Saturday, August 25, 2018

Pengeras Suara Masjid Dan Ibu Meiliana


     Beberapa hari ini ada sebuah kasus yang cukup menarik yang menimpa ibu Meiliana (https://nasional.tempo.co/read/1119663/ini-kronologi-kasus-penistaan-agama-meiliana-di-tanjung-balai) yang dihukum 1,5 tahun karena telah komplen dengan suara adzan masjid. Majelis hakim memvonis ibu Meiliana telah melakukan penodaan agama. Saya tidak memiliki kapasitas lebih jauh mengomentari proses hukum yang tengah dijalani oleh ibu ini. Sebagai warga yang menjunjung tinggi hukum biarkan proses hukum saat ini sedang berjalan. Saya hanya ingin bercerita tentang apa yang sudah saya lihat dan alami sendiri mengenai penggunaan pengeras suara di masjid atau mushala selama ini.
     Mungkin banyak yang berpikir, khususnya umat non muslim bahwa masalah pengeras suara ini hanya bisa terjadi antara warga non muslin dan muslim saja padahal kenyataan sebenarnya bisa saja terjadi antara sesama muslim. Ceritanya beberapa tahun lalu di samping rumah berdiri masjid baru yang jaraknya sekitar 200 m dari mushala lama. Masjid baru ini berada di sisi timur mushala. Sejak lama corong mushala memang menghadap pas ke timur ke arah masjid baru itu berada. Kata bapak saya amplifier mushala ini bagus sehingga suara yang keluar dari corong bisa keras dan terdengar sampai jauh dan begitulah. Sampai suatu ketika saat saya sedang shalat berjamaah maghrib di masjid rupanya pak ustad mushala juga sedang memulai adzannya. Langsung deh suara adzan yang keras masuk ke dalam ruangan masjid. Saya agak kesulitan mendengar suara imam di depan saya. Akhirnya saya ngikut saja gerakan jamaah di sebelah. Begitulah setiap sore jamaah di masjid harus terganggu dengan suara adzan di mushala. Rupa-rupanya ada salah satu imam masjid yang kemudian berang dan mendatangi mushala serta mengeluhkan langsung masalah ini. Sejak saat itu seingat saya volume corong dari mushala memang dikecilin tetapi entah bagaimana kemudian apakah pak ustadnya tidak suka dengan volume yang kecil lalu arah corong digeser agak ke selatan namun dengan volume lebih besar seperti sebelumnya. Kalau sekarang sih suara corong dari mushala sudah tidak mengganggu jamaah masjid karena telah digeser itu.
     Kisah lainnya, paklik saya pernah bercerita betapa jengkelnya dia dengan salah satu pengurus  masjid sebut saja G. Paklik saya ini memang sudah mewakafkan sebagain pekarangan untuk mendirikan masjid. Masalahnya adalah dalam setahun berkali-kali ampli masjid rusak. Dibetulin sebentar rusak lagi, betulin rusak lagi. Kata paklik saya ini penyebab ampli suka rusak karena si G suka menyalakan ampli dengan volume maksimal. Saya tidak tahu persis apakah ampli yang sering disetel volumenya ini akan menyebabkan cepat rusak. Lalu ada kisah juga beberapa waktu lalu dimana salah seorang kerabat yang juga seorang ustad mengeluhkan tempat masjid dimana dia sering menjadi imam shalat. Penyebabnya adalah masjid ini setiap pagi selalu mengadakan kegiatan baca Alquran dengan pengeras suara sementara masjid-masjid lain yang lebih besar dan “senior” juga melakukan kegiatan yang sama hanya tanpa pengeras suara (walaupun jelas juga ada pengeras suaranya). Pemakaian pengeras suara pagi biasanya hanya dilakukan saat Ramadlan saja. Kerabat saya ini mengatakan sebagian umat Islam sudah dijangkiti riya atau pamer yang artinya setiap ada kegiatan keagamaan dikit-dikit harus pakai ampli. Yang lucu kalau enggak ada ampli mereka malas atau tidak mau menjalankannya. Padahal walau enggak pakai ampli juga Allah sudah pasti dengar kok.
     Kalau dari sisi saya pribadi jujur saja sih pemakaian pengeras suara yang berlebihan memang mengganggu. Kadang kalau sedang ada panggilan telepon dan berbarengan misalnya dengan suara adzan maka praktis suara telepon sulit sekali terdengar. Beberapa kali saya harus mengcancel si penelepon jika saat menelepon pas bareng dengan suara adzan dari pengeras. Belum lagi kalau sedang bikin konten video maka suara dari pengeras suara ini akan menjadi backsound yang tidak bisa dihilangkan jadi terpaksa di dubbing. Repotnya kalau kemudian tidak bisa didubbing. Yang menyedihkan lagi malah tak jarang suara pengeras itu sendiri sudah sampai pada taraf mengganggu jamaah yang sedang beribadah di dalamnya. Sering ini saya alami sendiri. Ketika saya sedang membaca Alquran di dalam masjid suara saya tidak bisa terdengar dengan baik sehingga saya tidak bisa meresapinya karena kalah oleh suara pengeras masjid yang berada di luar. Awalnya dulu saya sempat sebal dengan situasi seperti ini tetapi lama kelamaan berhubung sudah menjadi “tradisi” maka kemudian saya pun cuma bisa pasrah dan menerimanya serta akhirnya menganggap sebagai sesuatu yang lumrah.
     Kalau kata teman saya yang pernah lama bekerja di AS, di sana suara dari masjid hanya boleh terdengar sampai di dalam masjid saja. Saya menganggap kasus adzan atau apapun suara yang keluar dari tempat ibadah apapun dengan pengeras suara sebaiknya memang dibuatkan aturan yang jelas agar masyarakat bisa mendapatkan keadilan dan ketenangan. Kalau aturan tak tertulis yang sudah sangat jelas selama ini di tempat saya adalah selama bulan Ramadlan suara pengeras suara hanya diperbolehkan terdengar hingga pukul 00. Lewat dari pukul itu harus dimatikan dan jika mau diteruskan cukup terdengar di dalam tempat ibadah saja dan saya melihat selama ini semua sudah taat dengan aturan ini. Saya tidak tahu apakah di tempat lain ada aturan semacam ini atau tidak. Di satu sisi dengan aturan resmi dari pemerintah, syiar dari umat Islam tetap berjalan tanpa harus mengganggu ketenangan di kalangan masyarakat umum di sisi lainnya. Jadi kasus ibu Meiliana ini tidak perlu dibesar-besarkan sebenarnya. Sesungguhnya bukan adzannya itu yang saya yakin bukan menjadi pokok persoalan tetapi pengeras suaranya. Saya kira itulah yang dipersoalkan oleh ibu Meiliana dan semoga saja nanti bisa mendapatkan keadilan yang sebenar-benarnya. 
     Memang selama ini setahu saya tidak ada hukum atau undang-undang yang mengatur tentang polusi suara ataupun penggunaan pengeras suara (atau ada tetapi tidak diterapkan?). Itulah sebabnya masyarakat kemudian bebas menggunakan perangkat-perangkat audio semaunya sendiri. Masih ingat dalam benak saya seorang tetangga sebelah rumah yang dulu suka membunyikan sound systemnya keras-keras tidak peduli pagi, siang, malam, ataupun dini hari selama bertahun-tahun. Kalau dia diingatkan sudah pasti dia tidak akan terima dan jelas akan timbul keributan tetapi kalau dibiarkan ya begitulah kelakuannya seolah dia sendiri yang cuma punya kuping. Saya sangat sering terganggu oleh ulahnya itu tetapi saya toh tidak bisa berbuat apa-apa. Sampai sekarang pun masih ada tetangga saya sebut saja R yang kalau menyalakan sound system bisa terdengar hingga jarak beratus-ratus meter. Coba saksikan juga kalau ada orang kampung punya hajat pesta pernikahan yang menggunakan sound system pasti akan dinyalakan 24 jam full nonstop dengan volume maksimal. Tetangga-tetangga di sebelahnya sudah pasti akan sangat terganggu tetapi seperti saya, mereka pasti akan lebih suka diam. Padahal lagi-lagi kata teman saya di Amrik sono jika ada orang yang membuat kegaduhan di rumahnya dan si tetangga sampai melapor ke polisi maka orang itu dijamin bisa dipenjara.  Benar negara kita bukan Amrik tetapi saya kira membuat polusi suara di pemukiman hingga mengganggu ketenangan bukanlah sebuah tindakan yang terpuji. Kita semua punya hak tetapi hak itu juga dibatasi oleh hak orang lain. Tidak ada hak yang absolut. Logikanya kalau apa yang sudah kita lakukan merugikan atau mengganggu orang lain maka tentu itu bukanlah sebuah tindakan yang patut dibenarkan. 

Update: 7-8-2018
Ternyata penggunaan pengeras suara di masjid sudah ada aturannya http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt52fb1561b60c0/menghadapi-pengeras-suara-masjid-yang-mengganggu



Update: 19 November 2018
Mungkin kisah saya ini menjadi sebuah jawaban mengapa banyak masjid suka menggunakan pengeras suara dengan volume maksimal. Kisahnya bermula ketika sudah tidak terdengar suara adzan saat Ashar dari masjid di dekat rumah selama beberapa hari. Saya tidak tahu apa yang menjadi penyebabnya. Apakah petugasnya sakit atau sedang bepergian atau sibuk atau bagaimana. Karena itulah saya berinisiatif untuk menjadi muadzinnya khusus Ashar saja. Sampailah kemudian saya beradzan dan kebetulan saat itu saya memang sedang terserang batuk sehingga tidak bisa mengeluarkan suara keras-keras. Nah usai shalat berjamaah saya pun langsung mendapat "saran" dari salah seorang sesepuh masjid jika sebaiknya saya lebih mengeraskan lagi suara adzannya. Alasannya adzan adalah panggilan atau ajakan. Karena itulah semestinya dilakukan dengan suara sekeras mungkin supaya semakin banyak orang yang bisa mendengarnya. Saat itulah baru saya sadar sebuah jawaban mengapa volume suara speaker masjid selalu berada pada level maksimal. Saya tentu tidak bisa dan tidak berani membantah kalau memang "aturan" yang berlaku selama ini sudah seperti itu. Hanya saja keesokan harinya saya lebih suka shalat sendirian di rumah karena saya bingung menghadapi dilema apakah saya harus beradzan sekeras mungkin sesuai saran sesepuh itu ataukah cukup sekedarnya saja supaya tidak banyak orang yang terganggu? Saya masih belum menemukan jawabannya hingga sekarang ini. 


No comments:

Post a Comment