Sunday, December 18, 2016

Ketika Tangan Di Bawah Lebih Baik Daripada Tangan Di Atas?


Sebenarnya sudah sekali saya ingin menulis dengan tema ini. Ya judulnya memang menggunakan tanda tanya karena saya melihat apa yang sebenarnya tengah terjadi di lingkungan kita terkadang bertentangan dengan apa yang sudah menjadi keyakinan kita semua. Semua orang tentu sudah sangat mengetahui jika tangan di atas jauh lebih baik daripada tangan di bawah. Akan tetapi marilah kita semua melihat lebih dekat realitas kehidupan masyarakat di sekeliling kita. Benar bahwa kita akan melihat orang-orang terbelah ke dalam 2 kelompok. Kelompok yang pertama merupakan penganut tangan dibawah lebih baik daripada tangan di atas sementara kelompok kedua adalah sebaliknya.

Saya memiliki teman seorang yang mempunyai toko alat tulis. Suatu malam datanglah seorang pengamen ke tokonya. Bukannya mengamen tetapi alih-alih orang itu ternyata mau menukarkan uang receh yang didapatkan dari hasil mengamen. Sambil menghitung uang recehnya si pengamen dengan bangga bercerita jika dalam 1 jam paling sepi dia bisa meraup Rp 50 ribu. Saya tidak bisa membayangkan, itu penghasilan dia saat sepi bagaimana jika pas ramainya? Bisa Rp 100 ribu/jam atau lebih mungkin. Padahal si pengamen itu tidak sedang mengamen di kota besar tetapi dari desa ke desa. Padahal upah buruh di AS sekarang masih ada yang yang $7/jam belum dipotong pajak. Berarti gaji si pengamen ini lebih besar daripada buruh di AS. Itu kalau dia mengamen 1 jam, kalau misal 6-8 jam/hari dia mengamen berapa lagi yang akan dia bisa dapatkan? Angkanya pasti fantastis dan semakin fantastis jika dihitung per bulannya. Padahal buruh tani di tempat saya hanya dibayar maksimal Rp 40 ribu (kalau tidak dikasih makan) atau Rp 30 ribu (jika dikasih makan) per hari. Sungguh lumrah jika semakin hari populasi para pengamen ini semakin banyak. Dulu rasa-rasanya orang mengamen paling-paling hanya 1x/bulan sekarang sudah hampir tiap hari. Yang lebih unik lagi para pengamen itu juga “pasang tarif”. Kalau di desa rata-rata orang kasih Rp 1000 bahkan ada yang bersedia kasih Rp 5000 - 10 ribu. Padahal orang yang kasih Rp 5 ribu ke pengamen itu kalau memperkerjakan buruh upah per jamnya juga tidak sampai Rp 5 ribu. Padahal orang mengamen sering hanya gonjrang ganjreng tidak jelas tidak sampai 1 menit. Pernah suatu kali saya lihat pas di rumah mertua, saudara ipar saya yang masih kecil kasih pengamen Rp 500 eh.. si pengamen malah marah-marah sama anak kecil itu. Ya tidak semua pengamen mungkin seperti itu tetapi kalau di tempat saya demikianlah adanya. 

Mungkin ada yang bilang cari kerja susah sekarang. Kalau tidak mau berusaha sungguh-sungguh memang susah. Tetangga saya sebut saja bapak SR suatu hari ada pengamen datang ke depan rumahnya. Setelah menyanyi pak SR ini mengajak si pengamen ngobrol-ngobrol sejenak. Setelah mengobrol kesana kemari pak SR tanya-tanya apakah si pengamen memiliki pekerjaan lain selain mengamen. Mereka menjawab tidak ada. Lantas pak SR menawarkan apakah mereka mau bekerja di tempatnya dengan syarat mereka tidak ngamen lagi? Mereka menjawab bersedia. Nah, dari cerita ini sebenarnya kalau mau berusaha mencari kerja saya yakin pasti ada lowongan. Dimana ada kemauan di situ ada jalan. Untungnya kok saat itu pas bertemu dengan pak SR yang sedang membutuhkan tenaga kerja. 

Beberapa tahun lalu (mungkin sekitar 2002) saya pulang dari Surabaya dengan naik bus umum dan saat berhenti di sebuah terminal ada seorang pengemis masih muda meminta-minta kepada saya. Yang aneh dengan si pemuda itu adalah dia menerapkan tarif yaitu Rp 500. Aneh mengemis kok pakai tarif? Alasannya dia lagi kehabisan uang dan ingin pulang ke kampungnya. Saya tidak begitu saja mempercayai omongannya. Dia masih terus membuntuti saya dan mengikuti kemana saya pergi. Saya merasa risih sekali dan tak lama kemudian kelihatannya dia menyerah. Saya kemudian makan di sebuah rumah makan. Tak beberapa lama kemudian saya melihat sekelebatan pemuda itu melewati depan rumah makan. Saya menduga dia mau ke toilet. Didorong oleh rasa penasaran saya cepat-cepat keluar dari rumah makan dan membuntutinya dari jauh. Dia berhenti di depan toilet. Bukan buat buang air tetapi dia malah mengeluarkan dompet dan sebuah buntalan besar dari balik bajunya. Saya melihat dengan mata kepala sendiri ratusan lembaran uang Rp 500-an dihitung oleh pemuda itu satu per satu dengan teliti. Untung saja dia tidak melihat saya. Kalau saya hitung uang yang dia miliki jauu..uh lebih besar daripada yang saya miliki di dalam dompet saya saat itu.


Sebenarnya dari DINSOS sudah sejak lama ada himbauan agar tidak memberikan uang kepada pengemis dan pengamen tetapi namanya juga himbauan haregene siapa yang peduli? Wong yang berupa larangan + ada dendanya saja orang tidak peduli atau takut. Program BLT atau BALSEM sebenarnya bertujuan untuk mengurangi populasi pengemis dan pengamen ini tetapi lagi-lagi semua berpulang kepada mental masing-masing individu. Kalau memang mentalnya sudah mental mengemis mau dia punya uang segunung juga bakalan akan mengemis terus. Malah beberapa waktu lalu di TV saya melihat ada sebuah desa yang seluruh penduduknya berprofesi sebagai pengemis di kota. Kalau di dalam ajaran Islam sudah jelas kalau orang-orang yang suka mengemis meskipun sebenarnya mampu bekerja dan berusaha akan dibangkitkan di hari kiamat dalam keadaan muka tanpa daging yang berarti Islam secara tegas melarang perbuatan mengemis. Yang parah lagi adalah orang-orang yang malah menggunakan agama untuk mengemis. Mereka berpakaian layaknya pak ustadz membawa-bawa map berisi surat permintaan sumbangan pembangunan masjid yang sudah jelas-jelas fiktif. Sebagai sesama muslim saya malu melihat sesama umat memiliki mental seperti itu.

Sikap dan mental masyarakat kita yang masih suka dianggap orang miskin itulah yang menjadikan sebuah persoalan tersendiri. Coba lihat saat pendataan warga GAKIN. Tiba-tiba semua orang khususnya di sini mendadak merasa menjadi orang miskin sehingga merasa layak mendapatkan BLT. Anehnya kalau kemudian mereka dicap sebagai orang miskin mereka akan marah besar atau merasa terhina. Lho jadi mereka itu sebenarnya miskin atau tidak? Yah seperti ada tetangga yang motor punya 3, sebuah mobil, dan perabot lux tetapi bisa terdaftar sebagai GAKIN. Lho kok bisa? Ya tentu bisa.  Kriteria GAKIN yang tidak jelas dan pendataan yang asal-asalan menjadi salah satu bukti gagalnya program bantuan pemerintah untuk GAKIN. Hanya karena rumah berlantai tanah lantas serta merta langsung dimasukkan menjadi warga miskin padahal di depan rumah sudah jelas nongkrong mobil pribadi, di garasi ada 3 motor bagus, perabot rumah tangga serba mewah, bisa makan enak setiap hari, dll. Masihkah orang seperti itu bisa dianggap sebagai GAKIN? Bukti lain gagalnya program GAKIN ini lihat kartu-kartu KIS yang cuma ada nama tanpa NIK. Akhirnya kartu-kartu ini sering dipakai oleh orang-orang yang tidak berhak bahkan ada seorang RW yang “menjual” kartu-kartu KIS PBI ini kepada warga yang mampu. Akhirnya yang terjadi munculnya konflik horisontal antar warga. Warga miskin yang merasa berhak akan merasa didiskriminasi karena tidak mendapatkan haknya yang ujung-ujungnya akan iri hati terhadap warga yang lebih mampu namun justru bisa mendapatkan kartu-kartu bantuan pemerintah itu. 

No comments:

Post a Comment