Wednesday, August 29, 2018

Susahnya Rakyat Kita Diajak Menghemat Listrik


     Salah satu topik hangat tiap awal bulan yang tak pernah basi (walau menurut saya sudah sangat basi sekali) adalah tagihan listrik. Seperti orang tua saya yang selalu mengeluh jika tagihan listriknya membengkak sejak pencabutan subsidi beberapa waktu lalu. Orang tua saya memakai daya 900 VA M atau mampu. Kalau kenaikan persentase memang cukup tajam dari yang semula hanya mengeluarkan rata-rata Rp 120 ribu/bulan mendadak menjadi Rp 200 ribuan per bulan walau secara nominal memang tidak banyak sekitar Rp 80 ribu. Bagi orang tua saya yang bukan warga miskin sebenarnya nominal segitu tidaklah akan membebani. Itulah sebabnya saya sudah sejak sangat lama selalu mendengungkan penghematan pemakaian listrik sebisa mungkin tetapi yang terjadi lagi-lagi sebuah paradoks.
     Contohnya jelang lebaran kemarin bapak memasang 3 buah penjor yang menyala non stop mulai pukul 17 sampai dengan pagi sekitar pukul 5. itu belum lampu disko yang berputar-putar di depan rumah yang juga non stop dengan durasi yang sama. Hampir sebulan penjor dan lampu disko itu dinyalakan setiap hari. Usai lebaran saya kira berarti selesai sudah pemakaian penjor dan lampu disko ini tetapi eh ortu masih ngotot supaya tetap dinyalakan. Akhirnya penjor ditempel di teras rumah sedangkan lampu disko kadang dinyalakan kadang tidak hingga detik ini. Saya hanya merasa heran, mereka selalu mengeluh dengan banyaknya tagihan listrik tetapi anehnya mengapa penggunaan lampu yang tidak penting justru semakin diperbanyak? Begitu pula lampu kamar orang tua saya sejak mulai Ashar sampai jelang tidur dinyalakan terus menerus setiap hari walaupun di dalamnya sedang tidak ada orang. Lampu dapur juga kalau tidak saya yang matiin setiap hari mungkin takkan pernah dimatikan selamanya.
     Pertama ibu saya pernah berpikir mau beralih menggunakan sistem isi pulsa atau pra bayar. Saya kok malah semakin tidak paham dengan logika beliau. Salah satu kelemahan pra bayar adalah harus diisi token terus dan ini jelas-jelas akan merepotkan saya karena kalau token habis sudah pasti sayalah yang harus repot mengisikannya karena mereka takkan bisa melakukannya. Lagipula menurut saya relatif sama aja tarif pra bayar dan pasca bayar. Yang kedua ibu pernah mengusulkan mau pakai genset. Kalau ini saya malah mau ketawa rasanya. Di rumah memang ada genset. Apakah mereka tidak tahu jika genset itu boros BBM? Taruhlah satu jam butuh konsumsi seliter Premium (belum kalau pakai Pertalite atau Pertamax). Harga eceren Premium sekarang Rp 8000 yang berarti dalam 24 jam jika genset dinyalakan terus akan memerlukan biaya 24xRp 8000 = Rp 192 ribu/hari atau sekitar Rp 5,7 juta per bulan. Sekarang mengeluarkan Rp 200 ribu/bulan sudah terasa sangat berat lantas apakah kalau harus mengeluarkan Rp 5 jutaan akan terasa lebih ringan? Atau saya yang logikanya sudah terbalik?
     Bapak pernah iri dengan tetangga yang memasang daya 450 VA yang sebulan cuma harus mengeluarkan biaya Rp 50 ribu. Saya akui memang tidak semua pemilik daya 450 VA adalah warga miskin tetapi saya kira tidak ada manfaatnya juga iri dengan banyak orang mampu yang mengaku miskin. Masyarakat kita memang beginilah keadaannya dari jaman kuno. Saat ada pendataan GAKIN tiba-tiba semuanya merasa layak menjadi GAKIN tetapi anehnya ketika orang-orang ini dianggap menjadi orang miskin beneran mereka pasti marah dan harga dirinya dilecehkan. Bapak bercerita salah satu tetangga pemilik bengkel langganan hanya memakai daya 450 VA tetapi full strum buat ngelas listrik ataupun menjalankan peralatan bengkel yang butuh daya listrik besar. Saya malah prihatin. Sudah jelas si tetangga itu nyolong listrik! Dulu salah satu kerabat saya seorang tukang servis barang elektronik juga sering mencuri listrik dan memang tak pernah tertangkap. Katanya sih supaya aman nyolongnya harus bekerja sama dengan oknum PLN. Selama ini PLN mungkin sudah berupaya menghapus praktek-praktek seperti ini tetapi kenyataannya di lapangan toh masih saja jalan dan saya melihatnya juga dengan mata kepala sendiri. Mau melapor juga malas (termasuk saya) karena biasanya seperti yang sudah-sudah tidak ada tindak lanjut dan praktek terus saja berjalan. Inilah Indonesia, walau sudah jelas-jelas mencuri apapun itu termasuk perbuatan yang tak terpuji tetapi masyarakat kita cenderung permisif untuk masalah ini. Oleh sebab itu sampai kapanpun korupsi takkan pernah bisa dibasmi dari negeri ini karena pada dasarnya karakter masyarakat kita memang sudah demikian adanya. Eh kok ngelantur… demikianlah sekelumit kisah “penghematan” listrik di dalam keluarga besar saya.

No comments:

Post a Comment