Friday, April 19, 2019

Rona-rona PEMILU 2019 Di Kampungku


1. Politik uang. Pagi hari saat hari pemilihan ada yang bercerita jika malam sebelumnya ada yang bagi-bagi uang di kampung bagian selatan. Per orang mendapat Rp 100 ribu. Pelakunya adalah salah satu Caleg yang notabene putra salah satu konglomerat di sini. Politik uang sampai kapanpun akan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari demokrasi kita.  Sulit menangkap para pelaku politik uang ini karena "semua sudah sama-sama tahu dan sama-sama butuh". Siapa yang enggak butuh uang dan gak doyan?!
2. TPS telat buka. Sesuai aturan seharusnya TPS sudah harus buka pukul 7 tetapi ternyata pukul 7.45 baru beroperasi. Orang-orang yang berangkat pagi-pagi kecele dan balik lagi. Penyebabnya terjadi ada keributan di antara anggota KPPS. Kucuran dana PEMILU hingga jauh ke bawah ibarat gula bagi banyak semut. Banyak yang mencoba mengakali agar tidak banyak keluar dana dan menggunakan sisanya untuk kepentingan pribadi. Kisahnya nih istri saya menjadi anggota KPPS di dekat rumah. Agar lebih semangat jauh-jauh hari istri dan teman-temannya berencana membuat kaos seragam khusus yang digunakan di hari pemilihan. Mereka kemudian meminta ijin kepada ketua KPPSnya. Berkali-kali meminta ijin ditolak terus dengan alasan tidak ada dana. Akhirnya mereka berinisiatif memesan kaos dengan biaya sendiri. Nah di hari pemilihan si ketua murka melihat anak buahnya memakai kaos seragam tanpa seijinnya. Muncullah ketegangan di antara mereka. Inilah yang kemudian memakan waktu yang menyebabkan jam buka TPS molor.  Memang si ketua ini terkenal sebagai orang yang otoriter.
3. Perhitungan suara hingga dini hari. PEMILU yang menggabungkan PILEG dan PILPRES membuat beban menghitung menjadi banyak sekali. TPS di sini baru selesai menghitung pukul 23.30 dan bahkan ada yang sampai subuh. Saat tengah malam pun dalam kondisi sangat kelelahan mereka masih harus mengantar kotak suara ke balai desa. Wajar jika di sejumlah media banyak petugas yang meninggal. 
     Hingga hari ini (tanggal 27 April 2019) yang meninggal sudah 200 orang lebih. Ini belum lagi yang jatuh sakit konon sudah mencapai ribuan petugas. Kalau data ini benar maka saya kira ini adalah PEMILU terburuk karena korbannya sedemikian banyak. Bahkan jauh lebih buruk dibandingkan kecelakaan pesawat Lion Air tahun lalu. Satu kesan saya = KPU amatiran! Apakah sebelumnya tidak ada simulasi beban kerja? Orang-orang yang tidak pernah lembur mendadak harus kerja hampir 24 jam non stop? Gilakah? Ibarat orang awam yang tidak pernah berolahraga langsung disuruh ikut lomba Boston Marathon dan diharuskan finish dibawah COT. Wajar jika jantung mereka jadi kelelahan sekali. Coba tanya dokter mana saja deh pasti demikianlah jawabannya.
     Istri saya berangkat pukul 6.30 pulang sudah 23.30 non stop. Hanya berhenti 2x kali selama beberapa menit sekedar buat shalat. Makan? Mana sempat! Akhirnya dia cuma makan pisang seharian yang sebenarnya pisang ini diperuntukkan bagi pemilih. Pisang itupun sumbangan dari orang. Untung ada pisang, coba kalau enggak ada? Bisa makan angin seharian sembari mereka duduk di bawah terpal yang panas.  Budak aja masih dikasih makan lah ini? Sungguh kurang manusiawi. Padahal jauh-jauh hari juga istri masih harus ikut BIMTEK di balai desa dan selalu pulang larut malam (kadang sampai jam 23.00 sementara start usai maghrib). KPU jangan hanya asal bisa kasih uang sekian buat operasional TPS lantas asal tahu beres semuanya.  Kalau sudah begini? Nasi sudah jadi bubur dan seharusnya pejabat KPU harus bertanggung jawab! Entah berupa sanksi administrasi sampai pemecatan harus mereka terima sebagai konsekuensinya. Tidak cukup hanya kasih santunan buat mereka yang sudah meninggal.  Terlalu mahal jika nyawa orang sampai dikorbankan hanya buat sebuah PEMILU.

4. Banyak pemilih yang mengeluhkan sulitnya atau tepatnya ruwetnya mencoblos pada PEMILU kali ini. Bahkan ada yang salah memasukkan ke dalam kotak suara.  Ada yang berdiri lama sekali di dalam tempat pencoblosan. Ada yang salah melipat. Ada yang mencoblos surat hingga tembus ke depan (cover). Ada yang tidak tahu cara mendapatkan form A5. Ada saksi yang mangkir. 
5, Meremehkan Quick Count. Sebenarnya QC ataupun Exit Poll itu hanyalah metode pengumpulan data. Semua bisa dimanipulasi. Keduanya bisa menunjukkan hasil yang sama atau berbeda tergantung cara pakainya. Ada teman yang terkesan menganggap jika QC itu hanyalah penggiringan opini bla bla. Ya bisa saja sih. Statistik itu hanyalah alat seperti pisau. Mau dibuat mengiris apel atau menggorok leher semuanya bisa. Cuma logikanya saja jika itu manipulasi kok mengapa dari sekian lembaga survey menunjukkan hasil QC yang mirip? Mungkin ada yang bilang itu kan cuma pakai sampel. Walaupun sampel bukan berarti dirancang sembarangan. Jika metode sampling yang digunakan adalah acak atau random maka harus benar-benar mengikuti kaidah random. Mungkin ada yang berpikir jika random = acak-acakan atau ngasal padahal random juga ada aturannya. Kalau dalam ilmu statistik ada yang namanya stochastic process yang menentukan kerandoman ini.  Yah apapun hasilnya itu yang penting kita lihat hasil akhir perhitungan suara dari KPU.

No comments:

Post a Comment