Agak susah
juga menemukan sebuah resep makanan yang diwariskan secara turun menurun dalam
sebuah keluarga. Kalau tradisi keluarga saya yang masih sering diwariskan turun
menurun dari era kakek nenek saya yang cukup lumayan sering dimasak oleh ibu
saya adalah dodol ketan atau jenang ketan (bahasa Jawa). Pertama kali saya mengenal
dodol ketan ini seingat saya sekitar tahun 80-an ketika kakek saya mengadakan
upacara pernikahan anaknya (bibi saya). Seolah merupakan sebuah kewajiban yang sama sekali
tidak boleh ditinggalkan di desa ketika seseorang akan menyelenggarakan upacara
pernikahan adalah membuat dodol ketan ini. Mungkin makna sebenarnya yang
terkandung dalam makanan dodol ini adalah supaya calon mempelai lengket seperti
halnya dodol yang memang lengket. Dodol ketan ini harus dibuat H-2 sebelum
Manggulan (Jawa = hari I atau H upacara pernikahan) tujuannya supaya H-1 dodol sudah
ready buat ater-ater (Jawa = dibagikan) untuk para tetangga, sanak saudara, dan
kerabat serta hidangan buat para tamu undangan pada hari H dan H+1 atau Dheng (Jawa = hari terakhir pesta pernikahan).
Adapun bahan-bahan dodol adalah beras ketan putih, kelapa tua, dan gula merah. Prosesnya
dimulai
dengan mengupas kelapa hingga hanya tinggal dagingnya saja sedangkan airnya dibuang. Berikutnya adalah memarut daging kelapa. Meski sekarang sudah ada mesin parut
kelapa tetapi biasanya masyarakat lebih suka menggunakan tenaga manusia
daripada mesin itu. Alasan utama adalah santan yang akan dihasilkannya nanti
lebih banyak jika dibandingkan dengan memakai mesin. Saya tidak tahu persis apakah itu
benar atau tidak tetapi memang kalau saya amati ukuran partikel hasil parutan
kelapa dengan menggunakan tangan jauh lebih halus daripada mesin. Karena biasanya
jumlah kelapa yang harus diparut jumlahnya puluhan bahkan ratusan butir maka
jumlah para pemarutnya bisa mencapai belasan orang. Mereka umumnya terdiri dari
para tetangga (umumnya wanita) yang sedang rewang (Jawa: membantu) pihak yang sedang
punya hajat pesta. Mereka masing-masing membawa alat parut sendiri yang terbuat dari
kayu. Namun sebenarnya saya lebih melihat rewang sebagai sebuah wujud atau
manifestasi semangat gotong royong dan kebersamaan yang masih hidup di
lingkungan warga pedesaan. Kalau di kota setahu saya tradisi semacam itu sudah
tidak ada lagi (kebetulan beberapa tahun saya sempat tinggal di Surabaya). Di kota
sekarang ini orang lebih mengutamakan kepraktisan dengan memesan menyerahkan
segala urusan tetek bengek pesta pernikahan termasuk hidangan kepada wedding organizer.
Usai proses pemarutan dilanjutkan dengan proses menghasilkan santan. Hasil parutan
kelapa dicampur sedikit air kemudian diperas hingga apuh (Jawa = tuntas)
selanjutnya disaring dengan kalo (Jawa = saringan dari bambu) supaya santan yang
dihasilkan bersih. Semua santan lalu dimasukkan dalam dandang besar dan direbus
dengan api kecil perlahan-lahan supaya jangan sampai cepat mendidih. Di atas
santan itu akan muncul kepala santan yang harus segera dipindahkan pelan-pelan
dengan irus (Jawa = sendok sayur tetapi lebih besar) ke dalam wajan besi yang
sangat besar. Proses ini cukup memakan waktu hingga semua kepala santan tidak keluar lagi. Sisa air santan di dandang biasanya dibuang tetapi saya dulu
saat masih kecil sering memanfaatkannya sebagai minuman yang dicampur gula. Rasanya
manis gurih enak sekali.
Berikutnya kepala santan di wajan direbus dengan api sedang dengan menggunakan
kayu bakar.
Bersamaan dengan itu dimasukkan gula merah yang sudah diiris
tipis-tipis supaya cepat larut dalam kepala santan. Tunggu hingga mendidih
selanjutnya dimasukkan tepung ketan perlahan-lahan. Tepung ini berasal dari
beras ketan yang telah disangrai sebelumnya kemudian digiling hingga halus. Poin
penting di sini adalah butiran tepung ketan harus benar-benar halus karena
kalau kasar nantinya akan mengganggu saat dikonsumsi. Orang jawa menyebutnya “pating
klethis” (Jawa = serasa ada butiran-butiran keras). Agar kebersihan dan ukuran
partikel seragam biasanya saat menuangkan tepung dibarengi dengan meletakkan
ayakan halus di bawahnya. Ayakan digoyang-goyang perlahan hingga didapat tepung
yang halus yang kemudian meluncur ke dalam kelapa santan di bawahnya. Sementara
sisa tepung kasar di dalam ayakan bisa dibuang. Sembari memasukkan tepung harus
dibarengi dengan proses pengadukan dengan menggunakan sutil (Jawa = semacam
sendok yang biasanya untuk menggoreng) besar. Oleh sebab itu proses ini selalu
melibatkan 2 orang, yang satu mengaduk yang biasanya dikerjakan para pria sementara
satunya biasanya wanita menaburkan tepung ketan. Awalnya proses pengadukan
berjalan enteng karena kandungan air dalam kepala santan masih tinggi namun
lama kelamaan kandungan air ini akan semakin asat (Jawa = berkurang). Semakin
lama
pengadukan akan terasa semakin berat. Kepala santan perlahan-lahan akan berubah
menjadi minyak kelapa yang meletup-letup. Proses pengadukan juga harus dilakukan
merata supaya tidak ada bagian dodol yang gosong. Setelah beberapa saat harus
diuji apakah dodol sudah masak atau belum karena dodol yang terlalu muda akan
lembek sehingga sulit mengeras jadinya sulit dipotong-potong sedangkan kalau terlalu
tua akan cepat mengeras saat sudah dingin sehingga kalau dikonsumsi jadi kurang
nikmat. Cara mengujinya dengan sampling sedikit dodol menggunakan entong (Jawa = sendok nasi) kemudian meletakkannya di atas selembar daun pisang. Cukup sedikit
saja sampelnya supaya lekas dingin sehingga bisa cepat diketahui apakah dodol
sudah siap diangkat atau belum. Begitu sudah matang langsung diangkat dan dimasukkan
ke dalam panci-panci plastik pipih supaya lekas mendingin. Begitu sudah dingin
maka dodol sudah siap dipotong-potong sesuai selera. Dodol ini disajikan dengan
dibungkus plastik transparan sehingga ketika saat tangan
memegangnya tidak
berlepotan minyak. Rasanya manis gurih dan mengenyangkan.
Meski dodol ketan ini oleh masyarakat umumnya hanya dibuat saat jelang pesta
pernikahan tetapi ibu saya secara rutin membuatnya setiap jelang lebaran saat
hari terakhir puasa. Pada hari itu ibu saya sudah menyiapkan bahan-bahannya
sejak pagi supaya sore hari tinggal memasaknya. Semua bahan kecuali
gula merah
berasal dari tanah sendiri. Beras ketan berasal dari sawah sementara kelapa
dipetik langsung dari pohonnya di pekarangan. Lepas maghrib bersamaan dengan
berkumandangnya takbir barulah proses pembuatan dodol dimulai dibantu oleh saya
dan kadang saudara-saudara saya. Biasanya lepas isyak baru selesai. Keesokan harinya
sesudah shalat ied ibu saya langsung memotong dodol itu dan menghidangkannya di
atas piring buat para tamu. Dodol ketan ibu saya ini sangat terkenal lezatnya sehingga
para tamu yang datang selalu menanyakan dodol ibu saya ini jika belum terhidang
di meja. Itulah tradisi yang masih terus berlangsung hingga kini yang masih
dijaga kelestariannya oleh ibu saya dari generasi ke generasi. Dodol ketan, sebuah warisan kelezatan yang sarat dengan nilai kebersamaan namun penuh dengan kenangan.
Sumber foto: pribadi.
No comments:
Post a Comment