Tuesday, December 17, 2019

Hipotensi Nan Misterius


     Awalnya entah mengapa tubuh ini mendadak lemas tak bertenaga hampir setiap hari. Dugaan awal mungkin saya sudah terkena Diabetes. Kebetulan di rumah ada alat pengukur gula darah yang tidak pernah dipakai (Elvas*nse). Saya pun kemudian mencoba menggunakan alat ini untuk mengukur kadar gula dalam darah. Hasilnya ternyata dugaan saya meleset. Kadar gula darah normal-normal saja contoh kadar gula saat puasa 80 (normal 100). Saya pun terpaksa harus mengesampingkan dugaan Diabetes ini. Sampai kemudian tibalah waktu melakukan donor darah dan jreng jreng pas diperiksa tensi cuma 90! Jadilah acara donor gagal total. Baru kali ini saya mendengar dan melihat tensi saya cuma 90! Padahal biasanya saat donor paling rendah 110. Duh mak ini tubuh kenapa sih sebenarnya?! Saya pun mencoba menganalisis. Logikanya tekanan darah ditentukan oleh kekuatan jantung saat memompa maka spontan dugaan pun mengarah ke jantung. Saya pun meminjam tensimeter digital milik kakak dan saya pantau terus menerus selama 3 hari berturut-turut yang hasilnya sistole maksimal memang cuma 100-an. Sebenarnya sistole 100 belum bisa dikategorikan sebagai hipotensi (<90) tetapi bagi saya sudah cukup membuat kepala kliyengan/pusing.
     Tanpa berlama-lama 3 hari kemudian saya memeriksakan diri ke poli jantung di RS. Saat diukur tensi di sana 130. Lho kok malah jadi naik? Jadi makin bingung saya. Setelah melakukan EKG saya pun menghadap sang dokter jantung. Saya ceritakan semua keluhan selama ini dan dokter pun kemudian melakukan USG jantung cukup lama. Hasilnya? Jantung anda baik-baik saja! Dokter pun cuma memberikan resep trimetazidine yang tidak saya tebus. Lha kalau jantung baik-baik saja mengapa saya harus minum obat juga? Apakah kalau tidak dikasih obat seolah-olah tidak ada hasilnya” dari RS? Biasanya kan pandangan orang-orang Indonesia begitu? Di rumah saya coba baca hasil EKG berulang-ulang dengan panduan Google. Memang benar tidak ada yang aneh dengan hasilnya.
     Pulang bukannya mendapatkan pencerahan tetapi malah semakin bingung. Saya pun cuma pasrah. Sampai suatu ketika hari Jumat pagi saya berangkat joging seperti biasanya tetapi ada yang aneh. Badan seperti ogah diajak berlari. Sebentar-sebentar saya berhenti dan bukan cuma itu saya sempat BAB sampai 2x dengan kuantitas (maaf) yang lumayan. Jadilah saya DNF, jelang pulang 1 km dari rumah saya lebih memilih berjalan. Badan terasa kaku yang mungkin disebabkan dehidrasi atau entah kenapa. Tiba di rumah pun saya buru-buru mandi tetapi anehnya air terasa begitu dingin dan saya menggigil. Sontak saya berpikir: demam tifoid! Kebetulan saya cukup sering terkena penyakit ini jadi paham sekali gejala-gejala awalnya. Usai mandi saya lebih memilih tiduran dan sambil beraktivitas sedikit. Suhu tubuh pun terus merangkak naik. Sorenya saya pun ambruk. Badan demam menggigil. Seperti biasanya saya pun segera menghajarnya dengan Levofloxacin tetapi saya lupa kalau obat ini punya banyak efek samping yang tidak menyenangkan. Benar saya pun sukar tidur, pusing, dan semakin lemas. Saya hanya dapat bertahan dengan Levofloxacin selama 2 hari saja.
     Hari Senin demam sudah menurun dan saya pun terpaksa mengganti Levofloxacin dengan Thyamphenicol yang saya anggap lebih minim efek samping. Hampir sepekan saya sangat membatasi aktivitas walaupun tidak bed rest total. Demam tifoid yang biasanya sembuh tidak sampai sepekan kini jadi lebih lama. Walaupun sudah saya anggap sembuh tetapi ternyata belum 100%. Badan masih sangat lemas dan pusing. Kalau berjalan kadang mendadak pengen jatuh. Dari pemeriksaan tekanan darah lagi-lagi hasilnya maksimal cuma 100. Saya tidak bisa menyimpulkan apakah hipotensi ini disebabkan oleh demam tifoid ini atau yang lainnya? Joging pun terpaksa libur 10 harian. Sebuah liburan joging terpanjang yang pernah saya alami. Saya merasakan perkembangan kesembuhan yang sangat lambat walaupun nafsu makan terus membaik. Bagian terburuknya adalah istri mulai membatasi frekuensi joging dari 2 hari sekali menjadi 3 hari sekali. Ah benar-benar sudah jatuh tertimpa tangga pula!
     Saya rasakan hipotensi kali ini memang aneh. Biasanya hipotensi disertai dengan denyut jantung yang cepat (palpitasi) tetapi denyut jantung saya malah di bawah 60 bpm alias normal-normal saja (karena biasanya juga segitu). Saya coba mencari-cari lewat internet bagaimana 
cara mengatasi hipotensi ini. Ada yang menyarankan diet tinggi garam. Jadilah saya mulai memperbanyak konsumsi keripik-keripik asin tetapi hasilnya tetap nol. Lalu ada yang menyarankan minum kopi. Kebetulan saya memang tidak suka kopi karena kopi selalu membuat lambung saya bermasalah. Akhirnya nekad juga minum kopi dan memang ada hasilnya tetapi cuma 1-2 jam badan terasa segar. Habis itu badan balik lemas lagi.  Mana kopi bikin saya susah tidur lagi! Sampai tulisan ini dibuat (21 Desember 2019) tetap saja lemas masih terus menyerang. Saya hanya mencoba bertahan sebisa mungkin setiap hari.

UPDATE 2020:
Ternyata hingga 2020 hipotensi ini kadang masih terus menyerang. Saya coba mengkonsumsi suplemen ini itu mulai dari Habatussauda, madu, ekstrak kulit manggis dan bahkan multivitamin seperti En*rvon C namun lagi-lagi hasilnya nol besar. Sekali lagi saya jadi teringat akan garam. Saya coba sekali lagi tetapi kali ini bukan dengan memakan makanan-makanan asin tetapi dengan minum air garam. Jadinya tiap minum teh saya tambahkan garam. Jelang tidur malam saya minum air garam sedikit. Enggak perlu banyak-banyak cukup beberapa butir garam saja asal rutin dan hasilnya memang cukup ampuh buat menaikkan tensi. Kalau tensi sudah berasa normal konsumsi garam langsung saya stop.  Saya hanya menduga bahwa aktivitas olahraga lari yang saya lakukan telah menguras "stok garam" di dalam tubuh. Buktinya usai olahraga banyak butiran garam di leher dan lengan. Jadi buat yang mengalami hipotensi tak usah minum obat yang aneh-aneh (kecuali atas saran dokter), coba aja konsumsi garam secara teratur. 

No comments:

Post a Comment