Ungkapan di atas saya kira cocok untuk pekerjaan atau usaha di bidang apapun
jua. Salah satunya yang dekat dengan kehidupan saya adalah dunia pertanian. Banyak
yang menganggap dunia pertanian selalu identik dengan kebodohan, kemiskinan,
dan keterbelakangan. Yah ini semua
berangkat dari suatu kenyataan bahwa mayoritas petani memang berpendidikan
rendah dan kebanyakan miskin. Para remaja sekarang semakin sedikit yang bersedia
terjun langsung ke dunia pertanian. Mereka lebih suka bekerja menjadi buruh
toko atau pabrik padahal sektor pertanian adalah pondasi penting kehidupan
sebuah bangsa karena yang menghidupi manusia adalah produk-produk pertanian. Lulusan
sarjana pertanian pun banyak yang lebih suka bekerja di belakang meja entah di
sektor perbankan, manajemen perkebunan besar milik asing, atau sekedar tenaga
administrasi.
Dunia
pertanian adalah dunia yang sangat dinamis. Salah satu yang membedakan dengan
sektor lain adalah besarnya konstribusi kekuatan alam dalam kesuksesan sebuah
budidaya pertanian. Meskipun faktor-faktor produksi budidaya sudah dipersiapkan
dengan matang namun jika musim berubah tidak seperti yang diharapkan maka semuanya
akan bisa berantakan. Seperti yang terjadi saat ini musim kemarau basah tengah
melanda desa saya. Bulan Juli 2016 yang seharusnya menjadi puncak musim kemarau
namun kini hujan mengguyur hampir setiap hari. Sebenarnya awal tahun ini sudah
ada warning dari BMKG akan adanya fenomenan La-Nina yang akan terjadi pada musim
kemarau ini. La-Nina akan menyebabkan curah hujan tinggi di atas normal. Fenomena
ini sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi. Tahun 2010 dan 2013 juga
terjadi hal yang sama. Waktu awal-awal musim kemarau ini banyak petani di sini masih
optimis jika musim kemarau ini akan normal. Rupanya mereka terbawa oleh keadaan
tahun lalu. Sepanjang tahun 2015 memang kemarau kering dan panas yang merupakan
fenomena El-Nino. Walaupun tidak menggunakan prediksi BMKG gejala-gejala La-Nina
sudah terasa sekali akan datang tahun ini. Awal musim kemarau yang normalnya
turun banyak kabut, tahun ini sama sekali tidak kabut. Padahal jika kemarau
normal, setiap pagi selalu muncul kabut tebal yang bergulung-gulung yang
membuat jarak pandang sangat terbatas (< 5 meter). Suhu minimal harian yang
biasanya jika kemarau normal bisa mencapai hingga 18’C sekarang minimal hanya
24’C atau lebih hangat. Angin muson yang biasanya bertiup kencang dari
Australia pada musim kemarau, tahun ini entah mengapa tidak kunjung datang.
Angin muson ini merupakan angin dingin, kencang, dan kering yang biasanya mulai
bertiup sekitar jam 9 pagi. Yang ada sekarang justru kadang-kadang datang tiupan angin panas.
Yang mengherankan saya adalah banyak petani yang masih memaksakan diri menanam
palawija di musim kemarau basah ini terutama tembakau karena mayoritas petani di
sini adalah petani tembakau. Tembakau adalah tanaman yang akan bermasalah
dengan hujan sekecil apapun.
1. Hujan terus menerus membuat lahan yang rendah jadi becek sepanjang waktu.
Ini akan menyulitkan petani untuk membajaknya karena lahan yang becek tidak
bisa dibajak untuk ditanami palawija karena bongkahan tanah akan lengket ke
mata bajak. Hingga akhir Juli hampir 50% lahan mangkrak sejak April lalu. Yang
tumbuh hanya rumput dan singgang (tunas padi dari tanaman sebelumnya). Berarti
sudah 3 bulan petani tidak mendapatkan penghasilan apapun padahal sebagian
besar petani mendapatkan lahan dengan cara menyewa dan Desember biasanya
kontrak sudah habis. Selama April-Desember normalnya petani bisa menanam 2
komoditas secara berurutan, biasanya tembakau yang diikuti dengan jagung namun kini
berhubung April hingga kini lahan mangkrak maka kemungkinan besar petani akan
kehilangan 1 komoditas dengan asumsi hujan terus menerus ini akan cepat
berhenti.
2. Hujan
terus menerus membuat palawija tidak bisa tumbuh optimal. Contoh untuk tembakau
rasio penyulaman di awal musim tanam akan sangat tinggi karena banyak yang
mati. Pada hawa yang lembab terus menerus tembakau rentan terserang jamur,
virus, dan bakteri. Tanaman yang terserang jamur dan bakteri biasanya tidak
lama kemudian akan mati namun yang terserang virus akan bisa hidup terus hanya
saja menjadi kerdil. Sekarang sudah saya lihat dimana-mana tembakau petani
keriting karena terserang virus ini. Untuk mengurangi serangan virus ini banyak
petani menyiasati
dengan tidak memupuk sama sekali tanamannya. Persentase
serangan virus keriting ini memang bisa
berkurang tetapi tanaman jadi tidak bisa tumbuh subur sehingga daunnya
tidak bisa lebar. Setelah tumbuh setinggi 1,5 m biasanya langsung muncul bunga yang
menunjukkan fase akhir vegetatif sehingga jumlah daunnya sedikit sekali atau
turun hampir 50% dari tanaman normal. Hujan menyebabkan tanaman tembakau tidak
tumbuh merata pada lahan yang sama meskipun dengan usia tanam yang sama. Akibatnya
saat petik daun, kualitas yang dihasilkannya akan sangat beragam dalam satu
nomor daun. Ini akan berakibat menyulitkan proses sortasi dan grading saat
penjualan nanti. Absennya kabut juga membuat daun tembakau kurang bisa elastis
saat pengeringan. Hujan juga membuat tanaman tembakau menjadi sukulen dan jika
dikeringkan di gudang akan memerlukan banyak kayu bakar padahal kayu bakar
tidaklah murah. Masalah lainnya yang biasanya muncul di gudang antara lain daun
membusuk, warna tidak sesuai harapan, dan tidak berbobot. Serentetan masalah
itu sebenarnya bukan hal baru bagi petani yang sudah lama berkecimpung dalam
budidaya tembakau dan solusinya hanyalah dengan menanam saat musim benar-benar
ideal. Toh masih banyak komoditas lain yang bisa ditanam dengan aman di musim
kemarau basah ini semisal jagung. Memang nilai ekonomis jagung tidak seberapa
tetapi hanyalah jagunglah yang paling tahan menghadapi musim yang tidak
menentu. Yang membuat saya tidak habis pikir mengapa mereka ngotot menanam saat
musim sedang tidak bersahabat? Mengapa mereka sedemikan “kepala batu”nya?
Paradigma “musim harus ikut kemauan saya bukannya saya harus ikut kemauan musim”
masih terasa kental rupanya dalam keyakinan diri mereka.
Tembakau tidak bisa tumbuh seragam |
Padahal
kebanyakan petani menggunakan modal budidaya yang berasal dari hutang di bank
yang notabene dengan suku bunga yang tinggi. Mengapa mereka tidak belajar dari
kesalahan-kesalahan pengalaman-pengalaman masa lalu? Mengapa mereka selalu
mengulang-ulang kesalahan yang sama? Mengapa mereka terus menerus selalu jatuh
ke lubang yang sama? Mengapa mereka tidak mau belajar dari kesalahan yang telah
lalu? Bukankah pengalaman adalah guru terbaik? Itulah sebabnya para petani
banyak yang tidak bisa membangun pondasi modal. Tiap akan memulai menanam
sesuatu mereka selalu hutang dulu. Kalau tidak hutang mereka sama sekali tidak
memiliki modal. Mereka selalu mulai dari nol. Kalau begini kapan akan tinggal
landas? Coba lihat kantor-kantor bank yang biasa memberikan kredit, di awal
musim tanam (sekitar Maret-Mei) selalu berjubel dengan petani yang antri untuk
pencairan dana. Orang tua saya sendiri pernah datang ke bank pukul 13 dan baru
dicairkan sekitar pukul 19. Itupun masih nanti masih ditambah potongan biaya
administrasi, biaya materai, biaya BPJS-TK, biaya inilah itulah, dll sehingga
seandainya pinjam Rp 10 juta pulang ke rumah paling hanya bisa mengantongi Rp
9,5 juta sementara bank tahunya mereka meminjamkan Rp 10 juta dan mereka akan menghitung
bunga dari angka itu.
Bunga untuk sektor pertanian juga jauh lebih tinggi dibandingkan sektor lain
semisal perdagangan. Seorang petani tidak akan bisa melunasi hutangnya jika
belum panen padahal panen butuh waktu. Paling cepat taruhlah komoditas yang
ditanamnya membutuhkan waktu 4 bulan baru panen maka selama 4 bulan itu petani
tidak bisa mencicil. Bank akan memberlakukan bunga akumulasi. Jadi bunga pada
bulan pertama akan ditambahkan jumlah kredit awal lalu dihitung sebagai kredit
baru pada awal bulan kedua. Begitu seterusnya atau dengan kata lain bunga
berbunga beranak bercucu bercicit. Kalau dunia dagang umumnya setiap bulan
mereka bisa mencicil karena mereka sudah bisa mendapatkan pendapatan sejak hari
pertama mereka beroperasi sehingga bunganya hanya dihitung per 1 bulan dengan demikian
perhitungan total bunganya lebih rendah dari sektor pertanian. Inilah yang
banyak tidak disadari petani. Mereka sudah digerogoti oleh sistem perbankan
tanpa belas kasihan. Waktu beberapa bulan lalu saya meminjam uang di bank
langganan kebetulan kepala banknya ganti. Yang sebelumnya saya sudah kenal baik
tetapi kepala bank yang baru ini berbeda dengan sebelumnya. Setiap kreditur
saat akan pencairan ada semacam tes wawancara padahal sebelumnya bertahun-tahun
pinjam di bank ini juga tidak pernah seperti itu. di akhir tes pak kepala ini
berpesan bahwa mereka cuma ingin petani bisa melunasi hutangnya tepat waktu
atau jauh sebelum jatuh tempo. Dia juga menekankan jika bank tidak mau tahu
petani gagal panen atau apapun yang penting lunas. Titik! Duh serasa saya
sedang tidak berhadapan dengan seorang bankir tetapi lebih seorang rentenir. Apa
sih beda bankir dan rentenir kalau begini? Padahal di dunia bank ada risk
seandainya kredit mereka macet. Saya yakin mereka tahu itu. Itulah seharusnya
bank melakukan screening calon kreditur dari awal. Yang agak aneh dan tidak
habis pikir, menurut saya adalah mengapa jumlah plafon kredit diberikan hanya
berdasar atas luas tanam dan bukan agunan? Ada calon kreditur memiliki agunan
yang nilainya kecil tetapi berhubung luas tanamnya besar maka mendapatkan
kredit yang besar padahal kalau kredit macet agunan yang dijual atau dilelang
tidak cukup untuk menutup besarnya kredit.
Wajar jika pihak bank kini semakin memperketat pemberian kredit khususnya kepada
para petani tembakau. Apalagi saya melihat beberapa kali bank sempat mengalami
kredit macet untuk petani dengan jumlah luar biasa. Saya pernah mengalami
pengalaman sendiri mengajukan kredit ke bank tahun 2014 yang sama sekali tidak
ada kaitannya dengan budidaya tembakau namun berhubung banknya sedang mengalami
kemacetan kredit yang luar biasa karena petani tembakau banyak yang menunggak
akibat musim yang tidak menentu, tanpa sebab yang jelas pengajuan kredit saya
tidak diproses hingga 1 tahun yang kemudian terpaksa saya batalkan. Padahal
saya adalah kreditor dengan histori kredit yang excellent karena sama sekali
tidak pernah menunggak sejak pertama kali mengambil kredit selama
bertahun-tahun. Bahkan meskipun belum jatuh tempo sering sudah saya lunasi. Ibaratnya
saya kena getahnya meskipun tidak ikut menikmati nangkanya. Saya kira penting
untuk memperhitungkan antara kemampuan dan kemauan. Jangan sampai seperti
istilah nafsu besar tenaga kurang. Begitu bank menagih kredit kepada mereka
yang sudah jatuh tempo, mereka malah tidak mau kooperatif dan menghindar. Tidak
ada yang salah dengan mengambil resiko tetapi bantalan pelindung juga tak kalah
penting peranannya supaya kalau terjatuh tidak terasa terlalu sakit. Sudah tiba saatnya para petani tidak hanya belajar membudidayakan tanaman tetapi juga bersikap sebagai investor dengan menjadikan pengalaman sebagai bahan pelajaran untuk mengambil keputusan yang lebih baik di tengah perubahan iklim global yang tidak menentu.
No comments:
Post a Comment