akhir dan susahnya hingga sekarang masih belum ditemukan obatnya. Dalam proses perawatan tenaga kesehatan hanya mampu meredakan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh demam berdarah. Pertama kali saya mengenal penyakit ini sekitar tahun 2003 ketika anak dari keponakan saya bernama Mila (3 tahun) terkena demam tinggi. Seperti biasa oleh ibunya kemudian dibawa ke pak mantri kesehatan. Di sana hanya diberikan
RIP 2003
obat penurun panas. Di desa memang tidak ada dokter jadi semua tugas pelayanan kesehatan dijalankan oleh pak mantri ini. Keesokan harinya demam masih juga tinggi dan anak itu dibawa lagi ke pak mantri dan lagi-lagi hanya diberi obat penurun demam. Setelah 3 hari demam turun tetapi anak terlihat lemas. Kata orang-orang desa kemungkinan “owah” (Jawa = kecapekan). Biasanya kalau “owah” begini anak langsung dibawa ke dukun atau ustadz (maklumlah di desa..). Si Mila ini juga kemudian dibawa ke seorang ustadz. Di sana hanya dipijit-pijit sebentar kemudian dikasih air bermantra dan diminumkan. Akan tetapi semakin hari anak semakin terlihat lemas jadilah suatu sore dibawa ke praktek dokter anak yang lumayan jauh (30 km). Di sana antrian pasien sangat panjang. Jam 9 malam berhubung antrian pasien masih panjang ibunya bertekad membawanya langsung ke UGD RS terdekat. Sesudah diperiksa dan diambil sampel darahnya kemudian dipasang infus dan saat itulah mendadak anak itu menghembuskan napas terakhirnya. Rupanya sudah terlambat sehingga tidak tertolong lagi. Sebuah pukulan berat bagi keponakan saya dan suaminya karena usia segitu anak sedang lucu-lucunya. Kalau sekarang masih hidup mungkin sudah sekolah SMU.

Yang kedua saya alami sendiri saat tahun 2008. Berawal dari demam tinggi dan badan terasa sakit semua. Saya kira itu demam biasa sehingga hanya saya beri obat penurun demam tetapi yang unik adalah meski saya sudah minum obat itu demam tidak mau turun padahal biasanya sebelumnya sesudah minum obat demam selalu turun. Bola mata terasa sangat panas sampai keluar air mata. Dua hari saya hanya tiduran. Di hari ketika hanya rasa lemas sekali yang saya rasakan. Sorenya saya diajak oleh bapak untuk periksa ke dokter praktek pribadi. Selama menunggu dipanggil saya hanya bisa terbaring di ruang tunggu. Duduk saja rasanya sudah tidak kuat lagi. Oleh dokter saya diberi obat tetapi belum sempat obat saya minum saya sudah pingsan. Sebelum pingsan saya hanya merasakan  lemas dan napas pendek-pendek (gejala shock). Sesudah sadar saya langsung muntah-muntah banyak sekali. Oleh keluarga saya dilarikan langsung ke RS dan ternyata saya terkena demam berdarah. Trombosit terendah yang pernah saya dapat sekitar 50 ribu. Selama
Bukti kuitansi saat saya ranap di RS
5 hari saya dirawat di RS dan di hari ke-6 saya diperbolehkan pulang. Total biaya yang harus saya keluarkan waktu itu hampir 5 jutaan dan terpaksa saya harus jual semua hasil kebun. Di sebelah kiri itu gambar tagihan RS yang harus saya bayar waktu itu. Lima juta mungkin jumlah yang kecil kalau sekarang tetapi tahun 2008 itu sudah besar nilainya bagi saya. Meski sudah sembuh tetap saja belum terasa sehat sepenuhnya. Baru 2 minggu kemudian saya benar-benar sudah bisa beraktivitas seperti biasa. Bersamaan dengan saya dirawat di RS itu ada tetangga yang agak jauh yang ternyata juga sedang menderita demam berdarah. Saya tahu setelah pulang dari RS. Sayangnya si tetangga itu termasuk keluarga tidak mampu sehingga hanya dirawat ala kadarnya di rumah. Setelah beberapa hari saya berada di rumah saya mendengar dia meninggal dunia. Setahun kemudian ganti keponakan saya yang terkena demam berdarah dan langsung dirawat di sebuah Puskesmas. Sayangnya hampir 2 hari keadaannya tidak kunjung membaik sehingga terpaksa dirujuk ke RS. Di sana juga 4 hari dirawat baru diperbolehkan pulang.

Berikutnya terjadi tahun 2015 lalu pada anak-anak tetangga saya yang lain. Keluarga yang ini memiliki 2 anak laki-laki, yang satu masih sekolah SD sementara satunya sudah SMU. Pertama kali yang terkena demam berdarah adalah si bungsu dan langsung dibawa ke klinik terdekat untuk dirawat. Syukurlah dalam 1 minggu si bungsu sudah sembuh. Beberapa hari setelah si bungsu demam si sulung ikutan demam juga. Rupanya nyamuk ini cenderung menularkan virus pada orang-orang dalam satu rumah. Awalnya si sulung dirawat di klinik tempat si bungsu juga dirawat tetapi rupanya keadaan si sulung ini semakin lama semakin memburuk karena mulai keluar mimisan. Dokter klinik pun merujuk ke RS. Di RS si sulung mendapat transfusi trombosit 2 kantong. Hampir 1 minggu si sulung dirawat di sana. Saya mendengar biaya perawatan di RS-nya saja mencapai Rp 16 juta. Terpaksa si ayah hutang kesana kemari.



Yang terakhir terjadi beberapa bulan lalu. Ketika itu salah seorang anak tetangga usia 11 tahun menderita demam dan langsung dibawa ke bidan. Oleh bidan diberi Paracetamol dan Thyamphenicol. Saya melihatnya dari obat-obatan yang diberikan si bidan menganggap anak itu terserang demam tifoid. Begitu obat habis demam memang sudah turun tetapi saya melihat ada satu yang aneh yaitu anak itu seperti lemas dan banyak merancau (seperti setengah tidak sadar). Saya hanya berpikir jangan-jangan ini demam berdarah karena berdasarkan pengalaman saya sendiri jika demam sudah turun akan diikuti oleh rasa lemas dan berkurangnya kesadaran. Saya sarankan kepada si ibu untuk dibawa ke Puskesmas saja. Ternyata oleh dokter Puskesmas didiagnose terkena demam berdarah tetapi berhubung kondisinya sudah masuk fase kritis maka langsung dirujuk ke RS. Benar memang kadar trombositnya sempat jatuh di bawah 10 ribu. Seminggu dirawat si anak ini akhirnya bisa pulang. 

Berdasarkan aneka macam kasus demam berdarah saya pikir sudah saatnya kita semua untuk lebih mewaspadai penyakit ini. Saran saya:
1.       Waspadai demam tinggi selama 3 hari berturut-turut. Biasanya suhu tubuh penderita saat demam cukup tinggi secara terus menerus siang dan malam. Kalau demam tifoid demamnya membentuk siklus diurnal siang malam. Kalau jelang malam suhu tubuh akan naik tetapi pada pagi hari turun kembali, begitu seterusnya setiap hari. Waspadai demam yang tak kunjung turun suhunya meski sudah diberi obat penurun demam.
2.       Demam turun bukan berarti sembuh. Justru inilah fase kritis karena kadar trombosit akan terus turun hingga di bawah normal. Jika mencurigai adanya serangan demam berdarah cobalah memeriksakan kadar trombosit ke lab terdekat pada hari ke-3.  Jangan memeriksakan pada hari ke-1 karena biasanya kadar trombosit masih normal.
3.       Rehidrasi dan kompres air hangat. Berikan air minum sebanyak-banyaknya dan sesering mungkin supaya tubuh tidak mengalami dehidrasi. Saat mengompres gunakan air hangat dan jangan menggunakan air dingin karena akan membuat anak malah menggigil.
4.       Waspadai gejala shock. Jika ada tanda-tanda penderita mulai kehilangan kesadaran atau napas menjadi pendek dan cepat segera bawa ke fasilitas kesehatan terdekat. Jangan ditunda lagi. 

Yang tak kalah pentingnya adalah pencegahan agar serangan nyamuk ini tidak meluas terutama insiden terbesar biasanya terjadi saat jelang musim hujan. Program 3M (menguras, mengubur, dan menutup tempat-tempat penampungan air) sebenarnya sangat efektif dalam mengurangi populasi nyamuk jika dilakukan dengan sungguh-sungguh hanya sayangnya masih banyak orang yang belum memiliki kesadaran itu. Khusus untuk keluarga, selain melakukan 3M, sebaiknya juga dibarengi dengan cara-cara berikut:
1.   Mengurangi jumlah baju yang digantung supaya tidak terlalu banyak. Baju yang digantung merupakan tempat persembunyian favorit nyamuk. Meskipun sudah disemprot pestisida aerosol nyamuk mampu bertahan di balik lipatan baju.
2.  Menggunakan obat nyamuk semprot atau bakar. Cara ini paling banyak digunakan karena murah dan mudah. Sebelum menggunakan cara ini sebaiknya dibaca dengan teliti aturan pakainya karena jika tidak digunakan dengan bijak malah akan membuat masalah baru seperti sesak napas atau ISPA. Kelemahan obat nyamuk bakar adalah baunya yang sangat menyengat yang menempel di tirai, selimut, atau seprei. Belum lagi resiko kebakaran jika tidak berhati-hati saat memakainya. 
3.  Mengoleskan lotion nyamuk. Cara ini kadang efektif kadang juga tidak. Kadang nyamuk masih saja masih menempel di kulit meskipun sudah dioleskan lotion. Ada isu jika lotion ini mengandung bahan karsinogenik jika sering dipakai. Saya pribadi kurang menyukai menggunakan lotion ini karena kadang kalau mengenai barang yang dipelitur atau berbahan plastik akan membuat bahan tersebut luntur warnanya. Saya juga kurang menyukai sensasinya yang seperti lengket di kulit sehingga malah membuat gerah. 
4. Menyemprotkan pestisida aerosol. Sebaiknya disemprotkan minimal 1 jam sebelum tidur pada ruangan tertutup. Tidak peduli entah seberapa aman klaim produsen pestisida aerosol ini saya rasa tetap harus berhati-hati saat menggunakannya. Beberapa produsen mengklaim sudah menggunakan bahan yang lebih ramah terhadap manusia dan biasanya itu dari bahan sintetik piretroid. Memang jenis bahan ini relatif lebih "aman" tetapi tetap tidak sepenuhnya aman. Bahan ini tetap berbahaya buat lebah, ikan, dan hewan peliharaan (coba lihat peringatan di dalam kemasannya). Gunakan seminimal mungkin. Sintetik piretroid adalah salah jenis pestisida yang sudah biasa digunakan oleh para petani saat memberantas hama di lahan pertanian. Coba lihat label kemasan pestisida ini pasti ada peirngatan untuk berhati-hati saat menggunakannya misalnya dengan mencuci tangan sehabis menyemprot atau menjauhkan dari jangkauan anak-anak.  

Bagaimana pun mencegah selalu lebih baik daripada mengobati. Apalagi sekarang biaya perawatan di fasilitas kesehatan semakin hari semakin mahal saja. Ayo semua cegah penyebaran nyamuk demam berdarah mulai detik ini juga. 

Friday, April 8, 2016

Dodol Ketan Warisan Kelezatan dari Generasi ke Generasi

Agak susah juga menemukan sebuah resep makanan yang diwariskan secara turun menurun dalam sebuah keluarga. Kalau tradisi keluarga saya yang masih sering diwariskan turun menurun dari era kakek nenek saya yang cukup lumayan sering dimasak oleh ibu saya adalah dodol ketan atau jenang ketan (bahasa Jawa). Pertama kali saya mengenal dodol ketan ini seingat saya sekitar tahun 80-an ketika kakek saya mengadakan upacara pernikahan anaknya (bibi saya). Seolah merupakan sebuah kewajiban yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan di desa ketika seseorang akan menyelenggarakan upacara pernikahan adalah membuat dodol ketan ini. Mungkin makna sebenarnya yang terkandung dalam makanan dodol ini adalah supaya calon mempelai lengket seperti halnya dodol yang memang lengket. Dodol ketan ini harus dibuat H-2 sebelum Manggulan (Jawa = hari I atau H upacara pernikahan) tujuannya supaya H-1 dodol sudah ready buat ater-ater (Jawa = dibagikan) untuk para tetangga, sanak saudara, dan kerabat serta hidangan buat para tamu undangan pada hari H dan H+1 atau Dheng (Jawa = hari terakhir pesta pernikahan). Adapun bahan-bahan dodol adalah beras ketan putih, kelapa tua, dan gula merah. Prosesnya dimulai
dengan mengupas kelapa hingga hanya tinggal dagingnya saja sedangkan airnya dibuang. Berikutnya adalah memarut daging kelapa. Meski sekarang sudah ada mesin parut kelapa tetapi biasanya masyarakat lebih suka menggunakan tenaga manusia daripada mesin itu. Alasan utama adalah santan yang akan dihasilkannya nanti lebih banyak jika dibandingkan dengan memakai mesin. Saya tidak tahu persis apakah itu benar atau tidak tetapi memang kalau saya amati ukuran partikel hasil parutan kelapa dengan menggunakan tangan jauh lebih halus daripada mesin. Karena biasanya jumlah kelapa yang harus diparut jumlahnya puluhan bahkan ratusan butir maka jumlah para pemarutnya bisa mencapai belasan orang. Mereka umumnya terdiri dari para tetangga (umumnya wanita) yang sedang rewang (Jawa: membantu) pihak yang sedang punya hajat pesta. Mereka masing-masing membawa alat parut sendiri yang terbuat dari kayu. Namun sebenarnya saya lebih melihat rewang sebagai sebuah wujud atau manifestasi semangat gotong royong dan kebersamaan yang masih hidup di lingkungan warga pedesaan. Kalau di kota setahu saya tradisi semacam itu sudah tidak ada lagi (kebetulan beberapa tahun saya sempat tinggal di Surabaya). Di kota sekarang ini orang lebih mengutamakan kepraktisan dengan memesan menyerahkan segala urusan tetek bengek pesta pernikahan termasuk hidangan kepada wedding organizer.


Usai proses pemarutan dilanjutkan dengan proses menghasilkan santan. Hasil parutan kelapa dicampur sedikit air kemudian diperas hingga apuh (Jawa = tuntas) selanjutnya disaring dengan kalo (Jawa = saringan dari bambu) supaya santan yang dihasilkan bersih. Semua santan lalu dimasukkan dalam dandang besar dan direbus dengan api kecil perlahan-lahan supaya jangan sampai cepat mendidih. Di atas santan itu akan muncul kepala santan yang harus segera dipindahkan pelan-pelan dengan irus (Jawa = sendok sayur tetapi lebih besar) ke dalam wajan besi yang sangat besar. Proses ini cukup memakan waktu hingga semua kepala santan tidak keluar lagi. Sisa air santan di dandang biasanya dibuang tetapi saya dulu saat masih kecil sering memanfaatkannya sebagai minuman yang dicampur gula. Rasanya manis gurih enak sekali. 

Berikutnya kepala santan di wajan direbus dengan api sedang dengan menggunakan kayu bakar.

Bersamaan dengan itu dimasukkan gula merah yang sudah diiris tipis-tipis supaya cepat larut dalam kepala santan. Tunggu hingga mendidih selanjutnya dimasukkan tepung ketan perlahan-lahan. Tepung ini berasal dari beras ketan yang telah disangrai sebelumnya kemudian digiling hingga halus. Poin penting di sini adalah butiran tepung ketan harus benar-benar halus karena kalau kasar nantinya akan mengganggu saat dikonsumsi. Orang jawa menyebutnya “pating klethis” (Jawa = serasa ada butiran-butiran keras). Agar kebersihan dan ukuran partikel seragam biasanya saat menuangkan tepung dibarengi dengan meletakkan ayakan halus di bawahnya. Ayakan digoyang-goyang perlahan hingga didapat tepung yang halus yang kemudian meluncur ke dalam kelapa santan di bawahnya. Sementara sisa tepung kasar di dalam ayakan bisa dibuang. Sembari memasukkan tepung harus dibarengi dengan proses pengadukan dengan menggunakan sutil (Jawa = semacam sendok yang biasanya untuk menggoreng) besar. Oleh sebab itu proses ini selalu melibatkan 2 orang, yang satu mengaduk yang biasanya dikerjakan para pria sementara satunya biasanya wanita menaburkan tepung ketan. Awalnya proses pengadukan berjalan enteng karena kandungan air dalam kepala santan masih tinggi namun lama kelamaan kandungan air ini akan semakin asat (Jawa = berkurang). Semakin
lama pengadukan akan terasa semakin berat. Kepala santan perlahan-lahan akan berubah menjadi minyak kelapa yang meletup-letup. Proses pengadukan juga harus dilakukan merata supaya tidak ada bagian dodol yang gosong. Setelah beberapa saat harus diuji apakah dodol sudah masak atau belum karena dodol yang terlalu muda akan lembek sehingga sulit mengeras jadinya sulit dipotong-potong sedangkan kalau terlalu tua akan cepat mengeras saat sudah dingin sehingga kalau dikonsumsi jadi kurang nikmat. Cara mengujinya dengan sampling sedikit dodol menggunakan entong (Jawa = sendok nasi) kemudian meletakkannya di atas selembar daun pisang. Cukup sedikit saja sampelnya supaya lekas dingin sehingga bisa cepat diketahui apakah dodol sudah siap diangkat atau belum. Begitu sudah matang langsung diangkat dan dimasukkan ke dalam panci-panci plastik pipih supaya lekas mendingin. Begitu sudah dingin maka dodol sudah siap dipotong-potong sesuai selera. Dodol ini disajikan dengan dibungkus plastik transparan sehingga ketika saat tangan
memegangnya tidak berlepotan minyak. Rasanya manis gurih dan mengenyangkan. 

 



Meski dodol ketan ini oleh masyarakat umumnya hanya dibuat saat jelang pesta pernikahan tetapi ibu saya secara rutin membuatnya setiap jelang lebaran saat hari terakhir puasa. Pada hari itu ibu saya sudah menyiapkan bahan-bahannya sejak pagi supaya sore hari tinggal memasaknya. Semua bahan kecuali

gula merah berasal dari tanah sendiri. Beras ketan berasal dari sawah sementara kelapa dipetik langsung dari pohonnya di pekarangan. Lepas maghrib bersamaan dengan berkumandangnya takbir barulah proses pembuatan dodol dimulai dibantu oleh saya dan kadang saudara-saudara saya. Biasanya lepas isyak baru selesai. Keesokan harinya sesudah shalat ied ibu saya langsung memotong dodol itu dan menghidangkannya di atas piring buat para tamu. Dodol ketan ibu saya ini sangat terkenal lezatnya sehingga para tamu yang datang selalu menanyakan dodol ibu saya ini jika belum terhidang di meja. Itulah tradisi yang masih terus berlangsung hingga kini yang masih dijaga kelestariannya oleh ibu saya dari generasi ke generasi. Dodol ketan, sebuah warisan kelezatan yang sarat dengan nilai kebersamaan namun penuh dengan kenangan.










Sumber foto: pribadi.

Thursday, April 7, 2016

Hati-hatilah dengan Petugas Parkir Larisso (Ambulu-Jember)!

Kejadian 3 tahun lampau terulang kembali pagi ini (7 April 2016). Ceritanya pagi tadi mengantar istri belanja ke supermarket Lariso di Ambulu (Jember). Selesai belanja saya menyerahkan karcis kepada petugas parkirnya tetapi yang saya dapat malah dia marah-marah sama saya karena saya memberikan pakai tangan kiri. Posisi dia ada di sebelah kiri saya dan dia berjongkok (tidak berdiri). Gimana saya mau kasih dengan tangan kanan? Saya pakai motor jadi tangan kanan pegang gas padahal itu motor kalau gasnya dilepas mati. Dia malah nyolot "dilepas juga kagak bakalan lari tuh motor". Dah kelihatan situasi memanas akhirnya saya cepat-cepat pergi. Ini bukan kali pertama saya diperlakukan seperti itu. Sebenarnya sejak berdirinya Lariso saya merupakan pelanggan setia Lariso karena selain harga murah juga barangnya lengkap. Akan tetapi pada sekitar bulan September 2013 dulu saya mengalami masalah dengan juru parkirnya. Dia minta uang sama saya padahal tertulis besar-besar di situ kalau parkir di situ gratis. Saya tolak eh dia ngeyel akhirnya masalahnya saya bawa ke SATPAM yang ada di situ tetapi SATPAMnya bukannya menengahi tetapi malah diam saja. Petugas parkirnya malah menghina saya "Mas belanja berapa sih kok parkir mau minta gratis?" Ya sudah daripada ribut-ribu terus akhirnya saya kasih duit ke petugas parkirnya. Waktu itu saya sempat laporkan lewat telepon ke CS-nya. Sejak itulah saya jadi jarang belanja di situ. Saya lebih suka belanja ke minimarket meski lebih mahal. Di minimarket pelayanannya jauh lebih baik dan saya kira pelayanan yang baik tidak bisa dinilai dengan uang. Apa gunanya hemat 1000 atau 5000 perak kalau yang didapat hanya sakit hati dan jengkel? Meski demikian saya masih belanja ke Lariso sesekali tapi itupun cuma atas dorongan istri saja. Kalau bukan karena istri saya ogah ke situ lagi.



Di rumah langsung saya telepon pihak Lariso melaporkan peristiwa tidak menyenangkan yang baru saja saya alami. Laporan saya diterima oleh bu Trik. Beliau mengatakan kasus semacam itu sering terjadi dan petugas parkirnya sering ditegur tetapi masalahnya petugas parkirnya sering tidak mengakui perbuatannya sehingga pihak manajemen Lariso tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya heran kan ada kamera CCTV? Masak sih tidak bisa melihat kelakukan petugas parkirnya? Selain itu maaf-maaf saja kok petugas-petugas parkirnya tampangnya kok kayak preman dan sombong-sombong semua? Baru jadi jukir saja sudah seperti itu? Gimana kalau orang-orang seperti itu seandainya jadi presiden? Saya tidak tahu bagaimana model perekrutan petugas parkir di situ. Seharusnya dipilih yang masih muda-muda dan pernah makan bangku sekolahan karena anak-anak muda jauh lebih mudah dididik daripada yang sudah tua-tua begitu. Mungkin parkir masih dianggap bukan sebagai salah satu bagian bentuk pelayanan yang penting buat pelanggan. Jadi tolonglah buat pihak Lariso masalah ini toh sudah berjalan bertahun-tahun dan terus menerus terjadi serta bukan cuma saya seorang yang mengalami. Banyak tetangga dan saudara-saudara saya yang mengalaminya. Jika pihak Lariso tidak segera memperbaiki mutu para petugas parkirnya tidak mungkin akan makin banyak orang yang malas berbelanja ke situ. Selama ini saya belanja kesitu bawaannya rasa was-was melulu takut diperlakukan dengan buruk oleh petugas parkirnya.

Tuesday, April 5, 2016

Perjuangan Mendapatkan Akses Internet di Desa

     Sebelum internet dengan mudahnya bisa diakses seperti sekarang ini bisa dibilang saya memiliki perjuangan sangat panjang untuk mendapatkan akses internet. Internet sudah saya kenal sejak tahun 1996 di kampus saya dulu. Waktu itu hanya para dosen yang memiliki akses internet. Jadi kalau pengen akses internet harus ke rumah para dosen dulu. Merepotkan sudah pasti karena para dosen adalah orang-orang yang super sibuk jadi kalau mau pakai internet mereka harus menunggu waktu luang mereka yang cuma sedikit. Waktu itu saya lihat para dosen mendapatkan akses internet dengan berlangganan melalui dialup PSTN. Jadi mereka langganan ISP semacam Radnet atau Centrin sedangkan untuk jaringannya menggunakan PSTN Telkom. Jadi biaya yang dibayarkan dobel, ada langganan ISP dan pulsa lokal Telkom. Tak lama kemudian perpustakaan kampus saya mendapatkan akses internet. Akan tetapi ya begitulah jumlah komputer tidak sebanding dengan jumlah mahasiswanya. Awalnya untuk ujicoba dikasih gratis tapi kemudian lama-kelamaan harus bayar per jam. Saya lupa biaya per jamnya, mungkin Rp 500. Itupun mesti rebutan booking dulu pagi-pagi di buku booking yang sudah disediakan. Yang menyebalkan adalah internetnya sering down. Akhirnya saya berinisiatif berlangganan internet sendiri di kontrakan. Untuk ISP awalnya saya menggunakan Globalnet (entah sekarang masih ada atau tidak ISP ini) sementara untuk jaringannya menggunakan kabel Telkom (pulsa lokal). Dengan modem Rockwell internal 56 kbps (masih analog berarti) saya mendapatkan speed rata-rata 30 kbps. Maklum waktu itu juga sebagian besar web masih didominasi teks. Saya belum melihat animasi kerlap-kerlip atau gambar-gambar HD. Warnet belum ada sama sekali. Berhubung saya harus membayar 2 tagihan, satu ke ISP dan satunya lagi ke Telkom saya merasa ribet dan berat. Sampai akhirnya ada promo Telkomnet Instant dengan 1 nomor sudah include biaya pulsa dan ISP. Tarifnya memang tidak murah. Seingat saya Rp 350/menit. Speed paling banter 50 kbps. Saya akali pakai konek diskonek. Jadi kalau halaman web sudah bisa dibaca cukup baik langsung saya save halamannya dan saya diskonek. Nanti saya baca-baca offline. 



     Beberapa tahun kemudian saya pulang kampung. Di desa tidak ada internet. Warnet adanya pun di pusat kota yang jauh sekali puluhan kilometer. Jadi terpaksa kalau butuh internet pagi-pagi saya berangkat ke warnet di pusat kota dengan membawa puluhan disket (floppy disk) buat save data terus dibaca di rumah. Kenapa pagi-pagi karena jika siang sedikit warnet sudah berjubel usernya sehingga lambat sekali. Begitulah rutinitas saya selama hampir 3 tahun. Tak lama kemudian sinyal Telkomsel hadir di desa saya sekitar tahun 2001. Meski sinyalnya masih lemah tetapi lumayan bisa buat telepon dan SMS. Untuk akses internet hanya tersedia opsi CSD di hape saya. CSD adalah layanan sebelum GPRS. Saya tidak tahu bagaimana menggunakan CSD ini untuk akses internet karena tiap kali saya on kan opsi ini tetap saja tidak
Kartu Halo dan IM2-ku
bisa digunakan untuk browsing di hape saya. Entah operatornya yang tidak support atau memang hapenya yang tidak bisa atau saya yang blo'on, saya tidak tahu pasti. Sampai kemudian munculah sinyal GPRS di hape saya setelah saya menggunakan hape yang tersedia opsi GPRS. Lemot sudah pasti tapi lumayanlah daripada ke warnet. Saya akses menggunakan hape Siemens M55 saya. Tak lama kemudian Telkomsel menawarkan kartu Halo dengan paket intenet Basic 3 GB/bulan unlimited dengan tarif Rp 125 ribu. Wah murahnya (kala itu!).. dan akhirnya saya pun berlangganan. Meski dengan embel-embel unlimited tetapi unlimited bodong artinya jika penggunaan data sudah melewati FUP (3GB) maka speed akan diturunkan menjadi 64 kbps. Saya pakai layanan Telkomsel ini hanya 2 bulanan. Bulan pertama hanya bisa akses di jam pocong (<6 pagi). Lewat jam 6 mampet deh alias tidak bisa digunakan untuk apapun. Oya untuk modemnya saya menggunakan Huawei E220 dan sinyal masih EDGE. Begitulah yang terjadi setiap hari yang lama-lama bikin saya frustrasi sehingga kuota 3 GB hanya bisa terpakai sekitar separuhnya dalam 1 bulan. Saya coba melanjutkan langganan ke bulan ke-2. Hasilnya malah total internet tidak bisa digunakan sama sekali. Kuota 3 GB nyaris utuh tidak terpakai karena memang tidak bisa dipakai. Saya sudah komplen lewat CS Telkomsel berkali-kali tetapi tidak banyak menolong. Akhirnya saya langsung datangi Grapari dengan tujuan minta berhenti berlangganan. Yang mengherankan saya berhenti berlangganan kok tidak boleh? Saya
Form pembatalan layanan internet Halo
cuma diperbolehkan menonaktifkan layanan internet basic saya tetapi langganan kartu Halo saya harus lanjut terus. Saya kesal sekali. Akhirnya tagihan tidak saya bayarkan . Saya tidak peduli di blacklist. Anehnya hingga bulan ke-5 tagihan datang terus ke alamat saya padahal seharusnya menurut aturannya jika pelanggan tidak membayar 2x berturut-turut maka otomatis akan dinonaktifkan. Saya sungguh sangat kecewa.


Agar saya tetap bisa mengakses internet saya beralih ke IM2 Indosat. Hasilnya 11 12 dengan Telkomsel. Lemot bukan main. Saya cuma bertahan 1 bulan. Berikutnya saya pakai XL Unlimited paket 2 GB/bulan (lagi-lagi unlimited bodong hehehe...).
XL internet
     Hasilnya lumayanlah tidak separah 2 operator yang saya sebut sebelumnya meski sinyal cuma dapat GPRS (belum EDGE). Saya pakai hampir 1 tahun. Bukan karena speednya yang joss (GPRS masak mau joss? haha) tetapi lebih karena stabil saja. Bayangkan speed mentok 60 kbps (GPRS) hingga kemudian saya terpaksa berhenti pakai XL. Penyebabnya karena mulai muncul sinyal XL EDGE. Jika sinyal EDGE ini muncul maka internet langsung diskonek (dc). Sampai akhirnya ada tawaran lebih menarik dari Tri. Meski masih EDGE internetnya paling kencang dibandingkan yang lain (jika sama-sama EDGE). Bisa tembus hingga 200 kbps tetapi juga tidak bertahan lama. Entah kenapa kemudian sinyal Tri sering timbul tenggelam padahal tadinya stabil. Saya sudah protes ke operatornya dan ditanggapi dengan baik. Bahkan sampai-sampai rombongan petugasnya datang ke rumah saya buat mengecek sinyal Tri langsung. Petugasnya berjanji nantinya sinyal akan diperbaiki tetapi janji tinggal janji. Sinyal Tri tetap buruk setelah itu.

     Sebenarnya sinyal sudah saya coba perbaiki dengan banyak cara mulai wajanbolic sampai USB cable extender tetapi tetap saja tidak ada yang memuaskan. Wajanbolic sinyal cuma nambah sedikit belum lagi rumah kelihatan jadi berantakan kalau ada wajan nampang depan rumah. Gara-gara itu pula modem saya Huawei E400 dicuri seorang anak dari luar. USB cable extender pertama saya coba buat sendiri hasilnya modem sering dc (mungkin karena terlalu panjang) lalu saya coba pendekkan hingga 2 meter namun masih tetap saja dc. Kemudian saya coba membeli USB extender yang tinggal pakai di internet (di J*knot kalau tidak salah) tetapi hasilnya sama saja alias sering dc. Saya menyerah dan terpaksa menggunakan sinyal seadanya.

     Lelah dengan GSM saya coba CDMA. Pertama saya menggunakan Mobi dari Mobile 8. Waktu itu saya membeli modem Mobi Pantech PX-500 (belum RUIM/masih inject) saat sedang promo. Sinyal bagus meski masih 1x (belum EVDO) dan speed stabil cuma agak mahal tarif internetnya menurut saya (saya lupa tarifnya). Akhirnya datanglah si Smart (belum Smartfren) dengan sinyal masih 1x dan saya pun membeli modem Venus (lupa seri berapa tetapi sudah EVDO) dan hampir 1 tahun saya menggunakan paket reguler Rp 49 ribu/bulan. Awalnya OK tapi lama kelamaan makin lemot sehingga saya tidak betah. Saya sempat beralih ke Flexi 1x tetapi hanya memakai paket harian. Terpaksa kemudian saya balik lagi ke GSM menggunakan IM3 time based. Memang masih GPRS tetapi lumayanlah sejam cuma Rp 2000 pakai pulsa khusus beli di konter.

     Waktu terus berjalan hingga kemudian sinyal operator GSM sudah HSDPA dan CDMA berganti EVDO. Sekarang tidak perlu pakai antena yagi atau USB cable extender semua sinyal operator sudah bagus dari 2-5 bar. Cuma kalau sinyal 4G belum tahu sudah ada atau belum karena tidak punya ponsel atau modem yang bisa mendeteksi sinyal 4G. Saya kemudian tidak fanatik pada 1 operator hingga sekarang. Kalau ada paket yang lebih murah saya akan beli dan paket lama saya tinggalkan. Dibandingkan beberapa tahun lalu tarif internet sekarang relatif sudah lebih murah. 1 GB bisa dijual di bawah Rp 20 ribu. Kalau beli yang kuotanya lebih besar sudah pasti perhitungan harga per GB-nya jauh lebih murah lagi. Semoga ke depan tarif internet bisa semakin murah.

Update: 19 September 2018.
Saat ini semua sinyal operator sudah LTE di kampung full bar kecuali Tri masih bertahan di HSPA+ entah sampai kapan.