Friday, January 26, 2018

Riba Takkan Pernah Membuat Hidup Lebih Bahagia

     Tadinya saya malas mau membuat tulisan ini tetapi setelah membaca artikel ini saya jadi semakin yakin bahwa apa yang ditulis artikel itu adalah benar adanya. Pertama saya coba ceritakan kisah orang tua saya. Orang tua saya biasa mengambil pinjaman uang di bank sejak saya masih anak-anak antara tahun 80-90-an atau sekitar 30 tahun lebih. Uang itu biasanya digunakan untuk modal tanam di sawah. Jadi setiap awal musim tanam ortu selalu mengambil pinjaman di bank dan mengembalikannya akhir musim tanam. Selama kurun waktu itu kalau saya amati memang ada pasang surutnya tetapi secara umum trendnya negatif.  Tahun lalu malah sebagian sawah ortu terpaksa dijual buat melunasi hutang di bank. Sudah pinjam uang di bank selama puluhan tahun kenapa kok tidak bisa lepas? Itulah yang membuat saya selalu keheranan. Akhirnya saya mengalaminya sendiri. Tahun 2005 saya “dipaksa” ortu mengambil pinjaman di bank tetapi uang itu kemudian ortu yang pakai atau dengan kata lain cuma pinjam tangan. Sebenarnya saya tidak suka berhutang tetapi ortu terus memaksa karena ortu memang sedang membutuhkan dana tambahan. Maklum plafon kredit ortu sudah mentok di bank. Akhirnya jadilah saya berhutang di bank demi membantu ortu. Begitulah setiap tahun saya berhutang di bank demi ortu. Sampai akhirnya kemudian tahun 2013 saya nekad mencoba mengambil pinjaman lebih banyak di bank karena sebagian akan saya gunakan sendiri untuk mengembangkan usaha sementara sisanya seperti biasa buat ortu. Sebenarnya jumlah yang saya pinjam tidak banyak nilainya, hanya Rp 5 juta. Ya seperti yang sudah ditulis oleh artikel di atas Rp 5 juta tidak bersih karena masih dipotong biaya adm, BPJS TK, materai, fotocopy, buka rekening suami istri, dan entah apalagi. Itulah sebenarnya yang membuat saya malas hutang di bank karena terkesan seperti dikadalin tetapi ya sudahlah namanya juga butuh.
     Hasilnya ternyata semua meleset, entah bagaimana saya kesulitan melunasi hutang yang hanya segitu plus bunganya. Bahkan semua tabungan yang saya kumpulkan sejak masih bujang ikut ludes amblas buat melunasinya. Di sinilah saya baru benar-benar percaya bahwa apa yang sudah disampaikan oleh Allah itu akan selalu benar jika riba memang dilarang. Secara kuantitatif hasil yang diperoleh dari riba memang nilainya besar tetapi secara kualitatif sungguh tidak berkah sama sekali. Saya kemudian coba menoleh ke kanan kiri kepada para kerabat, sahabat, dan tetangga yang mengandalkan hutang dari bank. Ternyata semuanya memang tidak ada yang bisa lepas dari jeratan bank seumur hidup. Sekali mereka berhutang maka mereka selamanya takkan pernah bisa terlepas tanpa sebuah niatan kuat untuk berhenti berhutang kepada bank.
     Saya ambil contoh 2 keponakan saya sekarang ini yang sedang jor-joran hutang di bank yang kini nilainya sudah mulai mencapai ratusan juta. Saya tahu betul jika awal-awal berhutang nilai pinjaman mereka masih di bawah 10 jutaan tetapi dalam tempo hanya kurang dari 5 tahun jumlah hutang mereka sudah melesat hingga ratusan juta. Kalau saya yang punya hutang segitu dijamin saya bakalan enggak bisa tidur selama 40 malam. Kehidupan mereka boleh dikatakan memang wow sekarang ini tetapi hutang mereka di bank juga wah. Saya lihat hidup mereka jadi semakin ruwet belakangan. Mereka sekarang bekerja bak kipas angin yang berputar 24 jam tanpa henti sekedar untuk memutar uang yang mereka pinjam di bank dan melunasinya. Keponakan yang satu ini mencoba membuka toko dan mungkin dirasakan masih kurang cukup lalu masih bertani dan sepertinya masih kurang cukup lagi, sekarang masih menambah kegiatan sales dari toko ke toko (dan sepertinya juga masih kurang karena masih ada rencana mau membuka jasa menjahit baju). Yang mengherankan malah beberapa hari lalu masih pinjam tangan saya buat menambah jumlah hutang di sebuah bank. Keponakan yang satunya lagi bertani dan berdagang mobil bekas serta tembakau. Saya tahu jika tahun lalu keponakan yang ini meraih laba cukup banyak laba dari bertani dan perdagangan tembakau tetapi entah mengapa dengar-dengar awal tahun ini masih mengambil hutang lagi ke bank dengan jumlah fantastis padahal juga tidak sedang melakukan ekspansi usaha. Mereka semua saya lihat seperti gali lubang tutup lubang. Hutang di bank A untuk menutup hutang di bank B, lalu hutang di bank C buat melunasi hutang di bank B, begitu seterusnya entah sampai kapan.
     Orang tua saya juga kurang lebih sama. Meskipun sudah punya sawah seluas 1 ha tetapi seolah tak pernah cukup buat melunasi hutang di bank padahal setahu saya hutang paling besar yang pernah diambil di bank cuma Rp 20 juta. Bahkan walaupun masih ditambah usaha budidaya jamur pun seolah masih tak pernah cukup. Ortu saya bekerja laksana budak dari subuh hingga kadang isyak. Mungkin ada yang mengira gaya hidup orang tua saya yang wah? Wah apanya?! Seumur hidup orang tua saya tak pernah traveling ke tempat wisata. Makan sehari-hari juga menurut saya masih kalah jauh dengan tetangga belakang rumah yang rumahnya dari anyaman bambu (gedek) padahal sayur dan buah juga orang tua jarang membelinya karena ortu memiliki pekarangan yang cukup luas yang banyak terdapat tanaman buah dan sayur. Tetangga saya yang punya rumah gedek itu malah semua kebutuhan makannya harus beli. Beras juga ortu tak pernah membelinya karena mengkonsumsi beras dari sawah sendiri. Mau membeli motor cash 1 biji saja meski susah payah dan itupun juga beberapa kali hampir terjual buat melunasi hutang di bank. Begitu juga mau bayar tagihan listrik sebulan yang tidak sampai Rp 200 ribu susahnya bukan main.
     Itulah sebabnya tahun 2015 saya putuskan untuk berhenti dari urusan pinjam meminjam dari bank. Agunan di bank yang sudah berupa sertifikat tanah pun sudah saya tarik. Rupanya di manapun yang namanya bank tak pernah mau kehilangan nasabah potensialnya. Beberapa bulan lalu datang petugas bank yang lagi-lagi menawarkan pinjaman plus dengan rayuan mautnya. Meskipun tetap saya terima dengan baik layaknya seorang tamu tetapi dalam hati masa bodohlah. Saya sudah berjanji tidak akan meminjam uang di bank lagi. Mending saya makan singkong tetapi nyata daripada makan roti tetapi mimpi. Saya merasa hidup saya jauh lebih bahagia tanpa pinjaman uang di bank. Saya bisa tidur nyenyak dan tidak dihantui terus oleh pinjaman + bunganya. Saya memang memiliki lebih sedikit uang tetapi saya merasa lebih berkah dan tentu saja lebih bahagia. Bagi yang masih mau mengejar-ngejar keinginan dengan meminjam uang di bank silahkan teruskan saja hingga ajal menjemput. Saya merasa meminjam uang di bank seperti mengejar ekor sendiri. Saya hanya yakin jika janji Allah pasti benar. 
     Mungkin masih ada yang ingat dengan krisis ekonomi 1997? Mengapa saat itu disebut juga dengan krisis moneter atau krisis keuangan? Pilar utama keuangan sebuah negara apalagi jika bukan bank. Saat itu banyak bank yang tidak sehat yang banyak mengalami kredit macet sehingga akhirnya pemerintah terpaksa melikuidasinya. Untuk menyelamatkan keuangan negara, pemerintah pun rela berhutang kepada IMF dan Bank Dunia. Hasilnya hutang kita semakin menumpuk hingga kini. Nah ternyata jangankan kita sendiri yang cuma individu, sebuah negara pun bisa terjerat jika berurusan dengan bank.
     Terus mungkin ada yang berpikir barangkali saya anti bank? Tentu tidak. Saya hanya anti riba. Saya mempunya rekening bank tetapi tidak pernah saya gunakan untuk berinvestasi.  Saya memakainya sekedar untuk membayar tagihan atau transfer. Itu saja.




Monday, January 22, 2018

Youtube Go Niat Ngirit Jadi Ngorot


     Waktu lihat iklan Youtube Go di TV yang konon katanya bisa ngirit kuota langsung saja saya install. Memang benar saat mau play video ada 3 pilihan yaitu dasar, standar, dan tinggi. Setiap kali kita mau play atau download selalu muncul 3 opsi itu. Yang jadi persoalan adalah jika aplikasi ini digunakan oleh si kecil yang masih belum tahu untuk apa opsi-opsi itu. Anak kecil cenderung mencari yang terdekat sehingga dia selalu lebih memilih tinggi karena opsi ini berada yang paling bawah dekat dengan tombol putar dan yang terjadi bukannya hemat kuota tetapi malah semakin boros akhirnya dengan terpaksa saya uninstall. Coba Google membuat pilihan untuk tidak selalu memunculkan opsi ini setiap mau play atau download video. Sebenarnya ada Youtube Kid yang dibuat khusus untuk anak-anak tetapi entah mengapa Youtube Kid ini lambat sekali loadingnya dan tidak seperti Youtube Go yang bisa melakukan kompresi video.
     Sekarang terpaksa balik lagi ke Youtube Go dengan syarat lebih ketat lagi mengawasi si kecil supaya tidak salah pencet opsi video ke HIGH. Jadi tiap beberapa jam saya selalu cek apakah dia salah pencet ke opsi HIGH atau tidak. 

Wednesday, January 3, 2018

Review Sepatu Running Adidas Element


     Setelah sepatu New Balance sudah mulai jebol di sana sini maka lagi-lagi saya harus berpikir keras menentukan merek dan model sepatu apa yang bakal saya pakai. Seperti biasa saya coba browsing sana sini mencari rekomendasi sepatu running terbaik dan sampailah saya pada satu merek yang sepertinya OK yaitu Adidas. Alasan menggunakan Adidas karena model sepatu merek kebanyakan ini mendapatkan skor yang cukup bagus di runnerconnect.com. Langkah selanjutnya adalah mencoba mencari model yang kira-kira cocok harganya dan sekaligus nyaman dipakai. Setelah search sana sini di berbagai marketplace sampailah saya pada Adidas Element ini. Alasannya karena harganya lumayan murah dan banyak yang memberikan review awet di runnerconnect. Selain saya suka dengan modelnya yang klasik minimalis. Masih agak trauma dengan sepatu New Balance yang dipakai sebentar saja sudah jebol.
     Akhirnya datang juga sepatu dan langsung saya coba pakai. Jleb! Saat dipakai terasa sepatu ini agak sempit padahal ukurannya 40 seperti sepatu-sepatu merek lain yang biasa saya pakai. Saya pikir mungkin masih baru jadi sempit. Yang mengesankan dari sepatu ini adalah enteng. Jauh lebih enteng dibandingkan New Balance apalagi Asics. Nyaris entengnya seperti sandal saja. Keesokan harinya langsung saya pakai buat joging. Langkah bisa lebih cepat karena mungkin bobot sepatu yang enteng. Sampai kemudian saya merasakan ada masalah dengan jari kaki kanan. Sebuah gejala kalau jari akan mengalami lecet. Benar usai joging lecet parah tuh jari sampai terkelupas kulit arinya yang tebal hingga kelihatan kulit jangatnya yang berwarna merah. Terpaksa saya pakai plester. Yang jelas sepatu Adidas ini enak banget dibuat sprint. Kekurangan lainnya tapak sepatu yang cembung sehingga jika melewati jalan yang tidak rata semisal banyak kerikil atau batu-batuan, resiko terkilir sangat besar. Jadi saya cenderung extra berhati-hati saat melewati jalan seperti itu.
     Kemudian saya browsing mencoba menemukan cara bagaimana memperbesar sepatu yang kekecilan ini. Pertama saya coba dengan menyumpal dengan kaos kaki banyak-banyak seharian. Hasilnya tetap saja sepatu tak mau melar. Akhirnya ada yang menyarankan untuk memasukkan kantong berisi air ke dalam sepatu lalu menyimpan sepatu di dalam freezer semalaman. Langsung saja saya praktekkan dan hasilnya sama saja. Sepatu tetap terasa sempit dan ini berarti resiko lecet kembali sangat besar. Saya coba menganalisis apa yang sebenarnya tengah terjadi dengan kaki saya. Yang saya herankan adalah masalah-masalah kaki selalu terjadi di kaki kanan. Kaki kiri jarang bermasalah. Saat pakai New Balance, yang parah juga kaki kanan. Saya coba meneliti jari-jari kaki kanan dan kiri. Kalau dilihat sekilas ukuran jari kaki kanan dan kiri memang sama tetapi kok rasa-rasanya jari-jari kaki kanan sedikit lebih panjang? Pantas saja mengapa bagian ini sering bermasalah. Sebenarnya ini bisa diatasi dengan menggunakan ukuran sepatu yang lebih besar misal 41 tetapi sayangnya untuk Adidas Element ini maksimal ukuran yang tersedia di sellernya cuma 40. Sekarang saya masih terus mencoba berjuang menemukan cara agar sepatu Adidas ini bisa dipakai dengan nyaman tanpa takut lecet. Untuk sementara joging kembali mengenakan sepatu New Balance. 


Update:
     Setelah beberapa kali pemakaian akhirnya sepatu Adidas ini melar juga sehingga tidak menyakiti kaki. Saya hanya mencoba menggunakan kaos kaki yang lebih tipis karena jika menggunakan yang tebal akan tetap terasa sempit. Kelihatannya sih sepatu ini tidak akan awet karena ada bagian yang sudah mulai terlepas lemnya.