Monday, April 22, 2019

Mengapa Banyak Petani Tetap Miskin?


1. Luas lahan pertanian yang sering menyusut. Mungkin banyak orang menyalahkan mereka yang mengubah lahan pertaniannya menjadi toko atau perumahan tetapi tunggu dulu. Saya akan coba buat hitung-hitungan. Sebagai contoh harga 1 ha sawah rata-rata di tempat saya sekitar Rp 800 juta - 1 M saat ini (tergantung lokasinya).  Jika sawah ini berupa uang dan ditempatkan di bank dengan bunga katakanlah 10% saja per tahun maka si pemilik akan mendapatkan "gaji bersih" Rp 100 juta/tahun cuma dengan ongkang-ongkang kaki. Sekarang seandainya lahan seluas itu ditanami ini itu mampukah menghasilkan laba bersih minimal Rp 100 juta/tahun? Saya akan menjawabnya TIDAK! Dari sini terlihat memiliki lahan pertanian sama sekali tidak ada untungnya. Mending dijual dan uangnya digunakan untuk invest di sektor lain. Data terakhir yang saya dapat beberapa tahun lampau jika rata-rata luas lahan petani di Jawa hanya 0,2 ha dan sekarang mungkin sudah lebih kecil lagi. Dengan lahan segitu mereka mau tanam apa yang bisa memberikan cukup kehidupan? Akhirnya mereka "dipaksa" menanam komoditas-komoditas yang "menggiurkan" seperti CMB, melon, tembakau, dll yang modalnya juga gede dan resikonya juga tidak kecil. Di Indonesia sebagian besar petaninya adalah petani penggarap (peasant) dan bukan petani betulan (farmer). Mereka menyewa lahan dengan harga selangit. Contoh di tempat saya harga sewa lahan sudah mencapai Rp 30 juta/tahun dan sepertinya akan selalu terus naik. Mungkin ada yang berpikir di luar Jawa kan masih banyak lahan kosong bla bla... Tidak semua wilayah Indonesia subur dan cocok untuk pertanian horti. Yang jelas-jelas subur sudah pasti Jawa dan Sumatera karena banyak gunung berapi aktif. Infra pengairan seperti saluran irigasi teknis juga sudah tertata dengan baik. Beberapa saudara saya yang notabene adalah petani menganggap bahwa keadaan di luar Jawa sama saja dengan di Jawa. Mereka berpikir jika merantau nanti akan memulai hidup sebagai petani sama seperti di Jawa. Kenyataannya begitu mereka merantau beneran dan memulai bertani di luar Jawa ternyata memang jauh lebih sulit. Akhirnya mereka pun banting setir menjadi pedagang, sopir, atau yang lainnya.
2. Petani tidak pernah membuat AKU (Analisis Kelayakan Usaha). Waktu saya tanya mengapa para petani tidak pernah membuat AKU? Mereka menjawab jika membuat AKU maka usaha mereka akan ketahuan merugi atau hanya menghasilkan laba yang kecil. Memang sudah bukan rahasia lagi jika hanya segelintir komoditas pertanian yang bisa memberikan keuntungan yang memadai. Kebanyakan usaha pertanian ya begitulah, sudah pasti rugi! Contoh kedelai dan kacang tanah siapa yang mau tanam? Karena jika tanam sudah dipastikan akan merugi. Bukan berarti kedua tanaman itu lantas tidak pernah dibudidayakan tetapi biasanya di lahan mangkrak dengan perawatan seadanya untuk sekedar dikonsumsi sendiri atau mungkin kalau kepepet dijual juga. Yang lucu jika seorang petani membuat AKU maka tenaga kerja dari keluarga sendiri tidak disertakan atau dihitung alias GRATIS! Padahal walaupun tenaga kerja dari keluarga sendiri kan semestinya masuk dalam perhitungan AKU karena memang bukan siluman atau tuyul yang tidak kelihatan? Saya berpikir bertani mirip perbudakan modern. Banyak pekerjanya yang tidak mendapat bayaran hanya karena mereka keluarga sendiri (termasuk saya juga nih budaknya selama bertahun-tahun). Jadi bagi anda yang sedang menikmati produk-produk pertanian ketahuilah bahwa bisa saja sebagian produk yang anda konsumsi itu berasal dari perbudakan modern. Pertanian akan selalu identik dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Itulah mengapa para petani SELALU menginginkan anak-anaknya tidak menjadi petani juga (termasuk saya sendiri). Para remaja sekarang juga semakin tidak tertarik bertani. Mereka lebih suka bekerja menjadi buruh pabrik di kota dan memang benar mereka memang lebih sejahtera. Buruh pabrik masih mendapatkan perlindungan BPJS TK dan fasilitas ini itu sementara buruh tani?! Sampai kiamat juga tidak akan pernah!
3. Tidak bisa melakukan efisiensi. Ketika seorang petani sedang membutuhkan saprotan lalu berangkat ke toko pertanian maka dia hanya tahu bahwa dia akan membeli benih, pestisida, dan atau pupuk. Mengenai merek atau harganya itu nanti urusan ketika sudah tiba di toko. Walhasil jadilah si pemilik toko menjadi teman diskusi dan seperti pengalaman saya berkali kali dulu merek-merek yang direkomendasikan oleh si penjual adalah merek-merek yang cuma menguntungkan dari kacamata mereka dan bukan dari sisi petani. Tak jarang rekomendasinya ngawur sehingga petani yang akhirnya menuai petaka. Memang tidak semua penjual saprotan demikian tetapi kebanyakan begitulah. Jangankan usaha pertanian yang kebanyakan gurem, perusahaan besar non pertanian yang tidak bisa melakukan efisiensi juga cepat atau lambat akan runtuh.
     Inefisiensi juga terjadi di bagian tenaga kerja. Dalam satu luasan lahan yang semestinya cukup dikerjakan 3 orang misalnya tetapi kenyataannya jumlah yang bekerja bisa sampai 6 orang. Bahkan ada yang menggunakan pekerja bukan sebagai teman bekerja tetapi teman mengobrol seperti bapak saya. Contoh jelang sarapan pagi pukul 7 bapak dan teman kerjanya sudah mulai merokok (+ mengobrol pastinya). Sekali merokok paling tidak memerlukan waktu 10 menit. Setelah itu mereka makan pagi katakanlah 10 menit. Habis sarapan nyalain rokok lagi butuh 10-15 menit lagi dengan alasan perut masih penuh. Total hanya untuk makan pagi saja memerlukan waktu 30 menitan! Belum lagi tiap setengah jam bekerja selalu berhenti untuk merokok.
     Contoh lain saat icir benih jagung. Selama ini icir jagung selalu makan banyak sekali tenaga kerja. Persoalannya mereka sering tidak disiplin. Jadi kadang maunya cepat selesai saja. Akhirnya jarak tanam sering tidak konsisten. Padahal ada mesin planter jagung yang harganya bervariasi mulai dari murah sampai mahal yang bisa bekerja jauh lebih cepat dan konsisten. Yang termurah saya lihat sekitar Rp 600 ribu. Masak iya sudah puluhan tahun bertanam jagung beli mesin planter dengan harga segitu masih tidak bisa? Makanya jangan heran walaupun petani kita ada yang kaya, banyak mobil dan punya rumah yang bagus tetapi saat di lahan ya tetap saja masih pakai cangkul. Usaha pertanian cuma jadi sapi perahan untuk memenuhi nafsu hedon mereka. Kalau begini kapan mau majunya? Padahal mencari tenaga kerja yang mau bekerja di sektor pertanian di jaman ini semakin sulit saja. Posisi tawar calon buruh pertanian jauh lebih tinggi dibandingkan majikannya saat ini. Mereka bisa masuk keluar semaunya. Contoh para pekerja yang bekerja di lahan bapak saya tiap musim tanam tak pernah ada yang sama. Malah ada yang baru kerja sepekan langsung keluar. Kadang penyebab mereka keluar juga tak jelas. Biasanya sih bapak memvonis mereka itu malas padahal saya tidak melihatnya demikian tetapi lebih karena memang dunia pertanian semakin tidak menarik. Pertanian hanyalah ban serep ketika seseorang bekerja di sektor lain mengalami kegagalan. Tak jarang bapak harus mengambali calon pekerja dari tempat yang sangat jauh bahkan hingga keluar kabupaten. Akhirnya bapak harus menyediakan pemondokan atau ongkos transportasi yang ini berarti akan menambah beban biaya.
     Slogan kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah yang lazim ada di dunia birokrasi tak jarang juga diadopsi petani. Ketika ada sebuah proses yang jauh lebih mudah dan hemat biaya sementara di sisi lain ada proses yang sama tetapi lebih sulit dan lebih boros biaya, biasanya petani malah akan memilih yang kedua. Memang aneh tetapi inilah kenyataan! Contoh orang tua saya sendiri memiliki prinsip bahwa semakin besar biayanya maka secara otomatis hasilnya juga akan semakin besar. Benarkah? Padahal hasil panen adalah komponen yang sama sekali tidak bisa dikendalikan. Belum tentu jika biaya dimaksimalkan maka hasil akan juga mengikutinya. 
4. Tidak bisa belajar dari kesalahan atau cenderung mengulang ulang kesalahan yang sama terus menerus. Banyak petani tidak bisa belajar dari kesalahannya. Contoh serangan hama wereng di musim ini adalah sebuah gambaran nyata akan hal itu. Setiap tahun sebenarnya serangan wereng selalu ada dengan berbagai intensitas tetapi sayangnya para petani terus mengabaikannya sehingga wajar jika tahun ini dikejutkan dengan ledakan serangan masif wereng. Contoh lain pemupukan urea pada padi yang selalu berlebihan sehingga membuat padi menjadi rentang serangan hama penyakit. Sebuah kesalahan yang terus menerus diwariskan dari generasi ke generasi entah sampai kapan. Begitu pula misalnya varietas padi Logawa yang sudah bertahun-tahun selalu dihindari pedagang tetapi kenyataannya masih ada saja petani yang menanamnya sampai sekarang (termasuk orang tua saya sendiri). Dulu mereka pernah menanam varietas ini dan ditolak pedagang tetapi eh sekarang masih saja tanam dan tanam lagi. Inilah yang saya sebut sebagai tak pernah belajar dari kesalahan. Mereka akan terus jatuh ke lubang yang sama. Tidak ada learning process. Selalu mulai dari nol lagi. Tidak ada bedanya antara yang petani yang sudah bertani 40 tahun dan 4 tahun.
5. Musim yang semakin tidak menentu. Kalau yang ini sih sudah bukan hal baru lagi. Kemarau turun hujan deras sedangkan musim hujan malah kering kerontang. Kalau sudah begini siapapun pasti akan bingung menyikapinya. Sebenarnya kesalahan ini bisa dikurangi dengan selalu memantau BMKG. Contohnya tahun 2016 lalu di awal kemarau BMKG memprediksikan akan terjadi kemarau basah. Spontan saya memutuskan tidak menanam tembakau pada tahun itu dan benar mutu tembakau hancur karena hujan terus menerus. Seharusnya BMKG menjadi sahabat setia para petani tetapi kenyataannya mereka justru menyepelekannya dengan alasan tidak masuk akal, tidak percaya, dll. Begitu gagal mereka cuma bisa menyalahkan Tuhan.
6. Beban bunga bank yang tinggi. Siapa bilang beban bunga bank untuk sektor pertanian lebih rendah?? Jika seorang pedagang meminjam kredit di bank maka sejak bulan pertama dia sudah bisa mengangsur tetapi petani harus menunggu panen paling tidak 3 bulan mendatang. Selama 3 bulan itu bunga bank akan terus beranak pinak bercucu cicit. Itupun masih belum dipotong biaya ini itu seperti provisi, asuransi, dll. Padahal mana ada petani yang tidak meminjam uang di bank?!  
7. Pendapatan adalah laba. Nah ini adalah sebuah kesalahan fatal. Setiap panen petani selalu menganggap bahwa semua pendapatan yang diperoleh adalah laba padahal pendapatan bukanlah laba karena masih harus dipotong biaya produksi dan pajak. Karena berpikiran pendapatan adalah laba maka akhirnya petani jadi lepas kendali. Dia menggunakan semua pendapatannya itu untuk konsumsi. Contoh saat musim panen tembakau tiba, semua dealer motor dan mobil di sini selalu kehabisan motor/mobil. Yang mau beli harus inden lumayan lama. Standar hidup pun langsung dinaikkan seketika. Tancap gas pol hingga akhirnya nyungsep deh. Begitu awal musim tanam tiba, dia kembali antri di bank mencari kredit lagi dengan bunga yang tentu tidak kecil atau menyuruh istrinya pergi ke luar negeri menjadi TKW. Coba lihat bulan-bulan Maret - Mei ketika musim tanam telah tiba, bank penuh dengan para petani yang sedang mengajukan pinjaman. Atau motor baru yang mereka beli di musim panen lalu terpaksa dijual dengan kerugian yang signifikan. Begitu pola ini jalan terus berulang ulang. Semuanya hanya demi memenuhi nafsu gengsi semata. Kapan majunya kalau begini terus??
8. Tata niaga yang tidak pernah berpihak kepada petani. Sudah bukan rahasia lagilah kalau ini. Coba berapa persen kontribusi harga petani pada harga akhir konsumen? Kecil sekali! Markup harga kebanyakan terjadi di bagian distribusi atau pedagang. Para pedagang inilah yang sesungguhnya menikmati keringat para petani selama ini. Mereka bisa menaik turunkan harga semaunya. Coba lihat mana ada pedagang hasil bumi yang miskin atau bangkrut? Kalau di tempat saya setahu saya tidak ada sama sekali! Sementara petani miskin? Banyak! Kalau dipikir aneh juga, semua biaya produksi adalah pasti seperti harga benih, pupuk, dan pestisida namun harga jual sangat tidak pasti bahkan kadang tidak laku. Sungguh sebuah bisnis yang tak adil!
9. Tidak ada yang butuh petani! Mungkin terdengar kasar dan sembarangan tetapi kenyataannya memang demikianlah. Seandainya seluruh petani di negara ini berhenti menanam maka pemerintah akan masih tetap bisa melakukan impor produk-produk pertanian dari negara lain hingga akhir jaman. Produk-produk pertanian dari luar negeri biasanya memiliki harga lebih rendah karena mereka sudah diproduksi dengan manajemen yang baik dan efisien. Lihat Singapura tidak memiliki lahan pertanian tetapi penduduknya bisa makan juga dan tak pernah kekurangan makan. Makanan mereka jelas berasal dari negara tetangga seperti  Indonesia atau Malaysia.
10. Terlalu perfeksionis. Kalau menurut saya bertani tidak perlu sesempurna seperti sedang memahat patung atau melukis dimana tidak boleh ada kesalahan dalam detilnya. Jika terlalu perfeksionis maka akan ada satu yang sudah pasti dikorbankan yaitu timing. Akibatnya tanam telat atau panen telat dan ini bisa fatal sekali. Perfeksionis juga membuat biaya menjadi bengkak. Anehnya banyak petani masih menganggap bertani harus sangat sempurna dalam segalanya. 
Contoh yang sempurna adalah orang tua saya sendiri. Setiap awal musim tanam ortu selalu berusaha agar setiap detil pekerjaan berjalan dengan sempurna. Akhirnya lalai dengan serangan hama dan penyakit. Tahu-tahu serangannya sudah meluas dan sulit dikendalikan. Hingga detik ini beliau masih belum bisa menyadari kesalahan yang satu ini. Bagi saya kalau hasilnya cuma 11 12 saya lebih memilih hasil 11 dengan biaya lebih rendah dibandingkan 12 dengan biaya sangat tinggi. Selisih biayanya bisa sangat signifikan sementara beda hasilnya tak terlalu banyak. 
11. Banyak bicara banyak kerja. Sebenarnya ini bagus cuma akan lebih baik lagi jika energi yang digunakan untuk bicara dialihkan untuk bekerja yang lebih produktif.

Menjadi petani berarti harus siap miskin, bodoh, dan terbelakang. Buat kaum milenial berpikirlah sejuta kali sebelum mengambil profesi ini. 

















No comments:

Post a Comment