Thursday, April 25, 2019

Pengalaman Menonton Premiere The Avangers: End Game (CGV)


     Sebenarnya sudah lama sekali istri mengajak nonton film di bioskop karena dia memang seumur hidup belum pernah nonton film di bioskop. Saya selalu menolaknya dengan alasan malas. Malas karena jarak bioskopnya jauh. Belum lagi gambaran harus antri beli tiket, macet di jalan, bla bla. Padahal dulu sewaktu masih SD saya adalah pecinta film-film bioskop walau cuma sekelas bioskop layar tancap MISBAR atau gerimis bubar. Minimal sebulan sekali di lapangan desa selalu muncul layar tancap ini. Biasanya H-1 sudah ada bende atau mobil yang berkeliling dari desa ke desa dengan menggunakan pengeras suara yang meninformasikan jadwal dan lokasi film. Harga karcisnya juga murah meriah karena nontonnya memang cuma di lapangan yang becek, banyak nyamuk, dan beratapkan langit. Yang nyebelin nonton layar tancap begini adalah jadwal tayangnya yang selalu molor dan sering banget film macet di tengah jalan cerita. Jadwal tayang jam 7 malam bisa molor jadi 9 malam sehingga film belum dimulai kadang saya sudah tertidur. Yang jelas layar tancap tidak ada jadwal siang atau pagi hari. Yang selalu rutin ditonton adalah film G 30 S/PKI karena gratis dan setiap warga seperti setengah diwajibkan menonton oleh rezim kala itu. Kalau nonton film di bioskop beneran cuma sesekali saja diajak sama om dekat rumah. Bioskopnya di tengah kota dan tentu saja menonton di bioskop beneran begini jauh lebih nyaman dibandingkan layar tancap MISBAR. Tak perlu khawatir kehujanan walaupun tempat duduknya cuma dari kayu dan berpendingin udara kipas angin. Filmnya tentu saja masih pakai teknologi analog dengan menggunakan roll film. Filmnya sih yang saya ingat adalah film-film aksi macam Saur Sepuh, Tutur Tinular, Rhoma Irama, dll. Kadang saat ini sesekali saya bernostalgia menontonnya di Youtube. Jangan mengharapkan gambar yang clink seperti era digital sekarang. Gambarnya ala-ala film dulu yang buram dan ada garis-garisnya yang khas. Inilah saya kira kendala terbesar mendigitilasisasi arsip-arsip video jaman dulu. 
     Sampai kemudian datanglah krisis ekonomi nasional dan mendadak semua bioskop mangkrak. Penyebabnya adalah ekonomi yang hancur, daya beli masyarakat melorot tajam, dan tentu saja banjirnya VCD bajakan. Waktu saya masih tinggal di Surabaya siapa yang tidak mengenal Siola? Tempat para PKL menjajakan aneka VCD bajakan ini (dan saya sendiri pernah membelinya). Di sini VCD bajakan dijajakan bak snack 500-an rupiah. Mau beli VCD dengan genre apapun tersedia termasuk film XXX. Bahkan penjualnya sendiri sering menawarkan film-film begituan. Selain itu persewaan VCD juga marak hingga ke pelosok desa. Dengan uang 2 ribu saja, orang bisa menyewa sebuah VCD dan menontonnya sepuas hati. Ini pun juga tak berjalan lama sampai kemudian VCD hancur lebur berkeping-keping (kayak kepingan VCD itu juga kali) diterjang internet berkecepatan tinggi. Banyak situs yang menyediakan file-file video film-film bajakan yang dengan sangat mudahnya didonlod (misal G****l). Bahkan film-film terbaru pun bisa langsung dinikmati GRATIS hanya dengan mendonlodnya! Biasanya film-film baru akan hadir dalam format CAM alias video hasil rekaman dari bioskop dengan kualitas rendah. Sebulan atau dua bulan berikutnya baru akan muncul video dengan format asli dengan gambar jauh lebih jernih. Sebagian orang saya pikir akan tetap bertahan dengan cara ini untuk menonton filmlayar lebar tetapi sebagian lagi sudah terbit kesadaran untuk menontonnya secara legal di bioskop dengan membeli tiket. Inilah yang kemudian membuat bisnis film dan bioskop hidup kembali. Apalagi belakangan ini banyak produsen film yang mulai menyadari kekuatan medsos sehingga jauh sebelum film dirilis mereka sudah mencoba menggaet banyak calon pemirsa dengan berbagai cara baik dengan undian berhadiah, tiket menonton gratis, kuis, nobar, dll. Saya kira inilah salah satu cara jitu menghidupkan kembali dunia perfilman nasional. 
     Walaupun demikian saya masih tetap tidak tertarik menonton film. Menurut saya menonton film hanya seperti membuang-buang waktu. Bahkan menonton sinetron atau film di TV pun saya sudah tidak pernah lagi sekarang. Di Youtube juga hanya sesekali menonton film-film lama dan itupun hanya beberapa menit. Akan tetapi tak apalah sesekali menuruti keinginan istri menonton film di bioskop. Awalnya istri mendonlod dulu aplikasi pemesanan tiket CGV ini. Untuk pilihan metode bayar sangat terbatas. Yang bisa kami pakai hanya transfer bank BRI dan itupun masih dikenai biaya tambahan Rp 5000. Untuk harga tiket menontonnya Rp 30ribu/seat. Sebaiknya pesan tiketnya langsung di depan ATM karena expired sangat cepat (mungkin 20 menit). Jadilah pagi tanggal 24 April kemarin kami berangkat ke CGV. Sesampainya di sana saya bingung mau ngapain. Ada mesin self ticketing tetapi saat barcode di hape saya scan ke scannernya cuma tat tut tat tut saja. Sama sekali tidak mau keluar tiket fisiknya. Langsung oleh petugasnya diajarin cara melakukan self ticketing. Caranya adalah dengan memasukkan kode dan passkeynya secara manual. Eh kirain saya kira mesinnya bisa bekerja otomatis cuma dengan scan barcode langsung keluar tiket fisiknya. Setelah tiket saya serahkan kepada penjaga pintu masuk kami pun menunggu sejenak di lorong sebelum akhirnya pintu masuk ruang untuk menonton dibuka. Hawanya adem banget dan kering. Ini yang bikin cepat haus dan pengen pipis mulu (hadeh..).  
e-ticket CGV
     Mengenai film The Avangers: EndGame ini secara umum cukup menarik. Sebenarnya jauh-jauh hari saya sudah mengetahuinya bahkan saya beli e-money ada gambarnya kapten Marvel lalu mangkok makan si kecil yang baru juga ada gambar tameng kapten Amerika. Di medsos juga berseliweran berbagai macam kuis dan info-infonya. Hanya saja entah mengapa sama sekali saya kok tidak tergerak untuk sekedar melihat teasernya di Youtube. Rupa-rupanya sudah akut banget kemalasan saya menonton film di bioskop. Kesan umum saya nan subyektif terhadap film ini:

1. Durasi filmnya lama banget. Tiga jam! Jadi saya sengaja pilih jadwal pagi 10.30 supaya masih ada kesempatan buat shalat Dhuhur walaupun pukul 13.15 saya sudah keluar. Jadi saya memang tidak menontonnya sampai benar-benar finish.

2. Jalan ceritanya sangat cepat. Ditinggal meleng dikit sudah langsung ketinggalan.
3. Dibandingkan mengikuti kisahnya saya lebih tertarik untuk mengamati teknik cinematografinya. Saya coba perhatikan sudut pengambilan gambarnya. Saya coba tebak-tebak kira-kira ini yang mana green screennya. Saya perhatikan juga teknik pencahayaannya. Saya juga sangat terkesan dengan tempo ceritanya yang bisa naik turun dengan cepat mempermainkan emosi penontonnya.  Maklum kadang-kadang saya juga membuat video walaupun cuma amatiran.
4. Thanos yang tidak “terlalu jahat”. Ya begitulah saya melihatnya. Thanos pada dasarnya sama dengan kita semua manusia yang memiliki nafsu yang berpotensi merusak semesta jika tak dikendalikan.
Demikianlah sekelumit kisah menonton The Avangers: End Game. Entah ini benar-benar end game atau masih ada sekuelnya lagi saya tak tahu.  Kalau istri saya bilang sih jika si Iron Man tak muncul lagi di film selanjutnya maka dia takkan menontonnya. Ketahuan kalau dia fans berat si Tony Stark itu.  Yang pasti moga-moga enggak sering-sering diajak nonton lagi. 


Tiket fisik CGV (maaf ngeblur)

No comments:

Post a Comment