Saturday, March 12, 2016

Hobi Utak Atik Antena Parabola

Dish 9 feet jadul

Sejak SCTV mengudara via UHF di Surabaya tahun 1990 daerah saya sudah mulai bisa menikmati siaran TV swasta yang sebelumnya cuma ada siaran TVRI-Surabaya doang. Meski cuma sinyal spill over (cipratan) dari Surabaya tapi lumayan bisa menonton aneka acara yang wow sekali. Acara-acara SCTV jauh beda dengan acara-acara yang ditayangkan oleh TVRI yang cenderung membosankan karena cuma itu-itu melulu. Mulai dari film-film barat, kartun, sampai musik OK-OK banget semuanya. Masih ingat ada Mission Impossible, Growing Pain, Miami Vice, McGyver, American Funniest Home Videos (dengan Bob Saget sebagai hostnya), Kuis Keluarga Lifebuoy, dll. Waktu itu siaran SCTV di Surabaya cuma merelay siaran dari RCTI di Jakarta. Hanya pas jam 5 sore acara SCTV diganti Siaran Berita Daerah Jawa Timur relay dari TVRI Surabaya. Taglinenya “Saluran hiburan dan informasi”.

Meski demikian memiliki antena UHF termasuk barang mewah kala itu. Di desa saya cuma beberapa orang yang punya. Jenisnya harus yang memiliki sensitivitas tinggi sehingga masih bisa menangkap siaran TV meski dari jarak sangat jauh. Oleh sebab itu ukuran antenanya mesti panjang beamnya, elemennya banyak, dan reflektornya lumayan lebar. Itupun pakainya kadang masih diparalel, 2 antena dijadikan 1 tiang atau 4 antena dalam 1 tiang supaya mendapatkan daya tangkap siaran yang lebih baik. Kalau antena UHF produksi jaman sekarang pernah saya coba sudah tidak mampu menangkap siaran TV UHF dari Surabaya. Bahkan menangkap siaran TV lokal yang stasiunnya masih 1 kabupaten saja sering tidak bisa (meski sudah dikasih booster UHF) ataupun kalau bisa semutnya masih banyak sekali. Antena UHF yang sekarang sangat minimalis. Directornya cuma terbuat dari plat tipis yang logamnya entah dari aluminium beneran atau tidak. Kalau dulu director dijamin aluminum asli dan berupa pipa-pipa kecil. Beamnya juga pendek. Jadilah sekarang meski saya punya antena UHF tadi sangat jarang saya pakai. Belum tentu 1x/tahun saya pakai. Saya gunakan jika lewat parabola ada acara bola yang diacak. Saya pernah coba gunakan untuk menangkap siaran JemberTV saja tidak bisa.

Tak lama kemudian stasiun-stasiun TV yang bermunculan semakin banyak. Setelah SCTV diikuti dengan TPI, Anteve, TVRI SBY programa 2 (?), RCTI, Indosiar, GTV, Lativi, TV 7, Trans tv, Metro, JTV, dll. Stasiun UHF RCTI Surabaya baru muncul tahun 1995 setelah SCTV memisahkan diri dari RCTI. Saya masih ingat iklan SCTV di sebuah koran kala itu “Siapkan kipas angin dan obat nyamuk, seorang teman akan berkunjung”. Tak tahunya yang berkunjung adalah SCTV dalam keadaan sudah berpisah dengan RCTI. SCTV pun mulai memidahkan base siarannya ke Jakarta. Semua stasiun-stasiun TV yang bisa saya tangkap itu masih berlokasi di Surabaya. Kalau pas cuaca bagus ya dapat gambar bagus tapi kalau cuaca lagi tidak kondusif ya gambarnya bergoyang-goyang gak karuan, rolling atas bawah, kanan kiri, bikin sakit kepala bahkan kadang blank atau cuma bintik-bintik menyemut. Suara yang keluar dari TV pun cuma mendengung-dengung jadilah suara aktor filmnya terputus-putus bercampur dengan dengungan TV. Itu semua sudah pakai booster dan kadang tiangnya bisa sampai setinggi 20 m. Awalnya saya pakai bambu tapi bambu mudah lapuk dan akibatnya 2 kali bambu patah yang mengakibatkan antena roboh kemudian ringsek. Akhirnya saya ganti dengan pipa besi meski harus mengeluarkan biaya lebih besar. Stasiun-stasiun relay UHF mulai ada di kota saya sekitar tahun 2000-an. Yang unik dari semua stasiun-stasiun TV swasta itu adalah jika saat berita nasional jam 7 malam atau Dunia Dalam Berita jam 9 malam mereka harus merelay dari TVRI. Oya jaman itu saya masih pakai TV hitam putih 14" lho karena bisa hidup tanpa listrik PLN. Jadi cuma mengandalkan pasokan listrik dari aki. Untuk mengoperasikan boosternya saya menggunakan inverter. Jadi dari power DC aki saya ubah menjadi AC dengan inverter lalu baru bisa dipakai booster. Inverternya juga cuma buatan sendiri karena waktu itu lagi hobi solder menyolder gara-gara di sekolah SMA ada mata pelajaran ketrampilan elektronika. Entah desainnya yang kurang tepat atau gimana inverternya cepat sekali panas. Bahkan boxnya sampai meleleh karena terbuat dari plastik. Baru dipakai sebentar saja panasnya sudah gak karuan. Para tetangga belum ada yang punya antena UHF saat itu karena mereka tidak ada yang memiliki inverter ini. Seingat saya di toko dekat rumah juga enggak ada yang jual inverter ini. 

Dengan datangnya listrik tahun 1994 maka ada kesempatan untuk memasang antena parabola. Para tetangga juga ada yang mulai memasang antena parabola. Antena UHF saya jual ke saudara saya karena saya merasa sudah tidak tahan dengan gambarnya yang penuh semut. Saat itu harga peralatan parabola relatif mahal.  Saya beli receiver yang belum ada remotenya. Kalau mau pindah channel seperti mencari siaran radio hanya kalau pakai parabola harus tahu juga polarisasinya vertikal atau horizontal. Lama-lama hapal juga kalau channel A di polarisasi vertikal dan B horizontal. Para tetangga yang datang menonton selalu berjubel tiap malam dan itu mengganggu saya yang sedang belajar karena mereka ribut sekali. Maklum karena itu hanya satu-satunya media hiburan. Acara favorit apalagi kalau bukan Siluman Ular Putih (SCTV) atau The Legend of The Condor Heroes (TPI). Waktu itu hanya ada satelit Palapa (maklum hanya punya dish parabola fix belum pakai aktuator) tapi siarannya lumayan banyak. Bahkan beberapa premium channel masih FTA seperti TNT and Cartoon Network (sempat FTA 1 tahun), HBO, Discovery Channel, CNN. Selain semua channel-channel lokal, ada juga channel-channel luar negeri seperti Perancis CFI, Filipina GMA, Malaysia TV3, Australia (ABC) yang logonya kayak angka 8 tidur, ABN (Asia Business News) yang mirip Bloomberg sekarang. TNT tayang malam hari mulai jam 7 kalau tidak salah. Isinya film-film Amerika klasik seperti Gone With The Wind. Kadang film-filmnya masih hitam putih. Cartoon Network mulai siaran jam 6 pagi setelah TNT tutup. Kartun yang paling saya suka waktu itu The Flintstones. Itu channel-channel luar negeri yang masih saya ingat. Beberapa channel masih hitam putih (seperti GMA) di pesawat TV saya karena menggunakan siaran format NTSC sementara TV saya hanya bisa menayangkan siaran PAL. CFI kadang berganti siaran dengan MCM beberapa jam yang merupakan channel khusus musik Perancis. GMA sering banget diacak jadi saya kurang begitu paham apalagi bahasanya menggunakan tagalog. ABC agak sering saya tonton karena ada acara dokter hewan yang merawat hewan-hewan sakit (saya lupa nama acaranya), ada juga sinetron Home and Away, dan acara Healthy Wealthy and Wise yang membahas gaya hidup sehat. Kadang juga ada cartoonnya. ABN nyaris tidak pernah saya lihat karena isinya angka-angka indeks saham dan komoditas yang saya kurang paham waktu itu. TV3 Malaysia lumayan bagus cuma kalau pas ada film barat atau Hongkong diacak. Anehnya kalau pas iklan langsung FTA. Kalau pas Imlek biasanya menayangkan film-film Hongkong yang bagus-bagus dan FTA. Waktu itu di Indonesia imlek belum menjadi hari besar. Acara lain yang masih saya ingat pula adalah Malaysia Hari Ini. Di akhir era analog ada satu stasiun TV India yang sempat mampir ke Palapa tapi sayang gambarnya kurang jelas. Sampai akhirnya saya coba menggerakkan manual ke barat dan timur. Ke barat saya cuma dapat 2 satelit Asiasat yang waktu itu ada channel Starsport masih FTA. Lumayan bisa nonton bola EPL gratis. Makin ke barat ada insat dengan channel-channel India. Ke timur ada channel-channel mandarin yang mungkin milik RRC (Chinasat?). Sampai kemudian receiver saya rusak tersambar petir. Saya serviskan bisa benar sebentar tapi kemudian rusak lagi. Lama kelamaan siaran-siaran TV di Palapa mulai bermigrasi ke digital hingga hilang satu per satu di receiver analog saya dan terpaksa saya balik ke antena UHF. Apalagi kemudian cukup pakai antena internal sudah bisa menikmati siaran TV UHF walaupun gambarnya tidak sejernih jika menggunakan antena eksternal. Oya di perpustakaan kampus saya dulu disediakan juga fasilitas parabola. Dishnya super gede (mungkin 24 feet) dan sudah pakai aktuator. Kalau lagi tidak ada tugas kuliah saya sering nonton di situ. Saya paling suka SonyTV (mungkin SET kalau sekarang?) karena banyak kartunnya (FTA). Sepertinya merelay dari Cartoon Network yang sudah diacak.

Setelah itu beberapa tahun vakum tidak utak utik parabola. Apalagi saat itu harga receiver digitalnya sangat mahal bisa jutaan rupiah. Tetangga-tetangga yang memiliki parabola juga sudah menjual dishnya ke pedagang besi tua keliling dengan harga murah. Dipikirnya siaran-siaran TV lewat parabola sudah berakhir padahal sebenarnya hanya berpindah format dari analog ke digital. Sampai akhirnya harga receiver parabola terus turun dan saya beli yang pertama merek M*T**K karena cuma merek itu yang ada di toko dekat rumah. Saya pakai 1 tahun rusak deh. Akhirnya saya pakai merek H**S*N malah 1 bulan koit. Berikutnya W**GS*T sama aja 1 tahun rusak. Ke-4 saya coba membeli yang lebih bagus yaitu DM500. Ternyata DM ini memiliki kemampuan lebih banyak dibandingkan receiver-receiver lain sebelumnya yang saya miliki. Kalau receiver- receiver sebelumnya hanya bisa menonton siaran FTA maka dengan DM bisa menonton siaran yang diacak baik dengan BISS, NDS, atau Irdeto. Kalau BISS cukup input key sementara NDS dan Irdeto harus lewat fly atau c*rd sh*ring (CS) . Saya sempat 1 tahun berlangganan CS tapi kemudian saya memilih berhenti karena server CS sering down dan menurut saya ribet. Kalau down bisa berhari-hari. Sebenarnya biaya berlangganan CS jauh lebih murah dibandingkan berlangganan paidTV sendiri. Waktu itu channel-channel Multi Choice yang paling menarik saya ada di intelsat 7/10. Ada channel-channel film dan bola dengan Super Sportnya. Apalagi kala itu ada masalah dengan siaran liga inggris di indonesia karena monopoli Astro. Teman-teman saya penggila bola sampai jauh-jauh datang ke rumah dini hari hanya sekedar buat nonton EPL di Super Sport . Mereka tidak mau berlangganan Astro yang mahal itu. Selain itu ada channel-channel tripel X (nama channelnya Test 1, 2, 3, dan 4 seperti dari Taiwan) di Telstar 18 yang membuat peminat CS makin banyak tapi sayang hanya sebentar sebelum menghilang karena pindah satelit. Sekitar 2 tahun kemudian DM saya rusak total digantikan G*tm*c*m HD karena mulai bermunculan channel-channel HD. Meski saya sudah lama tidak menggunakan CS tapi kayaknya sekarang masih banyak orang yang menggunakan CS meski menurut saya sudah tidak sepopuler dulu lagi. 
DM 500 (in memorian)


Pengalaman menarik lainnya saat mencoba mendapatkan satelit Yamal 202. Saat pertama Yamal booming saya sempat melihat sendiri punya teman di Kencong channel-channelnya memang bening-bening. Katanya sih yang diburu neng Irennya (channel RenTV) yang katanya ada film tripelnya pada waktu dini hari. Posisi dishnya sendiri udah nungging hampir 90 derajat ke barat. LNBnya harus diberi sekat dengan telenan yang sudah dipotong karena polarisasi Yamal circular (L/R) bukan linear. Kalau LNB sudah dipasang sekat begini biasanya transponder yang berpolarisasi linear akan turun SQ-nya. Berhari-hari tiap sore tracking Yamal cuma dapat beberapa TP dan 3 channel dan itupun gambarnya seperti VCD rusak. Sepertinya arah barat dish saya kurang bebas karena masih banyak pepohonan. Akhirnya saya lupakan Yamal.

Kini era antena UHF dan dish parabola telah lama berlalu di desa saya. Mungkin sudah ada 10 tahun ini peranannya diganti oleh TV kabel. Dengan biaya pasang sekarang Rp 200 ribu dan abonemen Rp 15 ribu/bulan semua orang di desa saya berlomba-lomba pasang TV kabel. Cukup murah dan gak pakai ribet seperti pasang parabola apalagi awal-awal siaran TV kabel juga menyiarkan banyak channel premium seperti ESPN, HBO, Cinemax, Star Movies, dll. Siapa yang tidak ngiler berlangganan? Sampai akhirnya ada isu banyak razia TV kabel yang menayangkan channel premium. Para pengusaha TV kabel pun banyak yang tiarap. Mereka hapus channel-channel premium mereka tetapi itu tidak lama. Sekarang operator TV kabel di desa saya sudah pasang kembali channel-channel premium. Saya lihat ada si BaimSemprot 1-2-3, NatGeo, Nicklelodeon, dan Sutarspot (total ada 50 channel). Sebenarnya asik juga dengan abonemen sangat murah sudah bisa menikmati channel-channel premium hanya saja kelemahan TV kabel masih menggunakan siaran analog. Dibandingkan parabola yang sudah digital MPEG jauh lebih bening menggunakan parabola. Selain itu kabelnya terlihat memperburuk pemandangan dengan penataan kabel yang kadang terkesan semrawut melewati pepohonan dan tiang listrik. Dulu pernah saya lihat ada kabelnya yang lepas dari tiang atau putus dan saya pas lewat dekat kabel itu. Untung saya tidak kesetrum. Kabel ini juga rawan tersambar petir. 

Kalau sekarang saya masih menggunakan parabola dengan receiver FTA G*tm*c*m. Sudah 3 tahun receiver itu menemani saya dan cuma saya gunakan untuk sekedar menonton siaran-siaran TV FTA dan sesekali BISS kalau ada yang share keysnya (biasanya buat menonton pertandingan bola). Heran ini receiver awet banget padahal prestasi saya selama ini paling lama pakai receiver cuma 1 tahun padahal istri saya kalau nonton TV bisa mulai pagi sampai malam. Kalau enggak ada BISS yang FTA saja dah bejibun mulai dari Telstar 18 sampai intelsat 17. Cukup pasang aktuator maka satelit yang bisa ditangkap lebih banyak. Hanya saja menurut pendapat saya aktuator mudah sekali rusak. Saya sudah menghabiskan kira-kira 3 aktuator. Awalnya pakai V*n*s baru 2 tahun dol (ini bahasa Jawa, gak tahu deh bahasa Indonesianya apa). Lalu ganti T*n*k* beli baru pakai di rumah langsung terbakar motornya saat mengangkat dish 9 feet. Kemudian dikasih H*ns*n lama oleh teman lumayan awet bisa hampir 2 tahun tapi kemudian motornya hangus terbakar. Saya juga melihat banyak orang yang memiliki dish-dish besar (sepertinya sisa era analog dulu) seperti tidak pernah digerakkan dishnya. Saya menduga aktuator mereka macet. Semakin besar dish maka beban yang dipikul aktuator akan semakin berat yang berarti biaya operasional dan maintenancenya akan semakin tinggi. Apalagi sekarang sudah bejibun operator paidTV. Dengan dish offset yang super mini sudah dapat puluhan channel premium. Nasib dish besar ke depan akan semakin suram. Mungkin hanya bagi yang hobi tracking satelit-satelit outbeam yang masih mau menggunakan dish-dish besar.

Sekarang posisi dish saya cuma ke Palapa doang karena saya sudah malas utak atik lagi. Berbagai perkembangan terbaru seperti receiver yang support pupu pun (P*werv*) atau tanbe*g saya sudah tidak begitu mengikutinya lagi. Saat ini saya lebih suka menghabiskan waktu dengan internet daripada TV. Mungkin suatu hari nanti jika internet sudah sangat murah dan kencang sekali mungkin era parabola atau TV kabel akan ditinggalkan. Dengan modal koneksi internet kita bisa menonton TV dari negara manapun tanpa dibatasi beam satelit. Di negara maju trennya sudah seperti itu. Dish-dish besar tidak hanya membuat pemandangan menjadi jelek tetapi juga biaya maintenancenya sangat tinggi. Dish di rumah juga kayaknya sudah tidak fokus lagi karena angin kencang yang sempat menerjang beberapa hari lalu tetapi saya biarkan saja. Malas harus naik-naik genteng apalagi udara sangat panas sekarang.


UPDATE 21-Mei-2017
Cepat atau lambat era televisi satelit atau teresterial akan berakhir. Teknologi internet akan menggantinya. Salah satu kelebihan internet adalah tidak dibatasi beam satelit. Kita bisa menonton stasiun TV yang disiarkan dari negara manapun dan kapanpun. Sekarang saya dan keluarga sudah sangat jarang menonton TV apalagi sejak tarif listrik naik tajam. Anak-anak juga lebih banyak melihat tayangan Youtube dibandingkan menonton TV sekarang.

No comments:

Post a Comment