Thursday, December 28, 2017

Pelayanan "Purba" Dispenduk Jember


     Siang (27-12-2017) ketika diajak kerabat jalan-jalan ke Roxy Jember ada sebuah pemandangan yang sangat menarik yaitu antrian yang super duper luar biasa. Saya awalnya berpikir berhubung ini sedang akhir tahun saya kira sedang ada sale yang luar biasa. Setelah saya dekati langsung saya sontak kaget ternyata bukan sale atau apalah tetapi entah berapa ratus (atau ribu?) orang sedang antri parah di depan kantor Dispenduk Jember. Biasanya pemandangan ini saya lihat di koran-koran online jika ada pembagian sembako gratis atau pengurusan e-KTP. Kini saya bisa menyaksikannya dengan mata kepala sendiri. Saya tidak menyangka di era yang katanya serba canggih seperti sekarang ini dimana semua bentuk informasi serba digital yang notabene konon katanya jauh lebih cepat kok masih ada saja ada antrian-antrian panjang nan parah yang sudah jelas-jelas terlihat tidak “manusiawi”-nya. Sebuah pemandangan yang enggak ada bedanya dengan antrian BBM tahun 1955 dulu (mundur berapa puluh tahun ya dari sekarang?). 
     Jujur saja berdasarkan pengalaman saya sendiri masih jauh lebih mudah dan cepat mengurus KK dan KTP jaman dulu yang sama sekali belum tersentuh teknologi informasi. Logikanya seharusnya dengan hadirnya teknologi informasi dan komunikasi di era digital akan membawa semakin mudah, nyaman, dan cepatnya sebuah layanan kependudukan. Saya melihat lagi lagi sebuah ketidaksiapan. Saya hanya menduga banyak instansi pelayanan pemerintah hanya ikut-ikutan mengadopsi teknologi ini tanpa sebuah kesiapan dan perencanaan yang matang. Tidak hanya layanan kependudukan semacam ini, beberapa minggu lagi saat saya mencoba mengakses situs SKCK online Jatim juga ternyata situsnya error. Setelah submit data saya tidak berhasil mendapatkan kode booking pembuatan SKCK. Ini berarti mau tidak mau saya harus mengurus offline sehingga terpaksa saya batal membuat SKCK. Begitu pula beberapa hari saat akan membuat laporan ke situs KDRT (situsnya lupa tetapi kayaknya punya pemerintah) setelah submit data lagi-lagi situs menampilkan pesan error di browser seperti bahasa mesin. Awal-awal pendaftaran BPJS dulu (sekitar 2014) juga situsnya error melulu. Tahun lalu juga saat mencoba mendaftar SIM online juga error (dan sepertinya sampai sekarang masih error). Yang cukup mengherankan bagi saya jika sudah error seolah-olah hanya dibiarkan saja sama sekali tanpa ada upaya perbaikan secepatnya padahal bukankah para PNS yang ada sudah melalui seleksi ketat yang sudah teruji kompetensinya? Atau memang anggarannya yang sudah habis disunat sana sini? Ah, entahlah...
 Padahal banyak orang yang ingin mendapatkan layanan dengan kemudahan dan kenyamanan. Entah sampai kapan lembaga-lembaga pemerintah ini akan benar-benar siap dengan kemajuan di bidang IT.
NB: Maaf ya kalau judulnya terlalu "kasar" tetapi memang demikianlah yang saya lihat.

Monday, December 25, 2017

Tamu-Tamu Rempong!

     Beberapa hari lalu di rumah kedatangan beberapa kerabat orang tua yang terdiri dari 4 orang. Sudah lama sekali saya tidak berjumpa dengan mereka. Yang dua orang saya terakhir berjumpa setahun yang lalu waktu berkunjung ke Surabaya. Yang dua lagi saya baru kali ini bertemu. Sebenarnya saya sudah tidak ingin bertemu dengan mereka karena bagi saya mereka cuma bagian masa lalu yang sudah tidak relevan hari ini. Apalagi saya tahu mereka itu orang-orangnya rempong dan rese. Akan tetapi saya tidak mungkin menolak kedatangan mereka karena bagaimanapun saya masih menghormati orang tua saya.
     Benar apa yang saya takutkan akhirnya menjadi kenyataan. Saat mereka datang dan berbincang sebentar dunia pun seolah sudah runtuh di atas kepala saya. Yang dua orang yang baru lima menit kenal sudah menghakimi saya begini begitu. Baru kali ini saya melihat ada orang seperti ini. Pertama langsung “merendahkan” saya karena tidak kerja di kantor. Saya heran memang salah ya kalau tidak kerja di kantor? Apakah untuk hidup orang harus kerja di kantor? Kalau di kota wajar orang kerja di kantor wong kantor ada dimana-mana. Kerja di kantor di kota bukanlah hal yang istimewa. Kalau di desa mau kerja di kantor tapi mana ada kantor di desa? Paling-paling kalau memaksakan diri kerja di kantor pemerintahan desa.  Lain padang lain belalanglah om dan tante! Saya hanya melihat betapa picik pandangan mereka padahal yang laki-laki seorang pensiunan karyawan perusahaan konstruksi sedangkan yang istrinya seorang guru SMP.  Hanya Tuhan yang boleh berada pada posisi merendahkan seorang manusia. Manusia tak peduli sehebat apapun cuma setitik debu di jagad raya ini!! Lagian saya tak tertarik duduk-duduk seharian di kantor. Duduk-duduk seharian di kantor cuma bikin perut buncit, pundak dan bahu pegal. Maaf bagi saya perut buncit bukanlah sesuatu yang seksi (hehe…). Ya mungkin masih banyak orang yang menganggap jika perut buncit sebagai lambang kemakmuran tetapi coba tanya yang paham dunia kesehatan apa bagusnya memiliki perut buncit. Kalau kalian mau berbuncit-buncitan silahkan saja sendiri dan tidak usah ajak-ajak saya. 
     Yang kedua rempong tanya ini itu tak penting. Masak sih baru kenal 5 menit udah tanya merek susu anak saya. Emang urusannya apa? Mau saya pakai susu yang harganya Rp 10 ribu/kotak atau Rp 1 juta/kotak atau sama sekali tidak minum susu formula? Emang masalah buat mereka? Heran deh. Mereka juga tanya-tanya kabel di belakang TV itu buat apa. Pingin sekali saya jawab buat menjerat kepala dan lidah lo yang gak tahu aturan itu! Saya benar-benar sebal dan marah. Cepat-cepat saya keluar rumah. Malas meladeni mereka. Eh ketika di luar rumah mereka masih memanggil-manggil saya supaya masuk. Mungkin mereka belum puas “menyembelih” saya. Saya sudah tidak pedulikan. Bayangkan padahal beberapa hari sebelumnya saya sekeluarga sudah menghabiskan banyak waktu untuk menyambut mereka. Rumah, kamar tidur, dan halaman semuanya dibersihkan berkali-kali sampai cling. Kenyataannya eh yang disambut malah bikin sakit hati si tuan rumah. Kalau saya tidak ingat jika mereka masih kerabat orang tua saya sudah saya usir saat itu juga. Kepala saya benar-benar panas tetapi saya masih mencoba mendinginkan hati. 
     Di hari terakhir mereka tinggal juga masih sempat-sempatnya membuat saya jengkel. Waktu itu ibu saya sakit dan saya antar ke klinik untuk opname. Pulang dari klinik dalam kondisi capek saya malah dikeroyok habis-habisan oleh mereka. Mereka memvonis yang saya tidak peduli dengan orang tua, yang saya tidak tahu menangani kesehatan orang tua, dll. Hello om dan tante maaf ya saya sudah bukan anak kecil lagi tahuuu? Saya cuma menjawab sedikit-sedikit dan lebih banyak diam karena saya sudah bertekad takkan meladeni mereka lagi. Mereka 3 orang ribut sendiri berargumen seolah-olah mereka itu dokter ahli saja. Yang lucu mereka menanyakan tensi ibu kepada saya. Mana saya tahu? Mereka menyimpulkan jika saya tidak peduli dengan orang tua. Ibu masuk ke ruang IGD dan saya menunggu di luar karena saya memang tidak betah berlama-lama di ruang UGD yang bau obat bikin mual dan pusing. Lagipula buat apa saya tahu ini itu? Bagi saya jika saya memasukkan pasien ke fasilitas kesehatan berarti saya sudah pasrah sepenuhnya kepada tenaga kesehatan yang ada di situ. Biarkan mereka bekerja dengan maksimal. Kalau kita memasukkan pasien terus kita sendiri masih sibuk mengurusi tensinya, kadar kolesterolnya, HBnya, faal ginjal, obatnya, dll lah lantas buat apa kita memasukkan pasien ke faskes? Mending dirawat sendiri di rumah, didiagnose sendiri, dilabkan sendiri, diobati sendiri, dll. Lebih praktis kan? Akan tetapi pertanyaannya adalah apakah kita memiliki cukup kompetensi? Kita toh bukan tenaga kesehatan dan kalaupun iya juga apakah cukup memiliki fasilitas pendukungnya? Teman saya yang seorang dokter saja kalau suami dan anaknya sakit langsung dibawa ke RS kok. Yang makin lucu lagi adalah mereka memvonis dokter itu bodoh karena sekarang sudah ada lab. Logika mereka dengan lab semua penyakit bisa diketahui. Saya makin heran, kalau ada pasien mengalami serangan jantung mendadak apakah mau dilabkan dulu? Kalau ada pasien terkena shock anafilaktik apakah petugas lab disuruh menangani? Keburu koitlah. Kalau kaki pasien patah karena kecelakaan apakah mau dibawa ke lab dulu? Kelihatan pintar tapi mereka cuma asal jeplak saja. Antara tenaga kesehatan sudah memiliki kompetensinya masing-masing.  
     Bagi saya, ibu yang sakit adalah hal biasa. Ibu menderita penyakit ini sudah lama sekali belasan tahun. Hampir seminggu sekali saya selalu mengantarkannya ke dukun, dokter, perawat, dan klinik. Namanya juga orang tua wajar jika sering sakit misal hipertensi, gangguan asam lambung, asam urat, kolesterol, dll. Saya sudah merawat ibu belasan tahun jadi tahu persis penyakit ibu sementara orang-orang itu baru kenal ibu juga sehari sudah bisa bilang begini begitu. Impossible lah yang baru kenal sebentar tahu lebih banyak dibandingkan yang sudah merawat belasan tahun. Ditambah lagi gaya hidup ibu saya memang tidak sehat selama ini. Ibu saya sangat suka makanan berlemak, malas olahraga, dan sering kurang istirahat. Saya sudah lama menyarankan beliau untuk lebih bergaya hidup lebih sehat tetapi beliau tidak mau. Saya tentu tidak bisa berbuat apa-apa. Jadilah kalau sakit hanya sekedar saya antarkan kemana beliau inginkan. Walau sudah lama sekali saya menyarankan supaya diperiksa di RS yang besar agar mendapatkan penanganan yang lebih baik tetapi ibu selalu menolak. Bisa dibilang ibu bertahan hingga hari ini karena obat-obatan yang dikonsumsinya terus menerus. Tiada hari tanpa obat bagi ibu saya. Tiap kali pulang berobat entah dari dokter atau perawat selalu membawa banyak sekali obat. Saya tahu itu tidak baik buat kesehatan ibu saya tetapi saya juga tidak bisa berbuat apa-apa karena toh semua nasehat saya sudah tidak ada yang mempan. Saya cuma bisa pasrah. 
     Syukurlah mereka tinggal di rumah cuma 3 hari. Kalau sampai lebih saya bisa stress berat. Toh setelah ini semoga saya sekeluarga sudah takkan bertemu lagi dengan mereka. Amin! Terima kasih atas semua kenangan buruk yang telah kalian tinggalkan!  My own world is much better without all of you! Kalian cuma orang-orang toksik yang membawa dan menebarkan racun kemana-kemana. 

Thursday, December 21, 2017

Internet XL Yang Sudah Sekarat


     Kalau bulan-bulan kemarin gangguan internet XL hanya terjadi beberapa kali dalam seminggu maka saat ini bisa dikatakan internet XL sudah sekarat. Setiap hari selalu saja ada yang tidak beres. Masalahnya apalagi jika bukan lelet luar biasa. Dengan sinyal LTE kecepatan internet XL kini bahkan sudah sulit untuk menyamai EDGE atau bahkan GPRS sekalipun. Yang sering terjadi adalah internetnya bengong dengan speed hanya 0 kbps. Jika dilakukan ping maka akan terlihat rangkaian panjang RTO. Ini bukan berlangsung cuma 1-2 jam tetapi bisa seharian penuh dan itu terjadi setiap hari bahkan saat subuh sekalipun. Siapa yang tidak naik darah kalau begini terus menerus? Bahkan orang paling alim pun saya kira bisa senewen berat. Benar-benar internet XL sudah tidak layak pakai. Kini saya benar-benar sudah pasrah. Komplen juga sudah hampir setiap hari lewat twitter tetapi bukannya membaik malah semakin memburuk saja. Jawaban CS XL juga selalu bisa ditebak: copot SIMcard, gunakan mode pesawat beberapa saat, bla bla yang basi banget menurut saya. Bahkan adik saya di Surabaya sudah membuang kartu XLnya dan kini menggunakan Tri.

     Kini saya benar-benar dihadapkan dengan sebuah kesulitan besar. Saya harus pakai apalagi? Telkomsel sih OK tetapi tarifnya sangat tidak bersahabat. Indosat sempat saya lirik tetapi saya melihat model paketnya mirip Telkomsel dengan berbagai pembagian zona yang ruwet seperti 4G, all network, MDS, untuk aplikasi tertentu yang malah bikin pusing. Tri belum tahu tetapi sinyal 4G-nya kecil banget. Smartfren sih sinyal bagus cuma kayaknya saya melihat tarifnya 11 12 dengan Telkomsel (bahkan jauh lebih mahal dibandingkan Telkomsel). Indihome tidak ada kabel Telkom di depan rumah. 
Hasil ping Google 

Friday, December 1, 2017

Tretes Dan Bisnis Plus Plus


      Ketika menyebut Tretes pasti pikiran banyak orang langsung mengasosiasikannya dengan sesuatu yang negatif. Ya apalagi jika bukan masalah industri prostitusi. Jika dibandingkan tahun 1998 ketika ke-2 kalinya saya kesana dan kondisi sekarang tentu sudah jauh berbeda. Saat ini pertumbuhan villa dan hotel sangat pesat di sana. Bahkan banyak rumah hunian yang dipaksakan menjadi villa. Rumah-rumah karaoke juga gampang ditemui di sepanjang jalan di sekitar tempat saya menginap. Setiap saya lewat di depan rumah karaoke selalu saja terdengar ada yang sedang menyanyi. Tulisan kamaran atau villa disewakan ada dimana-mana. Saya juga melihat ada 2 tempat pijat yang entah itu tempat pijat beneran atau tidak bener”. Maklum pintunya tertutup terus dan saya tidak pernah melihat ada orang keluar masuk.
Rupanya tidak banyak yang berubah dengan Tretes yang selalu lekat dengan industri prostitusinya. Alasannya adalah:
1. sabtu sore ketika sedang berjalan-jalan dengan istri saya melihat ada mbak-mbak berpakaian super mini sedang jalan di sebuah gang. Entah istri saya melihatnya atau tidak. Akan tetapi esok harinya istri bercerita bahwa dia barusan melihat mbak-mbak berpakaian mini. Saya tidak yakin jika mbak-mbak ini wanita baik-baik. Begitu pula saat makan durian kami melihat segerombolan wanita heboh makan durian. Dandanannya agak terbuka dengan sebagian pantat jelas terlihat. Jujur saja kalau saya melihat "pemandangan" seperti itu bukannya ON malah langsung OFF hehehe...
2. Ketika pulang dari membeli durian tanpa sengaja saya menemukan k*ndom bekas di pinggir jalan raya. Saya awalnya tak percaya namun saya ajak istri untuk melihat lebih dekat dan memang benar itu adalah k*ndom bekas.
3. Saat berkemas mau pulang saya mengangkat kasur ranjang dan di bawahnya saya menemukan bekas bungkus tisue mag*c.
     Meskipun demikian Tretes tetaplah tempat yang menyenangkan untuk berlibur. Kawasannya sejuk, asri, dan bersih. Warga aslinya juga ramah-ramah. Mereka tidak cuek jika ada pendatang. Jujur kami kerasan seandainya berlama-lama di sana. Sayangnya hujan yang turun terus menerus membuat kami kesulitan menjelajahi aneka tempat wisata yang ada di sana. Airnya juga dingin sekali yang membuat saya malas menyentuh air. Saat air mengenai kulit seperti langsung mengerut. Saya juga melihat anak-anak sekolah di Tretes berbeda dengan di tempat saya. Saat mereka berangkat sekolah sebagian besar mereka memakai angkot atau diantar ortunya. Hanya beberapa yang berangkat menggunakan sepeda. Beda jauh dengan di tempat saya jika hampir semua anak membawa motor sendiri saat ke sekolah padahal jika sudah berada di jalan kelakukan anak-anak sekolah ya begitulah...
     Harga makanan di Tretes juga relatif standar kecuali di dalam kawasan wisata yang cukup mahal. Hampir sama dengan harga makanan di tempat tinggal saya. Kalau rasanya saya agak kurang suka karena
Pintu masuk 02 Kakek Bodo
cenderung manis. Mungkin karena saya sudah terbiasa dengan makanan yang gurih-gurih dan pedas. Sayangnya hanya kenapa tidak ada minimarket 24 jam padahal kawasan ini adalah kawasan yang tak pernah tidur. Padahal di tempat tinggal saya yang lebih sepi ada 2 buah minimarket 24 jam.  

Wednesday, November 29, 2017

Mud Warrior 3: Ketika Semua Menjadi Salah

Medali finisher

    Entah mimpi saya yang bisa sampai mengikuti acara ini tetapi setelahnya saya baru tahu jika keputusan mengikuti acara ini adalah salah satu keputusan dalam hidup saya yang tak pernah saya sesali. Berawal dari tiket gratis yang diberikan oleh FP NoPainNoGain (Counterpain) rasanya sayang kalau dilewatkan begitu saja. Awalnya saya merasa acara ini bukanlah acara yang menarik. Sempat maju mundur beberapa hari mau ikutan atau tidak. Akhirnya saya putuskan untuk ikut. Kalaulah tidak menarik paling tidak saya sudah mencobanya.
     Seperti yang sudah saya ceritakan di artikel perjalanan ke Tretes dan Trawas 2017, bahwa saya datang hari Sabtu di Tretes bersama anak dan istri. Saya check in hotel sekitar pukul 13.00. Disinilah kesalahan pertama sudah saya buat. Seharusnya saya datang paling tidak hari sebelumnya (Jumat) sehingga saya bisa beradaptasi dengan hawa pegunungan yang sejuk dan katanya oksigennya lebih tipis. Kesalahan kedua sebenarnya saya dalam kondisi tidak fit 100% karena beberapa hari sebelum itu saya sempat melakukan donor darah dan saat cek kadar HB saya tidak lolos. Sudah berkali-kali donor baru kali ini HB anjlok. Kesalahan ke-3 adalah keputusan untuk lari dari Tretes ke Trawas Minggu pagi. Sabtu malam saya ngobrol dengan istri memutuskan transportasi apa yang sebaiknya saya ambil dari Tretes dan Trawas. Dari GPS saya perkirakan jarak keduanya hanyalah sekitar 5 km.  Saya kira jarak segitu cukup pendek dan saya perkirakan dalam tempo tidak sampai 1 jam saya sudah tiba di lokasi. Ternyata dari Endomondo ketika saya tiba di UTC pukul 6 tertera jarak 11 km lebih. Gilanya lagi trayek tidak
Gambar gelap karena masih pagi buta
datar tetapi naik turun bahkan naik curam. Dari arah Tretes hingga ke POLSEK enak saja trayek turun terus tetapi begitu belok kiri menuju Trawas jalan mulai naik gila. Kalau begini jarak 10 km saja artinya dengan 20 km datar. Akhirnya aktivitas lari yang sudah saya set di Endomondo saya ubah menjadi jalan. Jadi lari jalan lari jalan. Untungnya saya berangkat cukup pagi sekitar pukul 4.15 sehingga seandainya molor saya masih memiliki banyak waktu. Syukurlah di tengah jalan Jolotundo saya dibonceng seorang anak dari Mojokerto. Saya lupa juga jika pegunungan memiliki oksigen yang lebih sedikit. Kesalahan ke-4, tidak ada atau sedikit carbo loading. Entah mengapa saya kok sabtu malam tidak menyiapkan misal roti atau biskuit buat sarapan esok hari. Hujan dan udara dingin benar-benar telah membekukan semua pikiran saya. Saya cuma sarapan dengan 2 batang kecil wafer sisa si kecil. Saya putuskan kalau-kalau di jalan bisa bertemu warung atau minimarket 24 jam maka saya akan membeli makanan. Kenyataannya saya tidak menemukan apapun juga. Semua tutup rapat sepanjang jalan. Saya agak heran karena di tempat tinggal saya yang notabene lebih "ndeso" ada minimarket 24 jam. Syukurlah perut saya masih bisa diajak kompromi. Sebenarnya sih saat akan start dari hotel ada ojek yang menawarkan jasa cuma saya merasa over confident jadilah saya tolak. Kesalahan ke-5 dehidrasi. Saya berangkat dengan tenggorokan kering karena stok air di kamar habis semuanya padahal sorenya sudah beli cukup banyak air mineral. Rupanya cemilan wafer dan keripik sudah bikin kami semua banyak minum. Saya cuma menyeruput air keran sedikit dan berharap tidak pilek. Saya baru menemukan sebuah warung kecil buka dekat jalan Jolotundo kalau tidak salah dan membeli air mineral di sana dan langsung saya masukkan water bladder. Saya tidak sarapan di situ karena rupanya si ibu masih sibuk baru saja mulai memasak. Sialnya saya lupa membersihkan water bladder sehingga sisa air beberapa hari sebelumnya tercampur dengan air yang baru masuk. Jadinya rasa air mineralnya aneh, ada asam-asamnya. Ah sudahlah berhubung sudah haus ya diminum saja. Semoga tidak sakit perut. Kesalahan ke-5, saltum alias salah kostum. Ini mutlak kesalahan saya sendiri. Saya memang tidak menyiapkan kostum sendiri tetapi istri yang menyiapkan. Saya pikir istri sudah tahu kostum yang biasa saya pakai buat olahraga. Tak tahunya istri membawa kostum yang bukan setingan buat olahraga tetapi buat santai di rumah. Kaosnya berwarna kuning cerah dan kebesaran. Celana pendeknya juga kebesaran dan berat. Pas deh sehingga bikin saya susah lari. Sialnya ketika celana pendek ini terkena lumpur langsung seperti mau melorot saja. Kaos itu kemudian menjadi korban karena dicuci selama apapun dan dengan cara bagaimana pun tak pernah bisa bersih. Duh beneran sial banget. Kesalahan ke-6, kurang tidur. Tidur di tempat dimana saya belum pernah tidur sebelumnya selalu membuat saya susah tidur. Mana orang di kamar sebelah ngorok keras sekali sepanjang malam. Baru kali itu saya mendengar ada orang ngorok sekeras itu. Padahal kurang tidur bisa menyebabkan performance olahraga menurun tajam.
       Kesalahan ke-7, saya tidak tahu banyak Mud Warrior. Gambaran awal tentang Mud Warrior adalah trail running yang dibumbui rintangan-rintangan alam “kecil”. Tak tahunya semua di luar dugaan saya. Seharusnya saya menggali lebih jauh tentang event ini dari internet sebelumnya. Begitu memasuki lapangan saya kira acara sudah selesai dan tak tahunya tantangan sebenarnya baru saja mulai. 3 tantangan akhirnya tidak bisa saya lewati yaitu rope climbing, monkey bar, dan 7th wall. Great wall sebagai rintangan terakhir membuat nyali saya langsung menciut karena melihat sebagian besar peserta gagal sehingga saya tidak mencobanya sama sekali. Padahal semestinya saya harus mencobanya entah akan gagal atau tidak. Kesalahan ke-8 tidak bawa baju pengganti karena saya kira hanya akan memberatkan isi hydropack saja. Jadilah saya harus bertahan dengan celana pendek
basah selama beberapa jam. Ditambah udara dingin membuat rasa basah semakin menggigit. Kesalahan ke-9 saya kebingungan menentukan transport balik ke Tretes. Saya sudah tidak mungkin lari lagi dengan energi yang sudah nol dan udara panas. Untunglah ada shuttle pickup dari UTC hingga perempatan apa namanya saya tidak tahu. Langkah pertama saya adalah mencari warung makan. Ada sebuah warung kecil langsung saya belok. Menunya sederhana sekali. Saya cuma memesan sup bandeng. Sialnya penjualnya kasih saya nasi banyak sekali dan nasinya pun nasi lembek padahal saya tidak doyan nasi lembek. Lihat hidangannya saja sudah membuat saya langsung kenyang. Walhasil nasi cuma saya makan sedikit. Berikutnya saya bertanya-tanya ke orang-orang di pinggir jalan kira-kira dengan cara apa saya sampai ke Tretes. Ada mbak yang menyarankan saya naik angkot 2x supaya sampai Tretes. Duh kelamaan keburu sudah tidak tahan dengan celana yang basah. Akhirnya ibu penjual nasi itu menyarankan saya naik ojek saja. Saya jalan kira-kira 200 m dan bertemulah dengan mas ojek. Mas ojek kasih harga Rp 25 rb. Ya sudahlah berhubung saya sudah dalam kondisi capek parah dan celana basah membuat saya harus segera sampai ke hotel kembali. Lagi-lagi 100 m dari hotel hujan lebat langsung menghajar saya. Kesalahan ke-10 adalah awalnya saya menganggap acara ini adalah acara yang biasa-biasa saja tetapi ternyata ini adalah acara yang luar biasa hebat! 
     Meskipun demikian bukan berarti tidak ada kesenangan sama sekali dari acara ini. Saya banyak bertemu dengan orang-orang dari berbagai wilayah di Indonesia. Ada yang sendirian tetapi tidak sedikit bersama dengan komunitas olahraganya. Sebagian besar masih anak-anak muda yang penuh semangat. Bahkan banyak yang kelihatan sudah mempersiapkan diri jauh-jauh hari dengan melatih fisik dan mental. Di awal race saya sempat tidak yakin bisa finish namun saya bertekad bahwa saya harus mencoba dan terus berusaha tidak peduli apapun yang sedang terjadi. Hingga masuk lapangan semua rintangan bisa saya lewati dengan baik tanpa hukuman burpees. Bahkan beberapa peserta elite pria dan wanita yang sudah berangkat lebih dulu ada yang bisa saya lewati. Sayangnya begitu masuk lapangan maka tenaga saya sudah berada di titik nadir hingga 7th wall pun tidak bisa saya lewati. Sepanjang rute ada 2 water station cuma sayangnya yang tersedia hanya air elektrolit padahal saya berharap ada energy bar atau gel atau paling tidak pisanglah karena saat berolahraga
yang paling cepat terkuras selain cairan adalah glukosa. Acara yang luar biasa. Semoga tahun depan bisa lebih menantang lagi. Kalau bisa setiap ada event ada beberapa tantangan baru yang unpredictable sehingga peserta tidak tahu sebelumnya. Begitu pula jarak tempuhnya sebaiknya ditambah semisal >10km. Dengan begini akan semakin terlihat endurance peserta. Tidak cuma uji kekuatan tetapi juga ketahanan. Tahun depan kemungkinan besar saya pasti akan bergabung kembali tentu dengan persiapan yang jauh lebih baik. Jarang ada yang sempurna saat pertama kali tetapi biasanya yang pertama kali itu yang paling berkesan dan tetap dikenang terus. Banyak orang mungkin berpikir buat apa gila menghabiskan waktu, tenaga, dan uang hanya untuk sebuah event seperti ini? Mereka hanya belum tahu bagaimana rasanya ketika bisa melakukan sesuatu yang awalnya kita yakini tidak mampu kita lakukan sama sekali.

Kenangan Perjalanan Wisata Keluarga Ke Tretes Dan Trawas 2017


     Sebenarnya jelang akhir tahun ini sama sekali tidak ada rencana buat liburan jauh tetapi karena saya telah memenangkan tiket gratis (terima kasih ya Counterpain!) Mud Warrior 3 yang diselenggarakan di Trawas maka sayang sekali jika kesempatan emas itu dilewatkan begitu saja. Apalagi saya belum pernah ikutan event-event seperti ini. Dulu sempat dapat tiket Jogja Marathon gratis dari bank Mandiri tetapi tidak saya gunakan karena terbentur dengan masalah keuangan (bahasa halus: bokek). Kebetulan ada sedikit rejeki tahun ini maka tidak salahlah kiranya jika saya mengikuti event ini. Itung-itung sebagai pengalaman saja. Awalnya saya berencana sendirian yang akan berangkat langsung ke Trawas tetapi saya kira tidak salahlah jika sekali-sekali mengajak istri dan si kecil juga. Pertama-tama saya coba melihat-lihat harga hotel di sekitaran Trawas lewat internet dan gila sama sekali tidak ada yang murah. Kemudian saya coba menghubungi admin Mud Warrior 3 siapa tahu bisa kasih info penginapan yang murah di  seputaran Trawas dan dari semua tempat yang direkomendasikan ternyata tak satupun yang terjangkau bagi kantong saya. Saya harus putar akal. Berhubung saya naik kereta api maka stasiun pemberhentian terakhir saya adalah stasiun Bangil. Saya kemudian berpikir kenapa saya tidak menginap di Bangil saja? Saya kemudian sekali lagi mencari info hotel di Bangil. Ternyata pilihannya sangat terbatas dan saya berpikir jarak Bangil Trawas kan lumayan jauh sementara jam 7 pagi acara sudah dimulai. Saya ragu jika saya bisa tiba tepat waktu di Trawas. Lagipula saya masih belum mendapatkan gambaran transportasi apa yang akan saya gunakan dari Bangil ke Trawas. Coba lagi mencari-cari lokasi hotel yang dekat dengan Trawas akhirnya saya mendapatkan Tretes. Sebenarnya tempat ini bukanlah tempat yang asing bagi saya. Saat kuliah dulu saya 2x mengunjungi tempat ini bersama-sama dengan teman-teman kuliah sekitar tahun 1995 dan 1998 mungkin. Untuk Trawas pernah sekali sekitar 1997 di air terjun Dlundung saat menjadi OC Camp Maba. Untuk mendapatkan harga yang benar-benar bagus saya search dari berbagai aplikasi dan web dan akhirnya saya mendapatkan hotel di Pesangrahan di Tretes. Saya booking 3 malam 4 hari biar puas liburannya dan juga untuk mengantisipasi hal-hal tak terduga.
     OK masalah hotel sudah selesai sekarang tinggal masalah transportasi. Untuk kawasan Tretes paling mudah memang dijangkau dengan bus umum karena jika menggunakan kereta api agak susah namun istri tetap meminta naik kereta api. Jika menggunakan bus bisa turun di terminal Pandaan dan langsung naik angkot ke Tretes. Kalau naik kereta api entahlah bagaimana. Akhirnya saya putuskan nanti saja saat sudah tiba di stasiun baru dipikirkan.
     Hari yang ditunggu pun tiba, Sabtu 25 November kami berangkat menuju stasiun Rambipuji (Jember) dengan diantar. Setelah check in, kereta Tawang Alun pun datang sekitar pukul 8 dan tiba di stasiun Bangil sekitar pukul 11 siang. Hawa Bangil panas menyengat berbeda jauh dengan hawa di dalam gerbong yang sejuk. Sebentar saja baju sudah basah kuyup oleh keringat. Langkah pertama saya mencoba keluar terminal melihat-lihat aneka angkutan umum yang tersedia. Ada ojek pangkalan, ada angkot warna kuning, dan ada pula taxi. Saya jadi bingung. Saya kemudian bertanya kepada salah satu petugas kereta api yang ada di dalam stasiun dan merekomendasikan angkot kuning tetapi saya masih ragu menggunakannya karena kondisi angkot yang kosong melompong semuanya. Dari sekian angkot kosong melompong seluruhnya. Kalau saya harus menunggu keberangkatanya pasti akan memakan waktu sangat lama. Akhirnya saya mencoba-coba buka aplikasi gojek. Yang pertama saya coba adalah layanan GoCar. Ternyata setelah searching sekian lama sama sekali tidak ditemukan drivernya. Kesimpulan saya layanan ini memang belum tersedia. Akhirnya terpaksa saya mencoba GoRide. Saya masukkan titik awal keberangkatan Bangil dan tujuan adalah Tretes. Aplikasi sempat error karena jarak yang melebihi 25 km tetapi entah bagaimana kemudian bisa juga. Dengan Gopay ongkos 36 ribu sedangkan cash 46 ribu. Berhubung saldo Gopay cuma 50 ribu ya terpaksa saya pakai cash dan istri pakai Gopay. Rupanya aplikasi ini bisa melakukan 2 order sekaligus. Jadi buat yang tidak punya aplikasi bisa numpang yang punya. Setelah itu langsung muncul seorang driver gojek dan seorang temannya. Perjalanan pun dimulai. Jalan ke arah Tretes cenderung naik. Sesampainya di Pandaan cuaca langsung berubah mendung. Begitu masuk Tretes cuaca sudah berubah menjadi hujan deras. Syukurlah rider istri dan si kecil membawa mantel sehingga mereka tidak basah tetapi saya yang sial. Ridernya tidak membawa mantel dan jadilah saya basah kuyup. Sepatu, kaos kaki, jaket, dan celana basah semuanya. Mana hawa Tretes dingin luar biasa lagi. Saya coba bertanya ke mas-mas gojeknya apakah pernah mereka mengantarkan penumpang hingga ke
Pemandangan dari arah balkon 
Tretes? Mereka bilang baru sekali ini. Selama ini jarak terjauh baru Pandaan. Setelah check ini saya pun beristirahat sembari menikmati pemandangan pegunungan nan asri. Hujan terus mengguyur hingga pukul 16.30 dan kamipun langsung keluar buat melihat-lihat suasana di sekitar hotel sembari membeli makanan. Langit masih mendung dan sesekali petir menyambar yang berarti tidak lama lagi bakalan turun hujan. Benar sekitar pukul 17 hujan deras kembali turun hingga larut malam padahal rencana saya sekitar pukul 14 akan langsung mencoba masuk ke wisata Kakek Bodo. Waktu kami habiskan buat mengobrol kira-kira besok saya ke Trawas mau naik apa. Nanti akan saya ceritakan semuanya di artikel Mud Warrior 3: Ketika Semua Menjadi Salah. Keesokan paginya (Minggu) saya berangkat ke Trawas untuk mengikuti lomba Mud Warrior 3 sampai dengan pukul 11.30. Pulang dari Trawas dengan ojek, 100 m dari hotel hujan lebat kembali turun padahal saat saya masih di Trawas cuaca hanya mendung. Kembali hujan tidak mau berhenti hingga malam hari. Praktis kami menghabiskan waktu hanya dengan menonton TV sambil menyiapkan acara besok pagi berwisata ke Kakek Bodo.
     Senin pagi saya mengajak istri dan si kecil jalan-jalan sebentar hingga ke istana durian dan istri tertarik mencoba sebuah durian. Istri memang penyuka durian walau saya tidak begitu suka. Entah kenapa makan durian sedikit saja sudah eneg. Si kecil malah tidak doyan. Durian Monthong dengan daging tebal empuk jadi sarapan pagi. Kembali ke hotel kami sudah diberikan sarapan nasi goreng. Usai sarapan kami langsung berkemas menuju wisata Kakek Bodo yang jaraknya hanya 500 m dari hotel. Tiket masuk murah di hari kerja hanya rp 10 ribu. Suasana sangat sepi. Saya hanya melihat sepasang pemuda/i di belakang saya ikut masuk. Kalau saya bandingkan dengan 19 tahun lalu terakhir saya menginjakkan kaki di Kakek Bodo banyak sekali perubahan yang sudah saya lihat. Saya melihat sekarang lebih bersih, terawat, dan teratur. Fasilitas-fasilitasnya juga lebih banyak. Saya mencoba melihat lokasi camp saat saya masih menjadi Maba tahun 1995 dulu dan ternyata sudah banyak berubah. Toiletnya lebih bersih dan bagus. Begitu pula ada ayunan. Yang cukup mencolok adalah banyak sekali pedagang dari pintu masuk hingga air terjun dimana dulu saya sama sekali
Kakek Bodo
tidak melihat satu pedagang pun. Di area air terjun saya melihat pintu yang membatasi akses pengunjung untuk mandi-mandi padahal dulu seingat saya pintu pembatas ini tidak ada. Si kecil pun tak tahan langsung mandi-mandi di sungai yang ada di situ. Saat itu hawa cukup panas namun tak berapa lama berselang mendung pun datang. Hawa panas langsung berubah menjadi sejuk. Dari mulut saya langsung keluar uap.  Istri saya pun menyuruh saya cepat cepat turun supaya tidak terperangkap hujan. Kami pun segera turun tetapi mencoba lewat pintu 01. Ternyata ada kolam renang di dekat pintu masuknya padahal dulu tidak ada. Kami melangkah bergegas menuju hotel dan benar 100 m dari hotel gerimis langsung menyergap. Tak lama berselang hujan datang. Kembali kami terperangkap di dalam hotel hingga larut malam.
     Hari selasa pagi adalah hari terakhir liburan kami. Semula kami akan check out agak siang sekitar pukul 11 karena kereta berangkat dari stasiun Bangil masih pukul 18 tetapi berhubung cuaca tak menentu maka kami memutuskan untuk check out lebih pagi sekitar pukul 9. Setelah diberi sarapan roti bakar kami pun berjalan kaki menuju depan Inna Tretes menunggu angkot lewat. Angkot sering lewat hanya sampai pukul 7 karena banyak anak berangkat sekolah. Lewat pukul itu sudah sepi. Setelah menunggu cukup lama akhirnya datanglah angkot yang membawa kami hingga ke terminal Pandaan dengan tarif Rp 10 ribu/orang. Saya baru ingat jika terminal Pandaan ini terminal kecil. Di depan ada supermarket besar dan istri beli oleh-oleh di sana. Usai belanja lagi-lagi kami kebingungan akan pergi ke Bangil. Setelah bertanya pada jukir di supermarket di dapat info jika kami bisa melanjutkan perjalanan dengan naik angkot tetapi untuk itu harus berjalan sekitar 1 km.         Lumayanlah jalan sambil membawa tas yang lumayan berat dan si kecil yang sedang rewel. Ternyata itu adalah perempatan besar. Saya kembali bertanya kepada seorang SATPAM toko yang ada situ dan mendapatkan info jika angkot yang menuju Bangil jarang-jarang ada. Kami pun menunggu lama dan si kecil sudah menangis gas pol plus hawa panas bukan main. Berhubung situasi sudah tidak memungkinkan akhirnya saya kembali buka aplikasi Gojek siapa tahu menemukan rider di sekitar situ dan saya langsung menemukan. Berhubung kami dua orang maka saya mencari satu rider lagi dan saya tidak menemukannya karena mas ini rupanya satu-satunya rider Gojek di Pandaan yang sedang berada di dekat saya. Ya sudahlah saya suruh istri berangkat dulu. Saya memutuskan untuk naik angkot jika ada yang lewat tetapi jika tidak ada saya akan order gojek lagi. Beberapa menit berlalu datanglah angkot yang saya tunggu-tunggu dan apesnya ketika meraba kantong dompet kok lenyap? Saya kontan menelepon istri dan dikatakan jika dompet terbawa olehnya. Gagal deh mau naik angkot. Akhirnya saya memilih menunggu gojek balik. Saya tiba di stasiun Bangil masih sekitar pukul 11.30. Kereta jelas masih lama sekali datangnya. Si kecil rewel bukan main karena hawa Bangil yang gerah panas. Saya kemudian mencoba-coba melihat-lihat pusat kota Bangil yang belum pernah saya lihat sama sekali. Saya pun mencoba shalat di masjid jami Bangil yang megah itu buat pertama kali. Untuk shalat Ashar saya mencoba mencari mushala di seputar stasiun dan bertemulah dengan mushala 100 m dari stasiun ke barat.  Akhirnya setelah menunggu berjam-jam kereta datanglah bersamaan dengan diiringi hujan lebat. Kereta penuh dengan orang-orang yang akan bepergian ke Banyuwangi sehingga agak susah mencari rak untuk menyimpan tas. Berbeda dengan saat berangkat yang relatif longgar. Kami tiba pukul 20.30 malam di stasiun Rambi dijemput oleh adik istri dan tiba di rumah sekitar pukul 22.15. Demikianlah kisah perjalanan kami kali ini. 
     Sayang sekali hujan yang terus menerus turun membuat kami tidak banyak melakukan aktivitas outdoor padahal sebenarnya masih ada sejumlah tempat wisata alam yang cukup menarik di Tretes seperti air terjun Putuk Truno dan Taman Safari. Wisata kulinernya juga tidak sempat kami coba. Mungkin pertengahan musim kemarau adalah saat terbaik berwisata ke tempat ini. Saya baru ingat jika tempat saya menginap bersama teman-teman dulu ada di sekitar hotel Surya atau sekitar 1 km dari lokasi kami menginap.  

Update: 10-12-2017
Ternyata waktu sedang berlibur ke Tretes itu kami memang tidak hoki karena waktu itu Indonesia sedang terkena badai Cempaka. Pantas saja hujan deras terus menerus setiap hari. Begitu kami pulang dari berlibur (tanggal 28 November) cuaca cerah di rumah terus berlangsung hingga hari ini (10 Desember). Meskipun tidak banyak yang bisa kami lakukan selama di Tretes tetapi ini menjadi salah satu kenangan berlibur kami yang takkan bisa kami lupakan apalagi ada event Mud Warrior 3. Mungkin kalau tidak ada event itu kami takkan pernah berlibur ke Tretes.  

Thursday, November 16, 2017

Yang Membuat Kesalahan Mereka Kok Saya Yang Harus Repot?

Struk EDC cuma keluar 1 lembar dari 2x gesek

     Ini adalah pengalaman terburuk berbelanja di minimarket dengan non tunai. Sebenarnya selama ini sih sudah cukup buruk tetapi ini sepertinya yang terburuk. Saya memang menyukai belanja non tunai baik menggunakan vocer, kartu debit, e-money, atau Tcash karena praktis tidak perlu bawa uang yang kadang terkena uang palsu atau tidak ada kembalian. Uang tunai cuma bikin dompet makin tebal saja. Kisahnya suatu pagi saya berbelanja di Alfamart dengan total belanja Rp 130 ribu dengan rincian Rp 100 ribu saya bayar dengan vocer Sodexo Rp 100 ribu sementara sisanya Rp 30 ribu dengan debit BRI. Setelah menggesekkan kartu saya disuruh memasukkan PIN dan saya masukkan tetapi entah mengapa sepertinya tidak keluar struk. Si kasir pun menggesek ulang katu saya dan meminta saya memasukkan PIN lagi dan keluarlah struk. Di sini petaka dimulai. Saya merasa curiga dengan 2x gesekan kartu saya. Oleh sebab itu keesokan harinya (Jumat sore seingat saya) saya cek coba mutasi lewat ATM dan benar ada debet ganda dengan nilai persis sama Rp 30 ribu pada hari itu. Sudah jelas ini adalah dari mesin EDC di Alfamart tempat saya belanja itu. Saya bingung kemana saya harus komplen. Jika saya mendatangi BRI jelas tidak mungkin karena sudah
Dobel debet
Jumat sore. Oleh sebab itu saya langsung komplen ke FP Alfamart. Sesudah komplen saya sampaikan keluhan saya ke lewat twitter BRI juga. CS BRI mengatakan supaya saya datang ke kantor BRI terdekat untuk pelaporan.
     Hari Minggu sore seingat saya ditelpon oleh CS Alfamart yang katanya laporan saya sudah masuk dan mereka akan proses. Hari Selasa sore kalau tidak salah saya mendapat telepon dari anak toko tempat saya belanja jika mereka akan datang ke rumah saya. Saya tidak tahu maksud mereka apa. Akhirnya mereka datang dan menjelaskan jika saya harus menyerahkan fotocopi KTP 2 lembar, fotocopy buku tabungan 2 lembar, dan fotocopy printout transaksi pada hari itu dari buku tabungan. Akhirnya sore  ini (16 November) saya datang ke kantor BRI dan di sana antri gila. Saya sampaikan keluhan saya seperti saran CS BRI di twitter tetapi ternyata mereka yang bekerja di sana cuma bisa menyarankan saya datang ke outlet Alfamart. Saya akhirnya datang ke outlet Alfamart menyerahkan semua fotocopi kecuali bukti printout transaksi di buku. Pihak Alfamart tetap bersikeras hanya mau menerima printout buku. Terpaksa saya balik ke kantor BRI lagi dan meminta printout buku dan mereka menolak dengan alasan sudah penuh padahal jam masih menunjukan pukul 14.18. Saya cuma dikasih struk EDC. Saya bawa struk EDC ini ke Alfamart tetapi itu tidak berguna dan mereka juga tetap meminta fotocopi transaksi buku tabungan tetapi mereka tetap akan berusaha mengembalikan dana saya.
     Dari sini saya bisa menyimpulkan beberapa hal:
1. kelemahan fatal dari transaksi non tunai. Untung hari Jumat itu saya cek mutasi rekening di ATM. Kalau tidak maka saya takkan pernah tahu jika terjadi 2x debet. Jumlahnya memang tidak seberapa tetapi yang namanya salah ya tetap salah dan apakah benar uang saya masuk ke rekening Alfamart tanpa saya melakukan sebuah transaksi?? beda dengan transaksi tunai yang sangat-sangat jelas berapa uang yang saya berikan ke kasir. Padahal BI sangat menyarankan masyarakat beralih ke non tunai tetapi kalau kejadiannya seperti ini siapa yang dirugikan waktu, tenaga, dan uang??? bagaimana jika saya tidak melakukan mutasi rekening kala itu? Pasti saya takkan pernah tahu jika sudah terjadi debet yang tidak semestinya. Seharusnya BI harus melihat kesiapan merchant dan bank. Untung juga saya pakai kartu debit, kalau saya pakai e-money bagaimana coba? Sudah pasti saya tak kan pernah tahu telah terjadi debet ganda karena e-money tidak bisa melakukan mutasi. Bisa saja kalau mau curang seorang kasir mengatakan mesin rusak lalu meminta pelanggan memasukkan PIN ulang dan jika pelanggan tak teliti bukan tidak mungkin jika struk yang keluar dari EDC itu bisa digunakan oleh kasir atau pihak lain untuk berbelanja. Sebuah glitch fatal yang menghubungkan mesin EDC dan mesin kasir.
2. yang kedua saya melihat ketidakprofesionalan dari pihak BRI. Mesin tap Brizzi, EDC, dan ATM BRI sangat sering error atau mati. Ini bukan kali pertama saya mengalami masalah dengan EDC BRI. kadang sudah digesek berkali-kali kartu tak terbaca, kadang cuma loading melulu, kadang muncul pesan error. ATMnya juga kerap offline. Pernah suatu waktu saat sedang melakukan transaksi di ATM eh listrik padam dan kartu saya langsung tertelan padahal saya lagi butuh uang. Pernah juga saya pas belanja tanya-tanya kepada kasir Alfamart apakah mesin tap Brizzi bisa dipakai, mereka menjawab
jika mesin itu sudah lama rusak dan tidak ada perbaikan sama sekali.  Katanya BRI sudah punya satelit sendiri tetapi kok pelayanannya tidak semakin membaik? Mending diperbaiki dulu tuh mesin-mesin yang sudah soak supaya tidak menimbulkan masalah dan merugikan nasabah. Mungkin karena BRI yang masih berstatus BUMN sehingga pelayanannya masih terbawa ala-ala birokrat yang seharusnya sudah dibuang jauh-jauh.
3. Kasir seharusnya tahu apa yang harus dilakukan jika mesin EDC error. Jangan buru-buru melakukan gesek ulang. Nasib uang pelanggan ada di mesin EDC. Mesin EDC harus diperlukan dengan hati-hati. Sembarangan menggunakan mesin EDC sama saja dengan mencuri uang orang. Harus ada flowchart atau SOP yang harus dilakukan jika mesin EDC bermasalah. 
     Saya hanya melihat kedua perusahaan itu (Alfamart dan BRI) kurang profesional dalam menangani keluhan pelanggan dan masih main ping pong ala layanan birokrasi pemerintah. Haregene masih main ping pong pelanggan, kapan mau maju bangsa dan negara ini? Kemajuan yang cuma bersandar pada angka-angka semu sarat manipulasi data dan bukan pada kenyataan sebenarnya.  Yang sudah berbuat kesalahan mereka tetapi kenapa sekarang saya yang kena getahnya habis-habisan? Itu uang saya sendiri dan sudah diambil dengan cara tidak benar dan saya memintanya kembali tetapi kenapa sekarang saya yang harus repot sendiri kesana kemari? Capede...  



Datang jam 2-an kok sudah tidak bisa print buku?!

Published: 16-11-2017

Friday, November 3, 2017

Internet Xl: Aroma LTE Rasa GPRS

      Menuliskan tentang ulah operator satu ini rasa-rasanya tidak akan ada habis-habisnya. Satu kasus belum selesai sudah bikin masalah lainnya. Kini masalah yang saya rasakan adalah lelet yang luar biasa setiap malam ketika lewat pukul 18 padahal kekuatan sinyal juga tidak berubah. Ini bukti ping yang saya lakukan ke twitter. Dengan pengiriman ukuran 1 byte saja sudah RTO di sana sini. Seperti
biasa sudah berkali-kali saya komplen dan hasilnya ya tetap begitu tiap malam. Dengan sinyal LTE yang konon katanya bisa mencapai puluhan mbps tetapi kalau malam rasa-rasanya masih jauh lebih cepat  EDGE yang sudah purba banget. Kecepatan maksimum malam hari maks hanya 100 kbps. Ingat b kecil bukan B besar dan itu kecepatan maksimal dan bukan kecepatan rata-rata. Tentu saja kecepatann rata-ratanya tidak sampai segitu. Mungkin hanya sekitar 60 kbps yang setara dengan maks speed GPRS. Apakah layak di era internet berkecepatan tinggi, user masih diberi kecepatan segitu?  Sangat tidak layak untuk internet masa kini yang konon katanya bisa streaming tidak pakai putus atau video call dengan mulus. Boro-boro deh dengan speed segitu chat  lewat WA saja bisa bikin kesel. Saya maklum kalau malam banyak yang pakai tetapi paling tidak kasih setera UMTS-lah supaya browsing lancar. Atau gimanalah caranya supaya user tidak komplen melulu. Itu toh tugas XL buat memikirkannya. Masak saya harus ikutan repot memikirkannya? Jangan hanya ambil pulsa pelanggan saja yang cepat tetapi kecepatan internet mah jalannya bak keong bunting gitu. Saya heran apa mereka tidak lelah dikomplen melulu oleh pelanggannya? Atau jangan-jangan mereka sudah tebal kuping dengan cacian para pelanggan?



Update: 10-12-2017
Mungkin bisa sedikit membantu buat yang internet XL-nya bermasalah. Sekali lagi di sini saya memakai kata "sedikit" jadi memang tidak banyak membantu sebenarnya namun lebih baik dicoba siapa tahu toh berhasil. Secara tidak sengaja saya menemukan bahwa internet XL tidak suka diganti DNSnya! Saya pernah coba-coba menggantinya dengan DNS Google yang saya pikir bisa meningkatkan kecepatan resolving browser tapi tak tahunya eh malah mogok tuh browsernya. Jadi biarkan setting DNS berada pada automatic. 

Thursday, November 2, 2017

Program Pendaftaran Ulang Simcard Yang Amatiran

     Beberapa hari ini heboh kabar jika setiap pemilik hape diwajibkan untuk mendaftar ulang simcard mereka.  Sebenarnya ini bukan sesuatu yang baru karena selama ini memang saat mengaktifkan kartu simcard si pemilik wajib melakukan pendaftaran online dengan memasukkan data-data pribadi. Rupanya pada pendaftaran ulang ini data yang dimasukkan yaitu NIK dan nomor KK divalidasi langsung sehingga jika data yang dimasukkan salah atau sembarangan maka akan mendapatkan error yaitu data yang dimasukkan salah. Sebuah langkah yang bagus sebenarnya mengingat kejahatan dengan menggunakan ponsel sudah sangat amat marak dengan modus yang semakin lama semakin canggih. Bahkan si penjahat seperti sudah tidak malu-malu dan tidak takut-takut melakukan kejahatannya. Mereka sudah tidak sungkan-sungkan lagi mengirim SMS atau telpon dengan sejuta modus: modus menang undian, modus mama minta pulsa, modus menemukan anak yang tertangkap polisi karena menggunakan narkoba atau mengalami kecelakaan, dll. Saya kadang heran apakah mereka tidak takut jika sampai tertangkap? Apakah mereka tidak takut dengan dinginnya jeruji besi penjara seperti yang pernah dibilang oleh alm. Jupe? Saya tentu menyambut baik langkah pemerintah ini dan sebagai warga negara yang baik saya pasti akan melakukan registrasi ulang.
     Awalnya saya mendaftar ulang dengan mengikuti link yang disediakan oleh provider tetapi entah kenapa hasilnya error: NIK tidak ditemukan. Saya coba lagi mendaftar dan hasilnya eng ing eng masih sama juga, NIK tidak ditemukan. Saya coba langkah ini sampai berkali-kali dan hasilnya sama terus. Berhubung sudah buntu akhirnya saya mencoba twit CS provider dan disuruh melakukan pendaftaran lewat SMS dan hasilnya sama saja: NIK tidak ditemukan. Lagi-lagi saya coba berulang-ulang dan hasilnya benar-benar bikin naik darah, error yang sama terus menerus. Akhirnya saya merasa putus asa dan saya
biarkan hingga sekarang tidak saya daftarkan ulang lagi. Kalaulah memang nanti diblokir saya akan langsung ke kantor provider saja untuk melakukan pendaftaran ulang. Bukan salah saya toh kalau muncul error seperti itu? Hanya saja lagi-lagi itu menunjukkan ketidaksiapan pihak pemerintah seperti yang selalu terjadi tiap pemerintah melaunching sebuah program. Kok kesannya maaf amatiran banget? Apakah tidak ada PNS-PNS yang joss yang bisa membuat atau menjalankan server pendaftaran dengan lebih baik? Bukankah para PNS itu dulunya sudah masuk dengan susah payah, pakai tes ini itu dan ujian ini itu? Akan tetapi kenapa hasilnya selalu terkesan amatir? Atau jangan-jangan dana buat server-nya mungkin sudah dikorupsi? Saya tidak menuduh cuma jelaskan saja kenapa kok bisa tidak profesional seperti ini? Nanti kalau rakyat banyak yang tidak mendaftarkan ulang simcardnya, jangan-jangan kesalahan ditimpakan kepada rakyat? 

Wednesday, November 1, 2017

Suami-suami Pencet-Pencet Asyik


     Ini sama sekali tidak kaitannya dengan promo salah satu minimarket nasional Pencet-Pencet Asyik lho ya... Istilah ini saya dapat kemarin secara tidak sengaja sewaktu ngobrol dengan istri. Ceritanya adalah ada seorang lelaki, tetangga sendiri yang sudah cukup lama ditinggal suaminya menjadi TKW di luar negeri. Awal ditinggal kelihatan jika si tetangga kelihatan cukup keberatan harus berpisah. Maklum selain masih baru berumah tangga beberapa tahun, si anak juga masih kecil (2 tahun). akan tetapi karena tekanan ekonomi jadilah si istri tetap berangkat. Rupanya perjalanan waktu memang telah mengubah segalanya. Jika dulu dia resah karena ditinggal si istri tetapi rupanya sekarang keadaan sudah berputar 180 derajat. Beberapa waktu lalu bahkan dia menyombongkan dirinya bahwa jika butuh uang dia cukup pencet tombol hape maka transferan uang dari sang istri di luar negeri akan segera mengalir. Itulah yang saya istilahkan sebagai pencet-pencet asyik (PPA) karena cukup dengan memencet hape maka uang sudah mendadak datang.
     Sebenarnya ini bukan sebuah fenomena baru karena kebanyakan para suami jika ditinggal jauh istri yah begitulah keadaannya. Merasa ada yang sudah menafkahi maka para suami jadi kehilangan "instink" untuk mencari nafkah buat keluarga. Akhirnya waktunya cuma dihabiskan untuk bersenang-senang, membeli aneka barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan, nongkrong di warung kopi, atau bahkan main perempuan layaknya mereka kembali menjadi "bujangan". Sementara si anak biasanya menjadi kurang terurus karena memang laki-laki umumnya kurang pandai mengasuh anak. Jadilah pekerjaan mengasuh anak kemudian jatuh ke orang tua atau mertua si suami.  Akibatnya lazim seorang nenek atau kakek menyebut si cucu dengan "anak" seolah anak kandungnya sendiri. Seiring dengan semakin banyaknya para ibu RT yang bekerja menjadi TKW di luar negeri maka bisa dibilang populasi suami PPA ini semakin hari semakin banyak.
     Padahal para istri yang bekerja di luar negeri bukanlah untuk berwisata. Mereka di sana sudah jelas harus bekerja keras dan jauh dari kehangatan keluarga di tanah air selama bertahun-tahun. Apakah para suami PPA itu tidak menyadarinya? Apakah uang yang begitu banyak sontak sudah membutakan mata mereka? Si istri sibuk ngosek WC tapi si suami malah asyik ngafe dari pagi sampai sore 😂

Monday, October 30, 2017

Pengalaman Mengikuti Lomba Jalan Sehat


   
  Awalnya saya tidak begitu tertarik ketika ada spanduk bertuliskan akan ada acara lomba jalan sehat yang diselenggarakan di kota Ambulu (Jember). Maaf bukannya saya sombong tetapi saya merasa acara seperti itu kurang menarik bagi saya. Saya sudah terbiasa joging > 10 km/hari jadi kalau cuma acara jalan sehat yang paling-paling hanya menempuh 2-3 km maaf sekali kurang menantang. Akan tetapi berhubung si istri ingin sekali ikut ya sudahlah tak apalah kami sekeluarga ikutan juga termasuk juga si kecil. Toh kalau cuma jalan 2-3 km dan seandainya si kecil kecapekan dan harus menggendongnya maka saya tidak perlu risau.
      Jadilah istri saya mendaftar langsung di kantor Telkomsel di pojok perempatan besar Ambulu. Ada 2 pilihan biaya pendaftaran yaitu Rp 10 ribu pulsa reguler tanpa kaos tetapi diwajibkan nanti saat acara harus mengenakan kaos berwarna merah  dan Rp 50 ribu data (dapat 2 GB) dengan kaos. Masing-masing mendapat 1 buah kupon. Berhubung kaos tidak beli sendiri saya khawatir nanti ukurannya tidak cocok, entah kekecilan atau kebesaran. Jadilah kami ber-3 mendapat 3 buah kupon. Saya hanya heran saja mengapa  cara pendaftarannya terkesan masih agak purba? Kenapa hanya tersedia cara pendaftaran offline? Bukankah ini era digital dan Telkomsel sebagai sebuah perusahaan IT kenapa kok tidak mengesankan sama sekali ke-IT-annya? Kalau pendaftarannya bisa lewat online akan lebih mudah dan sebenarnya peluang pasar juga buat Telkomsel karena pembayaran bisa dilakukan dengan TCASH yang merupakan salah satu produk mereka. Mungkin alasannya tidak setiap peserta melek internet. Kalau memang ini alasannya kan bisa menggunakan SMS? Jadi tidak perlu kupon fisik yang mudah rusak atau hilang tetapi cukup data peserta yang tersimpan di server web atau server SMS.
     Akhirnya tibalah hari yang dinanti. Tanggal 28 Oktober tibalah kami bersama-sama rekan yang lain di lapangan Ambulu sekitar pukul 6 pagi. Di sana para ibu-ibu terlihat sedang asyik bersenam ria. Lapangan Ambulu seperti lautan merah. Sampai kemudian si MC meminta semua peserta berbarik di belakang garis start. Saya bingung garis startnya dimana sih? Rupanya garis start berada di timur lapangan. Pantas saja karena saya datang dari barat maka saya tidak melihat garis start itu. Selama berkumpul di garis start semua peserta harus mendengarkan aneka sambutan-sambutan dari panitia. Udara sudah memanas karena matahari sudah meninggi. Sebagian orang sudah mulai ngedumel karena mereka sudah tidak tahan dengan hawa panasnya. Si kecil juga sudah mulai rewel terkena panas matahari. Sampai akhirnya start pun dimulai dan kami berjalan merayap karena jumlah pesertanya yang banyak sekali (mungkin ribuan). Sebelum berangkat si MC berpesan supaya di tengah jalan nanti menemui petugas stempel agar kupon disetempel karena jika tidak distempel akan dinyatakan tidak sah.
     Kira-kira baru 15 menit berjalan di dekat lapangan glori sudah ada 1 pos stempel. Saya lihat yang mau melakukan stempel berjubel banget. Akhirnya saya mencoba pos yang lokasinya agak ke utaranya sedikit. Ternyata sama saja. Di situ juga berjubel banget. Saya heran kok lagi-lagi kelihatan ketidakprofesional panitia dan cara-cara purba. Jumlah lokasi stempel cuma 2 buah dan pesertanya ada ribuan. Pakai logika saja berarti jika 1 orang memegang 1 kupon saja maka berapa waktu yang dibutuhkan petugas stempel? Padahal ada satu peserta yang memegang sampai puluhan kupon. Sehari saja belum tentu selesai. Semua orang di sekeliling saya ngedumel marah dengan aturan ini. Semuanya berdesakan di tengah udara panas. Padahal tidak semua peserta adalah anak-anak muda. Ada juga lansia dan anak-anak kecil.
antrian di pos stempel 2
Bagaimana mereka bisa bertahan kalau begini caranya? Sebelum sampai di pos stempel saya cuma membayangkan saya akan menemui banyak petugas yang akan melakukan stempel. Atau kalau mau lebih canggih sedikit kenapa tidak menggunakan handphone? Maksudnya? Di dalam kupon kasih barcode atau QR. Saya melihat kru panitia cukup banyak dan saya yakin semua pasti punya handphone. Coba suruh mereka berjajar lalu menggunakan handphone itu untuk menscan kode barcode atau QR peserta. Sinyal 4G Telkomsel kan sudah cepat, apakah tidak cukup pede untuk menghandling upload gambar scan dari para panitia di pos stempel ke server undian? Entahlah. Upload hasil scan ke server di lapangan Ambulu dan gunakan nanti untuk mengacak nomor undian. Saya melihat ada 1 mobil pickup terperangkap tidak bisa keluar dari kerumunan peserta. Saya juga melihat 1 pengendara matic terjebak di tengah jalan tidak bisa maju mundur atau belok kanan kiri. Yang lebih mengerikan menurut salah seorang rekan,
Terperangkap
ada satu peserta yang menangis kehilangan hape dan dompet di tempat itu akibat berjubelan. Sungguh cara yang sangat purba! Sampai kemudian mungkin karena melihat situasi yang semakin tidak terkendali, panitia di pos stempel memperbolehkan peserta bebas tidak distempel kuponnya dan tetap dianggap sah. 
Kami pun melanjutkan langkah kaki hingga ke garis finish di dekat lapangan Ambulu sambil menyerahkan kupon.
     Begitu masuk lapangan dimulailah acara pengundian dan lagi-lagi cara pengundiannya maaf masih purba menurut saya pakai dikocok-kocok segala. Kenapa tidak menggunakan sofware undian yang bisa mengacak dengan lebih baik? Karena setahu saya software semacam itu memiliki algoritma randomisasi  yang  lebih handal dan lebih baik dibandingkan dikocok-kocok manual. Ah sudahlah semakin pening saya memikirkannya. Akhirnya  kami cuma duduk-duduk sambil mendengarkan pengumuman hasil undian hingga hampir tengah hari. Suara musik yang berdentum-dentum keras, suara MC ngalor ngidul gak jelas, hawa panas, dan pedagang yang berseliweran benar-benar membuat saya tidak betah dan pengen cepat-cepat pulang tetapi istri masih ngotot mau bertahan hingga undian terakhir. Saya sih sudah masa bodoh dengan hadiah yang paling juga tidak akan saya dapatkan (dan memang zonk :D ).
Sebuah acara yang bagus sebenarnya cuma sebagai perusahaan IT seharusnya Telkomsel lebih memperlihatkan ke-IT-annya dan bukan malah masih tetap terpaku pada cara-cara purba yang seharusnya sudah ditinggalkan. Terkesan sekali acara yang amatiran. Semoga ke depan jika masih ada acara yang sama bisa lebih profesional lagi (walau saya sudah pasti takkan mau ikut lagi … ).
#JJS4GAmbulu

Wednesday, October 25, 2017

Kosmetik Abal-abal dan MLM


   Bingung juga mau saya kasih judul apa tulisan ini. Yang pasti bukan saya yang telah menggunakan kosmetik tetapi si istri. Kisahnya adalah belakangan ini desa lagi heboh dengan hadirnya kosmetik baru yang konon katanya punya kemampuan super. Hampir tiap hari iklannya” berseliweran di medsos istri saya. Istri saya sebenarnya bukan kosmetik holic cuma berhubung setiap hari terus menerus dibombardir oleh teman-teman FB-nya yang beriklan menawarkan komestik itu akhirnya timbullah rasa penasaran dan ujung-ujungnya keluar Rp 60 ribu buat membelinya. Sebelum berangkat membeli saya sudah peringatkan istri jangan-jangan kosmetik itu palsu atau mengandung bahan berbahaya. Istri berkilah tidak mungkin karena dia mendapatkan langsung dari member resmi. Ditambah dengan diskon 40% dari harga normal Rp 100 ribu membuat rasionalitas istri saya pun menghilang. Maklum selama ini saya selalu skeptis dengan produk-produk yang ditawarkan MLM. Jadilah dia pulang menenteng sebotol kecil kosmetik dengan botol warna putih. Hampir tiap hari istri saya menyemprotkannya ke kulit tangan dan wajah. Nah lagi-lagi berhubung setiap hari saya dibombardir aksi istri yang pakai kosmetik maka muncul jugalah rasa penasaran saya dengan kosmetik itu.
     Awalnya saya coba mengamati dengan seksama botol kosmetik itu. Bentuk botolnya biasa seperti kosmetik-kosmetik lain yang sering saya lihat cuma tulisan pada kemasan entah kenapa menurut perasaan saya kok buram. Didorong oleh rasa penasaran kemudian saya coba tekankan jempol tangan ke arah tulisan lalu saya gosok-gosokann dengan kuat. Benar ternyata perlahan tulisan itu memudar dan akhirnya semakin lama saya menggosoknya lantas menghilang. Makin kuat dugaan saya jika kosmetik ini adalah kosmetik tidak jelas. Padahal kosmetik dari produsen mapan ternama yang harganya murah meriah di bawah Rp 10 ribu perak saja setahu saya jika digosok tulisan pada kemasannya tidak akan hilang. Akhirnya saya mencoba menyemprotkan kosmetik ini di permukaan tangan lalu saya cicipi. Rasanya seperti air yang diberi garam sedikit. Saya agak heran karena sesuai namanya berguna untuk mencerahkan kulit dengan kandungan vitamin C. Teorinya diperlukan vitamin C dosis tinggi agar mampu mencerahkan kulit dan setahu saya vitamin C itu rasanya masam. Berarti semakin tinggi dosisnya maka semestinya larutan akan terasa asam sekali tetapi mengapa ini malah seperti terasa asin? Saya tidak perlu mengeceknya lebih jauh kosmetik ini asli atau abal-abal karena dari tulisan pada botol yang mudah hilang sebenarnya sudah menunjukkan jati diri kosmetik tersebut. Padahal klaim kosmetik ini seperti produk-produk MLM lainya yang bisa begini begitulah, menyembuhkan ini dan itulah sehingga saya jadi bingung ini sebenarnya kosmetik, obat, atau suplemen?
     Kalau menurut saya kosmetik ini hanyalah kedok sehingga hanya dibuat asal-asalan karena sebenarnya bisnis di belakang kosmetik ini adalah perputaran uang dari bawah ke atas (money game?). MLM memang sebuah teknik mendapatkan uang dalam jumlah besar dengan sangat cepat. Pantes saja ada update di medos istri yang mengatakan jika bos kosmetik ini sekarang sudah bisa berwisata dengan kapal pesiar. Kalau menurut saya itu sangat wajar. Di desa saya saja sekarang sudah ada puluhan orang yang menjadi member kosmetik ini. Per member diwajibkan menyetor Rp 400 ribu kepada uplinernya. Jika ada 50 member saja total sudah berapa uang terkumpul? Kalau se Indonesia?! Angkanya pasti fantastis. Padahal berapa biaya produksi dan distribusi per botolnya? Kalau cuma isinya air dan sedikit garam dapur sama pengawet mungkin tidak sampai Rp 1000. Dengan HET Rp 100 ribu berapa laba yang bisa ditangguk? 99%! Laba segitu jelas menakjubkan sekali. Para teman dan tetangga istri kemudian lebih tertarik menjadi member dan menjual produknya dibandingkan memakainya sendiri karena tentu saja tergiur oleh iming-iming bonus dan laba yang besar. Mereka tidak sadar jika produk yang mereka jual hanyalah plasebo.
     Ya mungkin ada yang bilang orang-orang desa wajar dikibulin gitu karena mereka kan kebanyakan tamat SD atau paling banter SMA. Sebagian memang benar tetapi tunggu dulu. Saya jadi teringat kejadian beberapa tahun lalu tatkala ada seorang teman yang sekaligus tetangga yang notabene lulusan S2 sebuah perguruan tinggi di Jepang. Waktu itu dia lagi gencar-gencarnya mempromosikan MLM-nya. Saat lebaran ketika semua orang sibuk bersilaturahmi, dia malah sibuk bawa laptop dan proyektor kemana-mana ke rumah teman dan tetangga buat mempromosikan MLM-nya. Walhasil banyak orang yang lagi-lagi tergiur. Mereka pun dengan ikhlas menyetorkan Rp 200 ribu/orang untuk menjadi member. Yang mereka dapat hanyalah sebuah chip untuk jualan pulsa. Saya sendiri juga sempat ditawarin olehnya tetapi seperti biasa saya selalu berusaha mencari tahu lebih banyak lewat internet dan benar jika MLM si teman itu sedang bermasalah. Saya yakin kala itu dia pasti telah meraup banyak keuntungan. Bahkan salah seorang tetangga sempat invest kepadanya jutaan rupiah. Saya hanya memprediksikan jika umur MLM si teman takkan panjang. Benar saja setahun kemudian pamflet MLM yang terpampang di depan rumahnya yang menunjukkan eksistensinya akhirnya menghilang. Kini beberapa tahun telah berlalu. Entah teman saya itu pura-pura lupa atau memang lupa beneran dia tidak pernah menyinggung tentang MLM yang pernah digelutinya dulu itu ketika bertemu dengan saya padahal dulu dia getol banget mengajak saya. Para korbannya pun juga kelihatan adem ayem. Untungnya dia sudah tidak tinggal di sini. Sudah lumrah jika ada masalah penipuan atau yang berkaitan dengan hukum orang-orang di desa saya cenderung akan mengambil jalan damai atau paling tidak melupakannya begitu saja.
     Memang tidak semua MLM seperti itu tetapi kebanyakan memang seperti itu. Akan selalu muncul pelaku-pelaku MLM-MLM baru dan akan selalu korban-korban baru karena pada dasarnya MLM memanfaatkan kelemahan manusia yang paling mendasar yaitu ingin mendapatkan banyak uang secara instan. Begitu para upliner merasa sudah mendapatkan keuntungan maka mereka akan membiarkan jaringan itu ambruk dengan downliner sebagai korbannya. Selanjutnya mereka akan membuat MLM-MLM dengan nama baru tetapi modusnya kurang lebih sama. Kejadian-kejadian ini akan selalu terus dan terus berulang entah sampai kapan.