Thursday, April 25, 2019

Pengalaman Menonton Premiere The Avangers: End Game (CGV)


     Sebenarnya sudah lama sekali istri mengajak nonton film di bioskop karena dia memang seumur hidup belum pernah nonton film di bioskop. Saya selalu menolaknya dengan alasan malas. Malas karena jarak bioskopnya jauh. Belum lagi gambaran harus antri beli tiket, macet di jalan, bla bla. Padahal dulu sewaktu masih SD saya adalah pecinta film-film bioskop walau cuma sekelas bioskop layar tancap MISBAR atau gerimis bubar. Minimal sebulan sekali di lapangan desa selalu muncul layar tancap ini. Biasanya H-1 sudah ada bende atau mobil yang berkeliling dari desa ke desa dengan menggunakan pengeras suara yang meninformasikan jadwal dan lokasi film. Harga karcisnya juga murah meriah karena nontonnya memang cuma di lapangan yang becek, banyak nyamuk, dan beratapkan langit. Yang nyebelin nonton layar tancap begini adalah jadwal tayangnya yang selalu molor dan sering banget film macet di tengah jalan cerita. Jadwal tayang jam 7 malam bisa molor jadi 9 malam sehingga film belum dimulai kadang saya sudah tertidur. Yang jelas layar tancap tidak ada jadwal siang atau pagi hari. Yang selalu rutin ditonton adalah film G 30 S/PKI karena gratis dan setiap warga seperti setengah diwajibkan menonton oleh rezim kala itu. Kalau nonton film di bioskop beneran cuma sesekali saja diajak sama om dekat rumah. Bioskopnya di tengah kota dan tentu saja menonton di bioskop beneran begini jauh lebih nyaman dibandingkan layar tancap MISBAR. Tak perlu khawatir kehujanan walaupun tempat duduknya cuma dari kayu dan berpendingin udara kipas angin. Filmnya tentu saja masih pakai teknologi analog dengan menggunakan roll film. Filmnya sih yang saya ingat adalah film-film aksi macam Saur Sepuh, Tutur Tinular, Rhoma Irama, dll. Kadang saat ini sesekali saya bernostalgia menontonnya di Youtube. Jangan mengharapkan gambar yang clink seperti era digital sekarang. Gambarnya ala-ala film dulu yang buram dan ada garis-garisnya yang khas. Inilah saya kira kendala terbesar mendigitilasisasi arsip-arsip video jaman dulu. 
     Sampai kemudian datanglah krisis ekonomi nasional dan mendadak semua bioskop mangkrak. Penyebabnya adalah ekonomi yang hancur, daya beli masyarakat melorot tajam, dan tentu saja banjirnya VCD bajakan. Waktu saya masih tinggal di Surabaya siapa yang tidak mengenal Siola? Tempat para PKL menjajakan aneka VCD bajakan ini (dan saya sendiri pernah membelinya). Di sini VCD bajakan dijajakan bak snack 500-an rupiah. Mau beli VCD dengan genre apapun tersedia termasuk film XXX. Bahkan penjualnya sendiri sering menawarkan film-film begituan. Selain itu persewaan VCD juga marak hingga ke pelosok desa. Dengan uang 2 ribu saja, orang bisa menyewa sebuah VCD dan menontonnya sepuas hati. Ini pun juga tak berjalan lama sampai kemudian VCD hancur lebur berkeping-keping (kayak kepingan VCD itu juga kali) diterjang internet berkecepatan tinggi. Banyak situs yang menyediakan file-file video film-film bajakan yang dengan sangat mudahnya didonlod (misal G****l). Bahkan film-film terbaru pun bisa langsung dinikmati GRATIS hanya dengan mendonlodnya! Biasanya film-film baru akan hadir dalam format CAM alias video hasil rekaman dari bioskop dengan kualitas rendah. Sebulan atau dua bulan berikutnya baru akan muncul video dengan format asli dengan gambar jauh lebih jernih. Sebagian orang saya pikir akan tetap bertahan dengan cara ini untuk menonton filmlayar lebar tetapi sebagian lagi sudah terbit kesadaran untuk menontonnya secara legal di bioskop dengan membeli tiket. Inilah yang kemudian membuat bisnis film dan bioskop hidup kembali. Apalagi belakangan ini banyak produsen film yang mulai menyadari kekuatan medsos sehingga jauh sebelum film dirilis mereka sudah mencoba menggaet banyak calon pemirsa dengan berbagai cara baik dengan undian berhadiah, tiket menonton gratis, kuis, nobar, dll. Saya kira inilah salah satu cara jitu menghidupkan kembali dunia perfilman nasional. 
     Walaupun demikian saya masih tetap tidak tertarik menonton film. Menurut saya menonton film hanya seperti membuang-buang waktu. Bahkan menonton sinetron atau film di TV pun saya sudah tidak pernah lagi sekarang. Di Youtube juga hanya sesekali menonton film-film lama dan itupun hanya beberapa menit. Akan tetapi tak apalah sesekali menuruti keinginan istri menonton film di bioskop. Awalnya istri mendonlod dulu aplikasi pemesanan tiket CGV ini. Untuk pilihan metode bayar sangat terbatas. Yang bisa kami pakai hanya transfer bank BRI dan itupun masih dikenai biaya tambahan Rp 5000. Untuk harga tiket menontonnya Rp 30ribu/seat. Sebaiknya pesan tiketnya langsung di depan ATM karena expired sangat cepat (mungkin 20 menit). Jadilah pagi tanggal 24 April kemarin kami berangkat ke CGV. Sesampainya di sana saya bingung mau ngapain. Ada mesin self ticketing tetapi saat barcode di hape saya scan ke scannernya cuma tat tut tat tut saja. Sama sekali tidak mau keluar tiket fisiknya. Langsung oleh petugasnya diajarin cara melakukan self ticketing. Caranya adalah dengan memasukkan kode dan passkeynya secara manual. Eh kirain saya kira mesinnya bisa bekerja otomatis cuma dengan scan barcode langsung keluar tiket fisiknya. Setelah tiket saya serahkan kepada penjaga pintu masuk kami pun menunggu sejenak di lorong sebelum akhirnya pintu masuk ruang untuk menonton dibuka. Hawanya adem banget dan kering. Ini yang bikin cepat haus dan pengen pipis mulu (hadeh..).  
e-ticket CGV
     Mengenai film The Avangers: EndGame ini secara umum cukup menarik. Sebenarnya jauh-jauh hari saya sudah mengetahuinya bahkan saya beli e-money ada gambarnya kapten Marvel lalu mangkok makan si kecil yang baru juga ada gambar tameng kapten Amerika. Di medsos juga berseliweran berbagai macam kuis dan info-infonya. Hanya saja entah mengapa sama sekali saya kok tidak tergerak untuk sekedar melihat teasernya di Youtube. Rupa-rupanya sudah akut banget kemalasan saya menonton film di bioskop. Kesan umum saya nan subyektif terhadap film ini:

1. Durasi filmnya lama banget. Tiga jam! Jadi saya sengaja pilih jadwal pagi 10.30 supaya masih ada kesempatan buat shalat Dhuhur walaupun pukul 13.15 saya sudah keluar. Jadi saya memang tidak menontonnya sampai benar-benar finish.

2. Jalan ceritanya sangat cepat. Ditinggal meleng dikit sudah langsung ketinggalan.
3. Dibandingkan mengikuti kisahnya saya lebih tertarik untuk mengamati teknik cinematografinya. Saya coba perhatikan sudut pengambilan gambarnya. Saya coba tebak-tebak kira-kira ini yang mana green screennya. Saya perhatikan juga teknik pencahayaannya. Saya juga sangat terkesan dengan tempo ceritanya yang bisa naik turun dengan cepat mempermainkan emosi penontonnya.  Maklum kadang-kadang saya juga membuat video walaupun cuma amatiran.
4. Thanos yang tidak “terlalu jahat”. Ya begitulah saya melihatnya. Thanos pada dasarnya sama dengan kita semua manusia yang memiliki nafsu yang berpotensi merusak semesta jika tak dikendalikan.
Demikianlah sekelumit kisah menonton The Avangers: End Game. Entah ini benar-benar end game atau masih ada sekuelnya lagi saya tak tahu.  Kalau istri saya bilang sih jika si Iron Man tak muncul lagi di film selanjutnya maka dia takkan menontonnya. Ketahuan kalau dia fans berat si Tony Stark itu.  Yang pasti moga-moga enggak sering-sering diajak nonton lagi. 


Tiket fisik CGV (maaf ngeblur)

Monday, April 22, 2019

Ketika Kampungku Menjadi Kampung "Indihome"


     Sekitar setahun belakangan ini ramai para tetangga, kerabat, dan kenalan di kampung memasang "Indihome". Awalnya ada salah satu kenalan yang mengajak saya untuk ikut pasang. Saya heran setahu saya kampungku belum tercover Indihome lantas bagaimana bisa mendapatkan layanan Indihome? Menurut sang kenalan ini dia punya koneksi "orang dalam" Telkom. Ah saya tidak mau ambil resiko. Untuk menyakinkan saya apakah kampungku sudah tercover maka saya tanya lewat twitter di @telkomcare dan dijelaskan jika kampungku memang belum tercover. Akhirnya beneran si kenalan ini pasang Indihome di rumahnya. Dia mengulur kabel sendiri yang lumayan jauh. Entah pakai uang sendiri atau dari TELKOM saya tak tahu. 
     Rupa-rupanya bukan cuma itu saja tetapi pada akhirnya koneksi Indihome ini kemudian dishare ala RT RW NET jaman dulu alias jasa tembak lewat sinyal wifi. Mudahnya dia mendirikan bisnis mini ISP. Jadilah kampung yang selama ini sunyi sinyal wifi mendadak jika disearch maka akan muncul banyak SSID. Satu sisi sih bagus buat pemerataan koneksi internet cuma satu yang bikin saya khawatir dengan semakin banyaknya sinyal wifi yang lalu lalang yaitu overlapping channel. Overlapping channel biasanya terjadi di daerah yang sudah padat sinyal wifi. Wifi itu ibarat sinyal radio jadi bagaimana rasanya jika dalam 1 channel radio yang sama ada beberapa stasiun yang sedang beroperasi? Pasti suara yang keluar akan bercampur aduk tidak jelas. Dulu mifi saya yang anteng di channel 5 sekarang kerap berubah-ubah terus channelnya karena tetangga depan belakang kanan kiri sudah memancarkan sinyal wifi semuanya. Sepertinya beberapa tahun lagi frekuensi wifi 2,5 GHz bakalan sudah tidak bisa dipakai lagi karena penuh. Terpaksa mungkin harus migrasi ke 5 GHz. Walaupun dua frekuensi itu adalah frekuensi publik semestinya pemerintah membuat regulasi agar pemancar sinyal wifi yang berdaya besar dengan jangkauan jauh segera ditertibkan supaya tidak mengganggu pengguna wifi lainnya. 
     Nah sampai kemudian munculah jasa pemasangan "Indihome" yang sudah tidak menggunakan tembak tembakan lagi tetapi langsung pakai kabel. Yang membuat saya merasa aneh adalah
1. Petugas TELKOM nya tidak berseragam. Padahal setahu saya petugas pemasangan Indihome akan menggunakan seragam.
2. Kabel dicantolkan di pohon-pohon/tiang listrik dan bukan di tiang telefon. Ini membuat saya merasa semakin aneh. Masak iya perusahaan sekelas TELKOM tidak bisa membuat tiang sendiri? Ini membuat pemandangan kabel di kampung jadi semakin semrawut. Sekarang bukan cuma kabel listrik saja tetapi ada pula kabel TV dan kabel "Indihome" ini.
    Berhubung semakin penasaran akhirnya saya kemudian menghubungi Telkomcare dan benar memang jika "Indihome" yang dipasang oleh warga kampung adalah Indihome abal-abal yang artinya bukan resmi dari TELKOM langsung tetapi RESELLING baik dengan "menembak" (lewat wifi) ataupun kabel. Hmm... sebenarnya ini juga bukan barang baru (istilahnya dulu RT RW net). Akan tetapi masalahnya para tetangga yang pasang "Indihome" ini kemudian masih menjual lagi koneksinya lewat wifi kepada anak-anak dan remaja di sekitarnya. Jadi internet yang sudah shared masih di share dan dishare lagi. Entahlah apakah tidak membuat internetnya jadi lemot? Karena menurut logika sederhana saya semakin banyak sebuah koneksi internet dishare maka otomatis kecepatannya akan merosot. Akan tetapi toh kenyataannya tetap saja anak-anak itu nyaman-nyaman saja menggunakan internet yang sudah dishare berkali-kali itu. Hmmm...
     Tarif internet seluler memang hitungannya per GB semakin lama semakin murah tetapi berhubung bagi pelanggan tuntutan konsumsi badwidthnya juga semakin banyak maka total biaya yang harus dikeluarkan jadi makin besar. Inilah yang membuat orang akhirnya tertarik menggunakan layanan "Indihome" ini. Walaupun menurut saya ada sebuah kelemahan mendasar yaitu jika koneksi ini tidak bisa dipakai di luar rumah. Ketika sedang berada di luar rumah maka orang terpaksa harus membeli paketan seluler lagi. Pengeluaran jadi dobel. Yang pasti bisnis ini adalah ancaman serius buat operator TV kabel karena dengan tarif yang tak terlalu jauh orang sudah bisa berinternetan unlimited sekaligus menonton IPTV. Bandingkan dengan operator TV kabel yang masih tetap bertahan dengan sinyal analog hingga hari ini. Namun ini juga ancaman yang tak bisa diremehkan buat TELKOM sendiri karena orang pasti akan lebih memilih membeli jasa ISP mini yang super murah meriah + unlimited ini dibandingkan dengan harus membeli resmi dari TELKOM yang tentu saja dengan harga jauh lebih mahal. Telkom memang sudah menerapkan FUP tetapi menurut saya itu juga tidak efektif dalam mencegah atau mengurangi maraknya reselling ini karena toh di lapangan bisnis ini tumbuh semakin subur. Seperti yang sudah-sudah mungkin TELKOM merasa terlalu "jumawa" takkan ada yang bisa meruntuhkan kedigdayaannya. Maklumlah perusahaan monopoli.
     Ternyata mini ISP "Indihome" ini menjual layanan atau paket seperti layaknya operator besar. Jadi ada paket yang hanya Rp 50 ribu/bulan, Rp 100 ribu/bulan, dan Rp 150 ribu/bulan. Ini saya upload screenshot Speedtest saat mencoba paket yang harganya Rp 150 ribu/bulan milik salah seorang sanak saudara
Terlihat kecepatan donlod dicekik sementara upload dibiarkan lepas bebas. Dari uji kecepatan ini juga tampak jika si mini ISP ini kemungkinan besar berlangganan paket Indihome asli yang termurah dengan kecepatan 10 mbps (mungkin dibagi dengan 3-4 pelanggan).  Dengan biaya langganan resmi dari Telkom hanya Rp 300ribu maka jika dishare kepada 4 orang pelanggan masing-masing dengan biaya langganan Rp 150 ribu/bulan maka masih bisa mendulang laba kotor sekitar Rp 300 ribuan/bulan. Sebuah bisnis yang lumayan prospektif mengingat kebutuhan koneksi internet semakin meningkat. Saya melihat anak-anak menggunakannya lebih banyak untuk bermain game OL. Jika dulu saya melihat anak-anak lebih banyak bermain bola di lapangan maka kini mereka hanya duduk seharian di beranda rumah main game bersama sahabat-sahabatnya.
     Kalau cuma sebatas untuk browsing itu bukan masalah tetapi jika digunakan untuk download baru terasa leletnya. Ini saya coba mendownload file ukuran 100 MB saja langsung gagal. Oya sekarang ada kenaikan tarif yang termurah Rp 50 rb sudah dinaikkan menjadi Rp 100 rb.
 

Mengapa Banyak Petani Tetap Miskin?


1. Luas lahan pertanian yang sering menyusut. Mungkin banyak orang menyalahkan mereka yang mengubah lahan pertaniannya menjadi toko atau perumahan tetapi tunggu dulu. Saya akan coba buat hitung-hitungan. Sebagai contoh harga 1 ha sawah rata-rata di tempat saya sekitar Rp 800 juta - 1 M saat ini (tergantung lokasinya).  Jika sawah ini berupa uang dan ditempatkan di bank dengan bunga katakanlah 10% saja per tahun maka si pemilik akan mendapatkan "gaji bersih" Rp 100 juta/tahun cuma dengan ongkang-ongkang kaki. Sekarang seandainya lahan seluas itu ditanami ini itu mampukah menghasilkan laba bersih minimal Rp 100 juta/tahun? Saya akan menjawabnya TIDAK! Dari sini terlihat memiliki lahan pertanian sama sekali tidak ada untungnya. Mending dijual dan uangnya digunakan untuk invest di sektor lain. Data terakhir yang saya dapat beberapa tahun lampau jika rata-rata luas lahan petani di Jawa hanya 0,2 ha dan sekarang mungkin sudah lebih kecil lagi. Dengan lahan segitu mereka mau tanam apa yang bisa memberikan cukup kehidupan? Akhirnya mereka "dipaksa" menanam komoditas-komoditas yang "menggiurkan" seperti CMB, melon, tembakau, dll yang modalnya juga gede dan resikonya juga tidak kecil. Di Indonesia sebagian besar petaninya adalah petani penggarap (peasant) dan bukan petani betulan (farmer). Mereka menyewa lahan dengan harga selangit. Contoh di tempat saya harga sewa lahan sudah mencapai Rp 30 juta/tahun dan sepertinya akan selalu terus naik. Mungkin ada yang berpikir di luar Jawa kan masih banyak lahan kosong bla bla... Tidak semua wilayah Indonesia subur dan cocok untuk pertanian horti. Yang jelas-jelas subur sudah pasti Jawa dan Sumatera karena banyak gunung berapi aktif. Infra pengairan seperti saluran irigasi teknis juga sudah tertata dengan baik. Beberapa saudara saya yang notabene adalah petani menganggap bahwa keadaan di luar Jawa sama saja dengan di Jawa. Mereka berpikir jika merantau nanti akan memulai hidup sebagai petani sama seperti di Jawa. Kenyataannya begitu mereka merantau beneran dan memulai bertani di luar Jawa ternyata memang jauh lebih sulit. Akhirnya mereka pun banting setir menjadi pedagang, sopir, atau yang lainnya.
2. Petani tidak pernah membuat AKU (Analisis Kelayakan Usaha). Waktu saya tanya mengapa para petani tidak pernah membuat AKU? Mereka menjawab jika membuat AKU maka usaha mereka akan ketahuan merugi atau hanya menghasilkan laba yang kecil. Memang sudah bukan rahasia lagi jika hanya segelintir komoditas pertanian yang bisa memberikan keuntungan yang memadai. Kebanyakan usaha pertanian ya begitulah, sudah pasti rugi! Contoh kedelai dan kacang tanah siapa yang mau tanam? Karena jika tanam sudah dipastikan akan merugi. Bukan berarti kedua tanaman itu lantas tidak pernah dibudidayakan tetapi biasanya di lahan mangkrak dengan perawatan seadanya untuk sekedar dikonsumsi sendiri atau mungkin kalau kepepet dijual juga. Yang lucu jika seorang petani membuat AKU maka tenaga kerja dari keluarga sendiri tidak disertakan atau dihitung alias GRATIS! Padahal walaupun tenaga kerja dari keluarga sendiri kan semestinya masuk dalam perhitungan AKU karena memang bukan siluman atau tuyul yang tidak kelihatan? Saya berpikir bertani mirip perbudakan modern. Banyak pekerjanya yang tidak mendapat bayaran hanya karena mereka keluarga sendiri (termasuk saya juga nih budaknya selama bertahun-tahun). Jadi bagi anda yang sedang menikmati produk-produk pertanian ketahuilah bahwa bisa saja sebagian produk yang anda konsumsi itu berasal dari perbudakan modern. Pertanian akan selalu identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Itulah mengapa para petani SELALU menginginkan anak-anaknya tidak menjadi petani juga (termasuk saya sendiri). Para remaja sekarang juga semakin tidak tertarik bertani. Mereka lebih suka bekerja menjadi buruh pabrik di kota dan memang benar mereka memang lebih sejahtera. Buruh pabrik masih mendapatkan perlindungan BPJS TK dan fasilitas ini itu sementara buruh tani?! Sampai kiamat juga tidak akan pernah!
3. Tidak bisa melakukan efisiensi. Ketika seorang petani sedang membutuhkan saprotan lalu berangkat ke toko pertanian maka dia hanya tahu bahwa dia akan membeli benih, pestisida, dan atau pupuk. Mengenai merek atau harganya itu nanti urusan ketika sudah tiba di toko. Walhasil jadilah si pemilik toko menjadi teman diskusi dan seperti pengalaman saya berkali kali dulu merek-merek yang direkomendasikan oleh si penjual adalah merek-merek yang cuma menguntungkan dari kacamata mereka dan bukan dari sisi petani. Tak jarang rekomendasinya ngawur sehingga petani yang akhirnya menuai petaka. Memang tidak semua penjual saprotan demikian tetapi kebanyakan begitulah. Jangankan usaha pertanian yang kebanyakan gurem, perusahaan besar non pertanian yang tidak bisa melakukan efisiensi juga cepat atau lambat akan runtuh.
     Inefisiensi juga terjadi di bagian tenaga kerja. Dalam satu luasan lahan yang semestinya cukup dikerjakan 3 orang misalnya tetapi kenyataannya jumlah yang bekerja bisa sampai 6 orang. Bahkan ada yang menggunakan pekerja bukan sebagai teman bekerja tetapi teman mengobrol seperti bapak saya. Contoh jelang sarapan pagi pukul 7 bapak dan teman kerjanya sudah mulai merokok (+ mengobrol pastinya). Sekali merokok paling tidak memerlukan waktu 10 menit. Setelah itu mereka makan pagi katakanlah 10 menit. Habis sarapan nyalain rokok lagi butuh 10-15 menit lagi dengan alasan perut masih penuh. Total hanya untuk makan pagi saja memerlukan waktu 30 menitan! Belum lagi tiap setengah jam bekerja selalu berhenti untuk merokok.
     Contoh lain saat icir benih jagung. Selama ini icir jagung selalu makan banyak sekali tenaga kerja. Persoalannya mereka sering tidak disiplin. Jadi kadang maunya cepat selesai saja. Akhirnya jarak tanam sering tidak konsisten. Padahal ada mesin planter jagung yang harganya bervariasi mulai dari murah sampai mahal yang bisa bekerja jauh lebih cepat dan konsisten. Yang termurah saya lihat sekitar Rp 600 ribu. Masak iya sudah puluhan tahun bertanam jagung beli mesin planter dengan harga segitu masih tidak bisa? Makanya jangan heran walaupun petani kita ada yang kaya, banyak mobil dan punya rumah yang bagus tetapi saat di lahan ya tetap saja masih pakai cangkul. Usaha pertanian cuma jadi sapi perahan untuk memenuhi nafsu hedon mereka. Kalau begini kapan mau majunya? Padahal mencari tenaga kerja yang mau bekerja di sektor pertanian di jaman ini semakin sulit saja. Posisi tawar calon buruh pertanian jauh lebih tinggi dibandingkan majikannya saat ini. Mereka bisa masuk keluar semaunya. Contoh para pekerja yang bekerja di lahan bapak saya tiap musim tanam tak pernah ada yang sama. Malah ada yang baru kerja sepekan langsung keluar. Kadang penyebab mereka keluar juga tak jelas. Biasanya sih bapak memvonis mereka itu malas padahal saya tidak melihatnya demikian tetapi lebih karena memang dunia pertanian semakin tidak menarik. Pertanian hanyalah ban serep ketika seseorang bekerja di sektor lain mengalami kegagalan. Tak jarang bapak harus mengambali calon pekerja dari tempat yang sangat jauh bahkan hingga keluar kabupaten. Akhirnya bapak harus menyediakan pemondokan atau ongkos transportasi yang ini berarti akan menambah beban biaya.
     Slogan kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah yang lazim ada di dunia birokrasi tak jarang juga diadopsi petani. Ketika ada sebuah proses yang jauh lebih mudah dan hemat biaya sementara di sisi lain ada proses yang sama tetapi lebih sulit dan lebih boros biaya, biasanya petani malah akan memilih yang kedua. Memang aneh tetapi inilah kenyataan! Contoh orang tua saya sendiri memiliki prinsip bahwa semakin besar biayanya maka secara otomatis hasilnya juga akan semakin besar. Benarkah? Padahal hasil panen adalah komponen yang sama sekali tidak bisa dikendalikan. Belum tentu jika biaya dimaksimalkan maka hasil akan juga mengikutinya. 
4. Tidak bisa belajar dari kesalahan atau cenderung mengulang ulang kesalahan yang sama terus menerus. Banyak petani tidak bisa belajar dari kesalahannya. Contoh serangan hama wereng di musim ini adalah sebuah gambaran nyata akan hal itu. Setiap tahun sebenarnya serangan wereng selalu ada dengan berbagai intensitas tetapi sayangnya para petani terus mengabaikannya sehingga wajar jika tahun ini dikejutkan dengan ledakan serangan masif wereng. Contoh lain pemupukan urea pada padi yang selalu berlebihan sehingga membuat padi menjadi rentang serangan hama penyakit. Sebuah kesalahan yang terus menerus diwariskan dari generasi ke generasi entah sampai kapan. Begitu pula misalnya varietas padi Logawa yang sudah bertahun-tahun selalu dihindari pedagang tetapi kenyataannya masih ada saja petani yang menanamnya sampai sekarang (termasuk orang tua saya sendiri). Dulu mereka pernah menanam varietas ini dan ditolak pedagang tetapi eh sekarang masih saja tanam dan tanam lagi. Inilah yang saya sebut sebagai tak pernah belajar dari kesalahan. Mereka akan terus jatuh ke lubang yang sama. Tidak ada learning process. Selalu mulai dari nol lagi. Tidak ada bedanya antara yang petani yang sudah bertani 40 tahun dan 4 tahun.
5. Musim yang semakin tidak menentu. Kalau yang ini sih sudah bukan hal baru lagi. Kemarau turun hujan deras sedangkan musim hujan malah kering kerontang. Kalau sudah begini siapapun pasti akan bingung menyikapinya. Sebenarnya kesalahan ini bisa dikurangi dengan selalu memantau BMKG. Contohnya tahun 2016 lalu di awal kemarau BMKG memprediksikan akan terjadi kemarau basah. Spontan saya memutuskan tidak menanam tembakau pada tahun itu dan benar mutu tembakau hancur karena hujan terus menerus. Seharusnya BMKG menjadi sahabat setia para petani tetapi kenyataannya mereka justru menyepelekannya dengan alasan tidak masuk akal, tidak percaya, dll. Begitu gagal mereka cuma bisa menyalahkan Tuhan.
6. Beban bunga bank yang tinggi. Siapa bilang beban bunga bank untuk sektor pertanian lebih rendah?? Jika seorang pedagang meminjam kredit di bank maka sejak bulan pertama dia sudah bisa mengangsur tetapi petani harus menunggu panen paling tidak 3 bulan mendatang. Selama 3 bulan itu bunga bank akan terus beranak pinak bercucu cicit. Itupun masih belum dipotong biaya ini itu seperti provisi, asuransi, dll. Padahal mana ada petani yang tidak meminjam uang di bank?!  
7. Pendapatan adalah laba. Nah ini adalah sebuah kesalahan fatal. Setiap panen petani selalu menganggap bahwa semua pendapatan yang diperoleh adalah laba padahal pendapatan bukanlah laba karena masih harus dipotong biaya produksi dan pajak. Karena berpikiran pendapatan adalah laba maka akhirnya petani jadi lepas kendali. Dia menggunakan semua pendapatannya itu untuk konsumsi. Contoh saat musim panen tembakau tiba, semua dealer motor dan mobil di sini selalu kehabisan motor/mobil. Yang mau beli harus inden lumayan lama. Standar hidup pun langsung dinaikkan seketika. Tancap gas pol hingga akhirnya nyungsep deh. Begitu awal musim tanam tiba, dia kembali antri di bank mencari kredit lagi dengan bunga yang tentu tidak kecil atau menyuruh istrinya pergi ke luar negeri menjadi TKW. Coba lihat bulan-bulan Maret - Mei ketika musim tanam telah tiba, bank penuh dengan para petani yang sedang mengajukan pinjaman. Atau motor baru yang mereka beli di musim panen lalu terpaksa dijual dengan kerugian yang signifikan. Begitu pola ini jalan terus berulang ulang. Semuanya hanya demi memenuhi nafsu gengsi semata. Kapan majunya kalau begini terus??
8. Tata niaga yang tidak pernah berpihak kepada petani. Sudah bukan rahasia lagilah kalau ini. Coba berapa persen kontribusi harga petani pada harga akhir konsumen? Kecil sekali! Markup harga kebanyakan terjadi di bagian distribusi atau pedagang. Para pedagang inilah yang sesungguhnya menikmati keringat para petani selama ini. Mereka bisa menaik turunkan harga semaunya. Coba lihat mana ada pedagang hasil bumi yang miskin atau bangkrut? Kalau di tempat saya setahu saya tidak ada sama sekali! Sementara petani miskin? Banyak! Kalau dipikir aneh juga, semua biaya produksi adalah pasti seperti harga benih, pupuk, dan pestisida namun harga jual sangat tidak pasti bahkan kadang tidak laku. Sungguh sebuah bisnis yang tak adil!
9. Tidak ada yang butuh petani! Mungkin terdengar kasar dan sembarangan tetapi kenyataannya memang demikianlah. Seandainya seluruh petani di negara ini berhenti menanam maka pemerintah akan masih tetap bisa melakukan impor produk-produk pertanian dari negara lain hingga akhir jaman. Produk-produk pertanian dari luar negeri biasanya memiliki harga lebih rendah karena mereka sudah diproduksi dengan manajemen yang baik dan efisien. Lihat Singapura tidak memiliki lahan pertanian tetapi penduduknya bisa makan juga dan tak pernah kekurangan makan. Makanan mereka jelas berasal dari negara tetangga seperti  Indonesia atau Malaysia.
10. Terlalu perfeksionis. Kalau menurut saya bertani tidak perlu sesempurna seperti sedang memahat patung atau melukis dimana tidak boleh ada kesalahan dalam detilnya. Jika terlalu perfeksionis maka akan ada satu yang sudah pasti dikorbankan yaitu timing. Akibatnya tanam telat atau panen telat dan ini bisa fatal sekali. Perfeksionis juga membuat biaya menjadi bengkak. Anehnya banyak petani masih menganggap bertani harus sangat sempurna dalam segalanya. 
Contoh yang sempurna adalah orang tua saya sendiri. Setiap awal musim tanam ortu selalu berusaha agar setiap detil pekerjaan berjalan dengan sempurna. Akhirnya lalai dengan serangan hama dan penyakit. Tahu-tahu serangannya sudah meluas dan sulit dikendalikan. Hingga detik ini beliau masih belum bisa menyadari kesalahan yang satu ini. Bagi saya kalau hasilnya cuma 11 12 saya lebih memilih hasil 11 dengan biaya lebih rendah dibandingkan 12 dengan biaya sangat tinggi. Selisih biayanya bisa sangat signifikan sementara beda hasilnya tak terlalu banyak. 
11. Banyak bicara banyak kerja. Sebenarnya ini bagus cuma akan lebih baik lagi jika energi yang digunakan untuk bicara dialihkan untuk bekerja yang lebih produktif.

Menjadi petani berarti harus siap miskin, bodoh, dan terbelakang. Buat kaum milenial berpikirlah sejuta kali sebelum mengambil profesi ini. 

















Friday, April 19, 2019

Blaupunkt Sonindo X1+: Smartphone Gagal


Akhirnya perjalanan saya selama hampir 3 tahun bersama Blaupunkt Sonindo tercinta harus berakhir. Sebenarnya setahun belakangan ini sudah sakit-sakitan dan saya tahu rupa-rupanya memang usianya sudah tak lama lagi. Waktu dapat hape ini 3 tahun lalu senang sekali karena yang membuat saya terpesona adalah bentuknya yang tipis dan sangat ringan. Hape ini juga kuat walaupun sudah berkali-kali dijatuhkan oleh si kecil tetapi tidak langsung rusak.
Nah apa yang tidak saya sukai dari hape ini:
1. Kapasitas memori internalnya sangat kecil. Cuma 2 GB. Akibatnya tidak bisa digunakan untuk menginstall terlalu banyak aplikasi dan saya merasa ini adalah kefatalan utama produk ini. Kalau aplikasinya mau diinstall di SDcard sih tak masalah tetapi bagaimana jika tidak? Ini adalah faktor utama yang membuat harganya terjun bebas dulu. 
2. Banyak aplikasi sering forced close contoh Instagram. Ini ngeselin banget. Sudah buat instastory yang bagus eh pas upload forced close. Terpaksa mulai buat lagi dari awal. Kadang 2-3x buat baru bisa upload instastory.
3Video sering bermasalah warnanya di Instagram. Kadang muncul garis-garis warna hijau atau biru di dalam video yang muncul setelah diupload. Sebuah cacat yang belum pernah saya jumpai di hape merek lainnya. Akibatnya saya selalu was-was jika upload video di Instagram.
4. Microphone gampang rusak. Yang terakhir entah bagaimana tiba-tiba saat menelepon orang di seberang selalu bilang jika suara saya kecil walaupun saya sudah berteriak dan mendekatkan mic ke mulut. Saya coba bersihkan di dalam mic hasilnya nol. Mic tetap saja rusak.
5. Tombol power rapuh. Entah bagaimana akhirnya tombol patah dan tidak bisa digunakan sehingga saya kemudian menggunakan ujung gunting untuk menyalakan atau mematikan hape.
6. Kamera depan kurang bagus menghasilkan gambar khususnya di tempat yang agak minim cahaya.
7. Layar mudah rusak. Entah bagaimana awalnya mendadak keluar garis-garis putih di bagian bawah layar. Garis-garis vertikal ini kemudian menyebar hingga menutupi 70% permukaan hape. Pada akhirnya garis-garis putih di bawah ini kemudian berubah menjadi gelap total (blank). 
8. Wifi kurang peka terhadap sinyal dan kadang entah bagaimana sinyalnya muncul hilang muncul hilang terus padahal di hape merek lain normal-normal saja. Apalagi kalau buat upload duh ampun deh.
9. Dan tentu saja belum support 4G.
10. Kabel chargernya mudah rusak. 
11. Sensor GPS rusak. 
12. Yang terakhir nih layar koit. Touchscreen juga ikut mampus sehingga hape tidak bisa dioperasikan dengan cara apapun juga. 


Rona-rona PEMILU 2019 Di Kampungku


1. Politik uang. Pagi hari saat hari pemilihan ada yang bercerita jika malam sebelumnya ada yang bagi-bagi uang di kampung bagian selatan. Per orang mendapat Rp 100 ribu. Pelakunya adalah salah satu Caleg yang notabene putra salah satu konglomerat di sini. Politik uang sampai kapanpun akan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari demokrasi kita.  Sulit menangkap para pelaku politik uang ini karena "semua sudah sama-sama tahu dan sama-sama butuh". Siapa yang enggak butuh uang dan gak doyan?!
2. TPS telat buka. Sesuai aturan seharusnya TPS sudah harus buka pukul 7 tetapi ternyata pukul 7.45 baru beroperasi. Orang-orang yang berangkat pagi-pagi kecele dan balik lagi. Penyebabnya terjadi ada keributan di antara anggota KPPS. Kucuran dana PEMILU hingga jauh ke bawah ibarat gula bagi banyak semut. Banyak yang mencoba mengakali agar tidak banyak keluar dana dan menggunakan sisanya untuk kepentingan pribadi. Kisahnya nih istri saya menjadi anggota KPPS di dekat rumah. Agar lebih semangat jauh-jauh hari istri dan teman-temannya berencana membuat kaos seragam khusus yang digunakan di hari pemilihan. Mereka kemudian meminta ijin kepada ketua KPPSnya. Berkali-kali meminta ijin ditolak terus dengan alasan tidak ada dana. Akhirnya mereka berinisiatif memesan kaos dengan biaya sendiri. Nah di hari pemilihan si ketua murka melihat anak buahnya memakai kaos seragam tanpa seijinnya. Muncullah ketegangan di antara mereka. Inilah yang kemudian memakan waktu yang menyebabkan jam buka TPS molor.  Memang si ketua ini terkenal sebagai orang yang otoriter.
3. Perhitungan suara hingga dini hari. PEMILU yang menggabungkan PILEG dan PILPRES membuat beban menghitung menjadi banyak sekali. TPS di sini baru selesai menghitung pukul 23.30 dan bahkan ada yang sampai subuh. Saat tengah malam pun dalam kondisi sangat kelelahan mereka masih harus mengantar kotak suara ke balai desa. Wajar jika di sejumlah media banyak petugas yang meninggal. 
     Hingga hari ini (tanggal 27 April 2019) yang meninggal sudah 200 orang lebih. Ini belum lagi yang jatuh sakit konon sudah mencapai ribuan petugas. Kalau data ini benar maka saya kira ini adalah PEMILU terburuk karena korbannya sedemikian banyak. Bahkan jauh lebih buruk dibandingkan kecelakaan pesawat Lion Air tahun lalu. Satu kesan saya = KPU amatiran! Apakah sebelumnya tidak ada simulasi beban kerja? Orang-orang yang tidak pernah lembur mendadak harus kerja hampir 24 jam non stop? Gilakah? Ibarat orang awam yang tidak pernah berolahraga langsung disuruh ikut lomba Boston Marathon dan diharuskan finish dibawah COT. Wajar jika jantung mereka jadi kelelahan sekali. Coba tanya dokter mana saja deh pasti demikianlah jawabannya.
     Istri saya berangkat pukul 6.30 pulang sudah 23.30 non stop. Hanya berhenti 2x kali selama beberapa menit sekedar buat shalat. Makan? Mana sempat! Akhirnya dia cuma makan pisang seharian yang sebenarnya pisang ini diperuntukkan bagi pemilih. Pisang itupun sumbangan dari orang. Untung ada pisang, coba kalau enggak ada? Bisa makan angin seharian sembari mereka duduk di bawah terpal yang panas.  Budak aja masih dikasih makan lah ini? Sungguh kurang manusiawi. Padahal jauh-jauh hari juga istri masih harus ikut BIMTEK di balai desa dan selalu pulang larut malam (kadang sampai jam 23.00 sementara start usai maghrib). KPU jangan hanya asal bisa kasih uang sekian buat operasional TPS lantas asal tahu beres semuanya.  Kalau sudah begini? Nasi sudah jadi bubur dan seharusnya pejabat KPU harus bertanggung jawab! Entah berupa sanksi administrasi sampai pemecatan harus mereka terima sebagai konsekuensinya. Tidak cukup hanya kasih santunan buat mereka yang sudah meninggal.  Terlalu mahal jika nyawa orang sampai dikorbankan hanya buat sebuah PEMILU.

4. Banyak pemilih yang mengeluhkan sulitnya atau tepatnya ruwetnya mencoblos pada PEMILU kali ini. Bahkan ada yang salah memasukkan ke dalam kotak suara.  Ada yang berdiri lama sekali di dalam tempat pencoblosan. Ada yang salah melipat. Ada yang mencoblos surat hingga tembus ke depan (cover). Ada yang tidak tahu cara mendapatkan form A5. Ada saksi yang mangkir. 
5, Meremehkan Quick Count. Sebenarnya QC ataupun Exit Poll itu hanyalah metode pengumpulan data. Semua bisa dimanipulasi. Keduanya bisa menunjukkan hasil yang sama atau berbeda tergantung cara pakainya. Ada teman yang terkesan menganggap jika QC itu hanyalah penggiringan opini bla bla. Ya bisa saja sih. Statistik itu hanyalah alat seperti pisau. Mau dibuat mengiris apel atau menggorok leher semuanya bisa. Cuma logikanya saja jika itu manipulasi kok mengapa dari sekian lembaga survey menunjukkan hasil QC yang mirip? Mungkin ada yang bilang itu kan cuma pakai sampel. Walaupun sampel bukan berarti dirancang sembarangan. Jika metode sampling yang digunakan adalah acak atau random maka harus benar-benar mengikuti kaidah random. Mungkin ada yang berpikir jika random = acak-acakan atau ngasal padahal random juga ada aturannya. Kalau dalam ilmu statistik ada yang namanya stochastic process yang menentukan kerandoman ini.  Yah apapun hasilnya itu yang penting kita lihat hasil akhir perhitungan suara dari KPU.

Sunday, April 14, 2019

BPJS Sekarang Memiliki Debt Collector?


     Beberapa hari lalu di suatu sore mendadak ada orang tak dikenal datang ke rumah. Setelah basa basi dia mengatakan jika dia adalah petugas BPJS yang ingin melakukan penagihan. Saya agak kaget juga karena baru tahu jika sekarang BPJS sudah memiliki debt collector. Jujur saya memang menunggak tetapi bukan tanpa alasan. Kasus terakhir yang saya alami benar-benar membuat saya bertekad untuk tidak membayar iuran lagi hingga pelayanan dari faskes yang bekerja sama dengan BPJS membaik. Masalah yang mendera BPJS sekarang memang kompleks. Sebenarnya sih program JKN ini adalah sebuah program yang bagus tetapi sayangnya saya melihat para pelakunya baik BPJS, faskes, dan pemerintah sama sekali tidak siap. Tujuan utama program ini salah satunya adalah mengurangi penumpukan pasien di RS dengan mengoptimalkan pelayanan di tingkat dasar yaitu faskes pertama berupa Puskesmas, klinik, atau dokkel. Di sini sudah muncul masalah. Masalah sudah jelas yaitu penumpukan pasien di Puskesmas padahal fungsi Puskesmas bukan cuma buat kuratif tetapi juga edukatif. Jam kerja Puskesmas sangat pendek (biasanya 8-11). Saya pernah datang jam 11 dokternya sudah enggak ada. Alasannya sedang rapat. Akibatnya saya diperiksa oleh perawat. Sebenarnya bukan masalah diperiksa perawat cuma itu kan seharusnya sudah menjadi tugas dokter di situ. Dokter dan perawat jelas beda kompetensi.
     Mungkin ada yang bilang kalau enggak puas ya pindah faskes saja. Pindah sih mudah tetapi pilihannya tidak banyak. Contohnya sekarang di tempat saya ada 6 buah klinik Pratama tetapi tak ada satu pun yang mau bekerja sama dengan BPJS. Dulu ada satu klinik dekat rumah yang mau bekerja sama dan saya pun buru-buru pindah kesitu tetapi sayang cuma bertahan setahun. Konon katanya si pemilik klinik sudah tidak kuat menghadapi tingginya klaim peserta yang tidak seimbang dengan pemasukan berupa kapitasi dari BPJS. Akhirnya saya balik lagi ke Puskesmas dan mutu pelayanan Puskesmas dimana-mana selalu di bawah klinik. Logikanya kita disuruh membayar iuran seumur hidup hanya untuk menikmati layanan kesehatan Puskesmas yang tidak bagus. Masuk akalkah?? Padahal menjadi pasien umum di Puskesmas malah lebih enak karena tidak perlu membayar iuran dan sudah bisa menikmati fasilitas sama dengan para peserta JKN.
     Begitu pula profesionalisme dokter di Puskesmas sangat kurang jika dibandingkan dengan dokter di RS atau praktek pribadi. Pernah suatu kali mata terasa kabur yang sepertinya ada gejala miopi atau rabun jauh. Akhirnya saya pun langsung ke Puskesmas dan oleh dokternya cuma dikasih Metampiron. Saya bingung apa kaitannya rabun jauh dengan Metampiron? Memang obat ini bisa menyembuhkan rabun jauh atau apa sebenarnya? Kok enggak nyambung rasanya. Mengapa tidak segera dirujuk ke dokter mata saja? Ataukah prosedurnya memang harus demikian? Akhirnya obat tidak saya minum.  Lagian saya tidak suka dikit-dikit harus selalu minum obat. Pernah juga saya mengeluh sesak napas dan si dokter menganggap saya kena asma. Dikasih deh Salbutamol. Padahal saya sama sekali tidak memiliki riwayat penyakit asma. Saya lebih merasa sebagai gejala asam lambung yang sedang naik. Saya pun coba minum sebutir Salbutamol itu dan hasilnya jatung berdetak sangat kencang kayak mau copot saja. Sorenya saya langsung datang ke klinik dan oleh dokternya dikatakan jika seseorang yang sedang tidak menderita asma diberikan obat asma maka jantungnya akan berdebar-debar. Nah lho?! Hingga sekarang saya sudah tak pernah percaya dengan dokter Puskesmas lagi. Daripada ntar cuma jadi kelinci percobaan obat-obatan.
     Malah yang terakhir ini terdengar desas desus bahwa pasien JKN sudah tidak bisa melakukan full klaim lagi. Artinya saat mendapatkan perawatan mereka masih harus membayar biaya tambahan lagi dengan persentase tertentu. Ini akan menambah masalah baru bagi program JKN ini.
OK saya akan mencoba mengkaji sedikit permasalan apa saja yang tengah mendera BPJS saat ini. Ingat bahwa ini hanyalah berdasarkan pendapat subyektif saya sendiri  jadi tidak soal jika anda memiliki pendapat yang berbeda.
1. Rendahnya porsi APBN untuk sektor kesehatan. Kalau tidak salah persentasenya tidak sampai 5%. Dengan anggaran sekecil ini tentu wajar sekali jika BPJS akan mengalami kesulitan dalam menjalankan tanggung jawabnya.
2. Upaya preventif tidak jalan. BPJS memang hanya berfokus pada upaya-upaya kuratif. Sebenarnya tidak peduli mau sebesar berapapun anggaran untuk kesehatan jika hanya mengandalkan kuratif maka akan jebol. Jangankan 5%, seandainya 80% APBN dialokasikan buat BPJS semata maka akan tetap jebol juga. Sementara itu upaya preventif selama ini diemban oleh Puskesmas tetapi apakah sudah benar-benar jalan dan berhasil?  Sebagai contoh penyakit kardiovaskular sebagai penyebab kematian tertinggi yang diakibatkan oleh gaya hidup masa kini (junkfood, sedentary, merokok, dll) masih saja tetap tinggi. Bisnis junkfood semakin menggurita. Banyak layanan masa kini yang semakin membuat kita malas bergerak. Para perokok juga tetap bebas menebar asapnya kemana-mana. Beberapa tahun lalu di jalan-jalan banyak poster PHBS yang mengajak warga hidup sehat tapi poster ya tetap poster sedangkan pelaksanaan di lapangan bagaimana? Jauh panggang dari api. Yang unik ada poster PHBS dengan gambar sang KADES serta istrinya tapi anehnya si KADES sendiri mengalami obesitas dan menderita DM. Padahal saya percaya biaya untuk program-program semacam itu tidak kecil tetapi hasil nol besar.
     Intinya selama belum ada perbaikan layanan kesehatan publik yang lebih baik maka saya takkan akan bayar iuran BPJS lagi. Apalagi dengan adanya debt collector semacam itu malah semakin mengesankan buruknya layanan kesehatan negara ini.  Jika ingin tetap survive semestinya pemerintah membenahi dulu segala persoalan yang menjerat BPJS saat ini. Kesannya kok pemerintah sudah gagal menjalankan sebuah program lalu melemparkan "bola panasnya" kepada rakyat.  Ini kan aneh sekali?

Wednesday, April 10, 2019

PEMILU 2019: Makin Panas!

     PEMILU tinggal sepekan lagi dan suasana semakin hari semakin memanas saja. Ada beberapa hal yang cukup menarik yang saya amati pada saat jelang PEMILU kali ini. 

1. Suasana lebih panas dibandingkan PILPRES 2014 dulu. Dulu seingat saya jelang PILPRES 2014 sudah cukup panas namun kali ini yang saya rasakan lebih panas. Ini terlihat dari komen dan pos di medsos yang sebagian besar berisi adu debat dan pendapat PASLON pilihan. Coba lihat trending topic twitter setiap hari selalu berisi tagar yang berkaitan dengan PEMILU. Tak jarang adu debat diiringi dengan kata-kata kasar, SARA, dan saling menjatuhkan seperti cebong, kampret, atau apalah-apalah. Padahal bulan ini Jepang juga sama-sama menyelenggarakan PEMILU tapi tidak sepanas di negara kita tercinta ini. Bahkan banyak yang rusak persahabatannya hanya karena beda pilihan.
PEMILU di Jepang
Trending topic Twitter 10 April 2019


2. PILEG yang tenggelam oleh PILPRES. Baru kali ini PILEG dijadikan satu dengan PILPRES sehingga akibatnya PEMILU kali ini lebih terkesan sebagai PILPRES dibandingkan dengan PILEG. PILEG seolah telah terbakar habis oleh panasnya debat PILPRES.
3. Serangan fajar”. Baru kali ini saya mengalami “serangan fajar” walaupun sudah menjumpai PEMILU berkali-kali. Ada salah satu CALEG yang mengajak saya menjadi timsesnya tapi saya tolak secara halus. Bukannya saya menganggap dia dan partainya jelek tapi saya hanya malas saja.  Datang cuma kalau butuh saja. Emang saya toilet apa? Ada juga CALEG yang bagi-bagi deterjen kayak gini. Yah lumayanlah daripada enggak dapat sama sekali hehe…  Terima kasih bu CALEG!
"serangan fajar" (enggak saya buka ntar kelihatan mereknya)
4. Pelanggaran kampanye yang tetap saja masif. Poster yang ditempel di pohon, tiang listrik, atau telepon masih tetap banyak. Mereka tidak malu melanggar walaupun di tepi jalan yang ramai. Belum menjadi anggota saja sudah berani melanggar lantas bagaimana nanti jika sudah terpilih? Dari sini saja sudah kelihatan mental mereka itu bagaimana sesungguhnya.  Yang cukup membuat saya heran adalah dimana BAWASLU? Kalau pelanggarannya di jalan kecil di tengah desa saya bisa maklumi tetapi kalau di pinggir jalan yang ramai masak sih enggak kelihatan? Seharusnya BAWASLU lebih proaktif jemput bola menangani pelanggaran-pelanggaran kampanye di lapangan. Jangan hanya menunggu orang melapor.  Bahkan yang cukup unik instagram BAWASLU sendiri tidak bisa dikomen. Typical kebanyakan lembaga-lembaga pemerintah yang maunya cuma tutup mata telinga dan mulut plus makan gaji buta. 
5. Banjirnya berita hoax. Di PEMILU sebelumnya saya kira berita hoaks sudah banyak beredar hanya saja belakangan ini memang keberadaannya sudah semakin tak terkendali. Meskipun saya sudah mencoba membentengi medsos dari berita hoaks yang berseliweran tetapi tak jarang saya masih bisa terkecoh. Ini dikarenakan semakin lama berita hoaks semakin susah dibedakan dari berita aslinya karena telah dikemas sedemikian apiknya. Berita hoaks sangat efektif dalam menghancurkan atau membangun citra seseorang atau kelompok dalam sekejap mata. 
6. GOLPUT yang semakin disudutkan. Salah seorang pejabat beberapa waktu lalu mengatakan jika GOLPUT itu sama saja dengan pengacau bahkan menganggap sama dengan teroris. Sungguh pernyataan yang sangat berlebihan! Saya hanya melihat jika itu tak lebih dari refleksi akan ketakutan beliau jika partainya tidak akan mendapatkan kursi. Padahal di negara-negara Amerika yang notabene sudah jauh lebih dulu mengenal demokrasi persentase GOLPUT juga lumayan besar dan tidak disudutkan. GOLPUT juga merupakan salah satu bentuk cara berdemokrasi kok. Jika negara sudah sangat khawatir dengan keberadaan GOLPUT dan ingin memberantasnya secara instan mudah saja sebenarnya. Ubah saja memilih bukan lagi hak tetapi kewajiban. Barangsiapa yang tidak mau memilih maka akan dikenakan denda atau penjara. Sekarang berani atau tidak mengubah aturan mainnya? GOLPUT itu juga menunjukkan jika sebagian rakyat sudah tidak percaya lagi dengan semua bualan dan janji-janji manis para CALEG atau PASLON yang kebanyakan cuma tepe-tepe (tebar pesona).  Mungkin ada yang bilang kalau tidak memilih maka yang buruk akan memimpin. Memang adakah jaminan jika tetap memilih maka yang buruk juga tidak akan memimpin?? Sebuah brainwash yang aneh dan berbahaya. Daripada meributkan GOLPUT mending mengatasi penyebar dan pembuat berita hoaks yang sudah jelas-jelas sering membikin resah.
     Bagi saya pribadi PEMILU sampai kapanpun akan tetap sama saja artinya. Siapapun kita hanyalah bidak-bidak catur yang dikorbankan untuk kepentingan sang ratu. Yah sekarang saja rakyat dirangkul-rangkul setengah mati. Segala upaya untuk mempermudah rakyat mendapatkan hak pilihnya dipermudah habis-habisan. TPS-TPS dibangun hingga jauh ke pelosok negeri supaya warga tak jauh-jauh datang memilih. Yang di luar negeri dikirimi surat suara. Orang-orang yang sedang sakit terbaring lemah didatangi dengan pengamanan ketat supaya tetap bisa mencoblos. Luar biasa! Padahal rakyat juga masih memiliki hak-hak lain, hak mendapatkan keadilan, layanan infrastruktur yang bagus, hak mendapatkan dokumen kependudukan, dll. Coba saja jika hak-hak ini dipermudah seperti halnya hak memilih saat PEMILU? Di sini semakin menguatkan jika PEMILU hanyalah sekedar alat untuk melanggengkan kekuasaan sang penguasa. Seperti sebuah tangga, begitu si penguasa sudah tiba di atas maka ditendanglah tangga itu jauh-jauh. Jika kita semua masih dikaruniai usia panjang, marilah kita sama-sama menjadi saksi perhelatan PEMILU-PEMILU mendatang dan saya percaya pola-pola ini akan terus berulang. Akan ada orang-orang yang akan selalu terperosok ke dalam lubang yang sama terus menerus tanpa bisa belajar dari kesalahan yang sudah-sudah.  Kata salah seorang teman: CALEG sekarang cuma dekat di poster tapi jauh di hati!