Friday, April 8, 2016

Dodol Ketan Warisan Kelezatan dari Generasi ke Generasi

Agak susah juga menemukan sebuah resep makanan yang diwariskan secara turun menurun dalam sebuah keluarga. Kalau tradisi keluarga saya yang masih sering diwariskan turun menurun dari era kakek nenek saya yang cukup lumayan sering dimasak oleh ibu saya adalah dodol ketan atau jenang ketan (bahasa Jawa). Pertama kali saya mengenal dodol ketan ini seingat saya sekitar tahun 80-an ketika kakek saya mengadakan upacara pernikahan anaknya (bibi saya). Seolah merupakan sebuah kewajiban yang sama sekali tidak boleh ditinggalkan di desa ketika seseorang akan menyelenggarakan upacara pernikahan adalah membuat dodol ketan ini. Mungkin makna sebenarnya yang terkandung dalam makanan dodol ini adalah supaya calon mempelai lengket seperti halnya dodol yang memang lengket. Dodol ketan ini harus dibuat H-2 sebelum Manggulan (Jawa = hari I atau H upacara pernikahan) tujuannya supaya H-1 dodol sudah ready buat ater-ater (Jawa = dibagikan) untuk para tetangga, sanak saudara, dan kerabat serta hidangan buat para tamu undangan pada hari H dan H+1 atau Dheng (Jawa = hari terakhir pesta pernikahan). Adapun bahan-bahan dodol adalah beras ketan putih, kelapa tua, dan gula merah. Prosesnya dimulai
dengan mengupas kelapa hingga hanya tinggal dagingnya saja sedangkan airnya dibuang. Berikutnya adalah memarut daging kelapa. Meski sekarang sudah ada mesin parut kelapa tetapi biasanya masyarakat lebih suka menggunakan tenaga manusia daripada mesin itu. Alasan utama adalah santan yang akan dihasilkannya nanti lebih banyak jika dibandingkan dengan memakai mesin. Saya tidak tahu persis apakah itu benar atau tidak tetapi memang kalau saya amati ukuran partikel hasil parutan kelapa dengan menggunakan tangan jauh lebih halus daripada mesin. Karena biasanya jumlah kelapa yang harus diparut jumlahnya puluhan bahkan ratusan butir maka jumlah para pemarutnya bisa mencapai belasan orang. Mereka umumnya terdiri dari para tetangga (umumnya wanita) yang sedang rewang (Jawa: membantu) pihak yang sedang punya hajat pesta. Mereka masing-masing membawa alat parut sendiri yang terbuat dari kayu. Namun sebenarnya saya lebih melihat rewang sebagai sebuah wujud atau manifestasi semangat gotong royong dan kebersamaan yang masih hidup di lingkungan warga pedesaan. Kalau di kota setahu saya tradisi semacam itu sudah tidak ada lagi (kebetulan beberapa tahun saya sempat tinggal di Surabaya). Di kota sekarang ini orang lebih mengutamakan kepraktisan dengan memesan menyerahkan segala urusan tetek bengek pesta pernikahan termasuk hidangan kepada wedding organizer.


Usai proses pemarutan dilanjutkan dengan proses menghasilkan santan. Hasil parutan kelapa dicampur sedikit air kemudian diperas hingga apuh (Jawa = tuntas) selanjutnya disaring dengan kalo (Jawa = saringan dari bambu) supaya santan yang dihasilkan bersih. Semua santan lalu dimasukkan dalam dandang besar dan direbus dengan api kecil perlahan-lahan supaya jangan sampai cepat mendidih. Di atas santan itu akan muncul kepala santan yang harus segera dipindahkan pelan-pelan dengan irus (Jawa = sendok sayur tetapi lebih besar) ke dalam wajan besi yang sangat besar. Proses ini cukup memakan waktu hingga semua kepala santan tidak keluar lagi. Sisa air santan di dandang biasanya dibuang tetapi saya dulu saat masih kecil sering memanfaatkannya sebagai minuman yang dicampur gula. Rasanya manis gurih enak sekali. 

Berikutnya kepala santan di wajan direbus dengan api sedang dengan menggunakan kayu bakar.

Bersamaan dengan itu dimasukkan gula merah yang sudah diiris tipis-tipis supaya cepat larut dalam kepala santan. Tunggu hingga mendidih selanjutnya dimasukkan tepung ketan perlahan-lahan. Tepung ini berasal dari beras ketan yang telah disangrai sebelumnya kemudian digiling hingga halus. Poin penting di sini adalah butiran tepung ketan harus benar-benar halus karena kalau kasar nantinya akan mengganggu saat dikonsumsi. Orang jawa menyebutnya “pating klethis” (Jawa = serasa ada butiran-butiran keras). Agar kebersihan dan ukuran partikel seragam biasanya saat menuangkan tepung dibarengi dengan meletakkan ayakan halus di bawahnya. Ayakan digoyang-goyang perlahan hingga didapat tepung yang halus yang kemudian meluncur ke dalam kelapa santan di bawahnya. Sementara sisa tepung kasar di dalam ayakan bisa dibuang. Sembari memasukkan tepung harus dibarengi dengan proses pengadukan dengan menggunakan sutil (Jawa = semacam sendok yang biasanya untuk menggoreng) besar. Oleh sebab itu proses ini selalu melibatkan 2 orang, yang satu mengaduk yang biasanya dikerjakan para pria sementara satunya biasanya wanita menaburkan tepung ketan. Awalnya proses pengadukan berjalan enteng karena kandungan air dalam kepala santan masih tinggi namun lama kelamaan kandungan air ini akan semakin asat (Jawa = berkurang). Semakin
lama pengadukan akan terasa semakin berat. Kepala santan perlahan-lahan akan berubah menjadi minyak kelapa yang meletup-letup. Proses pengadukan juga harus dilakukan merata supaya tidak ada bagian dodol yang gosong. Setelah beberapa saat harus diuji apakah dodol sudah masak atau belum karena dodol yang terlalu muda akan lembek sehingga sulit mengeras jadinya sulit dipotong-potong sedangkan kalau terlalu tua akan cepat mengeras saat sudah dingin sehingga kalau dikonsumsi jadi kurang nikmat. Cara mengujinya dengan sampling sedikit dodol menggunakan entong (Jawa = sendok nasi) kemudian meletakkannya di atas selembar daun pisang. Cukup sedikit saja sampelnya supaya lekas dingin sehingga bisa cepat diketahui apakah dodol sudah siap diangkat atau belum. Begitu sudah matang langsung diangkat dan dimasukkan ke dalam panci-panci plastik pipih supaya lekas mendingin. Begitu sudah dingin maka dodol sudah siap dipotong-potong sesuai selera. Dodol ini disajikan dengan dibungkus plastik transparan sehingga ketika saat tangan
memegangnya tidak berlepotan minyak. Rasanya manis gurih dan mengenyangkan. 

 



Meski dodol ketan ini oleh masyarakat umumnya hanya dibuat saat jelang pesta pernikahan tetapi ibu saya secara rutin membuatnya setiap jelang lebaran saat hari terakhir puasa. Pada hari itu ibu saya sudah menyiapkan bahan-bahannya sejak pagi supaya sore hari tinggal memasaknya. Semua bahan kecuali

gula merah berasal dari tanah sendiri. Beras ketan berasal dari sawah sementara kelapa dipetik langsung dari pohonnya di pekarangan. Lepas maghrib bersamaan dengan berkumandangnya takbir barulah proses pembuatan dodol dimulai dibantu oleh saya dan kadang saudara-saudara saya. Biasanya lepas isyak baru selesai. Keesokan harinya sesudah shalat ied ibu saya langsung memotong dodol itu dan menghidangkannya di atas piring buat para tamu. Dodol ketan ibu saya ini sangat terkenal lezatnya sehingga para tamu yang datang selalu menanyakan dodol ibu saya ini jika belum terhidang di meja. Itulah tradisi yang masih terus berlangsung hingga kini yang masih dijaga kelestariannya oleh ibu saya dari generasi ke generasi. Dodol ketan, sebuah warisan kelezatan yang sarat dengan nilai kebersamaan namun penuh dengan kenangan.










Sumber foto: pribadi.

No comments:

Post a Comment