Monday, March 19, 2018

Ketika Semuanya Dikorbankan Demi Ramadlan dan Lebaran


     Bulan Ramadlan masih akan tiba 2 bulan lagi tetapi semua warga kampung saya sudah heboh untuk menyambutnya. Salah seorang keponakan saya sudah menambah pinjaman hutang di bank ratusan juta rupiah dengan alasan untuk persiapan kulakan kue-kue lebaran. Orang tua saya juga sudah sejak Januari bekerja habis-habisan mulai pagi hingga malam dari Senin ke Senin untuk membuat baglog jamur dengan prediksi bahwa setiap bulan puasa permintaan akan jamur meningkat. Saya yakin di tempat-tempat lain juga tengah berlangsung hal-hal yang sama. Semuanya berlomba-lomba mencuri start jelang lebaran.  Padahal coba kita renungkan sejenak sebenarnya apakah yang sudah diperintahkan oleh Allah untuk dikerjakan umatnya pada bulan Ramadlan dan Lebaran?? Benar, meningkatkan ibadah. Allah memerintahan untuk melakukan puasa pada siang hari. Pada malam hari shalat Tarawih dan tadarus dan begitu akhir Ramadlan berzakat sementara itu pada saat Lebaran kita disunnahkan bersilaturahmi kepada sesama dan meminta maaf. Allah juga tidak pernah menyuruh umat Islam bersiap melakukan apapun untuk menyambut Ramadlan dan Lebaran terkecuali bulan Rajab dan Syaban hanya disunnahkan untuk berpuasa sunnah sekedar sebagai latihan agar saat Ramadlan nanti tubuh kita sudah terbiasa.
     Akan tetapi apakah yang selalu terjadi setiap bulan Ramadlan di kampung saya? Biasanya bulan Ramadlan jatuh berbarengan dengan saat tanam tembakau dan saat itu sedang musim kemarau. Cuaca panas terik setiap hari dan bekerja di bawah matahari membuat orang cepat merasa haus. Itulah sebabnya saat Ramadlan banyak orang yang tidak melakukan ibadah puasa di kampung saya. Sayang sekali puasa wajib yang cuma 1x/tahun saja tidak dilaksanakan hanya demi tembakau yang belum bisa dipastikan hasilnya. Malam hari pun saat shalat Tarawih dan tadarus banyak yang mangkir karena sibuk mengeringkan daun tembakau di gudang. Zakat maal? Apalagi jauh deh. Paling cuma zakat fitrah doang yang tak lebih dari beras 2,5 kg. Yang aneh adalah begitu shalat ied tiba semua mendadak berduyun-duyun datang ke masjid. Lebaran adalah hari kemenangan setelah berjuang berpuasa selama 30 hari. Kalau tidak pernah berjuang apakah bisa merayakan kemenangan? Kalau memang bisa lantas kemenangan dari mananya? Berjuang saja tidak, lantas bagaimana bisa merayakan kemenangan? Sebuah logika yang agak aneh menurut saya.
     Begitu Lebaran tiba pun ibarat gas sudah langsung di-mentok-in. Semua uang dihabiskan hanya demi “pesta” lebaran selama 2-3 hari. Semuanya dibeli termasuk mercon yang sebenarnya malah sering bikin celaka. Rumah dicat habis-habisan. Baju baru dibeli walau di lemari sudah ada ratusan baju sampai tak muat isinya. Motor dan mobil baru pun dibeli demi sekedar mengesankan orang dan gengsi walau dari hasil ngutang (baca: kredit). Padahal kalau saya bersilaturahmi ke rumah kerabat atau tetangga saat lebaran saya tidak pernah memperhatikan kondisi rumah, perabotnya, ataupun kendaraannya. Saya tidak pernah mau ambil pusing apakah rumahnya habis dicat atau ada perabot baru. Saya juga tidak mau repot mengurusi apakah kendaraannya baru atau tidak. Saya datang bukan buat semuanya itu. Saya lebih peduli dengan sambutan si tuan rumah. Sebagus apapun rumahnya kalau sambutan tuan rumahnya tidak menyenangkan maka saya juga tidak akan merasa nyaman dan senang. Saya tidak menganggap bahwa Lebaran itu tidak penting atau tidak istimewa tetapi cara kebanyakan dari kita dalam menyambut Lebaran itulah yang seharusnya sudah saatnya kita renungkan kembali. Apakah memang seperti itu yang telah diperintahkan oleh Allah? Berlebih-lebihan dan cuma mengumbar gengsi? Itukah makna Lebaran sejati? Padahal kalau kita mau menengok di sekeliling kita, masih banyak orang yang kesulitan meskipun hanya sekedar mau menyiapkan kue-kue lebaran ala kadarnya.  

No comments:

Post a Comment