Beberapa
hari lalu ketika saya berangkat berbelanja ke sebuah minimarket bersama dengan
istri mendadak di tengah jalan saya teringat kalau mulai saat itu setiap
mendapatkan kantong plastik dari minimarket atau supermarket diharuskan
membayar Rp 200/kantong padahal sebelumnya gratis. Maklumlah masih belum
terbiasa membawa tas belanja karena sudah terbiasa dikasih kantong plastik gratis
saat berbelanja untuk membawa barang belanjaan. Saat membayar di kasir mbak
kasirnya menjelaskan kalau saya diharuskan membayar Rp 200/kantong. Saya Cuma
tersenyum dalam hati. Saya sebenarnya sudah tahu aturan ini sejak 1 bulan
sebelumnya dari berbagai berita di internet. Saya melihat para konsumen di
kanan kiri saya semuanya tidak ada yang bawa kantong atau tas dari rumah.
Sepertinya mereka masih belum mengetahui aturan baru ini.
Tidak
masalahlah saya bayar Rp 400 untuk 2 kantong plastik. Cuma saya berjanji untuk
membiasakan membawa kantong plastik sendiri lain kali. Belakangan saya bawa
kantong plastik yang saya lipat kemudian saya masukkan saku. Saya coba memilih
yang agak tebal sehingga tidak mudah robek. Dengar-dengar dana itu nantinya
akan digunakan pemerintah untuk pengelolaan sampah. Anehnya yang membuat saya
agak heran kenapa aturan ini hanya dikenakan untuk konsumen yang belanja di
supermarket atau minimarket? Sementara kalau saya berbelanja di warung sebelah
tetap saja kantong plastiknya gratis. Saya beli di toko-toko juga masih gratis.
Padahal mereka totalnya juga menyumbang sampah kantong plastik yang saya pikir
jauh lebih banyak daripada mini atau supermarket. Di tempat saya Cuma ada 1
supermarket dan 4 minimarket sementara toko-toko dan warung jumlahnya ratusan.
Kalau di
rumah saya sudah puluhan tahun selalu mencoba bersikap bijak dengan kantong
plastik. kantong plastik bekas belanjaan tidak pernah langsung dibuang kecuali
kalau terlalu kotor atau tercemar bahan berbahaya. Kantong-kantong plastik ini
dilipat kemudian dikumpulkan. Jadi kalau pas butuh tidak perlu beli lagi.
kantong plastik ini dimanfaatkan untuk membungkus barang-barang supaya tidak
terkena debu misal mixer, oven, atau cetakan-cetakan kue yang memang jarang
dipakai. Kadang juga digunakan untuk membungkus makanan buat mengirim makanan
untuk pekerja di sawah. Kalau stok kantong plastik ini sudah overload biasanya
saya bakar saat pagi hari ketika belum banyak angin. Saya memang memisahkan
sampah rumah tangga menjadi 4: organik, kaca, plastik, dan logam. Sampah
organik termasuk sisa makanan atau bahan makanan biasanya saya buang di satu
tempat hingga membusuk sendiri dan menjadi tanah. Tanah ini kalau kering bisa
diayak kemudian dimanfaatkan menjadi media pot bunga atau polybag tanaman. Sampah
plastik saya bakar sedangkan kaca saya kumpulkan dan kalau sudah cukup banyak
saya hancurkan dengan palu kemudian saya kubur. Sampah logam termasuk barang
elektronik rusak saya kasihkan pemulung gratis. Saya jadi teringat teman yang
pernah kuliah di Jepang. Dia dulu pernah bilang kalau di Jepang buang sampah
malah harus membayar. Jadi motor dibatasi usia pakainya dan kalau sudah habis
masa pakainya harus dibuang dan biaya buangnya bisa lebih mahal dari harga
motornya. Kadang untuk menghindari biaya membuang yang mahal itu, pemilik motor
menghibahkan cuma-cuma motornya kepada orang yang masih mau memakainya. Teman
saya mendapatkan hibah motor dari dosennya kala itu.
Yang jadi
problem adalah para tetangga saya. Mereka masih belum banyak yang menyadari kalau
sampah plastik termasuk kantong plastik ini sangat merusak lingkungan. Saya
memiliki pekarangan yang cukup luas di belakang. Di sekelilingnya para tetangga
tinggal. Tetangga-tetangga itu semuanya memiliki pekarangan sempit sehingga
mereka kesulitan membuang sampahnya. Jadilah pekarangan saya menjadi TPA
(tempat pembuangan sampah akhir) bagi para tetangga. Mereka buang semuanya ke
situ mulai dari botol shampo, sandal bekas, baju bekas, gelas pecah, dan
terbanyak kantong plastik ini. Susahnya kantong plastik ini berbentuk seperti
parasut sehingga ketika tertiup angin mereka beterbangan kemana-mana. Jadilah
seluruh pekarangan penuh dengan kantong plastik. Yang menyebalkan lagi ada
sebagian tas plastik yang sudah terkubur tanah sehingga saya harus menggalinya
dulu. Kalau saya ada waktu saya bawa zak kemudian seluruh kantong plastik itu
saya kumpulkan dan saya masukkan ke dalam zak kemudian saya bakar. Proses itu
bisa memakan waktu sehari penuh. Akhirnya daripada dipusingkan dengan ulah para
tetangga yang suka buang sampah sembarangan itu, saya bangun tembok setinggi
1,5 m mengelilingi pekarangan. Selesai sudah, saya tidak terganggu sampah
mereka lagi.
Ini foto tetangga saya (posisi di belakang rumah) yang suka membuang sampah sembarangan. Kalau ada angin kencang maka semua sampah itu sudah pasti akan masuk ke pekarangan saya jika tidak ada pagar tembok.
Sampah
plastik merupakan sampah yang sulit terurai secara alami. Ada yang bilang butuh
waktu 400 tahun untuk terurai. Waduh berapa turunan manusia itu? Cara paling
bijak memang dengan mendaur ulang tapi unit-unit pendaur ulangnya juga belum
ada. Di tempat saya setahu saya Cuma ada 1 tempat usaha pendaur ulangan sampah
plastik bekas dan itupun tempatnya jauh. Kalau dibakar juga kurang benar
sebenarnya karena asap hasil pembakaran plastik masih mengandung bahan beracun.
Cuma saya pikir itu masih menjadi solusi terbaik sementara. Kalau dinas
kebersihan kota sebelah masih menggunakan cara lama dalam menangani sampah plastik
yaitu dengan sanitary landfill.
Dulu sekali
sebenarnya saya kurang suka kalau belanja dikasih tas plastik. Saya selalu
mencoba membiasakan diri membawa tas sendiri sampai suatu ketika ada
supermarket yang mempersulit saya. Saya belanja ke supermarket itu awalnya bawa
tas sendiri (tas plastik anyaman) dari rumah namun oleh SATPAM dilarang membawa
tas ke dalam lokasi belanja. Saya tidak tahu alasannya. Sengaja saya tidak
membawa tas plastik bekas karena tas plastik anyaman jauh lebih kuat dan tebal.
Kalau tas plastik dari supermarket sering jebol karena jalan di tempat saya
banyak lubangnya selain itu ada barang-barang belanjaan yang memiliki sudut
tajam. Terpaksa saya menitipkan tas tersebut ke tempat penitipan. Saya kemudian
belanja dengan troli atau keranjang supermarket. Nah repotnya pas di kasir,
kalau saya meminta barang belanjaan saya dimasukkan ke dalam tas saya maka saya
harus keluar antrian dan kembali ambil tas di tempat penitipan. Kalau ini saya
lakukan maka orang yang berbelanja antri di belakang saya bisa marah-marah
karena harus menunggu saya mengambil tas dulu. Akhirnya ya terpaksa pakai tas
plastik dari supermarket itu. Tas yang saya bawa dari rumah jadi tidak ada
gunanya. Sejak saat itu saya jadi malas bawa tas sendiri dari rumah.
Beberapa tahun belakangan munculan tas plastik biodegradable. Katanya tas plastik ini dibuat dari bahan singkong atau jagung. Saya pikir itu ide yang sangat bagus. Hanya dalam jangka panjang mesti dipikirkan akan terjadi “rebutan” antara isi perut manusia dengan “isi perut” plastik. Kita tahu singkong dan jagung masih menjadi sumber karbohidrat utama bagi manusia. Kalau sebagian produksi dua produk itu digunakan untuk proses pembuatan plastik maka bisa mengurangi pasokan sumber karbohidrat buat manusia yang dikuatirkan akan membuat harganya meroket.
Ok kembali
ke aturan kewajiban biaya Rp 200/kantong untuk tas plastik saya kira itu bagus
dan semoga dananya benar-benar digunakan oleh pemerintah untuk pengelolaan
sampah dengan lebih baik. Semoga juga sampah plastik ke depannya perlahan-lahan
namun pasti akan semakin berkurang jumlahnya. Saya berharap pemerintah bisa
memperluas aturan ini ke seluruh penjual, pedagang, atau siapa saja yang
terlibat dalam proses jual beli tanpa terkecuali. Kalau sekarang masih
melibatkan super atau minimarket sebagai tahap awal itu bisa dimaklumi. Semoga ke depan Indonesia benar-benar bebas
sampah plastik. Kata teman saya yang pernah ke Jepang kalau ada orang wisata
dan memiliki bungkus plastik bekas maka dibawanya sampah itu dalam saku
kemudian dibawa hingga menemukan tempat sampah baru membuangnya di situ.
Bandingkan dengan di sini, pantai penuh dengan aneka sampah terutama plastik.
Bahkan ada yang pernah pos di internet gambar lautan kita sudah penuh dengan
kantong plastik sampai kelihatan seperti ubur-ubur laut. Memang mendisiplinkan
masyarakat kita tidak semudah membalik telapak tangan. Contoh di keluarga saya
sendiri, bapak saya kalau merokok selalu membuang abu, puntung rokok, dan
bungkusnya begitu saja di lantai rumah dan dapur. Sudah diperingatkan
berkali-kali untuk membuangnya di tempat sampah tapi tidak mempan jadinya
kemudian dibiarkan saja. Kalau saya sempat saya punguti semua sampah rokok itu
dan saya masukkan ke tempat sampah. Ayo para pembaca kita sukseskan gerakan
berbelanja dengan membawa tas sendiri. Ini cuma jadi soal kebiasaan.
UPDATE 21-Mei-2017
Rupanya kebijakan itu cuma berjalan seumur jagung. Sudah beberapa bulan kebijakan itu tidak berlaku di minimarket atau supermarket. Jadi sekarang sudah tidak dikenakan biaya Rp 200 untuk tas kresek alias GRATIS. Cuma katanya sih tas kresek itu sekarang sudah dibuat mudah terurai. Semoga saja memang benar demikian.
UPDATE 21-Mei-2017
Rupanya kebijakan itu cuma berjalan seumur jagung. Sudah beberapa bulan kebijakan itu tidak berlaku di minimarket atau supermarket. Jadi sekarang sudah tidak dikenakan biaya Rp 200 untuk tas kresek alias GRATIS. Cuma katanya sih tas kresek itu sekarang sudah dibuat mudah terurai. Semoga saja memang benar demikian.
No comments:
Post a Comment