Monday, May 22, 2017

Zakat Adalah Cara Allah Untuk Mengajarkan Kita Tentang Makna Keikhlasan

Panen padi 2017

Musim panen padi telah datang. Inilah saat yang paling ditunggu oleh para petani. Panen tahun ini jauh bedanya jika dibandingkan tahun lalu. Tahun lalu hasil panen kurang bagus karena musim yang tidak bersahabat tetapi musim ini bisa dibilang kebanyakan petani bisa memperoleh hasil yang maksimal. Tentu sebuah kabar yang sangat menggembirakan. Saya juga, musim ini bisa mendapatkan hasil yang lumayan bagus dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Seperti biasa saat panen adalah saat melakukan perhitungan zakat panen. Semua umat muslim tentu sudah mengetahui jika zakat hasil padi adalah 5% jika diairi dengan air yang memerlukan biaya (irigasi teknis) atau 10% jika hanya mengandalkan air hujan. Karena sawah saya merupakan sawah dengan menggunakan irigasi teknis maka zakat yang harus saya keluarkan adalah 5%. Dengan hasil kotor 2 ton padi basah maka saya harus mengeluarkan 1 kwt gabah basah atau sekitar 2 zak ukuran sedang. Harga gabah saat ini mencapai Rp 3800-3900/kg. Jika saya harus mengeluarkan zakat 1 kwt maka nilainya sama dengan Rp 390 ribu. Hmmm... sejenak saya berpikir jumlahnya besar juga ya?

Akan tetapi bagi saya zakat adalah sesuatu kewajiban yang harus ditunaikan. Tidak ada tawar menawar dalam hal ini. Zakat bukan sadaqah yang bisa sesukanya kita mengeluarkan angkanya. Dalam zakat semuanya ada aturannya baik hasil panen, ternak, emas, uang, dll. Dulu saya kadang berpikir Allah itu kok enggak adil ya? Masak hasil panen dikasih zakat 5% sementara emas atau uang cuma 2,5%? Padahal hasil panen itu kan milik para petani yang notabene adalah kaum miskin. Ditambah lagi saya selalu mencari-cari alasan belum nisab-lah supaya tidak membayar zakatnya. Malah ada sejumlah ulama yang bilang kalau padi itu tidak perlu dizakati dan yang menambah saya semakin berat lagi untuk berzakat yaitu budaya zakat masih belum terbentuk di lingkungan saya. Kalau ada orang panen padi saya lihat jarang yang berzakat. Kalaupun berzakat kadang tidak dihitung secara kuantitatif. Jadi asal ambil gabah lalu kasihkan orang. Kadang malah ada yang dikasihkan kerabatnya yang sama sekali jelas-jelas bukan ahli zakat. Yang menambah berat lagi kenapa kok zakatnya dikeluarkan tanpa memperhitungkan biaya? Berarti saya harus menzakati biaya yang tidak saya nikmati? Semestinya kan zakat dikeluarkan setelah dikurangi biaya-biaya?

Begitulah banyak sekali pemikiran-pemikiran, alasan-alasan, dan pandangan-pandangan baik yang bersumber dari logika saya sendiri ataupun lingkungan yang membuat saya semakin malas dan berat berzakat. Suatu hari ada seorang petani yang sedang panen dan panenannya jauh lebih banyak dibandingkan saya karena memang memiliki lahan garapan yang luas. Dia mengeluarkan zakat sih tetapi tidak seberapa dan saya yakin angkanya tidak sampai 5%. Di situ saya mendadak tersadar bahwa beginilah cara Allah mengajarkan keikhlasan kepada hamba-Nya. Yang memiliki banyak tetapi hanya mengeluarkan sedikit sementara yang memiliki sedikit malah mengeluarkan lebih banyak. Di situlah saya benar-benar memahami makna keihlasan dimana keikhlasan itu ternyata bersumber dari dalam hati. Jika hati tidak ikhlas maka tentu akan sangat berat berzakat sesuai perintah Allah. Logikanya kenapa hasil panen yang sudah diperoleh dengan susah payah begitu saja diberikan orang lain? Kalau dipikir dengan logika memang tidak masuk akal.


Keikhlasan merupakan elemen penting dalam menjalani hidup dan beribadah. Jika sudah ada rasa ikhlas dalam hati maka tidak akan adalagi yang bernama berat. Saat masih tidur nyenyak pagi hari dan adzan subuh berkumandang, keikhlasan kita diuji, apakah kita lebih memilih segera lempar selimut ataukah malah tarik selimut? Begitu juga saat sibuk bekerja siang hari dan pelanggan berdatangan, Allah pun memanggil lewat suara adzan agar segera menunaikan shalat dhuhur. Lagi-lagi keikhlasan kita diuji benar-benar. Akankah kita terus mengabaikan suara adzan atau segera berhenti bekerja dan mengambil air wudlu untuk menunaikan shalat. Saat bulan ramadlan juga sama saja. Kalau di daerah saya pada bulan Ramadlan yang identik dengan aktivitas puasa 30 hari malah banyak yang tidak berpuasa. Alasannya hawa di sawah sangat panas dan pekerjaan berat sehingga tidak akan kuat jika berpuasa. Memang sih kalau berpuasa akan sulit bekerja dengan baik di sawah. Saya pernah mengalaminya sendiri bekerja di sawah sambil puasa tidak bisa lama-lama. Paling banter jam 9 sudah harus pulang padahal biasanya bisa sampai jam 10-11. Bekerja juga tidak bisa secepat biasanya. Sementara saya siasati dengan menanam komoditas yang tidak terlalu banyak menguras tenaga. Beberapa orang mensiasati dengan bekerja malam hari lepas maghrib. Sebenarnya bulan-bulan paling sulit adalah jika puasa jatuh pada bulan-bulan panas atau kemarau misalnya Mei-September walau sebenarnya di luar bulan-bulan itu cuaca lebih bersahabat. Disinilah kelihatan siapa yang ikhlas dan tidak. Akan tetapi hanya Allah sendiri dan yang bersangkutan yang tahu keihklasan manusia itu sendiri.