Thursday, August 4, 2016

Pengalaman Adalah Guru Terbaik



     Ungkapan di atas saya kira cocok untuk pekerjaan atau usaha di bidang apapun jua. Salah satunya yang dekat dengan kehidupan saya adalah dunia pertanian. Banyak yang menganggap dunia pertanian selalu identik dengan kebodohan, kemiskinan, dan  keterbelakangan. Yah ini semua berangkat dari suatu kenyataan bahwa mayoritas petani memang berpendidikan rendah dan kebanyakan miskin. Para remaja sekarang semakin sedikit yang bersedia terjun langsung ke dunia pertanian. Mereka lebih suka bekerja menjadi buruh toko atau pabrik padahal sektor pertanian adalah pondasi penting kehidupan sebuah bangsa karena yang menghidupi manusia adalah produk-produk pertanian. Lulusan sarjana pertanian pun banyak yang lebih suka bekerja di belakang meja entah di sektor perbankan, manajemen perkebunan besar milik asing, atau sekedar tenaga administrasi. 


     Dunia pertanian adalah dunia yang sangat dinamis. Salah satu yang membedakan dengan sektor lain adalah besarnya konstribusi kekuatan alam dalam kesuksesan sebuah budidaya pertanian. Meskipun faktor-faktor produksi budidaya sudah dipersiapkan dengan matang namun jika musim berubah tidak seperti yang diharapkan maka semuanya akan bisa berantakan. Seperti yang terjadi saat ini musim kemarau basah tengah melanda desa saya. Bulan Juli 2016 yang seharusnya menjadi puncak musim kemarau namun kini hujan mengguyur hampir setiap hari. Sebenarnya awal tahun ini sudah ada warning dari BMKG akan adanya fenomenan La-Nina yang akan terjadi pada musim kemarau ini. La-Nina akan menyebabkan curah hujan tinggi di atas normal. Fenomena ini sebenarnya bukan yang pertama kali terjadi. Tahun 2010 dan 2013 juga terjadi hal yang sama. Waktu awal-awal musim kemarau ini banyak petani di sini masih optimis jika musim kemarau ini akan normal. Rupanya mereka terbawa oleh keadaan tahun lalu. Sepanjang tahun 2015 memang kemarau kering dan panas yang merupakan fenomena El-Nino. Walaupun tidak menggunakan prediksi BMKG gejala-gejala La-Nina sudah terasa sekali akan datang tahun ini. Awal musim kemarau yang normalnya turun banyak kabut, tahun ini sama sekali tidak kabut. Padahal jika kemarau normal, setiap pagi selalu muncul kabut tebal yang bergulung-gulung yang membuat jarak pandang sangat terbatas (< 5 meter). Suhu minimal harian yang biasanya jika kemarau normal bisa mencapai hingga 18’C sekarang minimal hanya 24’C atau lebih hangat. Angin muson yang biasanya bertiup kencang dari Australia pada musim kemarau, tahun ini entah mengapa tidak kunjung datang. Angin muson ini merupakan angin dingin, kencang, dan kering yang biasanya mulai bertiup sekitar jam 9 pagi. Yang ada sekarang justru kadang-kadang datang tiupan angin panas. 


     Yang mengherankan saya adalah banyak petani yang masih memaksakan diri menanam palawija di musim kemarau basah ini terutama tembakau karena mayoritas petani di sini adalah petani tembakau. Tembakau adalah tanaman yang akan bermasalah dengan hujan sekecil apapun. 
1. Hujan terus menerus membuat lahan yang rendah jadi becek sepanjang waktu. Ini akan menyulitkan petani untuk membajaknya karena lahan yang becek tidak bisa dibajak untuk ditanami palawija karena bongkahan tanah akan lengket ke mata bajak. Hingga akhir Juli hampir 50% lahan mangkrak sejak April lalu. Yang tumbuh hanya rumput dan singgang (tunas padi dari tanaman sebelumnya). Berarti sudah 3 bulan petani tidak mendapatkan penghasilan apapun padahal sebagian besar petani mendapatkan lahan dengan cara menyewa dan Desember biasanya kontrak sudah habis. Selama April-Desember normalnya petani bisa menanam 2 komoditas secara berurutan, biasanya tembakau yang diikuti dengan jagung namun kini berhubung April hingga kini lahan mangkrak maka kemungkinan besar petani akan kehilangan 1 komoditas dengan asumsi hujan terus menerus ini akan cepat berhenti.

2. Hujan terus menerus membuat palawija tidak bisa tumbuh optimal. Contoh untuk tembakau rasio penyulaman di awal musim tanam akan sangat tinggi karena banyak yang mati. Pada hawa yang lembab terus menerus tembakau rentan terserang jamur, virus, dan bakteri. Tanaman yang terserang jamur dan bakteri biasanya tidak lama kemudian akan mati namun yang terserang virus akan bisa hidup terus hanya saja menjadi kerdil. Sekarang sudah saya lihat dimana-mana tembakau petani keriting karena terserang virus ini. Untuk mengurangi serangan virus ini banyak petani menyiasati
Tembakau tidak bisa tumbuh seragam
dengan tidak memupuk sama sekali tanamannya. Persentase serangan virus keriting ini memang bisa  berkurang tetapi tanaman jadi tidak bisa tumbuh subur sehingga daunnya tidak bisa lebar. Setelah tumbuh setinggi 1,5 m biasanya langsung muncul bunga yang menunjukkan fase akhir vegetatif sehingga jumlah daunnya sedikit sekali atau turun hampir 50% dari tanaman normal. Hujan menyebabkan tanaman tembakau tidak tumbuh merata pada lahan yang sama meskipun dengan usia tanam yang sama. Akibatnya saat petik daun, kualitas yang dihasilkannya akan sangat beragam dalam satu nomor daun. Ini akan berakibat menyulitkan proses sortasi dan grading saat penjualan nanti. Absennya kabut juga membuat daun tembakau kurang bisa elastis saat pengeringan. Hujan juga membuat tanaman tembakau menjadi sukulen dan jika dikeringkan di gudang akan memerlukan banyak kayu bakar padahal kayu bakar tidaklah murah. Masalah lainnya yang biasanya muncul di gudang antara lain daun membusuk, warna tidak sesuai harapan, dan tidak berbobot. Serentetan masalah itu sebenarnya bukan hal baru bagi petani yang sudah lama berkecimpung dalam budidaya tembakau dan solusinya hanyalah dengan menanam saat musim benar-benar ideal. Toh masih banyak komoditas lain yang bisa ditanam dengan aman di musim kemarau basah ini semisal jagung. Memang nilai ekonomis jagung tidak seberapa tetapi hanyalah jagunglah yang paling tahan menghadapi musim yang tidak menentu. Yang membuat saya tidak habis pikir mengapa mereka ngotot menanam saat musim sedang tidak bersahabat? Mengapa mereka sedemikan “kepala batu”nya? Paradigma “musim harus ikut kemauan saya bukannya saya harus ikut kemauan musim” masih terasa kental rupanya dalam keyakinan diri mereka.

     Padahal kebanyakan petani menggunakan modal budidaya yang berasal dari hutang di bank yang notabene dengan suku bunga yang tinggi. Mengapa mereka tidak belajar dari kesalahan-kesalahan pengalaman-pengalaman masa lalu? Mengapa mereka selalu mengulang-ulang kesalahan yang sama? Mengapa mereka terus menerus selalu jatuh ke lubang yang sama? Mengapa mereka tidak mau belajar dari kesalahan yang telah lalu? Bukankah pengalaman adalah guru terbaik? Itulah sebabnya para petani banyak yang tidak bisa membangun pondasi modal. Tiap akan memulai menanam sesuatu mereka selalu hutang dulu. Kalau tidak hutang mereka sama sekali tidak memiliki modal. Mereka selalu mulai dari nol. Kalau begini kapan akan tinggal landas? Coba lihat kantor-kantor bank yang biasa memberikan kredit, di awal musim tanam (sekitar Maret-Mei) selalu berjubel dengan petani yang antri untuk pencairan dana. Orang tua saya sendiri pernah datang ke bank pukul 13 dan baru dicairkan sekitar pukul 19. Itupun masih nanti masih ditambah potongan biaya administrasi, biaya materai, biaya BPJS-TK, biaya inilah itulah, dll sehingga seandainya pinjam Rp 10 juta pulang ke rumah paling hanya bisa mengantongi Rp 9,5 juta sementara bank tahunya mereka meminjamkan Rp 10 juta dan mereka akan menghitung bunga dari angka itu.


     Bunga untuk sektor pertanian juga jauh lebih tinggi dibandingkan sektor lain semisal perdagangan. Seorang petani tidak akan bisa melunasi hutangnya jika belum panen padahal panen butuh waktu. Paling cepat taruhlah komoditas yang ditanamnya membutuhkan waktu 4 bulan baru panen maka selama 4 bulan itu petani tidak bisa mencicil. Bank akan memberlakukan bunga akumulasi. Jadi bunga pada bulan pertama akan ditambahkan jumlah kredit awal lalu dihitung sebagai kredit baru pada awal bulan kedua. Begitu seterusnya atau dengan kata lain bunga berbunga beranak bercucu bercicit. Kalau dunia dagang umumnya setiap bulan mereka bisa mencicil karena mereka sudah bisa mendapatkan pendapatan sejak hari pertama mereka beroperasi sehingga bunganya hanya dihitung per 1 bulan dengan demikian perhitungan total bunganya lebih rendah dari sektor pertanian. Inilah yang banyak tidak disadari petani. Mereka sudah digerogoti oleh sistem perbankan tanpa belas kasihan. Waktu beberapa bulan lalu saya meminjam uang di bank langganan kebetulan kepala banknya ganti. Yang sebelumnya saya sudah kenal baik tetapi kepala bank yang baru ini berbeda dengan sebelumnya. Setiap kreditur saat akan pencairan ada semacam tes wawancara padahal sebelumnya bertahun-tahun pinjam di bank ini juga tidak pernah seperti itu. di akhir tes pak kepala ini berpesan bahwa mereka cuma ingin petani bisa melunasi hutangnya tepat waktu atau jauh sebelum jatuh tempo. Dia juga menekankan jika bank tidak mau tahu petani gagal panen atau apapun yang penting lunas. Titik! Duh serasa saya sedang tidak berhadapan dengan seorang bankir tetapi lebih seorang rentenir. Apa sih beda bankir dan rentenir kalau begini? Padahal di dunia bank ada risk seandainya kredit mereka macet. Saya yakin mereka tahu itu. Itulah seharusnya bank melakukan screening calon kreditur dari awal. Yang agak aneh dan tidak habis pikir, menurut saya adalah mengapa jumlah plafon kredit diberikan hanya berdasar atas luas tanam dan bukan agunan? Ada calon kreditur memiliki agunan yang nilainya kecil tetapi berhubung luas tanamnya besar maka mendapatkan kredit yang besar padahal kalau kredit macet agunan yang dijual atau dilelang tidak cukup untuk menutup besarnya kredit.




     Wajar jika pihak bank kini semakin memperketat pemberian kredit khususnya kepada para petani tembakau. Apalagi saya melihat beberapa kali bank sempat mengalami kredit macet untuk petani dengan jumlah luar biasa. Saya pernah mengalami pengalaman sendiri mengajukan kredit ke bank tahun 2014 yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan budidaya tembakau namun berhubung banknya sedang mengalami kemacetan kredit yang luar biasa karena petani tembakau banyak yang menunggak akibat musim yang tidak menentu, tanpa sebab yang jelas pengajuan kredit saya tidak diproses hingga 1 tahun yang kemudian terpaksa saya batalkan. Padahal saya adalah kreditor dengan histori kredit yang excellent karena sama sekali tidak pernah menunggak sejak pertama kali mengambil kredit selama bertahun-tahun. Bahkan meskipun belum jatuh tempo sering sudah saya lunasi. Ibaratnya saya kena getahnya meskipun tidak ikut menikmati nangkanya. Saya kira penting untuk memperhitungkan antara kemampuan dan kemauan. Jangan sampai seperti istilah nafsu besar tenaga kurang. Begitu bank menagih kredit kepada mereka yang sudah jatuh tempo, mereka malah tidak mau kooperatif dan menghindar. Tidak ada yang salah dengan mengambil resiko tetapi bantalan pelindung juga tak kalah penting peranannya supaya kalau terjatuh tidak terasa terlalu sakit. Sudah tiba saatnya para petani tidak hanya belajar membudidayakan tanaman tetapi juga bersikap sebagai investor dengan menjadikan pengalaman sebagai bahan pelajaran untuk mengambil keputusan yang lebih baik di tengah perubahan iklim global yang tidak menentu.

No comments:

Post a Comment