Sunday, April 14, 2019

BPJS Sekarang Memiliki Debt Collector?


     Beberapa hari lalu di suatu sore mendadak ada orang tak dikenal datang ke rumah. Setelah basa basi dia mengatakan jika dia adalah petugas BPJS yang ingin melakukan penagihan. Saya agak kaget juga karena baru tahu jika sekarang BPJS sudah memiliki debt collector. Jujur saya memang menunggak tetapi bukan tanpa alasan. Kasus terakhir yang saya alami benar-benar membuat saya bertekad untuk tidak membayar iuran lagi hingga pelayanan dari faskes yang bekerja sama dengan BPJS membaik. Masalah yang mendera BPJS sekarang memang kompleks. Sebenarnya sih program JKN ini adalah sebuah program yang bagus tetapi sayangnya saya melihat para pelakunya baik BPJS, faskes, dan pemerintah sama sekali tidak siap. Tujuan utama program ini salah satunya adalah mengurangi penumpukan pasien di RS dengan mengoptimalkan pelayanan di tingkat dasar yaitu faskes pertama berupa Puskesmas, klinik, atau dokkel. Di sini sudah muncul masalah. Masalah sudah jelas yaitu penumpukan pasien di Puskesmas padahal fungsi Puskesmas bukan cuma buat kuratif tetapi juga edukatif. Jam kerja Puskesmas sangat pendek (biasanya 8-11). Saya pernah datang jam 11 dokternya sudah enggak ada. Alasannya sedang rapat. Akibatnya saya diperiksa oleh perawat. Sebenarnya bukan masalah diperiksa perawat cuma itu kan seharusnya sudah menjadi tugas dokter di situ. Dokter dan perawat jelas beda kompetensi.
     Mungkin ada yang bilang kalau enggak puas ya pindah faskes saja. Pindah sih mudah tetapi pilihannya tidak banyak. Contohnya sekarang di tempat saya ada 6 buah klinik Pratama tetapi tak ada satu pun yang mau bekerja sama dengan BPJS. Dulu ada satu klinik dekat rumah yang mau bekerja sama dan saya pun buru-buru pindah kesitu tetapi sayang cuma bertahan setahun. Konon katanya si pemilik klinik sudah tidak kuat menghadapi tingginya klaim peserta yang tidak seimbang dengan pemasukan berupa kapitasi dari BPJS. Akhirnya saya balik lagi ke Puskesmas dan mutu pelayanan Puskesmas dimana-mana selalu di bawah klinik. Logikanya kita disuruh membayar iuran seumur hidup hanya untuk menikmati layanan kesehatan Puskesmas yang tidak bagus. Masuk akalkah?? Padahal menjadi pasien umum di Puskesmas malah lebih enak karena tidak perlu membayar iuran dan sudah bisa menikmati fasilitas sama dengan para peserta JKN.
     Begitu pula profesionalisme dokter di Puskesmas sangat kurang jika dibandingkan dengan dokter di RS atau praktek pribadi. Pernah suatu kali mata terasa kabur yang sepertinya ada gejala miopi atau rabun jauh. Akhirnya saya pun langsung ke Puskesmas dan oleh dokternya cuma dikasih Metampiron. Saya bingung apa kaitannya rabun jauh dengan Metampiron? Memang obat ini bisa menyembuhkan rabun jauh atau apa sebenarnya? Kok enggak nyambung rasanya. Mengapa tidak segera dirujuk ke dokter mata saja? Ataukah prosedurnya memang harus demikian? Akhirnya obat tidak saya minum.  Lagian saya tidak suka dikit-dikit harus selalu minum obat. Pernah juga saya mengeluh sesak napas dan si dokter menganggap saya kena asma. Dikasih deh Salbutamol. Padahal saya sama sekali tidak memiliki riwayat penyakit asma. Saya lebih merasa sebagai gejala asam lambung yang sedang naik. Saya pun coba minum sebutir Salbutamol itu dan hasilnya jatung berdetak sangat kencang kayak mau copot saja. Sorenya saya langsung datang ke klinik dan oleh dokternya dikatakan jika seseorang yang sedang tidak menderita asma diberikan obat asma maka jantungnya akan berdebar-debar. Nah lho?! Hingga sekarang saya sudah tak pernah percaya dengan dokter Puskesmas lagi. Daripada ntar cuma jadi kelinci percobaan obat-obatan.
     Malah yang terakhir ini terdengar desas desus bahwa pasien JKN sudah tidak bisa melakukan full klaim lagi. Artinya saat mendapatkan perawatan mereka masih harus membayar biaya tambahan lagi dengan persentase tertentu. Ini akan menambah masalah baru bagi program JKN ini.
OK saya akan mencoba mengkaji sedikit permasalan apa saja yang tengah mendera BPJS saat ini. Ingat bahwa ini hanyalah berdasarkan pendapat subyektif saya sendiri  jadi tidak soal jika anda memiliki pendapat yang berbeda.
1. Rendahnya porsi APBN untuk sektor kesehatan. Kalau tidak salah persentasenya tidak sampai 5%. Dengan anggaran sekecil ini tentu wajar sekali jika BPJS akan mengalami kesulitan dalam menjalankan tanggung jawabnya.
2. Upaya preventif tidak jalan. BPJS memang hanya berfokus pada upaya-upaya kuratif. Sebenarnya tidak peduli mau sebesar berapapun anggaran untuk kesehatan jika hanya mengandalkan kuratif maka akan jebol. Jangankan 5%, seandainya 80% APBN dialokasikan buat BPJS semata maka akan tetap jebol juga. Sementara itu upaya preventif selama ini diemban oleh Puskesmas tetapi apakah sudah benar-benar jalan dan berhasil?  Sebagai contoh penyakit kardiovaskular sebagai penyebab kematian tertinggi yang diakibatkan oleh gaya hidup masa kini (junkfood, sedentary, merokok, dll) masih saja tetap tinggi. Bisnis junkfood semakin menggurita. Banyak layanan masa kini yang semakin membuat kita malas bergerak. Para perokok juga tetap bebas menebar asapnya kemana-mana. Beberapa tahun lalu di jalan-jalan banyak poster PHBS yang mengajak warga hidup sehat tapi poster ya tetap poster sedangkan pelaksanaan di lapangan bagaimana? Jauh panggang dari api. Yang unik ada poster PHBS dengan gambar sang KADES serta istrinya tapi anehnya si KADES sendiri mengalami obesitas dan menderita DM. Padahal saya percaya biaya untuk program-program semacam itu tidak kecil tetapi hasil nol besar.
     Intinya selama belum ada perbaikan layanan kesehatan publik yang lebih baik maka saya takkan akan bayar iuran BPJS lagi. Apalagi dengan adanya debt collector semacam itu malah semakin mengesankan buruknya layanan kesehatan negara ini.  Jika ingin tetap survive semestinya pemerintah membenahi dulu segala persoalan yang menjerat BPJS saat ini. Kesannya kok pemerintah sudah gagal menjalankan sebuah program lalu melemparkan "bola panasnya" kepada rakyat.  Ini kan aneh sekali?

No comments:

Post a Comment