Sebenarnya
sudah sekali saya ingin menulis dengan tema ini. Ya judulnya memang menggunakan
tanda tanya karena saya melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi di
lingkungan kita terkadang bertentangan dengan apa yang sudah menjadi keyakinan
kita semua. Semua orang tentu sudah sangat mengetahui jika tangan di atas jauh
lebih baik daripada tangan di bawah. Akan tetapi marilah kita semua melihat lebih
dekat realitas kehidupan masyarakat di sekeliling kita. Benar bahwa kita akan
melihat orang-orang terbelah ke dalam 2 kelompok. Kelompok yang pertama
merupakan penganut tangan dibawah lebih baik daripada tangan di atas sementara
kelompok kedua adalah sebaliknya.
Saya memiliki teman seorang yang mempunyai toko alat tulis. Suatu malam
datanglah seorang pengamen ke tokonya. Bukannya mengamen tetapi alih-alih orang
itu ternyata mau menukarkan uang receh yang didapatkan dari hasil mengamen.
Sambil menghitung uang recehnya si pengamen dengan bangga bercerita jika dalam
1 jam paling sepi dia bisa meraup Rp 50 ribu. Saya tidak bisa membayangkan, itu
penghasilan dia saat sepi bagaimana jika pas ramainya? Bisa Rp 100 ribu/jam
atau lebih mungkin. Padahal si pengamen itu tidak sedang mengamen di kota besar
tetapi dari desa ke desa. Padahal upah buruh di AS sekarang masih ada yang yang
$7/jam belum dipotong pajak. Berarti gaji si pengamen ini lebih besar daripada
buruh di AS. Itu kalau dia mengamen 1 jam, kalau misal 6-8 jam/hari dia
mengamen berapa lagi yang akan dia bisa dapatkan? Angkanya pasti fantastis dan
semakin fantastis jika dihitung per bulannya. Padahal buruh tani di tempat saya
hanya dibayar maksimal Rp 40 ribu (kalau tidak dikasih makan) atau Rp 30 ribu
(jika dikasih makan) per hari. Sungguh lumrah jika semakin hari populasi para
pengamen ini semakin banyak. Dulu rasa-rasanya orang mengamen paling-paling
hanya 1x/bulan sekarang sudah hampir tiap hari. Yang lebih unik lagi para
pengamen itu juga “pasang tarif”. Kalau di desa rata-rata orang kasih Rp 1000
bahkan ada yang bersedia kasih Rp 5000 - 10 ribu. Padahal orang yang kasih Rp 5 ribu ke
pengamen itu kalau memperkerjakan buruh upah per jamnya juga tidak sampai Rp 5
ribu. Padahal orang mengamen sering hanya gonjrang ganjreng tidak jelas tidak sampai 1
menit. Pernah suatu kali saya lihat pas di rumah mertua, saudara ipar saya yang
masih kecil kasih pengamen Rp 500 eh.. si pengamen malah marah-marah sama anak kecil
itu. Ya tidak semua pengamen mungkin seperti itu tetapi kalau di tempat saya demikianlah adanya.
Mungkin ada yang bilang cari kerja susah sekarang. Kalau tidak mau berusaha sungguh-sungguh memang susah. Tetangga saya sebut saja bapak SR suatu
hari ada pengamen datang ke depan rumahnya. Setelah menyanyi pak SR ini
mengajak si pengamen ngobrol-ngobrol sejenak. Setelah mengobrol kesana kemari
pak SR tanya-tanya apakah si pengamen memiliki pekerjaan lain selain mengamen.
Mereka menjawab tidak ada. Lantas pak SR menawarkan apakah mereka mau bekerja
di tempatnya dengan syarat mereka tidak ngamen lagi? Mereka menjawab bersedia.
Nah, dari cerita ini sebenarnya kalau mau berusaha mencari kerja saya yakin
pasti ada lowongan. Dimana ada kemauan di situ ada jalan. Untungnya kok saat
itu pas bertemu dengan pak SR yang sedang membutuhkan tenaga kerja.
Beberapa tahun lalu (mungkin sekitar 2002) saya pulang dari Surabaya dengan naik bus
umum dan saat berhenti di sebuah terminal ada seorang pengemis masih muda
meminta-minta kepada saya. Yang aneh dengan si pemuda itu adalah dia menerapkan
tarif yaitu Rp 500. Aneh mengemis kok pakai tarif? Alasannya dia lagi kehabisan
uang dan ingin pulang ke kampungnya. Saya tidak begitu saja mempercayai
omongannya. Dia masih terus membuntuti saya dan mengikuti kemana saya pergi.
Saya merasa risih sekali dan tak lama kemudian kelihatannya dia menyerah. Saya
kemudian makan di sebuah rumah makan. Tak beberapa lama kemudian saya melihat
sekelebatan pemuda itu melewati depan rumah makan. Saya menduga dia mau ke
toilet. Didorong oleh rasa penasaran saya cepat-cepat keluar dari rumah makan
dan membuntutinya dari jauh. Dia berhenti di depan toilet. Bukan buat buang air
tetapi dia malah mengeluarkan dompet dan sebuah buntalan besar dari balik
bajunya. Saya melihat dengan mata kepala sendiri ratusan lembaran uang Rp
500-an dihitung oleh pemuda itu satu per satu dengan teliti. Untung saja dia
tidak melihat saya. Kalau saya hitung uang yang dia miliki jauu..uh lebih besar
daripada yang saya miliki di dalam dompet saya saat itu.
Sikap dan
mental masyarakat kita yang masih suka dianggap orang miskin itulah yang
menjadikan sebuah persoalan tersendiri. Coba lihat saat pendataan warga GAKIN.
Tiba-tiba semua orang khususnya di sini mendadak merasa menjadi orang miskin sehingga merasa layak mendapatkan BLT. Anehnya kalau kemudian mereka dicap sebagai orang miskin
mereka akan marah besar atau merasa terhina. Lho jadi mereka itu sebenarnya
miskin atau tidak? Yah seperti ada tetangga yang motor punya 3, sebuah mobil,
dan perabot lux tetapi bisa terdaftar sebagai GAKIN. Lho kok bisa? Ya tentu
bisa. Kriteria GAKIN yang tidak jelas
dan pendataan yang asal-asalan menjadi salah satu bukti gagalnya program
bantuan pemerintah untuk GAKIN. Hanya karena rumah berlantai tanah lantas serta
merta langsung dimasukkan menjadi warga miskin padahal di depan rumah sudah
jelas nongkrong mobil pribadi, di garasi ada 3 motor bagus, perabot rumah
tangga serba mewah, bisa makan enak setiap hari, dll. Masihkah orang seperti
itu bisa dianggap sebagai GAKIN? Bukti lain gagalnya program GAKIN ini lihat
kartu-kartu KIS yang cuma ada nama tanpa NIK. Akhirnya kartu-kartu ini sering
dipakai oleh orang-orang yang tidak berhak bahkan ada seorang RW yang “menjual”
kartu-kartu KIS PBI ini kepada warga yang mampu. Akhirnya yang terjadi
munculnya konflik horisontal antar warga. Warga miskin yang merasa berhak akan
merasa didiskriminasi karena tidak mendapatkan haknya yang ujung-ujungnya akan
iri hati terhadap warga yang lebih mampu namun justru bisa mendapatkan
kartu-kartu bantuan pemerintah itu.
No comments:
Post a Comment