Friday, June 19, 2020

Talak Tiga Browser Chr*me!!!

     Hampir sepekan ini entah mengapa ada yang aneh dengan browser Chrome yaitu lemoooooot.  Awalnya saya menduga mungkin PC-nya yang dah ketuaan (memang dah tua banget sih...). Akhirnya cari-cari akal kemudian memberanikan diri overclock kecil-kecilan lewat BIOS dengan bantuan dari browsing sana sini. Habis overclock eh masih aja itu browser masih lemot gaje. Sumpah deh makin senewen nih aku. Ini browser mesti diapain lagi? Coba-coba ganti DNS dan tetap saja browser jalan bak keong bunting. Hapus history jadi pilihan terakhir dan hasilnya tetap saja tuh browser lelet gak pakai kompromi. Makin puyeng deh gue setengah mati. Buat buka satu situs saja muter-muternya bisa semenit sendiri. Pokoknya sumpah banget dah stress level dewa. Sampai-sampai router wifi aku restart karena bisa jadi dah jenuh tuh routernya. Eh, tak ada dampak positif blasss!
     Feeling saya mengatakan, coba deh si Microsoft Edge, siapa tahu lebih kencengan? Yah namanya mencicipi tak ada salahnya buat dilakukan. Sebenarnya di PC sudah ada Opera cuma ini browser 11 12 lah sama Chrome. Usai download langsung install dan memang bener.. ini browser baru jauh lebih kencee..eng. Spontan langsung talak 3 tuh si Chrome! Dah rugi waktu banyaaak sekali gara-gara si Chrome selama ini! Goodbye Chrome!

Tuesday, June 16, 2020

REMAS, Nasibmu Nanti


     Beberapa malam lalu usai shalat Isya di masjid saya disodori sebuah undangan oleh salah satu tetangga. Baca-baca sebentar ternyata undangan untuk menghadiri rapat pembentukan REMAJA MASJID (REMAS). Yahh tak masalah-lah kalau cuma menghadiri rapat doang sembari menunjukkan kepedulian kepada masjid dekat rumah. Asal saya tak ditunjuk sebagai salah satu pengurusnya. Akhirnya hari itupun tiba. Malam itu usai shalat Isya' kami berkumpul. Awalnya saya pikir mungkin hanya 10 orang yang bakal hadir ternyata hampir 30 orang. Bahkan katanya jumlah undangan yang disebar ada 50 orang. Saya hanya berpikir semakin banyak yang hadir maka diskusi akan semakin tidak efisien dan benar demikianlah adanya.
     Pihak yang hadir terdiri dari kaum muda dan beberapa sesepuh dari pihak takmir. Saya melihat semangat kaum muda yang luar biasa. Intinya baik REMAS atau takmir akan berusaha agar masjid lebih meriah lagi dengan menyelanggarakan sejumlah kegiatan rutin. Akan tetapi satu hal yang membuat saya ganjil adalah kelihatan sekali jika REMAS dianggap sebagai organisasi terpisah dari takmir. Hubungan takmir dan REMAS cuma sebatas koordinasi! Kasarnya (moga-moga dugaan saya salah), pihak takmir mengharap REMAS memakmurkan masjid tetapi jangan sampai mengambil uang kas masjid. Whatss??!! Spontan saya berontak. Langsung saya sampaikan kepada teman-teman REMAS jika semestinya REMAS juga seharusnya memiliki akses keuangan uang kas masjid. Sekarang apa gunanya uang kas masjid puluhan juta rupiah cuma ditumpuk-tumpuk doang terus menerus? Malah ada teman-teman REMAS yang bilang mereka akan mencari sponsor dan swadaya. Gila!! Memang mencari sponsor itu mudah? Kalaupun dapat juga tak banyak nominal uangnya. Apalagi swadaya wah makin speechless deh. 
     Apa yang saya duga jauh-jauh sebelumnya memang  menjadi sebuah kenyataan. Dari dulu saya tahu bagaimana orang-orang yang duduk di dalam takmir masjid. Mereka adalah orang-orang tua yang masih bertahan dengan pola pikir lama dalam mengelola masjid. Itulah yang membuat saya tak mau terlalu dekat dengan mereka. Bagi mereka masjid itu seperti pesawat terbang, tinggal tekan tombol autopilot maka pesawat akan melaju dengan sempurna sendirinya sementara mereka tinggal rebahan di atas kasur. Whatsss??!! Sejak kapan pula ada masjid dilengkapi autopilot? Kalau enggak mau keluar duit buat menyelanggarakan kegiatan ya jangan harap masjid akan ramai. Amplifier berkali-kali rusak ya cuma diperbaiki melulu bukannya diganti dengan yang lebih bagus. Pintu kamar mandi tak bisa ditutup juga sudah bertahun-tahun dibiarkan saja. Marbot masjid setahu saya juga tak ada. Kegiatan di masjid cuma shalat 5 waktu doang. Saya menganggap teman-teman REMAS seperti sedang bermimpi di siang bolong malah bukan tak mungkin REMAS baru ini akan mati suri seperti periode kepengurusan sebelumnya. Bagaimana bisa sebuah organisasi akan berjalan tanpa ada dana yang mendukung sama sekali? 

UPDATE Oktober 2020:
      Kini sudah sekitar 3 bulan usia REMAS dan seperti yang sudah saya duga, mati perlahan pada akhirnya. Satu per satu anggotanya mulai "bertumbangan". Saat kegiatan baca Alquran bersama yang datang paling banyak cuma 5 orang. Sebagian sudah keluar dari grup di WA. Sebuah realitas pahit. 

Thursday, June 11, 2020

Di Atas Langit Akan Selalu Ada Langit


     Dulu saya ingat sebuah peristiwa tatkala masih SMA. Kala itu masih kelas 2 kalau tak salah dimana saya tengah menjadi siswa SMAN paling maju di kabupatenku. Suatu hari saya dan beberapa siswa lainnya dipanggil oleh guru Kimia untuk menemui beliau di ruang guru. Singkat cerita rupa-rupanya bu guru itu telah memilih kami mewakili sekolah untuk mengikuti olimpiade Kimia di Surabaya. Wah... keren sekali, begitulah pikiran saya. Waktu itu saya masih belum memiliki banyak gambaran tentang Surabaya karena terakhir ke sana juga masih SD. Hari-hari kami habiskan dengan berlatih untuk persiapan lomba usai jam sekolah. Saya merasa bangga karena bisa menjadi salah satu siswa yang terpilih dan selama itu boleh dibilang saya memang sudah "kepedean" karena berhasil masuk di salah satu SMAN favorit dimana banyak calon siswa lain telah berguguran saat seleksi masuk. 
     Hari yang dinanti pun tiba, kami dibelikan tiket KA untuk berangkat ke Surabaya dan mungkin itulah kali pertama saya naik KA. Sampai di Surabaya saya hanya tercengang melihat sebuah kota yang jauh di luar gambaran saya sebelumnya. Sebuah kota yang macet, semrawut, penuh polusi, dan kumuh. Jauh sekali dengan gambaran kota kecilku apalagi desaku. Kami menginap di rumah salah satu kenalan sang guru. Kami tiba sore hari dalam kondisi kelelahan sekali hingga lepas Isya langsung berangkat tidur di ruang tamu. Keesokan harinya saya berangkat ke IKIP Surabaya (sekarang UNESA) di Ketintang naik microlet. Saya tak menyangka jika kota ini nanti akhirnya menjadi tempatku menuntut pendidikan tinggi. Melihat IKIP Surabaya dengan gedung-gedungnya nan megah membuat saya terkagum-kagum. Ratusan siswa dari berbagai SMA se-JATIM tampak berkumpul di depan perguruan tinggi. Sebagian ada yang kelihatan bengong seperti saya dan adapula yang sibuk mempersiapkan diri. Walaupun begitu saya masih pede saja karena merasa berasal dari SMAN terbaik di kota. 
     Akhirnya acara lomba pun dimulai dan derr... seperti kilat yang menyambar di tengah hari kami bertiga seperti "orong-orang kepidak" alias hanya bisa terdiam 1000 bahasa menghadapi materi yang benar-benar di luar dugaan! Contoh untuk satuan larutan yang biasanya di sekolah kami memakai molar di situ semuanya menggunakan normal. Hadeeh... kami cuma bisa bengong karena sangat jarang menggunakan satuan itu. Kami membuat banyak sekali kesalahan dan lebih banyak terdiam sementara grup-grup siswa lainnya menjawab dengan sangat lancarnya. Usai materi tertulis dan tanya jawab dilanjutkan dengan praktek. Kami makin kikuk berhadapan dengan alat-alat dan bahan kimia. Di sekolah sangat jarang melakukan praktikum. Jadilah hari itu kami kalah telak. Sore hari kami pun tereliminasi. Dengan wajah lusuh, capek, dan kecewa kami shalat Ashar di masjid kampus kemudian kami pun buru-buru keluar untuk mengejar bis kota menuju terminal Bungurasih lalu balik ke kampung halaman. 
     Semua itu mengingatkan saya jika tak peduli sebaik atau sehebat apapun posisi yang sudah saya raih saat ini, akan selalu ada orang lain yang mampu melakukannya jauh lebih baik lagi. Di atas langit akan selalu ada langit. Sejak saat itulah saya merasa bahwa hidup bukan cuma menjadi yang terbaik atau nomor satu dalam segala hal. Tidak, hidup bukan seperti itu ternyata. Bertolak belakang sekali dengan keyakinan sebelumnya bahwa saya harus menjadi yang terbaik dalam hal apapun. Saya akan sangat sedih jika tidak dapat menjadi yang terbaik dan gembira jika telah menjadi nomor satu. Yang lebih buruk lagi saya akan mencari kekurangan atau kesalahan-kesalahan orang yang jauh lebih baik dibandingkan saya. 

     Kini saya tak pernah lagi berusaha untuk menjadi yang nomor satu dalam segala hal. Kalau ada orang lain yang melakukan jauh lebih baik dari saya, itu wajar dan biasa saja. Saya kini tak lagi memandang hidup layaknya lomba lari marathon dimana saya harus selalu menjadi pacer bagi yang lainnya. Nikmati saja perjalanan ini apapun yang terjadi tak peduli posisi lagi di depan, tengah, atau buncit sekalipun. Hadapi saja setiap perubahan jaman dengan senang hati dan optimis. Belum tentu apa yang baik menurut kita itu sebenarnya baik menurut Allah. Apa yang jelek juga belum pasti itu buruk. Seperti kata Einstein, semua serba relatif. Tidak ada yang eksak kecuali kematian seperti kisah bijak seorang kakek, cucu, dan kuda-kudanya.   

Wednesday, June 10, 2020

Menemukan Pengganti Tri (II): Talak 3000 Buat Tri!

Selamat jalan Tri!


     Seperti yang sudah saya tuliskan di artikel saya memang benar-benar kelimpungan dengan aksi Tri yang telah menghapuskan paket legend itu. Saya pikir mungkin dalam tempo 2-3 hari kemudian saya sudah bisa menemukan pengganti Tri, tetapi ternyata tidak segampang itu. Hari-hari berlalu dengan diskusi intens dan panjang bersama sang istri menemukan solusi terbaik. Satu per satu ISP dan paket-paketnya kami analisis dalam-dalam dan hasilnya kandidat jatuh kepada Indihome ori dan “Indihome” ala desa. Semua paket internet dari operator seluler terpaksa kami buang karena umumnya kuota kecil dan harganya selangit. Ada yang kuota gede tapi eh dibagi-bagi waktunya atau untuk ini itu yang tak kami butuhkan plus harganya sudah pasti jelas muahal sekali. Bukan berarti kami takkan memakai paket internet dari operator seluler lagi karena bagaimanapun saat sedang berada jauh dari rumah jelas kami tetap butuh mereka untuk berkomunikasi. Kami mungkin hanya akan membeli paket internet harian sesuai kebutuhan sekedar untuk menyalakan WA.

     Indihome atau “Indihome” ala desa? Pertama-tama kami mencoba membuat analisis Indihome original. Semua paket Indihome kami teliti satu per satu dan yang terbaik menurut kami ada 2 yaitu Single Play dan Lite. Persoalannya adalah:

1. Paket Lite memang murah hanya Rp 200 ribu/bulan dengan FUP 150 GB/bln tetapi sayangnya dibundling dengan UseeTV dan telepon rumah. Masalahnya saya sama sekali tak membutuhkan layanan telepon rumah dan UseeTV itu. Saya hanya takut jangan-jangan ntar suatu saat akan keluar tagihan tambahan (baca: siluman) dari UseeTV atau telepon rumah yang notabene tak pernah saya gunakan. Saya lebih memilih posisi aman dengan cara tak mau mencari gara-gara atau tertipu terlebih dahulu. Lagipula Rp 200 ribu/bulan itu nanti masih ditambah sewa modem Rp 60 ribu + PPN + materai yang jatuhnya bisa Rp 300 ribu/bulan dan itu masih terlalu mahal buat saya. Memang sih paket Lite ini diharuskan untuk digunakan 2 rumah yang berdekatan tetapi apakah tetangga saya mau membayar Rp 150 ribu/bulan? Saya kok tidak yakin (mungkin kalau di kota itu bukan masalah). Selain itu paket Lite ini susah dicari informasi detailnya bahkan di situs resmi Indihome sendiri tidak ada (aneh!) misalnya setelah lewat FUP kecepatan akan diturunkan jadi berapa? Itu juga tidak jelas. Saya sudah mencoba twit ke Telkomcare tentang Indihome lite ini tetapi mereka tidak pernah membalasnya. Bagi saya profesionalitas sebuah perusahaan akan terlihat dari kecepatan CS merespon. Semakin lambat atau tidak merespon sama sekali menunjukkan perusahaan itu tidak profesional seperti yang terjadi pada Tri belakangan ini, hanya beberapa keluhan pelanggan yang direspon oleh Tri sedangkan sisanya dibiarkan saja. Saya tak mau membeli kucing dalam karung. Ditambah lagi semua informasi tentang Indihome di internet isinya hanya komplen pelanggan melulu termasuk di twitter Telkomcare juga. Membalas twit saja mereka malas apalagi memberikan layanan terbaik buat pelanggan? Saya jadi semakin was was sehingga memutuskan untuk menghapus pilihan Indihome Lite ini kemudian.

2. Paket Single Play. Paket ini adalah paket internet only tanpa Useetv dan telepon rumah seperti yang saya harapkan tetapi sayangnya cuma tersedia dengan speed minimal 20 mbps dengan tarif 330 ribu. Lagi-lagi dengan tambahan biaya sewa modem+PPN+materai pasti akan tembus Rp 400 ribu. Walah makin berat di kantong. Bahkan jika dibagi dengan 3 rumah saja masih terasa berat. Akhirnya kandidat paket ini pun saya hapuskan.


     Pilihan terakhir sudah jelas “Indihome” ala desa seperti di gambar ini. Pilihan harga paketnya lumayan ringan di kantong contoh untuk 5 mbps saja Rp 165 ribu. Itu sudah all the customers have to pay! Saya tak perlu pusing-pusing lagi mikir sewa modem, PPN, dan tetek bengek lainnya. Saya pun bisa membaginya dengan tetangga sebelah rumah jadi kami masing-masing hanya perlu membayar Rp 82.500/bulan. Nilai itu setara dengan harga paket internet seluler untuk satu smartphone per bulan. Kecepatannya memang tidak fantastis tetapi yang penting saya tak dipusingkan dengan FUP dan keruwetan-keruwetan ala Indihome ori. Di antara semua paket itu
konon yang laris manis Rp 100 ribu/bulan (3 mbps). Bagi warga desa yang penting mereka bisa sepuasnya pakai internet tanpa dipusingkan inilah itulah. Bagi mereka speed dewa bukanlah sebuah kemutlakan. Jika keadaan ini terus dibiarkan berlangsung bukan tak mungkin “Indihome” ala desa ini akan menjadi the silent killer buat opsel dan Indihome sendiri. Pertumbuhan pelanggannya yang pesat akan menjadi ancaman yang tak boleh dianggap main-main. Kini banyak warga desa dengan hanya membayar Rp 50 ribu saja per bulan (karena dibagi berdua dengan tetangga) sudah bisa menghidupi 3 buah smartphonenya padahal jika memakai layanan full opsel mereka harus mengeluarkan minimal Rp 150 ribu/bulan/rumah. Bagi warga desa selisih Rp 100 ribu tentu sangat berarti karena mencari uang di desa jauh lebih sulit daripada mencari gigi ayam😀. Saya hanya miris saja melihat ekspansi Telkom yang luar biasa dengan membangun jaringan FO hingga ke pelosok desa tetapi ujung-ujungnya tak ada yang pakai karena semua warganya malah lebih layanan lain yang lebih terjangkau. Kuncinya sekarang hanya di Telkom sendiri maukah berubah lebih baik dengan memberikan pelayanan yang lebih cepat dan bagus plus tentu saja dengan harga lebih terjangkau? Misalnya beranikah Telkom memberikan tarif Rp 100 ribu/bulan tanpa tetek bengek lain-lain ini itu (seperti useetv, telepon rumah, sewa modem, materai, dll) yang akhirnya malah bikin calon pelanggan kabur? Saya tak yakin…   
UPDATE: Tanpa terasa sudah 4 hari ku telah menggunakan layanan internet rumahan itu. So far sih baik2 saja. Memang tidak istimewa alias lumayanlah. Perasaan sih cuma kenceng jika dibuat buka medsos. Kalau malam lelet bahkan untuk membuka situs-situs internasional/luar negeri sering gagal (timed out). Akan tetapi wajarlah mungkin memang lagi banyak yang pakai. Saya hanya menduga-duga saja jika bandwidth internasionalnya tak besar. Hanya besar bandwidth lokalnya. Terasa sekali DNS resolvingnya sangat lambat, habis mengetik sebuah URL di browser paling tidak harus menunggu 10 detikan baru ada respon. 
Ini kalau lagi gangguan parah




https://drive.google.com/file/d/1fkIwi-kHCK_I8CzPwcSg5N-fUAUBH6Ve/view?usp=sharing

(rata2 cuma segini)















































Saturday, June 6, 2020

Menemukan Pengganti Tri (I)


     Setelah nyaman selama 3 tahun bersama Tri akhirnya dengan terpaksa kini tiba waktunya untuk berpisah juga. Penyebabnya sudah jelas, “dihapuskannya” paket legend 2,5 GB 24 jam all network per hari Rp 2000. Tri telah mengganti paket ini dengan paket baru yang sama-sama mendapatkan 2,5 GB tetapi dengan pembagian waktu dimana 2 GB hanya bisa digunakan pada pukul 1-9 sedangkan 0,5 GB bisa 24 jam. Bukan cuma itu tetapi juga menaikkan harganya menjadi Rp 3000. Spontan aksi blunder Tri ini menuai banyak protes dari banyak pelanggannya. Kalau dilihat dari jumlah user yang protes di akun medsos Tri, saya hanya tidak menyangka jika pengguna paket legend bisa sebanyak itu. Setahu saya memang tidak ada operator lain yang berani mengeluarkan paket sebaik ini. Baru Smartfren yang berani mengeluarkan kuota 1 GB/hari dengan harga yang relatif sama (yang otomatis orang akan lebih memilih Tri yang lebih banyak kuotanya 2,5 GB). Sejujurnya memang banyak orang memilih paket legend ini bukanlah karena jaringan Tri yang hebat tetapi lebih karena murah saja. Memang sih terasa ada penurunan kecepatan internet Tri belakangan ini jadi hanya mentok 3 mbps saja buat browsing yang setara dengan HSDPA (walaupun sinyal LTE).  

     Menurut saya paket legend ini adalah paket internet termurah yang pernah saya gunakan. Berkat paket ini kebutuhan berinternet orang serumah bisa tercukupi. Walaupun terkadang kurang tetapi tak parah. Pokoknya mantap banget sampai segitu nyamannya saya jadi takut kalau Tri akan menghapus paket ini tetapi saya sadar nothing lasts forever. Makanya ketika Tri kemudian benar-benar menghapus paket ini saya tidak begitu kaget. Yang mengesalkan hanyalah mengapa pemberitahuannya sangat mendadak sekali hanya beberapa jam sebelum diberlakukan.
Paket baru pengganti paket legend
     Seharusnya paling tidak sepekan sebelumnya saya sebagai pelanggan diberi tahu sehingga cukup waktu untuk memilih paket lain atau pindah opsel. Akibatnya pekerjaan dan komunikasi saya menjadi terganggu dan sempat down selama 2 hari sehingga sangat merugikan. Dengan 500 MB per hari dan 2 GB yang “tak bisa digunakan” tidak banyak yang bisa saya lakukan. Pukul 11 siang kuota sudah habis. Saya pun kelimpungan setengah mati. Akhirnya dengan pulsa yang masih tersisa saya paketkan 32 GB untuk sebulan dimana setiap hari akan mendapatkan jatah 1 GB (LTE only). Lumayanlah sekedar untuk bertahan sembari menemukan opsel pengganti. Protes terus menerus lewat medsosnya pun sepertinya percuma karena Tri seolah sudah fix menghapuskan paket legend ini. Alasan Tri adalah untuk memprioritaskan layanan streaming pukul 8-9 pagi. Saya tak tahu pasti layanan streaming macam apa itu sampai Tri rela-relanya membumihanguskan sebagian besar pelanggannya. Lagipula jam segitu seharusnya traffic internet tidak banyak, beda dengan pukul 8-9 malam jadi semestinya layanana streaming yang diprioritaskan Tri itu takkan terganggu. Saya tak tahu persis apakah itu hanya alibi atau memang realitas sebenarnya. Yang jelas Tri sudah dan akan kehilangan sebagian besar pelanggannya. Sungguh sayang sekali! Saya yakin bakalan banyak BTS Tri yang mangkrak hanya menghabiskan listrik karena tidak ada yang pakai. Semestinya Tri bisa memberikan win win solution semisal menaikkan harga paket legend menjadi Rp 3000 tetapi kuota tetap dan tanpa pembagian waktu atau dengan harga tetap Rp 2000 tetapi membaginya menjadi 500 MB pada pukul 1-9 dan 2 GB 24 jam. Dengan win win solution ini saya yakin pasti banyak user paket legend akan tetap bertahan. Sekarang dengan kuota “cuma” 500 MB per hari kita bisa melakukan apa? Rp 3000 untuk kuota 500 MB itu juga terlalu mahal di era kini. Yang aneh paket legend lainnya Rp 1500 2 GB/hari tidak dibumihanguskan. Sayangnya saya dulu tak pernah bisa mendapatkan paket yang satu itu. Dugaan saya karena pengguna paket yang satu ini tak sebanyak yang paket legend 2.5 GB jadi kemungkinan akan tetap dipertahankan oleh Tri. 
Terlihat kenaikan harga dari Rp 2000  menjadi Rp 3000.

     Yang jelas sudah pasti saya akan berpisah dengan Tri usai paket 32 GB ini habis. Soal kandidat saya belum memiliki gambaran sama sekali. Telkomsel soal jaringan memang nomor wahid tetapi sayang tarifnya masih terlampau mahal bagi orang seperti saya. Indosat dan XL saya masih belum berani balik karena keduanya suka kutil pulsa seperti dulu yang pernah saya alami. Smartfren sih OK cuma belum ada paketnya yang bikin sreg. Yang tersisa akhirnya cuma Indihome tetapi ini juga ruwet. Saya coba lihat-lihat paketnya jadi bikin pusing sendiri. Semisal ada Indihome lite yang lumayan murah di bawah 200 ribu tetapi layanan ini harus untuk 2 rumah dengan kuota hanya 150 GB. Berarti serumah cuma dapat 75 GB (kalau 150 GB untuk 1 rumah sih OK). Persoalannya adalah kesulitan mengatur kuota penggunaannya secara adil, gimana kalau tetangga menghabiskan lebih banyak? Bisa pakai Mikrotik juga tapi saya tak mau pusing. Lalu ada Indihome learning from home yang khusus buat pelajar tetapi sayang kuota cuma 50 GB dan biaya per bulannya Rp 170 rb-an. Masih terlampau mahal. Konon ada paket single play yang “unlimited” Rp 270 rb/bulan tetapi paket ini aneh (gelagat tak beres) karena waktu saya tanya salah satu sales Indihome mereka bilang jika paket itu sudah tak ada tetapi ketika saya tanya ke twitter telkom
dikatakan jika paket ini masih ada. Saya juga agak was-was dengan billing Telkom yang juga suka ngacau karena banyak pelanggan yang tagihannya melonjak tidak sesuai kesepakatan apalagi Indihome ini kan pasca bayar. Pengalaman pakai yang pasca bayar cuma bikin susah kalau ada masalah seperti saat masih pakai kartu Halo dulu. Selain itu ada kesan (maaf) Telkom merasa agak kurang butuh pelanggan (tipikal BUMN), takutnya nanti setelah pasang akan memberikan layanan seenaknya yang mengecewakan.
     Pilihan terakhir ISP “Indihome kampung”. kini di desaku hampir tiap rumah sudah memasang “Indihome kampung” ini. Ini sebenarnya adalah internet Indihome asli yang diresell lagi. Tarif termurahnya sekitar Rp 100 ribu unlimited. Selama ini kan belum ada operator internet yang murah dan unlimited. Contoh operator seluler macam Telkomsel, Indosat, dll tarif memang lumayan terjangkau tetapi setahu saya masih belum bisa memberikan layanan unlimited. Sebaliknya Indihome jelas sudah mampu memberikan paket-paket unlimited cuma tarifnya muahal abis. Siapa orang desa yang mau mengeluarkan Rp 300 ribu/bulan atau sejuta hanya buat internet? Mending mereka berangkat ke warung kopi yang kasih free wifi, pesan kopi Rp 2000 dan bisa internetan seharian sesukanya. Nah paket internet yang unlimited dan murah inilah yang tengah dibidik oleh “ISP-ISP kampung” macam begini. Sebenarnya saya sudah kepikiran mau ikutan juga berlangganan seperti mereka tetapi dari beberapa kali melakukan speedtest di rumah pelanggan layanan ini, saya tak puas karena lelet. Contoh download file 4GB saja menghabiskan waktu 4 jam sendiri padahal kalau pakai Tri cukup 1 jam. Mungkin bagi warga desa kecepatan internet itu tak penting. Ya maklumlah kalau yang dibuka cuma medsos doang. Selain itu kalau PLN padam maka internet akan padam juga. Kalau padamnya sejam atau 2 jam OKlah tetapi kalau seharian? Waduh petaka nih padahal kalau pakai Tri sekarang masih bisa OL walaupun sinyalnya menurun. Masalah lainnya biaya pasangnya yang super mahal Rp 500 ribu padahal Indihome asli hanya Rp 75 ribu. Uang Rp 500 ribu bisa buat langganan single play hampir 2 bulan. Beberapa tetangga mengakali mahalnya Indihome dengan berbagi jadi mereka cukup pasang di salah satu rumah lalu membagi-bagi sinyalnya kepada para tetangga dengan syarat berdekatan rumahnya. Hanya mampu berharap saya sudah menemukan pengganti Tri sebelum paket 32 GB ini habis. 
     Sebenarnya sejak beberapa bulan ini sudah terlihat banyak gejala tak beres pada Tri. Diawali dengan banyaknya pembagian waktu pada paket-paketnya contohnya paket 112 GB per bulan dulu seingat saya tak ada pembagian waktu tetapi sekarang sudah dibagi-bagi berdasar waktu. Diikuti dengan Bonstri yang memiliki masa aktif padahal sebelumnya tidak. Begitu pula saat isi ulang pulsa biasanya diberikan bonus kuota tetapi sekarang tidak lagi. Begitu kerasnya Tri mencoba menghanguskan pelanggan setianya dengan segala cara. Inilah yang memunculkan sebuah pertanyaan besar? Bagaimana sebuah perusahaan yang berorientasi profit justru mengharapkan pelanggannya banyak yang hengkang?! Aneh sekali. Hanya bisa bilang, SELAMAT JALAN TRI! 

Tuesday, June 2, 2020

Berkat Trump Borok AS Terbuka Semua


     Sudah sekian banyak presiden AS berganti namun dari semuanya itu hanya Trump-lah yang benar-benar mampu mengubah pandangan saya tentang AS. Dulu saya selalu menganggap AS adalah contoh bangsa yang sempurna dalam segala hal. AS adalah barometer utama saya. Ditambah lagi dengan cerita teman kental yang pernah bekerja selama 5 tahun di AS membuat saya semakin memuja AS yang seolah tanpa cela. Hingga akhirnya membuatku terbius untuk menetap di sana menjadi PR. Setiap pendaftaran DVlottery dibuka aku selalu ikut dengan penuh harap bisa diterima. Akan tetapi belasan tahun berlalu aku harus menyadari pada akhirnya harus membuang semua impian itu. Kini hadirlah Trump sebagai presiden sejak 2016 yang menurutku:
1. Membuktikan bobroknya sistem demokrasi AS. Waktu Trump bisa terpilih sebagai presiden AS saya benar-benar terhenyak bagaimana orang seperti itu bisa dipilih? Apakah rakyat AS sudah sedemikian butanya? Walaupun Hillary belum tentu lebih baik tetapi terpilihnya Trump adalah tragedi demokrasi AS. Baru saya tahu ternyata sistem demokrasi AS yang selama ini tampak sempurna ternyata di baliknya juga menyimpan banyak sisi gelap. Terbukti bahwa demokrasi tidak selalu melahirkan pemimpin yang menjadi harapan rakyatnya. Demokrasi bukanlah sebuah jawaban.
2. Suka Seenaknya sendiri membuat stament. Ini tampak sekali hubungannya dengan RRC yang kian memanas. Terlihat dia juga tidak mau memakai masker di tengah wabah Corona. Benar-benar sebuah teladan pemimpin yang buruk. Bagi saya pemimpin negara ini masih lebih baik dalam memberikan contoh ini.   
3. Rasisme dan diskriminasi masih terus berlangsung di AS. Kematian George Floyd adalah sebuah saksi betapa rasisme warga kulit hitam masih belum usai. AS ternyata masih tak berubah juga sejak dari jaman Laura Ingalls. Saya hanya tidak dapat membayangkan bagaimana jika saya menerima perlakuan diskriminasi di sana karena memang bukan orang kulit putih.
4. Sistem pelayanan kesehatan publik yang tidak bagus. Ribuan warga AS yang meninggal akibat virus Corona adalah faktanya. Ditambah banyak petugas kesehatan mengeluh kurangnya APD. Negara sehebat dan secanggih itu ternyata bisa kelimpungan dihajar virus Corona. AS yang tampak kuat ternyata sebenarnya rentan juga. Ini sungguh berbalik dengan kisah teman saya yang pernah di AS itu yang selalu mengagungkan pelayanan kesehatan di sana.

Rona-Rona Ramadhan Dan Lebaran 1441 H

Akhirnya Ramadhan dan lebaran 2020 atau 1441 H berlalu juga. Hmmm… beginilah kira-kira kesan-kesanku.
1. Ramadhan dan lebaran yang berbeda! Seumur hidup aku belum pernah menyaksikan Ramadhan dan lebaran yang seperti ini. Pandemi virus Corona telah mengubah semuanya termasuk Ramadhan dan lebaran ini. Beberapa pekan sempat timbul pro kontra penyelenggaraan shalat tarawih di masjid di kalangan warga kampung, apakah akan tetap dilaksanakan seperti biasa, dilakukan dengan protokol kesehatan, atau dihentikan sama sekali. Sedikit sekali warga yang menyetujui untuk menghentikan shalat tarawih total. Sebagian besar warga lebih memilih untuk tetap melakukannya dengan protokol kesehatan. Kukira ini pilihan yang paling bijak karena toh kecamatanku masih masuk zona kuning atau belum merah. Akhirnya jarak shaf diperlebar hingga 1 m. Tiap jarak 1 m diberikan tanda kuning di atas lantai. Kami khawatir jika jamaah shalat tarawih takkan muat dengan jarak shaf segitu. Sebagai antisipasinya sudah disiapkan terpal yang cukup banyak sehingga jika masjid tak muat masih bisa shalat di halaman. Akan tetapi ternyata kekhawatiran kami tak terbukti. Ruangan masjid masih mampu menampung jamaah yang datang. Rupa-rupanya sebagian warga lebih memilih tinggal di rumah entah malas tarawih atau tetap tarawih di rumah saja saya kurang tahu pasti. Di depan masjid kemudian disiapkan ember berisi air dan sabun cair untuk mencuci tangan tetapi saya melihat hanya beberapa gelintir jamaah yang mau menggunakannya. Budaya mencuci tangan memang tidak pernah mendarah daging di dalam kehidupan masyarakat kita sampai sekarang. Tidak ada pesta penjor di jalan-jalan dan juga tidak ada acara bukber di masjid. Saat lebaran tiba juga tidak ada juga takbir keliling. Saat hari lebaran datang jalan-jalan sangat sunyi. Rumah-rumah warga yang biasanya banyak terbuka lebar untuk menyambuat para tamu yang datang, malah sebagian besar tertutup rapat. Bahkan yang unik ada warga yang sengaja memasang papan pengumuman tidak menerima tamu. Meskipun demikian kami semua maklum dengan situasi ini. Saya pun juga sangat membatasi kunjungan silaturahmi ke rumah-rumah tetangga, kerabat, dan saudara. Saya khawatir si kecilku akan tertular virus Corona dari orang lain. Ditambah lagi dia paling sulit disuruh cuci tangan dan tidak mau pakai masker karena bikin engap. Situasi memang benar-benar terasa membingungkan, tidak nyaman, dan tidak aman. Saat berjumpa dengan tamu asing pun suasana menjadi kikuk apakah harus bersalaman atau tidak? Salah seorang anak tetangga yang berusia 6 tahun mengatakan jika lebaran kali ini adalah lebaran yang paling tidak berkesan. Hehe… saya menduga pasti dia cuma diam di rumah saja bersama orang tuanya seharian selama lebaran. Jatah angpaonya pun sudah jelas menukik tajam.  
2. Kena maag. Yup baru kali ini saya terkena maag saat berpuasa. Memang sih selama Ramadhan ini nafsu makan saya tidak seperti Ramadhan-Ramadhan sebelumnya. Dulu kalau sudah berbuka puasa selalu bisa makan tancap gas tapi kini makan sedikit saja perut sudah terasa penuh. Apalagi makan sahur cuma beberapa sendok saja padahal aktivitas seharian tetap banyak. Input makanan merosot sedangkan output energi tetap maka jadilah BB saya turun banyak. Sebelum berpuasa masih sekitar 48 dan sesudahnya turun jadi 45-an yang berarti turun 3 kg sendiri! Saya tidak tahu apa sebenarnya penyebab menurunnya nafsu makan pada Ramadhan kali ini. Makan apapun terasa tidak nikmat. Lebaran malah memburuk karena selama 4 hari saya tidak bisa BAB padahal selama 4 hari itu kerjaan saya cuma makan doang mulai pagi sampai malam. Begitu BAB pada hari ke-4 eh malah jadi diare. Badan lemas dan kaki kram seharian. Sejak itu sampai tulisan ini dibuat perut saya masih terasa tak nyaman seperti melilit, perih, dan mual, kadang BAB normal tapi kadang sembelit. Mau periksa ke dokter takut ada virus Corona dan sekaligus malas juga karena paling-paling cuma dikasih obat itu-itu melulu. Saya ingat dulu pernah terkena penyakit seperti ini dan satu-satunya obat yang cukup ampuh adalah Braxidine tetapi saya tahu obat ini tidak bisa dibeli dan dikonsumsi sembarangan karena bisa menyebabkan efek kecanduan. Syukurlah usai lebaran ini BB kembali merangkak naik menjadi 46-an.
3. Silaturahmi dengan video call. Ini khusus buat kerabat yang jauh. Jujur saya kurang begitu menyukai video call. Rasa-rasanya seperti membuang waktu. Makanya saya jarang sekali melakukan video call dengan mereka. Malah saya lebih menyukai telepon voice biasa atau chat text. Video call terlalu banyak memakan waktu karena membuat pembicaraan jadi ngelantur kemana-mana beda dengan chat yang berupa text yang membuat orang harus berpikir dulu sebelum mengetikkan sesuatu. Sayangnya orang-orang yang sudah sepuh tidak bisa memakai chat text ini sehingga mau tidak mau ya harus pakai telepon atau video call.
4. Banyak istri yang merayakan lebaran sendirian. Ini berkaca dari saudara ipar. Suaminya sudah lama bekerja di Bali dan tidak bisa mudik sehingga dia terpaksa merayakan lebaran kali ini sendirian di rumahnya. Saya tidak tahu pasti bagaimana rasanya merayakan lebaran tanpa suami seperti itu? Pasti menyesakkan dada. Momen yang ditunggu-tunggu setahun sekali untuk berkumpul bersama akhirnya harus kandas jua. Sekali lagi syukurlah kami masih bisa merayakan lebaran kali ini dengan formasi lengkap.