Wednesday, March 30, 2016

Revolusi Layanan Angkutan Umum di Indonesia



     Jika menengok beberapa puluh tahun ke belakang maka akan terlihat revolusi besar-besaran pada pelayanan angkutan umum di Indonesia. Dulu semasa saya masih kecil ketika hanya beberapa gelintir orang yang memiliki kendaraan bermotor pribadi bisa dibilang angkutan umum adalah raja di jalan raya. Setiap saya dan keluarga akan pergi ke kota kecamatan sekedar berbelanja maka kami menggunakan angkudes padahal jarak ke kota tidaklah jauh hanya sekitar 7 km. Kami berangkat dulu naik sepeda pancal ke pasar desa kemudian kami titipkan sepeda pada salah seorang kenalan. Selanjutnya kami mencegat angkudes di depan pasar desa. Saya ingat tiap beberapa menit (mungkin sekitar 15 menit) selalu lewat satu angkudes namun biasanya selalu penuh sehingga tidak bisa mengangkut kami. Biasanya setelah 1-2 jam barulah kami bisa menemukan angkudes yang kosong. Orang-orang desa menyebut angkudes dengan colt. Mungkin karena saat itu mobil angkutan sebagian besar bermerek Colt. Angkudes ini bukanlah angkutan yang mengutamakan kenyamanan apalagi keamanan. Satu mobil angkudes yang idealnya hanya diisi 7 penumpang bisa diisi sampai 14 penumpang. Semua penumpang dan barang dijejalkan bak sarden dalam kaleng. Tempat duduk paling depan yang idealnya muat 2 orang bisa diisi 4 orang. Kalau ada polisi sedang patroli biasanya para penumpang disuruh tiarap sama sopirnya supaya tidak kelihatan Jangan berpikir tentang AC. Jadinya di dalam mobil panas dan pengapnya bukan main. Perjalanan 15 menit saja keringat sudah seperti orang habis kecebur sungai. Di dalam mobil sering masih disesaki dengan aneka tas belanjaan, ayam, bahkan ikan segar. Semua bau itu masih ditambah dengan bau asap, parfum, debu, keringat, dan bensin. Bagi yang tidak tahan bisa mabuk beneran dengan gejala pusing dan muntah-muntah. Sungguh sangat tidak nyaman apalagi ditambah dengan sikap kenek dan sopir yang kasar komplit sudah penderitaan menggunakan Angkudes masa lalu. Jelang saya SMA (sekitar tahun 90-an) seiring dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat maka makin banyak orang yang memiliki motor dan mobil. Rupanya si Angkudes ini juga mulai terkena dampaknya. Kalau semula bisa beroperasi dari subuh hingga jam 9 malam maka perlahan mereka mulai mengurangi jam beroperasi seiring dengan sepinya penumpang. Lewat jam 5 sore mereka sudah berhenti beroperasi. Begitu pula ritnya juga sudah sangat berkurang. Kalau semula tiap 15 menit selalu melihat angkudes lewat kini bisa molor ½ hingga 1 jam sehingga waktu ngetem di terminal jadi semakin panjang dan ini membuat para penumpang semakin tidak nyaman. Orang semakin malas menggunakan Angkudes ini. Apalagi sejak itu mulai muncul ojek yang dengan sigap mau mengantarkan penumpang sampai ke depan rumah membuat armada angkudes semakin berkurang. Terakhir saya menggunakan Angkudes tahun 1999 tatkala pulang dari Surabaya bersama-sama teman kampus. Teman-teman saya sempat heran melihat tarif angkudes yang sudah buruk pelayanannya masih mahal lagi. Untuk jarak rumah saya – Balung yang hanya 15 km tiap orang dikenakan Rp 3000 kala itu padahal uang segitu kalau dibelikan bensin premium bisa dapat 3 liter bensin yang kalau digunakan untuk naik motor bisa menempuh jarak rumah saya sampai ke kota Jember 3x bolak balik. Beberapa tahun kemudian saya melihat akhirnya ludes sudah armada angkudes Ambulu-Balung. Armada Angkudes yang biasanya berjajar-jajar ngetem di dekat jembatan Balung kini tinggal kenangan. Begitu juga Angkudes Ambulu – Ajung kini tinggal beberapa biji yang bisa dihitung jari yang masih bertahan. Padahal dulu terminal angkudes di alun-alun kecamatan Ambulu tidak pernah sepi penumpang dan Angkudes dari subuh sampai malam. Tiap beberapa menit sekali selalu terdengar suara dari speaker petugas terminal yang memberangkatkan angkudes. Bahkan kantor terminal Angkudes itu sudah tidak ada lagi sekarang. Lagi-lagi semua tinggal kenangan. Begitu juga dengan trayek-treyak Angkudes lain sudah banyak menghilang. Contoh dulu saat saya masih SMP ada trayek Ambulu-Puger lewat jalur selatan tapi sudah lama lenyap. Trayek Ambulu-Blater dan Ambulu-Watu Ulo juga sudah musnah. 


     Tak jauh dari juga ada terminal bus antar kota dalam propinsi. Terminal ini memang masih relatif baru. Dulunya bus-bus selalu ngetem di tengah kota kecamatan. Berhubung sering memenuhi jalan akhirnya mereka dibuatkan terminal sendiri yang jauh dari pusat kota. Pada masa saya masih kecil merupakan masa kejayaan bus AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi) ini. Mereka beroperasi mulai jam 2 dini hari hingga jam 9 malam. Tiap 15 menit selalu lihat bus lewat depan pasar desa. Kalau kami sekeluarga akan berwisata ke Surabaya (mengunjungi KBS-Kebun Binatang Surabaya) biasanya kami menggunakan bus ini. Kami berangkat jam 2 ini supaya saat sampai di Surabaya masih pagi. Jam 7 biasanya kami sudah tiba di Surabaya. Waktu itu terminal busnya masih di Jayabaya dan belum di Bungurasih (Purabaya). Tetapi usai krisis ekonomi 98 perlahan armada bus ini terus berkurang baik jumlah maupun trayeknya. Kalau dulu bisa sampai jam 9 malam beroperasi kini bus terakhir yang berangkat dari terminal di sini hanya sampai jam 12 siang. Sejumlah trayek juga sudah hilang. Dulu ada trayek Solo langsung dan juga Blitar-Trenggalek langsung tetapi kini telah lama tiada.



     Kini nasib angkutan umum memang semakin mengenaskan dan tidak menarik. Kemudahan memiliki kendaraan pribadi membuat orang lebih suka menyetir sendiri daripada naik angkutan umum. Dengan uang muka Rp 500 ribu orang sudah bisa membawa pulang motor baru dan dengan uang muka Rp 10 juta sudah bisa menyetir mobil baru nan kinclong. Akibatnya jalanan sekarang penuh dengan kendaraan pribadi. Kemacetan menjadi agenda harian. Bukan hanya di kota-kota besar tetapi di kota-kota kecil juga kemacetan menjadi pemandangan sehari-hari. Angka kecelakaan terus meningkat karena orang-orang yang tidak terampil menyetir "dipaksa" menyetir di jalan raya. Kalau dulu yang terlihat sering mengebut di jalan raya adalah anak-anak laki-laki dengan motor sport tetapi kini ibu-ibu dan remaja putri dengan motor maticnya kalau naik dah kayak di sirkuit balapan MotoGP saja. Saya pernah melihat anak perempuan SMU masih pakai seragam pulang sekolah naik motor matic kencang sekali. Saya coba hitung kecepatannya dengan cara membuntutinya di belakang. Ternyata kecepatannya sudah di atas 100 km/jam padahal itu anak tidak sedang menggunakan helm dan jaket. Coba kalau anak itu mengalami kecelakaan dan cacat atau meninggal. Siapa yang akan menanggung akibatnya? Sudah saatnya pemerintah merevitalisasi angkutan publik dan membatasi penggunaan kendaraan pribadi. Kalau melihat di tiap-tiap kecamatan ada bekas stasiun kereta api peninggalan Belanda dulu alangkah baiknya jika dihidupkan kembali (mimpi kali yeee...). Coba kalau masing-masing kecamatan memiliki 1 stasiun pasti akan menyenangkan kemana-mana naik KA (kayak di Jepang ya?). Tidak perlu susah payah menyetir yang kadang kantuk menyerang yang bisa berujung kecelakaan maut.

UPDATE: 28-03-2017
     Faktor lain yang menjadi penyebab semakin minimnya minat orang menggunakan kendaraan umum adalah keamanan. Sudah bukan hal baru jika angkutan umum syarat dengan kejadian kriminal. Kejadian tidak menyenangkan pernah saya alami dulu saat menggunakan bus kota di Surabaya. Waktu itu ada segerombolan copet yang naik ke atas bus. Mereka melewati penumpang yang sudah berdesakan di dalam bus. Alhasil STNK saya hilang. Orang yang berdiri di sebelah saya kehilangan dompet. Si sopir dan keneknya diam saja. Mungkin mereka takut juga karena gerombolan copet ini lebih banyak jumlahnya. Sampai sekarang ceritanya juga masih sama saja. Desember 2016 lalu waktu mau ke Surabaya, adik saya berpesan supaya jangan menggunakan bus umum. Saudara iparnya sudah 3x terkena gendam di dalam bus umum. Meskipun lebih mahal akhirnya saya lebih memilih menggunakan KA. PT KAI rupanya sudah melakukan revolusi besar-besaran terhadap armada gerbongnya. Terakhir kali naik KA tahun 2011 sudah beda sekali dengan sekarang. Dulu tahun 2011 naik menggunakan KA bisnis masih belum ada AC-nya tetapi sekarang ekonomi pun sudah pakai AC. Pelayanannya juga sangat profesional. Meskipun saya membayar lebih mahal dibandingkan naik bus tetapi saya merasa tidak rugi sama sekali. Seharusnya semua moda angkutan umum dikelola seperti ini. Padahal saya sempat berpikir naik KA ekonomi ntar masih kayak dulu harus berjejalan bahkan sampai berdiri segala malah penumpang sampai masuk lewat jendela segala. Ternyata semua sudah berubah menjadi jauh lebih baik. Salut untuk PT KAI yang mau berubah lebih baik. Rencana sih sekarang kalau pergi kemana-mana enak naik KA saja. Semoga ke depan semakin banyak dibuka jalur rel baru.

Gambar: terminal bus Ambulu kini (pribadi)

No comments:

Post a Comment