Thursday, June 11, 2020

Di Atas Langit Akan Selalu Ada Langit


     Dulu saya ingat sebuah peristiwa tatkala masih SMA. Kala itu masih kelas 2 kalau tak salah dimana saya tengah menjadi siswa SMAN paling maju di kabupatenku. Suatu hari saya dan beberapa siswa lainnya dipanggil oleh guru Kimia untuk menemui beliau di ruang guru. Singkat cerita rupa-rupanya bu guru itu telah memilih kami mewakili sekolah untuk mengikuti olimpiade Kimia di Surabaya. Wah... keren sekali, begitulah pikiran saya. Waktu itu saya masih belum memiliki banyak gambaran tentang Surabaya karena terakhir ke sana juga masih SD. Hari-hari kami habiskan dengan berlatih untuk persiapan lomba usai jam sekolah. Saya merasa bangga karena bisa menjadi salah satu siswa yang terpilih dan selama itu boleh dibilang saya memang sudah "kepedean" karena berhasil masuk di salah satu SMAN favorit dimana banyak calon siswa lain telah berguguran saat seleksi masuk. 
     Hari yang dinanti pun tiba, kami dibelikan tiket KA untuk berangkat ke Surabaya dan mungkin itulah kali pertama saya naik KA. Sampai di Surabaya saya hanya tercengang melihat sebuah kota yang jauh di luar gambaran saya sebelumnya. Sebuah kota yang macet, semrawut, penuh polusi, dan kumuh. Jauh sekali dengan gambaran kota kecilku apalagi desaku. Kami menginap di rumah salah satu kenalan sang guru. Kami tiba sore hari dalam kondisi kelelahan sekali hingga lepas Isya langsung berangkat tidur di ruang tamu. Keesokan harinya saya berangkat ke IKIP Surabaya (sekarang UNESA) di Ketintang naik microlet. Saya tak menyangka jika kota ini nanti akhirnya menjadi tempatku menuntut pendidikan tinggi. Melihat IKIP Surabaya dengan gedung-gedungnya nan megah membuat saya terkagum-kagum. Ratusan siswa dari berbagai SMA se-JATIM tampak berkumpul di depan perguruan tinggi. Sebagian ada yang kelihatan bengong seperti saya dan adapula yang sibuk mempersiapkan diri. Walaupun begitu saya masih pede saja karena merasa berasal dari SMAN terbaik di kota. 
     Akhirnya acara lomba pun dimulai dan derr... seperti kilat yang menyambar di tengah hari kami bertiga seperti "orong-orang kepidak" alias hanya bisa terdiam 1000 bahasa menghadapi materi yang benar-benar di luar dugaan! Contoh untuk satuan larutan yang biasanya di sekolah kami memakai molar di situ semuanya menggunakan normal. Hadeeh... kami cuma bisa bengong karena sangat jarang menggunakan satuan itu. Kami membuat banyak sekali kesalahan dan lebih banyak terdiam sementara grup-grup siswa lainnya menjawab dengan sangat lancarnya. Usai materi tertulis dan tanya jawab dilanjutkan dengan praktek. Kami makin kikuk berhadapan dengan alat-alat dan bahan kimia. Di sekolah sangat jarang melakukan praktikum. Jadilah hari itu kami kalah telak. Sore hari kami pun tereliminasi. Dengan wajah lusuh, capek, dan kecewa kami shalat Ashar di masjid kampus kemudian kami pun buru-buru keluar untuk mengejar bis kota menuju terminal Bungurasih lalu balik ke kampung halaman. 
     Semua itu mengingatkan saya jika tak peduli sebaik atau sehebat apapun posisi yang sudah saya raih saat ini, akan selalu ada orang lain yang mampu melakukannya jauh lebih baik lagi. Di atas langit akan selalu ada langit. Sejak saat itulah saya merasa bahwa hidup bukan cuma menjadi yang terbaik atau nomor satu dalam segala hal. Tidak, hidup bukan seperti itu ternyata. Bertolak belakang sekali dengan keyakinan sebelumnya bahwa saya harus menjadi yang terbaik dalam hal apapun. Saya akan sangat sedih jika tidak dapat menjadi yang terbaik dan gembira jika telah menjadi nomor satu. Yang lebih buruk lagi saya akan mencari kekurangan atau kesalahan-kesalahan orang yang jauh lebih baik dibandingkan saya. 

     Kini saya tak pernah lagi berusaha untuk menjadi yang nomor satu dalam segala hal. Kalau ada orang lain yang melakukan jauh lebih baik dari saya, itu wajar dan biasa saja. Saya kini tak lagi memandang hidup layaknya lomba lari marathon dimana saya harus selalu menjadi pacer bagi yang lainnya. Nikmati saja perjalanan ini apapun yang terjadi tak peduli posisi lagi di depan, tengah, atau buncit sekalipun. Hadapi saja setiap perubahan jaman dengan senang hati dan optimis. Belum tentu apa yang baik menurut kita itu sebenarnya baik menurut Allah. Apa yang jelek juga belum pasti itu buruk. Seperti kata Einstein, semua serba relatif. Tidak ada yang eksak kecuali kematian seperti kisah bijak seorang kakek, cucu, dan kuda-kudanya.   

No comments:

Post a Comment