Monday, December 25, 2017

Tamu-Tamu Rempong!

     Beberapa hari lalu di rumah kedatangan beberapa kerabat orang tua yang terdiri dari 4 orang. Sudah lama sekali saya tidak berjumpa dengan mereka. Yang dua orang saya terakhir berjumpa setahun yang lalu waktu berkunjung ke Surabaya. Yang dua lagi saya baru kali ini bertemu. Sebenarnya saya sudah tidak ingin bertemu dengan mereka karena bagi saya mereka cuma bagian masa lalu yang sudah tidak relevan hari ini. Apalagi saya tahu mereka itu orang-orangnya rempong dan rese. Akan tetapi saya tidak mungkin menolak kedatangan mereka karena bagaimanapun saya masih menghormati orang tua saya.
     Benar apa yang saya takutkan akhirnya menjadi kenyataan. Saat mereka datang dan berbincang sebentar dunia pun seolah sudah runtuh di atas kepala saya. Yang dua orang yang baru lima menit kenal sudah menghakimi saya begini begitu. Baru kali ini saya melihat ada orang seperti ini. Pertama langsung “merendahkan” saya karena tidak kerja di kantor. Saya heran memang salah ya kalau tidak kerja di kantor? Apakah untuk hidup orang harus kerja di kantor? Kalau di kota wajar orang kerja di kantor wong kantor ada dimana-mana. Kerja di kantor di kota bukanlah hal yang istimewa. Kalau di desa mau kerja di kantor tapi mana ada kantor di desa? Paling-paling kalau memaksakan diri kerja di kantor pemerintahan desa.  Lain padang lain belalanglah om dan tante! Saya hanya melihat betapa picik pandangan mereka padahal yang laki-laki seorang pensiunan karyawan perusahaan konstruksi sedangkan yang istrinya seorang guru SMP.  Hanya Tuhan yang boleh berada pada posisi merendahkan seorang manusia. Manusia tak peduli sehebat apapun cuma setitik debu di jagad raya ini!! Lagian saya tak tertarik duduk-duduk seharian di kantor. Duduk-duduk seharian di kantor cuma bikin perut buncit, pundak dan bahu pegal. Maaf bagi saya perut buncit bukanlah sesuatu yang seksi (hehe…). Ya mungkin masih banyak orang yang menganggap jika perut buncit sebagai lambang kemakmuran tetapi coba tanya yang paham dunia kesehatan apa bagusnya memiliki perut buncit. Kalau kalian mau berbuncit-buncitan silahkan saja sendiri dan tidak usah ajak-ajak saya. 
     Yang kedua rempong tanya ini itu tak penting. Masak sih baru kenal 5 menit udah tanya merek susu anak saya. Emang urusannya apa? Mau saya pakai susu yang harganya Rp 10 ribu/kotak atau Rp 1 juta/kotak atau sama sekali tidak minum susu formula? Emang masalah buat mereka? Heran deh. Mereka juga tanya-tanya kabel di belakang TV itu buat apa. Pingin sekali saya jawab buat menjerat kepala dan lidah lo yang gak tahu aturan itu! Saya benar-benar sebal dan marah. Cepat-cepat saya keluar rumah. Malas meladeni mereka. Eh ketika di luar rumah mereka masih memanggil-manggil saya supaya masuk. Mungkin mereka belum puas “menyembelih” saya. Saya sudah tidak pedulikan. Bayangkan padahal beberapa hari sebelumnya saya sekeluarga sudah menghabiskan banyak waktu untuk menyambut mereka. Rumah, kamar tidur, dan halaman semuanya dibersihkan berkali-kali sampai cling. Kenyataannya eh yang disambut malah bikin sakit hati si tuan rumah. Kalau saya tidak ingat jika mereka masih kerabat orang tua saya sudah saya usir saat itu juga. Kepala saya benar-benar panas tetapi saya masih mencoba mendinginkan hati. 
     Di hari terakhir mereka tinggal juga masih sempat-sempatnya membuat saya jengkel. Waktu itu ibu saya sakit dan saya antar ke klinik untuk opname. Pulang dari klinik dalam kondisi capek saya malah dikeroyok habis-habisan oleh mereka. Mereka memvonis yang saya tidak peduli dengan orang tua, yang saya tidak tahu menangani kesehatan orang tua, dll. Hello om dan tante maaf ya saya sudah bukan anak kecil lagi tahuuu? Saya cuma menjawab sedikit-sedikit dan lebih banyak diam karena saya sudah bertekad takkan meladeni mereka lagi. Mereka 3 orang ribut sendiri berargumen seolah-olah mereka itu dokter ahli saja. Yang lucu mereka menanyakan tensi ibu kepada saya. Mana saya tahu? Mereka menyimpulkan jika saya tidak peduli dengan orang tua. Ibu masuk ke ruang IGD dan saya menunggu di luar karena saya memang tidak betah berlama-lama di ruang UGD yang bau obat bikin mual dan pusing. Lagipula buat apa saya tahu ini itu? Bagi saya jika saya memasukkan pasien ke fasilitas kesehatan berarti saya sudah pasrah sepenuhnya kepada tenaga kesehatan yang ada di situ. Biarkan mereka bekerja dengan maksimal. Kalau kita memasukkan pasien terus kita sendiri masih sibuk mengurusi tensinya, kadar kolesterolnya, HBnya, faal ginjal, obatnya, dll lah lantas buat apa kita memasukkan pasien ke faskes? Mending dirawat sendiri di rumah, didiagnose sendiri, dilabkan sendiri, diobati sendiri, dll. Lebih praktis kan? Akan tetapi pertanyaannya adalah apakah kita memiliki cukup kompetensi? Kita toh bukan tenaga kesehatan dan kalaupun iya juga apakah cukup memiliki fasilitas pendukungnya? Teman saya yang seorang dokter saja kalau suami dan anaknya sakit langsung dibawa ke RS kok. Yang makin lucu lagi adalah mereka memvonis dokter itu bodoh karena sekarang sudah ada lab. Logika mereka dengan lab semua penyakit bisa diketahui. Saya makin heran, kalau ada pasien mengalami serangan jantung mendadak apakah mau dilabkan dulu? Kalau ada pasien terkena shock anafilaktik apakah petugas lab disuruh menangani? Keburu koitlah. Kalau kaki pasien patah karena kecelakaan apakah mau dibawa ke lab dulu? Kelihatan pintar tapi mereka cuma asal jeplak saja. Antara tenaga kesehatan sudah memiliki kompetensinya masing-masing.  
     Bagi saya, ibu yang sakit adalah hal biasa. Ibu menderita penyakit ini sudah lama sekali belasan tahun. Hampir seminggu sekali saya selalu mengantarkannya ke dukun, dokter, perawat, dan klinik. Namanya juga orang tua wajar jika sering sakit misal hipertensi, gangguan asam lambung, asam urat, kolesterol, dll. Saya sudah merawat ibu belasan tahun jadi tahu persis penyakit ibu sementara orang-orang itu baru kenal ibu juga sehari sudah bisa bilang begini begitu. Impossible lah yang baru kenal sebentar tahu lebih banyak dibandingkan yang sudah merawat belasan tahun. Ditambah lagi gaya hidup ibu saya memang tidak sehat selama ini. Ibu saya sangat suka makanan berlemak, malas olahraga, dan sering kurang istirahat. Saya sudah lama menyarankan beliau untuk lebih bergaya hidup lebih sehat tetapi beliau tidak mau. Saya tentu tidak bisa berbuat apa-apa. Jadilah kalau sakit hanya sekedar saya antarkan kemana beliau inginkan. Walau sudah lama sekali saya menyarankan supaya diperiksa di RS yang besar agar mendapatkan penanganan yang lebih baik tetapi ibu selalu menolak. Bisa dibilang ibu bertahan hingga hari ini karena obat-obatan yang dikonsumsinya terus menerus. Tiada hari tanpa obat bagi ibu saya. Tiap kali pulang berobat entah dari dokter atau perawat selalu membawa banyak sekali obat. Saya tahu itu tidak baik buat kesehatan ibu saya tetapi saya juga tidak bisa berbuat apa-apa karena toh semua nasehat saya sudah tidak ada yang mempan. Saya cuma bisa pasrah. 
     Syukurlah mereka tinggal di rumah cuma 3 hari. Kalau sampai lebih saya bisa stress berat. Toh setelah ini semoga saya sekeluarga sudah takkan bertemu lagi dengan mereka. Amin! Terima kasih atas semua kenangan buruk yang telah kalian tinggalkan!  My own world is much better without all of you! Kalian cuma orang-orang toksik yang membawa dan menebarkan racun kemana-kemana. 

No comments:

Post a Comment