Wednesday, August 1, 2018

Paradoks Kerja Keras: Sekedar Sibuk Atau Produktif?


     Telah lama tumbuh dalam budaya masyarakat kita bahwa semakin banyak waktu dihabiskan untuk bekerja maka akan semakin banyak hasil yang akan diperoleh. Hingga titik tertentu mungkin iya tetapi selanjutnya akan terjadi penurunan. Ijinkan saya menceritakan yang telah terjadi pada kehidupan orang tuaku selama ini. Mereka adalah contoh sempurna terjadinya paradoks kerja keras ini.
     Bapak saya adalah seorang pekerja keras. Bisa dikatakan piala pekerja keras bergilir di kampung  tidak pernah lepas dari tangan bapak dari bapak mulai bekerja saat masih bujangan hingga detik ini. Bapak selalu gelisah jika ada kabar warga kampung yang bekerja lebih giat dibandingkan beliau. Oleh sebab itu bapak sering mencari kabar dari mulut ke mulut kalau-kalau ada warga kampung yang bekerja lebih keras dibandingkan dirinya. Jujur saja saya yang notabene anaknya dan berusia jauh lebih muda tidak bisa meniru bapak sama sekali. Saya cenderung menerapkan teknik bekerja lebih pintar dan bukan lebih keras. Itulah sebabnya jika saya dan bapak disatukan dalam sebuah tim yang sama maka akan clash terus.
     Setiap pukul 1 dinihari setiap hari ortu (berdua) sudah bangun untuk memetik jamur. Padahal warga kampung disini yang paling kaya dan paling miskin tidak ada yang mulai bangun pada pukul segitu untuk bekerja. Pukul 3 pagi bapak sudah harus mengantarkan jamur ke rumah pedagang. Usai itu kadang bapak tidur sebentar lagi tetapi kadang juga tidak. Begitu adzan subuh berkumandang bapak pun langsung berangkat ke ladang. Bapak pulang sebentar pada siang hari tetapi kadang tidak. Beliau menghabiskan waktunya seharian di ladang sampai matahari tenggelam bahkan lewat maghrib. Itupun saat musim petik tembakau seperti sekarang masih ada pekerjaan ekstra mengeringkan tembakau di gudang hingga malam hari. Prinsip kerja bapak adalah selalu berupaya agar pekerjaan sehari bisa dikerjakan dalam dua hari, pekerjaan seminggu bisa jadi dua minggu, dan pekerjaan sebulan bisa menjadi dua bulan. Luar biasa sekali. Contohnya saat sedang menanam jagung, biasanya banyak gulma tumbuh di bawah jagung. Untuk memberantas gulma ini, bapak menggunakan herbisida. Yang unik adalah meskipun gulma sudah diberikan herbisida tetapi masih saja dicabuti. Ibarat membunuh orang dengan euthanasia masih disembelih lagi padahal dieuthanasia atau disembelih saja sudah cukup, tidak perlu harus keduanya. Petani-petani lain di kampung tidak ada yang melakukan seperti ini.   
     Akan tetapi profesi petani tidak selalu memberikan hasil setiap saat. Sangat sering justru kerugian yang dialami. Kekeringan, banjir, serangan hama dan penyakit bisa meluluhlantakkan tanaman di ladang dalam sekejap mata. Begitu pula beliau masih dihadapkan dengan resiko hasil bumi tidak dibayar pedagang yang tidak bertanggung jawab. Anehnya setiap melakukan evaluasi bapak selalu menyimpulkan bahwa penyebab utama kegagalan usaha bertaninya adalah KARENA KURANG BEKERJA KERAS. Karena itulah bapak terus dan terus menambah jam kerja di ladang dari tahun ke tahun namun hasilnya bagaimana kemudian? Hasilnya malah semakin terpuruk. Yang terakhir sebagian sawahnya terpaksa dijual. Musim tembakau kali ini malah ibu saya sampai menggadaikan perhiasan dan mau menjual sapinya. Entah untung atau sayangnya tidak ada yang mau membeli sapi itu.
     Susahnya bapak tidak pernah mau disadarkan. Di saat orang-orang lain seusianya asyik bermain dengan cucunya, bapak terus menghabiskan waktunya dari Senin ke Senin untuk bekerja (beliau tidak mengenal tanggal merah). Dampak lainnya apa? Hubungan dengan anggota keluarga jadi tidak atau kurang dekat. Contohnya saja saya dan adik kurang dekat dengan bapak. Kami tahu beliau adalah bapak kandung kami tetapi kami seperti tidak memiliki ikatan emosional apapun. Hanya sedikit sekali kenangan yang saya ingat bersama bapak dari saat masih kecil hingga sekarang. Terlihat jelas salah satu dampak buruk kerja keras berlebihan bahwa lebih banyak tidak selalu berarti lebih baik. Mungkin masyarakat Jepang hebat karena jam kerja yang panjang namun perlu diingat juga bahwa angka bunuh diri di Jepang juga tinggi karena beban kerja keras berlebihan. Pernah mendengar atau membaca hutan Aokigahara nan angker? Hutan dimana ratusan orang Jepang setiap tahun melakukan bunuh diri dengan menggantung diri di pohon. Beberapa waktu lalu sempat heboh kasus dihapusnya video Paul Logan (seorang vlogger) oleh Youtube yang menampilkan sosok mayat tergantung di hutan saat masih berpakaian kerja (silahkan cari sendiri yang versi uncut dan uncensored).
     Kerja berlebihan juga akan mengakibatkan lelah berlebihan dan biasanya orang yang kelelahan mudah sekali tersulut amarahnya.  Nah ini pula yang sering terjadi pada bapak. Setiap malam sehabis pulang bekerja, bapak selalu mengeluh kelelahan (walaupun saya tahu dia sangat menikmati rasa lelah itu). Tak jarang kelelahan ini memicu pertengkaran hebat di antara bapak dan ibu saya. Bukan cuma itu saja orang yang hidupnya sudah mengalami addiksi kerja berlebihan akan cenderung menerapkan standar yang sama untuk semua orang lainnya. Masalahnya adalah tidak semua orang bisa atau mau menerima standar itu. Akibatnya sebentar-sebentar bapak selalu berganti-ganti buruh tani. Malah yang terakhir sebut saja namanya E hanya bertahan selama seminggu. Bapak memang selalu memiliki cara agar sebuah pekerjaan tak pernah selesai. Itulah yang saya yakin kemudian menyebabkan para buruh menjadi frustrasi. Biasanya bapak selalu menyimpulkan buruh yang keluar itu sebagai pemalas. Saya jadi heran sendiri, masak sih di antara sekian puluh pekerja yang pernah bekerja pada bapak semuanya pemalas? Rasa-rasanya kok tidak mungkin. Buktinya ketika selanjutnya mereka bekerja pada orang lain terlihat mereka nyaman-nyaman saja. Itulah sebabnya bapak selalu kesulitan dalam mencari buruh tani sementara orang-orang bisa dengan mudahnya mendapatkannya. Akhirnya bapak hanya mengandalkan tenaga keluarga sendiri yaitu ibu dan saya yang tentu saja takkan pernah cukup. Ibu sudah sakit-sakitan jadi tenaganya sudah berkurang dan saya pun memiliki pekerjaan sendiri. Itulah sebabnya sering saya jengkel ketika disuruh membantu pekerjaan bapak. Bukannya tidak mau membantu tetapi karena selalu crash dengan pekerjaan saya sendiri. Biasanya pekerjaan saya yang kemudian saya korbankan padahal saya juga harus menghidupi anak istri. Ini juga yang membuat hubungan saya dengan bapak semakin lama semakin memburuk sampai sekarang tetapi sepertinya bapak tidak peduli. Beliau adalah tipe kepala keluarga yang rela mengorbankan keluarganya demi ambisi-ambisinya. 
     Saya kadang heran untuk siapakah sebenarnya bapak bekerja? Karena semua anak-anaknya toh sudah hidup mandiri berumah tangga. Mungkin untuk memperkaya bank, produsen, dan toko sarana produksi pertanian serta para tengkulak? Padahal bapak bukanlah orang yang suka berfoya-foya. Pakaian baru juga belum tentu tiap lebaran beli. Makannya sederhana sekali. Bahkan masih lebih enak-enak makanan tetangga belakang yang rumahnya dari bambu. Bapak juga tidak pernah traveling. Beli motor baru cash pun harus susah payah dan itupun belum tentu bisa 10 tahun sekali. Beberapa kali juga motor itu hampir terjual untuk melunasi hutang. Padahal di luar sana baik itu para tetangga atau kerabat banyak yang bekerja tidak sekeras bapak dan bahkan tidak memiliki ladang seluas bapak tetapi hidup jauh lebih layak. Saya juga tidak tahu kemana saja uang bapak selama ini mengalir. Mungkin ada yang bilang faktor rejeki. Memang benar bisa jadi tetapi persoalan mendasarnya adalah bapak masih belum sadar diri akan semua yang tengah terjadi sampai sekarang dan ini sungguh sangat disayangkan. Di saat usia bapak semakin menua seharusnya bapak lebih banyak menghabiskan waktu untuk beribadah dan bukannya malah semakin tenggelam dalam pekerjaan yang justru tiada habisnya. 
     Dampak dari perilaku orang tua saya yang seperti itu adalah semakin menurunnya aktivitas beribadah. Kegiatan-kegiatan majelis taklim (bahkan shalat) yang biasanya diikuti oleh ibu dan bapak mulai banyak yang ditinggalkan dengan alasan sibuk kerja.  Sungguh sayang sekali... Yang kedua kesehatan yang memburuk. Kerja berlebihan membuat ibu jadi sering sakit-sakitan terus menerus. Boleh dibilang bagi ibu saya tiada hari tanpa minum obat.  Mengunjung rumah sakit, klinik, dokter, apotek, dukun pijat, dukun biasa, dan perawat jadi kegiatan rutin beliau. Yang ketiga ini yang paling tidak saya suka yaitu menyeret saya ke dalam masalah dan kesulitan mereka akibat kerja keras berlebihan. Bukannya saya tidak mau membantu atau tidak peduli dengan orang tua tetapi kalau terus menerus selama bertahun-tahun saya selalu diseret-seret ke dalam pusaran masalah mereka maka lama kelamaan saya juga merasa tidak nyaman. Awal-awalnya sih saya merasa tidak ada masalah tetapi ujung-ujungnya saya kok merasa seperti cuma jadi korban atas semua masalah mereka. Yang saya lakukan kemudian adalah ribut. Saya tidak ingat pasti entah berapa lama tetapi saya lantas jadi sering ribut dengan orang tua. Walaupun begitu sejak saya memiliki anak sendiri dan menjadi orang tua saya menyadari tidak ada gunanya saya ribut-ribut melulu dengan orang tua. Yang pertama jelas itu bukan perbuatan yang baik. Agama juga melarang. Selain itu saya takut jika apa yang sudah saya lakukan itu akan menjadi contoh buat anak-anak di kemudian hari. Kalau hari ini saya memperlakukan orang tua dengan buruk maka besar sekali kemungkinan di masa depan si kecilku akan memperlakukan saya dengan sama buruknya. Oleh sebab itu langkah terakhir untuk menghadapi mereka adalah dengan diam, tutup mulut, dan pasrah. Saya sudah pasrahkan semuanya ini kepada Allah semata. Saya percaya tidak peduli sehebat atau sebesar apapun kekuasaan orang tua atas anak-anaknya masih ada Allah yang berada di atas mereka. Allah pasti melihat semuanya dan saya sangat percaya Allah takkan pernah tidur sekejap pun.  Bapak polah anak kepradah (Jawa: karena ulah orang tua, anak jadi kena getahnya), itulah kira-kira pepatah Jawa yang relevan dengan sejumlah orang tua jaman now.  Jadi siapa yang bilang kalau orang tua itu selalu baik terhadap anak-anaknya? Banyak kejadian belakangan ini menyiratkan yang sebaliknya.
     Sudah sejak lama saya tidak mau meniru bapak. Bagi saya hidup harus seimbang. Bekerja tentu penting sebagai wujud tanggung jawab menafkahi keluarga tetapi berlebihan? Tentu saja tidak. Berlebihan akan membuat diri sendiri tidak seimbang. Pernahkah naik kendaraan yang tidak seimbang? Ya begitulah rasanya. Pasti tidak menyenangkan dan tidak nyaman. Malah bisa-bisa akhirnya jatuh. Hanya bisa berharap semoga suatu saat nanti bapak tersadar (walaupun sangat pesimis).  Bekerja keras terus menerus akan menimbulkan kecanduan yang mirip dengan kecanduan rokok atau narkoba. Orang akan bekerja semakin keras dan lebih keras tanpa peduli pekerjaannya itu akhirnya produktif atau tidak. Kemaruk (Jawa: serakah) dalam hal apapun termasuk dalam bekerja bukanlah sesuatu yang baik ternyata. Saya malah merasa apa yang sedang dialami oleh bapak sudah mengarah kepada gangguan kejiwaan yang saya tidak tahu apa namanya. 



No comments:

Post a Comment