Wednesday, August 29, 2018

Susahnya Rakyat Kita Diajak Menghemat Listrik


     Salah satu topik hangat tiap awal bulan yang tak pernah basi (walau menurut saya sudah sangat basi sekali) adalah tagihan listrik. Seperti orang tua saya yang selalu mengeluh jika tagihan listriknya membengkak sejak pencabutan subsidi beberapa waktu lalu. Orang tua saya memakai daya 900 VA M atau mampu. Kalau kenaikan persentase memang cukup tajam dari yang semula hanya mengeluarkan rata-rata Rp 120 ribu/bulan mendadak menjadi Rp 200 ribuan per bulan walau secara nominal memang tidak banyak sekitar Rp 80 ribu. Bagi orang tua saya yang bukan warga miskin sebenarnya nominal segitu tidaklah akan membebani. Itulah sebabnya saya sudah sejak sangat lama selalu mendengungkan penghematan pemakaian listrik sebisa mungkin tetapi yang terjadi lagi-lagi sebuah paradoks.
     Contohnya jelang lebaran kemarin bapak memasang 3 buah penjor yang menyala non stop mulai pukul 17 sampai dengan pagi sekitar pukul 5. itu belum lampu disko yang berputar-putar di depan rumah yang juga non stop dengan durasi yang sama. Hampir sebulan penjor dan lampu disko itu dinyalakan setiap hari. Usai lebaran saya kira berarti selesai sudah pemakaian penjor dan lampu disko ini tetapi eh ortu masih ngotot supaya tetap dinyalakan. Akhirnya penjor ditempel di teras rumah sedangkan lampu disko kadang dinyalakan kadang tidak hingga detik ini. Saya hanya merasa heran, mereka selalu mengeluh dengan banyaknya tagihan listrik tetapi anehnya mengapa penggunaan lampu yang tidak penting justru semakin diperbanyak? Begitu pula lampu kamar orang tua saya sejak mulai Ashar sampai jelang tidur dinyalakan terus menerus setiap hari walaupun di dalamnya sedang tidak ada orang. Lampu dapur juga kalau tidak saya yang matiin setiap hari mungkin takkan pernah dimatikan selamanya.
     Pertama ibu saya pernah berpikir mau beralih menggunakan sistem isi pulsa atau pra bayar. Saya kok malah semakin tidak paham dengan logika beliau. Salah satu kelemahan pra bayar adalah harus diisi token terus dan ini jelas-jelas akan merepotkan saya karena kalau token habis sudah pasti sayalah yang harus repot mengisikannya karena mereka takkan bisa melakukannya. Lagipula menurut saya relatif sama aja tarif pra bayar dan pasca bayar. Yang kedua ibu pernah mengusulkan mau pakai genset. Kalau ini saya malah mau ketawa rasanya. Di rumah memang ada genset. Apakah mereka tidak tahu jika genset itu boros BBM? Taruhlah satu jam butuh konsumsi seliter Premium (belum kalau pakai Pertalite atau Pertamax). Harga eceren Premium sekarang Rp 8000 yang berarti dalam 24 jam jika genset dinyalakan terus akan memerlukan biaya 24xRp 8000 = Rp 192 ribu/hari atau sekitar Rp 5,7 juta per bulan. Sekarang mengeluarkan Rp 200 ribu/bulan sudah terasa sangat berat lantas apakah kalau harus mengeluarkan Rp 5 jutaan akan terasa lebih ringan? Atau saya yang logikanya sudah terbalik?
     Bapak pernah iri dengan tetangga yang memasang daya 450 VA yang sebulan cuma harus mengeluarkan biaya Rp 50 ribu. Saya akui memang tidak semua pemilik daya 450 VA adalah warga miskin tetapi saya kira tidak ada manfaatnya juga iri dengan banyak orang mampu yang mengaku miskin. Masyarakat kita memang beginilah keadaannya dari jaman kuno. Saat ada pendataan GAKIN tiba-tiba semuanya merasa layak menjadi GAKIN tetapi anehnya ketika orang-orang ini dianggap menjadi orang miskin beneran mereka pasti marah dan harga dirinya dilecehkan. Bapak bercerita salah satu tetangga pemilik bengkel langganan hanya memakai daya 450 VA tetapi full strum buat ngelas listrik ataupun menjalankan peralatan bengkel yang butuh daya listrik besar. Saya malah prihatin. Sudah jelas si tetangga itu nyolong listrik! Dulu salah satu kerabat saya seorang tukang servis barang elektronik juga sering mencuri listrik dan memang tak pernah tertangkap. Katanya sih supaya aman nyolongnya harus bekerja sama dengan oknum PLN. Selama ini PLN mungkin sudah berupaya menghapus praktek-praktek seperti ini tetapi kenyataannya di lapangan toh masih saja jalan dan saya melihatnya juga dengan mata kepala sendiri. Mau melapor juga malas (termasuk saya) karena biasanya seperti yang sudah-sudah tidak ada tindak lanjut dan praktek terus saja berjalan. Inilah Indonesia, walau sudah jelas-jelas mencuri apapun itu termasuk perbuatan yang tak terpuji tetapi masyarakat kita cenderung permisif untuk masalah ini. Oleh sebab itu sampai kapanpun korupsi takkan pernah bisa dibasmi dari negeri ini karena pada dasarnya karakter masyarakat kita memang sudah demikian adanya. Eh kok ngelantur… demikianlah sekelumit kisah “penghematan” listrik di dalam keluarga besar saya.

Saturday, August 25, 2018

Pengeras Suara Masjid Dan Ibu Meiliana


     Beberapa hari ini ada sebuah kasus yang cukup menarik yang menimpa ibu Meiliana (https://nasional.tempo.co/read/1119663/ini-kronologi-kasus-penistaan-agama-meiliana-di-tanjung-balai) yang dihukum 1,5 tahun karena telah komplen dengan suara adzan masjid. Majelis hakim memvonis ibu Meiliana telah melakukan penodaan agama. Saya tidak memiliki kapasitas lebih jauh mengomentari proses hukum yang tengah dijalani oleh ibu ini. Sebagai warga yang menjunjung tinggi hukum biarkan proses hukum saat ini sedang berjalan. Saya hanya ingin bercerita tentang apa yang sudah saya lihat dan alami sendiri mengenai penggunaan pengeras suara di masjid atau mushala selama ini.
     Mungkin banyak yang berpikir, khususnya umat non muslim bahwa masalah pengeras suara ini hanya bisa terjadi antara warga non muslin dan muslim saja padahal kenyataan sebenarnya bisa saja terjadi antara sesama muslim. Ceritanya beberapa tahun lalu di samping rumah berdiri masjid baru yang jaraknya sekitar 200 m dari mushala lama. Masjid baru ini berada di sisi timur mushala. Sejak lama corong mushala memang menghadap pas ke timur ke arah masjid baru itu berada. Kata bapak saya amplifier mushala ini bagus sehingga suara yang keluar dari corong bisa keras dan terdengar sampai jauh dan begitulah. Sampai suatu ketika saat saya sedang shalat berjamaah maghrib di masjid rupanya pak ustad mushala juga sedang memulai adzannya. Langsung deh suara adzan yang keras masuk ke dalam ruangan masjid. Saya agak kesulitan mendengar suara imam di depan saya. Akhirnya saya ngikut saja gerakan jamaah di sebelah. Begitulah setiap sore jamaah di masjid harus terganggu dengan suara adzan di mushala. Rupa-rupanya ada salah satu imam masjid yang kemudian berang dan mendatangi mushala serta mengeluhkan langsung masalah ini. Sejak saat itu seingat saya volume corong dari mushala memang dikecilin tetapi entah bagaimana kemudian apakah pak ustadnya tidak suka dengan volume yang kecil lalu arah corong digeser agak ke selatan namun dengan volume lebih besar seperti sebelumnya. Kalau sekarang sih suara corong dari mushala sudah tidak mengganggu jamaah masjid karena telah digeser itu.
     Kisah lainnya, paklik saya pernah bercerita betapa jengkelnya dia dengan salah satu pengurus  masjid sebut saja G. Paklik saya ini memang sudah mewakafkan sebagain pekarangan untuk mendirikan masjid. Masalahnya adalah dalam setahun berkali-kali ampli masjid rusak. Dibetulin sebentar rusak lagi, betulin rusak lagi. Kata paklik saya ini penyebab ampli suka rusak karena si G suka menyalakan ampli dengan volume maksimal. Saya tidak tahu persis apakah ampli yang sering disetel volumenya ini akan menyebabkan cepat rusak. Lalu ada kisah juga beberapa waktu lalu dimana salah seorang kerabat yang juga seorang ustad mengeluhkan tempat masjid dimana dia sering menjadi imam shalat. Penyebabnya adalah masjid ini setiap pagi selalu mengadakan kegiatan baca Alquran dengan pengeras suara sementara masjid-masjid lain yang lebih besar dan “senior” juga melakukan kegiatan yang sama hanya tanpa pengeras suara (walaupun jelas juga ada pengeras suaranya). Pemakaian pengeras suara pagi biasanya hanya dilakukan saat Ramadlan saja. Kerabat saya ini mengatakan sebagian umat Islam sudah dijangkiti riya atau pamer yang artinya setiap ada kegiatan keagamaan dikit-dikit harus pakai ampli. Yang lucu kalau enggak ada ampli mereka malas atau tidak mau menjalankannya. Padahal walau enggak pakai ampli juga Allah sudah pasti dengar kok.
     Kalau dari sisi saya pribadi jujur saja sih pemakaian pengeras suara yang berlebihan memang mengganggu. Kadang kalau sedang ada panggilan telepon dan berbarengan misalnya dengan suara adzan maka praktis suara telepon sulit sekali terdengar. Beberapa kali saya harus mengcancel si penelepon jika saat menelepon pas bareng dengan suara adzan dari pengeras. Belum lagi kalau sedang bikin konten video maka suara dari pengeras suara ini akan menjadi backsound yang tidak bisa dihilangkan jadi terpaksa di dubbing. Repotnya kalau kemudian tidak bisa didubbing. Yang menyedihkan lagi malah tak jarang suara pengeras itu sendiri sudah sampai pada taraf mengganggu jamaah yang sedang beribadah di dalamnya. Sering ini saya alami sendiri. Ketika saya sedang membaca Alquran di dalam masjid suara saya tidak bisa terdengar dengan baik sehingga saya tidak bisa meresapinya karena kalah oleh suara pengeras masjid yang berada di luar. Awalnya dulu saya sempat sebal dengan situasi seperti ini tetapi lama kelamaan berhubung sudah menjadi “tradisi” maka kemudian saya pun cuma bisa pasrah dan menerimanya serta akhirnya menganggap sebagai sesuatu yang lumrah.
     Kalau kata teman saya yang pernah lama bekerja di AS, di sana suara dari masjid hanya boleh terdengar sampai di dalam masjid saja. Saya menganggap kasus adzan atau apapun suara yang keluar dari tempat ibadah apapun dengan pengeras suara sebaiknya memang dibuatkan aturan yang jelas agar masyarakat bisa mendapatkan keadilan dan ketenangan. Kalau aturan tak tertulis yang sudah sangat jelas selama ini di tempat saya adalah selama bulan Ramadlan suara pengeras suara hanya diperbolehkan terdengar hingga pukul 00. Lewat dari pukul itu harus dimatikan dan jika mau diteruskan cukup terdengar di dalam tempat ibadah saja dan saya melihat selama ini semua sudah taat dengan aturan ini. Saya tidak tahu apakah di tempat lain ada aturan semacam ini atau tidak. Di satu sisi dengan aturan resmi dari pemerintah, syiar dari umat Islam tetap berjalan tanpa harus mengganggu ketenangan di kalangan masyarakat umum di sisi lainnya. Jadi kasus ibu Meiliana ini tidak perlu dibesar-besarkan sebenarnya. Sesungguhnya bukan adzannya itu yang saya yakin bukan menjadi pokok persoalan tetapi pengeras suaranya. Saya kira itulah yang dipersoalkan oleh ibu Meiliana dan semoga saja nanti bisa mendapatkan keadilan yang sebenar-benarnya. 
     Memang selama ini setahu saya tidak ada hukum atau undang-undang yang mengatur tentang polusi suara ataupun penggunaan pengeras suara (atau ada tetapi tidak diterapkan?). Itulah sebabnya masyarakat kemudian bebas menggunakan perangkat-perangkat audio semaunya sendiri. Masih ingat dalam benak saya seorang tetangga sebelah rumah yang dulu suka membunyikan sound systemnya keras-keras tidak peduli pagi, siang, malam, ataupun dini hari selama bertahun-tahun. Kalau dia diingatkan sudah pasti dia tidak akan terima dan jelas akan timbul keributan tetapi kalau dibiarkan ya begitulah kelakuannya seolah dia sendiri yang cuma punya kuping. Saya sangat sering terganggu oleh ulahnya itu tetapi saya toh tidak bisa berbuat apa-apa. Sampai sekarang pun masih ada tetangga saya sebut saja R yang kalau menyalakan sound system bisa terdengar hingga jarak beratus-ratus meter. Coba saksikan juga kalau ada orang kampung punya hajat pesta pernikahan yang menggunakan sound system pasti akan dinyalakan 24 jam full nonstop dengan volume maksimal. Tetangga-tetangga di sebelahnya sudah pasti akan sangat terganggu tetapi seperti saya, mereka pasti akan lebih suka diam. Padahal lagi-lagi kata teman saya di Amrik sono jika ada orang yang membuat kegaduhan di rumahnya dan si tetangga sampai melapor ke polisi maka orang itu dijamin bisa dipenjara.  Benar negara kita bukan Amrik tetapi saya kira membuat polusi suara di pemukiman hingga mengganggu ketenangan bukanlah sebuah tindakan yang terpuji. Kita semua punya hak tetapi hak itu juga dibatasi oleh hak orang lain. Tidak ada hak yang absolut. Logikanya kalau apa yang sudah kita lakukan merugikan atau mengganggu orang lain maka tentu itu bukanlah sebuah tindakan yang patut dibenarkan. 

Update: 7-8-2018
Ternyata penggunaan pengeras suara di masjid sudah ada aturannya http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52fb1561b60c0/menghadapi-pengeras-suara-masjid-yang-mengganggu



Update: 19 November 2018
Mungkin kisah saya ini menjadi sebuah jawaban mengapa banyak masjid suka menggunakan pengeras suara dengan volume maksimal. Kisahnya bermula ketika sudah tidak terdengar suara adzan saat Ashar dari masjid di dekat rumah selama beberapa hari. Saya tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya. Apakah petugasnya sakit atau sedang bepergian atau sibuk atau bagaimana. Karena itulah saya berinisiatif untuk menjadi muadzinnya khusus Ashar saja. Sampailah kemudian saya beradzan dan kebetulan saat itu saya memang sedang terserang batuk sehingga tidak bisa mengeluarkan suara keras-keras. Nah usai shalat berjamaah saya pun langsung mendapat "saran" dari salah seorang sesepuh masjid jika sebaiknya saya lebih mengeraskan lagi suara adzannya. Alasannya adzan adalah panggilan atau ajakan. Karena itulah semestinya dilakukan dengan suara sekeras mungkin supaya semakin banyak orang yang bisa mendengarnya. Saat itulah baru saya sadar sebuah jawaban mengapa volume suara speaker masjid selalu berada pada level maksimal. Saya tentu tidak bisa dan tidak berani membantah kalau memang "aturan" yang berlaku selama ini sudah seperti itu. Hanya saja keesokan harinya saya lebih suka shalat sendirian di rumah karena saya bingung menghadapi dilema apakah saya harus beradzan sekeras mungkin sesuai saran sesepuh itu ataukah cukup sekedarnya saja supaya tidak banyak orang yang terganggu? Saya masih belum menemukan jawabannya hingga sekarang ini. 


Monday, August 20, 2018

Ketika Bensin Premium Balik Dan Menyerang Kembali


     Sudah lebih dari setahun bensin Premium lenyap di SPBU di lokasi saya. Di SPBU hanya tersedia Pertalite dan Pertamax, Kalaupun ada sesekali masih bisa dijumpai di pengecer tak resmi dan jumlahnya tidak banyak. Entah darimana pengecer tak resmi ini mendapatkannya. Lama kelamaan saya dan banyak warga lainnya jadi terbiasa dengan ketiadaan Premium sehingga tidak begitu berharap Premium balik. Saya hanya menduga jika Premium memang sudah dihapus digantikan Pertalite dan Pertamax yang lebih baik. Warga pun juga tidak ada yang protes mengapa Premium menghilang. Semua sudah nyaman dengan situasi yang ada. Apalagi dengan kehadiran SPBU pengecer resmi yang hanya menyediakan Pertamax dan Pertalite maka kami semua semakin senang. Bagi kami yang penting pasokan bensin lancar. SPBU besar jadi tertib dan tidak begitu ramai. Semua begitu indah.
    Akan tetapi semua mendadak seperti balik lagi beberapa tahun lalu ketika negara api eh... bensin Premium kembali sekitar 3 bulan lampau. Waktu itu saya datang ke sebuah SPBU dan berniat mengisi Pertalite maka saya pun masuk ke dispenser Pertalite tetapi kata petugasnya dispenser itu sekarang sudah bukan untuk Pertalite tetapi untuk Premium. Wah ternyata dugaan saya meleset. Akhirnya Premium datang kembali! Dan hasilnya pemandangan SPBU yang sudah tertib dan tidak begitu ramai jadi berantakan seperti dulu lagi. Antrian motor dan mobil mengular di bagian dispenser Premium. Saya lihat 99,99 % yang mengantri adalah pengecer tak resmi dan penimbun. Berhubung sejak 14 Juli ini pembelian sudah tidak boleh memakai dirigen plastik maka mereka memodifikasi tangki BBM mobil dan motor mereka. Salah seorang tetangga seorang spesialis pengecer Premium bahkan sudah memodifikasi tangki BBM mobilnya hingga bisa menampung ratusan liter Premium. Saya tidak tahu apakah memodifikasi ukuran tangki BBM ini melanggar aturan atau tidak karena pasti tidak cocok dengan data yang tertera di STNK. Uniknya para pengecer ini bisa antri berkali-kali di SPBU. Jadi mereka membeli Premium, lalu memindahkan isinya ke jerigen plastik di luar area SPBU kemudian balik antri kembali. Oleh sebab itu saat pagi puluhan (atau ratusan?) jerigen plastik berderet-deret di lokasi sekitar SPBU. 
Ada 2 hal yang ingin saya ungkapkan di sini:

1. Nasib SPBU pengecer resmi yang hanya bisa menjual Pertamax dan Pertalite. Pasti jualan mereka akan semakin sepi karena kalah oleh pengecer tak resmi di sekitarnya yang bisa menjual Premium dengan harga lebih murah. Pengecer tak resmi jelas lebih suka menjual Premium karena laba yang mereka raup jauh lebih banyak dibandingkan Pertalite atau Pertamax. Premium dengan harga Rp 6700 bisa dijual dengan harga minimal Rp 8000/liter.
Pengecer BBM resmi


2. Program pemerintah yang tak jelas apa maunya. Pemerintah selalu mengeluh jika beban subsidi BBM besar tetapi mengapa Premium digelontor terus? Mengapa masyarakat yang sudah nyaman menggunakan Pertalite dan Pertamax lantas harus dirusak lagi dengan hadirnya Premium?? Aneh bukan? Atau karena premium ini telah menjadi ladang korupsi yang besar? Apakah pemerintah tidak mengenal karakter rakyat kita sendiri? Beli kendaraan sebagus-bagusnya dan pakai BBM semurah-murahnya. Sekarang mobil-mobil bagus kembali menenggak Premium. Rakyat kita saya percaya 99% masa bodohlah dengan kendaraan rusak akibat penggunaan BBM yang tidak sesuai kebutuhan mesin. Toh ada bengkel dimana-mana yang siap melakukan perbaikan.  Mungkin kalau dihitung-hitung total biaya untuk memperbaiki kerusakan mesin ini masih jauh lebih kecil dibandingkan jika mereka harus selalu membeli Pertalite atau Pertamax. MERDEKA!

Update: 7 September 2018

Kalau tidak salah 3-4 hari lalu saya melihat seorang pengecer resmi ikut-ikutan menjual Premium. Seperti pengecer tak resmi, dia menjual Premium dalam botol. Rupa-rupanya bagaimanapun Premium akan selalu paling laris dan selalu diburu selama masih tersedia padahal kalau dipikir-pikir seseorang membeli Premium eceren dengan harga lebih mahal dibandingkan Pertalite di SPBU. 


Update: 19 November 2018
Ketika di suatu sore saya sedang mengisi bensin di sebuah SPBU ada sebuah mobil bagus meluncur ke arah dispenser Premium. Si sopir bertanya kepada petugas SPBU apakah Premium masih tersedia. Si mbak pun menjawab sudah habis. Spontan si sopir langsung ngibrit keluar SPBU padahal di sebelahnya dispenser Pertalite dan Pertamax sedang sepi dan stok tersedia. Saya cuma berpikir kok si sopir tidak mau mengisi kendaraannya dengan Pertalite atau Pertamax? Sebuah gambaran nyata budaya orang Indonesia. Bisa beli kendaraan bagus tetapi untuk BBMnya masih pakai yang disubsidi oleh negara dan negara pun seperti tidak pernah peduli dengan kondisi ini. 



Saturday, August 18, 2018

Kisah Musim Tembakau 2018


     Saat ini di kampung sedang musim puncak panen tembakau. Meskipun panen tembakau adalah sebuah rutinitas setiap tahun tetapi selalu ada yang menarik untuk diceritakan. Tahun ini harga tembakau relatif standar atau sedikit turun jika dibandingkan tahun lalu. Jika tahun lalu harga rata-rata bisa menembus > Rp 10 juta/kwt maka tahun ini hanya sekitar Rp 6-8 juta saja. Saya tak tahu pasti apa penyebab turunnya harga tembakau tahun ini tetapi dengan harga segitu masih cukup banyak laba yang bisa didulang petani tembakau. Buktinya masih banyak yang bisa membeli motor baru.
     Berbeda dengan awal musim tanam 2017 yang hujan turun terus menerus maka musim tanam kali ini 100% aman dalam artian awal musim kemarau datang tepat waktu. Hanya ada sedikit gangguan hujan dan itupun tidak sampai berakibat fatal terhadap tanaman. Musim kemarau kali ini benar-benar kering sehingga menyebabkan serangan hama Thrips sangat ganas. Hama ini memang tidak langsung menyebabkan tembakau mati tetapi mutunya jelas turun. Jika serangan sudah masif maka insektisida sehebat apapun takkan ada gunanya.
     Yang kedua banyak petani kelimpungan mencari gudang pengeringan karena tidak semua petani juga memiliki gudang pengeringan. Jumlah gudang pengeringan memang turun terus dari tahun ke tahun karena biaya pembuatan dan perawatannya yang sangat mahal sehingga banyak petani lebih suka menyewanya. Biaya pendirian gudang bisa mencapai puluhan juta karena harga welit (atap dari daun tebu) dan bambu yang terus naik sementara ongkos sewa cuma ratusan ribu saja per longkang per musim. Gudang juga mudah rusak karena tiupan angin kencang dan hujan deras serta resiko mudah sekali terbakar.  Padahal boleh dikatakan banyak petani yang sedang berakselerasi alias menambah luas garapan tembakau tahun ini karena memang harga tembakau menggiurkan terus sejak 2011. berbeda dengan tahun 2010 dan sebelumnya yang harganya sangat tidak menentu. Pada musim kemarau kali ini kemana mata memandang hanya terlihat tanaman tembakau. Sungguh berbeda dengan tahun kemarin yang jenis tanaman di sawah lebih beragam dari tembakau, jagung, CMB, kol, dll.
     Fakta unik lainnya adalah susahnya mencari tali rafia dan rami padahal biasanya dua barang ini tersedia melimpah ruah di warung-warung. Tali rafia dipakai untuk menyujen daun tembakau sedangkan rami digunakan untuk mengikat saat tembakau sudah kering dan diturunkan. Saya pun terpaksa harus berkeliling kesana kemari mencari tali rami dan rafia ini untuk orang tua.
     Yang terakhir adalah semakin sulitnya mencari tenaga kerja buruh untuk bekerja membantu menanam dan memanen tembakau. Biangnya jelas semakin banyak anak-anak muda yang lebih tertarik untuk menjadi buruh pabrik dan kantor di kota yang lebih menjamin masa depan. Tren ini akan terus berlangsung padahal 50% biaya tenaga kerja budidaya tembakau habis hanya untuk tenaga kerja. Budidaya tembakau sangat labor intensive. 


Wednesday, August 1, 2018

Paradoks Kerja Keras: Sekedar Sibuk Atau Produktif?


     Telah lama tumbuh dalam budaya masyarakat kita bahwa semakin banyak waktu dihabiskan untuk bekerja maka akan semakin banyak hasil yang akan diperoleh. Hingga titik tertentu mungkin iya tetapi selanjutnya akan terjadi penurunan. Ijinkan saya menceritakan yang telah terjadi pada kehidupan orang tuaku selama ini. Mereka adalah contoh sempurna terjadinya paradoks kerja keras ini.
     Bapak saya adalah seorang pekerja keras. Bisa dikatakan piala pekerja keras bergilir di kampung  tidak pernah lepas dari tangan bapak dari bapak mulai bekerja saat masih bujangan hingga detik ini. Bapak selalu gelisah jika ada kabar warga kampung yang bekerja lebih giat dibandingkan beliau. Oleh sebab itu bapak sering mencari kabar dari mulut ke mulut kalau-kalau ada warga kampung yang bekerja lebih keras dibandingkan dirinya. Jujur saja saya yang notabene anaknya dan berusia jauh lebih muda tidak bisa meniru bapak sama sekali. Saya cenderung menerapkan teknik bekerja lebih pintar dan bukan lebih keras. Itulah sebabnya jika saya dan bapak disatukan dalam sebuah tim yang sama maka akan clash terus.
     Setiap pukul 1 dinihari setiap hari ortu (berdua) sudah bangun untuk memetik jamur. Padahal warga kampung disini yang paling kaya dan paling miskin tidak ada yang mulai bangun pada pukul segitu untuk bekerja. Pukul 3 pagi bapak sudah harus mengantarkan jamur ke rumah pedagang. Usai itu kadang bapak tidur sebentar lagi tetapi kadang juga tidak. Begitu adzan subuh berkumandang bapak pun langsung berangkat ke ladang. Bapak pulang sebentar pada siang hari tetapi kadang tidak. Beliau menghabiskan waktunya seharian di ladang sampai matahari tenggelam bahkan lewat maghrib. Itupun saat musim petik tembakau seperti sekarang masih ada pekerjaan ekstra mengeringkan tembakau di gudang hingga malam hari. Prinsip kerja bapak adalah selalu berupaya agar pekerjaan sehari bisa dikerjakan dalam dua hari, pekerjaan seminggu bisa jadi dua minggu, dan pekerjaan sebulan bisa menjadi dua bulan. Luar biasa sekali. Contohnya saat sedang menanam jagung, biasanya banyak gulma tumbuh di bawah jagung. Untuk memberantas gulma ini, bapak menggunakan herbisida. Yang unik adalah meskipun gulma sudah diberikan herbisida tetapi masih saja dicabuti. Ibarat membunuh orang dengan euthanasia masih disembelih lagi padahal dieuthanasia atau disembelih saja sudah cukup, tidak perlu harus keduanya. Petani-petani lain di kampung tidak ada yang melakukan seperti ini.   
     Akan tetapi profesi petani tidak selalu memberikan hasil setiap saat. Sangat sering justru kerugian yang dialami. Kekeringan, banjir, serangan hama dan penyakit bisa meluluhlantakkan tanaman di ladang dalam sekejap mata. Begitu pula beliau masih dihadapkan dengan resiko hasil bumi tidak dibayar pedagang yang tidak bertanggung jawab. Anehnya setiap melakukan evaluasi bapak selalu menyimpulkan bahwa penyebab utama kegagalan usaha bertaninya adalah KARENA KURANG BEKERJA KERAS. Karena itulah bapak terus dan terus menambah jam kerja di ladang dari tahun ke tahun namun hasilnya bagaimana kemudian? Hasilnya malah semakin terpuruk. Yang terakhir sebagian sawahnya terpaksa dijual. Musim tembakau kali ini malah ibu saya sampai menggadaikan perhiasan dan mau menjual sapinya. Entah untung atau sayangnya tidak ada yang mau membeli sapi itu.
     Susahnya bapak tidak pernah mau disadarkan. Di saat orang-orang lain seusianya asyik bermain dengan cucunya, bapak terus menghabiskan waktunya dari Senin ke Senin untuk bekerja (beliau tidak mengenal tanggal merah). Dampak lainnya apa? Hubungan dengan anggota keluarga jadi tidak atau kurang dekat. Contohnya saja saya dan adik kurang dekat dengan bapak. Kami tahu beliau adalah bapak kandung kami tetapi kami seperti tidak memiliki ikatan emosional apapun. Hanya sedikit sekali kenangan yang saya ingat bersama bapak dari saat masih kecil hingga sekarang. Terlihat jelas salah satu dampak buruk kerja keras berlebihan bahwa lebih banyak tidak selalu berarti lebih baik. Mungkin masyarakat Jepang hebat karena jam kerja yang panjang namun perlu diingat juga bahwa angka bunuh diri di Jepang juga tinggi karena beban kerja keras berlebihan. Pernah mendengar atau membaca hutan Aokigahara nan angker? Hutan dimana ratusan orang Jepang setiap tahun melakukan bunuh diri dengan menggantung diri di pohon. Beberapa waktu lalu sempat heboh kasus dihapusnya video Paul Logan (seorang vlogger) oleh Youtube yang menampilkan sosok mayat tergantung di hutan saat masih berpakaian kerja (silahkan cari sendiri yang versi uncut dan uncensored).
     Kerja berlebihan juga akan mengakibatkan lelah berlebihan dan biasanya orang yang kelelahan mudah sekali tersulut amarahnya.  Nah ini pula yang sering terjadi pada bapak. Setiap malam sehabis pulang bekerja, bapak selalu mengeluh kelelahan (walaupun saya tahu dia sangat menikmati rasa lelah itu). Tak jarang kelelahan ini memicu pertengkaran hebat di antara bapak dan ibu saya. Bukan cuma itu saja orang yang hidupnya sudah mengalami addiksi kerja berlebihan akan cenderung menerapkan standar yang sama untuk semua orang lainnya. Masalahnya adalah tidak semua orang bisa atau mau menerima standar itu. Akibatnya sebentar-sebentar bapak selalu berganti-ganti buruh tani. Malah yang terakhir sebut saja namanya E hanya bertahan selama seminggu. Bapak memang selalu memiliki cara agar sebuah pekerjaan tak pernah selesai. Itulah yang saya yakin kemudian menyebabkan para buruh menjadi frustrasi. Biasanya bapak selalu menyimpulkan buruh yang keluar itu sebagai pemalas. Saya jadi heran sendiri, masak sih di antara sekian puluh pekerja yang pernah bekerja pada bapak semuanya pemalas? Rasa-rasanya kok tidak mungkin. Buktinya ketika selanjutnya mereka bekerja pada orang lain terlihat mereka nyaman-nyaman saja. Itulah sebabnya bapak selalu kesulitan dalam mencari buruh tani sementara orang-orang bisa dengan mudahnya mendapatkannya. Akhirnya bapak hanya mengandalkan tenaga keluarga sendiri yaitu ibu dan saya yang tentu saja takkan pernah cukup. Ibu sudah sakit-sakitan jadi tenaganya sudah berkurang dan saya pun memiliki pekerjaan sendiri. Itulah sebabnya sering saya jengkel ketika disuruh membantu pekerjaan bapak. Bukannya tidak mau membantu tetapi karena selalu crash dengan pekerjaan saya sendiri. Biasanya pekerjaan saya yang kemudian saya korbankan padahal saya juga harus menghidupi anak istri. Ini juga yang membuat hubungan saya dengan bapak semakin lama semakin memburuk sampai sekarang tetapi sepertinya bapak tidak peduli. Beliau adalah tipe kepala keluarga yang rela mengorbankan keluarganya demi ambisi-ambisinya. 
     Saya kadang heran untuk siapakah sebenarnya bapak bekerja? Karena semua anak-anaknya toh sudah hidup mandiri berumah tangga. Mungkin untuk memperkaya bank, produsen, dan toko sarana produksi pertanian serta para tengkulak? Padahal bapak bukanlah orang yang suka berfoya-foya. Pakaian baru juga belum tentu tiap lebaran beli. Makannya sederhana sekali. Bahkan masih lebih enak-enak makanan tetangga belakang yang rumahnya dari bambu. Bapak juga tidak pernah traveling. Beli motor baru cash pun harus susah payah dan itupun belum tentu bisa 10 tahun sekali. Beberapa kali juga motor itu hampir terjual untuk melunasi hutang. Padahal di luar sana baik itu para tetangga atau kerabat banyak yang bekerja tidak sekeras bapak dan bahkan tidak memiliki ladang seluas bapak tetapi hidup jauh lebih layak. Saya juga tidak tahu kemana saja uang bapak selama ini mengalir. Mungkin ada yang bilang faktor rejeki. Memang benar bisa jadi tetapi persoalan mendasarnya adalah bapak masih belum sadar diri akan semua yang tengah terjadi sampai sekarang dan ini sungguh sangat disayangkan. Di saat usia bapak semakin menua seharusnya bapak lebih banyak menghabiskan waktu untuk beribadah dan bukannya malah semakin tenggelam dalam pekerjaan yang justru tiada habisnya. 
     Dampak dari perilaku orang tua saya yang seperti itu adalah semakin menurunnya aktivitas beribadah. Kegiatan-kegiatan majelis taklim (bahkan shalat) yang biasanya diikuti oleh ibu dan bapak mulai banyak yang ditinggalkan dengan alasan sibuk kerja.  Sungguh sayang sekali... Yang kedua kesehatan yang memburuk. Kerja berlebihan membuat ibu jadi sering sakit-sakitan terus menerus. Boleh dibilang bagi ibu saya tiada hari tanpa minum obat.  Mengunjung rumah sakit, klinik, dokter, apotek, dukun pijat, dukun biasa, dan perawat jadi kegiatan rutin beliau. Yang ketiga ini yang paling tidak saya suka yaitu menyeret saya ke dalam masalah dan kesulitan mereka akibat kerja keras berlebihan. Bukannya saya tidak mau membantu atau tidak peduli dengan orang tua tetapi kalau terus menerus selama bertahun-tahun saya selalu diseret-seret ke dalam pusaran masalah mereka maka lama kelamaan saya juga merasa tidak nyaman. Awal-awalnya sih saya merasa tidak ada masalah tetapi ujung-ujungnya saya kok merasa seperti cuma jadi korban atas semua masalah mereka. Yang saya lakukan kemudian adalah ribut. Saya tidak ingat pasti entah berapa lama tetapi saya lantas jadi sering ribut dengan orang tua. Walaupun begitu sejak saya memiliki anak sendiri dan menjadi orang tua saya menyadari tidak ada gunanya saya ribut-ribut melulu dengan orang tua. Yang pertama jelas itu bukan perbuatan yang baik. Agama juga melarang. Selain itu saya takut jika apa yang sudah saya lakukan itu akan menjadi contoh buat anak-anak di kemudian hari. Kalau hari ini saya memperlakukan orang tua dengan buruk maka besar sekali kemungkinan di masa depan si kecilku akan memperlakukan saya dengan sama buruknya. Oleh sebab itu langkah terakhir untuk menghadapi mereka adalah dengan diam, tutup mulut, dan pasrah. Saya sudah pasrahkan semuanya ini kepada Allah semata. Saya percaya tidak peduli sehebat atau sebesar apapun kekuasaan orang tua atas anak-anaknya masih ada Allah yang berada di atas mereka. Allah pasti melihat semuanya dan saya sangat percaya Allah takkan pernah tidur sekejap pun.  Bapak polah anak kepradah (Jawa: karena ulah orang tua, anak jadi kena getahnya), itulah kira-kira pepatah Jawa yang relevan dengan sejumlah orang tua jaman now.  Jadi siapa yang bilang kalau orang tua itu selalu baik terhadap anak-anaknya? Banyak kejadian belakangan ini menyiratkan yang sebaliknya.
     Sudah sejak lama saya tidak mau meniru bapak. Bagi saya hidup harus seimbang. Bekerja tentu penting sebagai wujud tanggung jawab menafkahi keluarga tetapi berlebihan? Tentu saja tidak. Berlebihan akan membuat diri sendiri tidak seimbang. Pernahkah naik kendaraan yang tidak seimbang? Ya begitulah rasanya. Pasti tidak menyenangkan dan tidak nyaman. Malah bisa-bisa akhirnya jatuh. Hanya bisa berharap semoga suatu saat nanti bapak tersadar (walaupun sangat pesimis).  Bekerja keras terus menerus akan menimbulkan kecanduan yang mirip dengan kecanduan rokok atau narkoba. Orang akan bekerja semakin keras dan lebih keras tanpa peduli pekerjaannya itu akhirnya produktif atau tidak. Kemaruk (Jawa: serakah) dalam hal apapun termasuk dalam bekerja bukanlah sesuatu yang baik ternyata. Saya malah merasa apa yang sedang dialami oleh bapak sudah mengarah kepada gangguan kejiwaan yang saya tidak tahu apa namanya.