Sunday, April 24, 2016

Nostalgia Kehidupan Mahasiswa Indekos

Selama hampir 5 tahun aku menjalani kehidupan sebagai anak kos dengan suka dukanya. Jatah uang kiriman dari orang tua yang tidak menentu membuatku harus berhemat apalagi jelang tanggal tua. Ibaratnya mengencangkan ikat pinggang yang sudah kencang. Yang penting jangan sampai ikat pinggangnya putus saja... Sampai-sampai saat itu ada lagu "Aku Anak Kos" oleh Project Pop yang menggambarkan betapa merananya kehidupan rata-rata anak-anak kos.

Soal makan tanggal tua selalu identik dengan mi instan dan gorengan. Dua makanan yang sebenarnya tidak sehat tetapi memang sangat murah harganya. Berangkat kuliah jam 7 perut dalam keadaan kosong.

Beberapa  teman sengaja memperbanyak puasa Senin Kamis untuk mengurangi biaya makan. Begitu kuliah usai jam 9 barulah sarapan tetapi kalau tanggal tua menu sarapan biasanya cuma gorengan seperti pisang atau ubi goreng padahal kalau awal bulan bisa makan rawon atau paling tidak nasi pecel. Terkadang jadwal makan aku ulur sampai jam 10 supaya sarapan sekaligus makan siang apalagi jika jadwal kuliah 1 hari penuh. Karena tidak sarapan itulah aku jadi sering mengantuk di kelas. Saat dosen mengajar aku kadang tertidur nyenyak. Gorengan ini sebenarnya meski makan 5 potong juga gak bakalan terasa kenyang bagiku. Untuk mensiasatinya setelah makan gorengan aku minum air putih banyak-banyak. Sore hari untuk menu makan malam yang cukup sering adalah mi instan. Aku pikir tidak ada mahasiswa yang indekos yang tidak pernah makan mi instan. Selain banyak pilihan rasa juga super murah. Beli nasi pecel di warung paling tidak harus sedia budget Rp 3000 padahal saat itu harga mi instan masih kurang dari seribu. Kalau mi instannya rasa soto anggap aja seolah-olah makan soto beneran hahaha... Kalau pengen lebih kenyang bisa beli nasinya saja di warung lalu campur deh sama mi instan. Jadilah karbo lauk karbo. Perut kenyang hati senang hemat uang. Pernah kehabisan uang sama sekali di akhir bulan dan terpaksa pinjam uang teman terus dibelikan mi instan cukup banyak. Hampir seminggu pagi dan sore makan mi instan melulu. Hasilnya diare habis-habisan.


Soal mandi juga kalau tanggal tua terpaksa harus mengirit. Seolah menjadi rutinitas tiap tanggal 20  bapak kos selalu mengurangi jatah air mandi para penghuninya. Mau gak mandi badan terasa lengket oleh keringat tetapi kalau mandi juga mau mandi pakai apa? Akhirnya terpaksa aku akali mandi dini hari. Sebelum adzan subuh saat semua penghuni kos sedang tertidur nyenyak cepat-cepat mandi dan mencuci baju. Meski kadang dengan teknik itu masih juga sering kehabisan air. Kalau sudah begini satu-satunya jalan adalah berangkat kuliah lebih awal terus bawa handuk dan peralatan mandi ke kampus. Di kampus cari toilet terus mandi cepat-cepat sebelum ketahuan banyak mahasiswa lain kan bisa malu? Tetapi tak jarang air di kampus juga macet sehingga lagi-lagi menumpang mandi di rumah bulik meski gak bisa sering-sering karena merasa tidak enak saja. Kan airnya beli dan cukup mahal lagi. Mana aku gak bisa berhemat air mandi lagi soalnya sudah kebiasaan mandi di desa byar byur... tidak pernah memikirkan harga air.


Tanggal tua juga identik dengan jalan kaki. Kalau awal bulan berangkat ke kampus pakai motor maka kalau jatah uang bahan bakar sudah mulai menipis cuma jalan kaki solusinya. Masalahnya hanya kalau jalan raya lagi banjir agak susah jalan kaki. Enaknya jalan kaki bisa bareng rame-rame sama teman. Yah mungkin senasib sepenanggungan kali ya? Beberapa teman yang memang anak orang kaya tentu masih bisa melenggang ke kampus bawa motor atau mobil. Nah kalau pas kenal kadang aku juga bisa menumpang tetapi cuma kalau kebetulan jadwal kuliahnya bersamaan. 


Hiburan tentu menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan anak kos. Kalau awal-awal bulan masih bisa beli tiket bioskop tetapi kalau sudah akhir bulan cara berhemat hanyalah dengan meminjam atau sewa VCD. Tarifnya murah meriah. Dulu 1 film yang bisa terdiri dari beberapa keping hanya Rp 2000/3hari kalau tidak

salah. Istimewanya lagi bisa ditonton beramai-ramai di kamar kos. Irit kan? Waktu itu belum ada internet kecepatan tinggi yang bisa buat streaming atau download film. Buat download gambar saja dah megap-megap internetnya. Kadang kalau menyewa VCD pun sudah tidak ada duit maka cuma diganti dengan menonton TV meski sebenarnya acaranya tidak begitu menarik. 



Telepon koin bak dewa penolong di akhir bulan khususnya bagi yang punya gebetan padahal kalau awal bulan para mahasiswa bisa bertelepon di box Wartel nan nyaman lengkap dengan kipas angin dan pengharum ruangan. Kalau sekarang box telepon koin memang sudah tidak ada lagi. Cukup dengan koin Rp 100 perak sudah dapat waktu bicara 3 menit. Oleh sebab itu kalau malam Minggu shelter telepon koin selalu penuh bahkan

antriannya bisa cukup panjang. Telepon di box koin memang tidak nyaman karena tidak bisa duduk dan pada malam hari banyak sekali nyamuk. Belum lagi orang yang antri di sebelah selalu tampil dengan wajah tidak sabaran. Begitu juga kalau ada motor lewat yang knalpotnya sudah dimodifikasi duuuhh benar-benar bikin kesal karena suara lawan bicara jadi tidak terdengar jelas. Yang pasti suara telepon koin ini tidak sejernih ponsel jaman sekarang karena pada masa itu jaringan telepon masih belum digital.

Untuk berhemat di akhir bulan caranya dengan melubangi koin kemudian dipasangi benang. Sehingga ketika telepon sudah tersambung bisa ditarik kembali koinnya. Memang telepon koin ini banyak errornya. Aku sering menemukan koin berjatuhan sendiri dari boxnya saat menelepon. Lumayan bisa buat telepon gratis. Yang heboh kalau pas ada bocoran telepon SLJJ (Sambungan Langsung Jarak Jauh) atau interlokal. Biasanya si pembawa berita akan menyampaikan kepada kenalan-kenalannya kalau box A di tempat B mulai hari C bisa digunakan untuk SLJJ. Luar biasa memang kalau ada bocoran karena dulu yang namanya telepon koin cuma bisa digunakan menelon nomor-nomor lokal. Untuk SLJJ harus menelepon lewat Wartel, telepon rumah (PSTN), atau telepon kartu. Kalau anak kos telepon SLJJ pada jam sibuk dijamin bisa puasa berhari-hari sesudahnya. Oleh sebab itu banyak anak kos jika akan menelepon SLJJ dilakukan sebelum pukul 6 pagi karena ada reduksi tarif hingga 80%. Aku sering melihat box yang error itu selalu dipenuhi antrian mahasiswa yang ingin menelepon keluarganya di kampung dari pagi sampai malam. Kalau telepon kartu biasanya untuk berhemat disiasati dengan menambal lubang-lubang pada kartunya sehingga jadilah punya 1 kartu bisa buat menelepon SLJJ berjam-jam .Kartu itu tidak bisa diisi ulang dan setahuku tidak ada masa aktifnya.

Kalau uang awal bulan sudah habis dan jelang tanggal tua masih belum bisa bayar uang kos nah itu benar-benar jadi masalah. Aku pernah telat membayar beberapa kali dan tidak nyamannya saudara bapak kos selalu datang menagih seperti debt collector saja langsung ke kamar. Aku akali supaya tidak bertemu si petugas itu, aku pulang agak malam meski jadwal kuliah di kampus tidak sampai malam hari. Pagi-pagi cepat-cepat berangkat ke kampus meski tidak ada kuliah pagi. Jika tidak ada yang harus aku lakukan di kampus aku habiskan waktu di perpustakaan atau tidur di masjid. Begitu sampai di kamar kos lekas-lekas aku tutup pintu dan jendela kemudian matikan lampu dan tidur meski belum mengantuk. Mau keluar juga intip-intip dulu apakah suasananya aman atau tidak. Kalau masih ada petugas berseliweran, aku tunggu sampai dia pergi. Begitu batang hidungnya sudah tidak kelihatan aku lekas meluncur turun (kamarku di lantai 3), lari ke tempat parkir, nyalakan motor, dan langsung tancap gas segera. Meski kelihatan hidup sebagai anak kos penuh dengan cerita "duka" tetapi kalau sekarang saya mengingat masa-masa itu yang tersisa hanya kenangan manis yang takkan pernah terulang kembali. Terkadang pengen mengulang kembali meski sesaat...



Sumber gambar:


1. majalahkesehatan.com
2. fjb.kaskus.co.id

3. kholisnast.blogspot.com

No comments:

Post a Comment