Beberapa hari
ini dimana-mana orang meributkan harga cabai merah besar yang sudah mencapai Rp
100 ribu. Hmmm.. sepertinya bukan kali ini aja harga cabai melambung setinggi
langit jadi bagi saya bukanlah hal yang mengagetkan. Lagipula saya tidak suka
pedas jadi tidak masalah mau harga cabai Rp 1 juta/kg. mungkin banyak yang
berpikir enak dong petani cabainya sekarang? Hehe petani cabai yang mana? Setahu
saya semua lahan cabai di tempat saya sudah musnah diterjang banjir kemarin. Semua
lahan pertanian sekarang sudah berubah menjadi tanaman padi. Musim yang semakin
tidak menentu membuat budidaya cabai semakin sulit. Saat ini tidak jelas apakah
ini musim kemarau atau penghujan. Dibilang musim penghujan kok debu
dimana-mana? Untuk mengairi padi di sawah saja banyak yang menggunakan pompa
karena air irigasi tidak mencukupi. Dibilang kemarau kok hujan masih saja turun
meski hanya berupa gerimis. Pada kondisi seperti ini sangat sulit
membudidayakan tanaman apapun dengan baik. Contoh saja jagung yang bisa
dikatakan sebagai tanaman bandel akhir tahun 2016 hancur lebur semuanya karena
diterjang banjir. Jagung yang masih bertahan dan selamat dari banjir kemudian
dihajar angin kencang hampir seminggu yang membuatnya roboh. Padahal budidaya cabai
jauh lebih rewel dibandingkan jagung. Contoh untuk varietas cabai ada 2 macam,
khusus untuk musim penghujan atau kemarau saja. Memang ada varietas yang bisa
keduanya tetapi hasilnya tidak sebagus yang hanya untuk satu musim saja. Kalau musimnya
enggak jelas begini petani cabai mau menanam varietas yang mana? Bingung kan? Bentar
panas bentar hujan. Selain itu dengan tingkat stress yang tinggi akan membuat cabai
rentan terserang penyakit terutama pathek. Penyakit ini sangat cepat menyerang.
Dalam semalam buah cabai bisa busuk dan membuatnya nyaris tidak berharga. Itulah
sebabnya budidaya cabai selalu menelan ongkos yang besar untuk pestisida. Bisa dibilang
hampir 40% pengeluaran budidaya digunakan untuk membeli pestisida. Itulah sebabnya
mengkonsumi cabai itu sebenarnya sama dengan mengkonsumsi pestisida. Sudah lazim
kalau pagi disemprot sore dipetik. Wajar cabai kita sering tidak lolos ekspor
karena kandungan pestisida selangit. Itulah sebabnya kalau membeli cabai segar
saya sering merasa ngeri karena saya tahu kalau bahan makanan yang saya beli
itu sarat dengan pestisida yang sudah sangat jelas merusak kesehatan. Tetapi kita
mau bilang apa? Kenyataan di lapangan cabai memang sangat rentan terserang hama
dan penyakit. Belum lagi perilaku petani yang banyak tidak mempedulikan aturan
penggunaan pestisida. Makin pekat makin baik. Saya pernah mendengar ada petani
mengeluh tanaman cabainya mati. Mereka pikir itu karena terserang penyakit. Setelah
dianalisis lebih dalam baru ketahuan kalau penyebabnya adalah karena terlalu
banyak terkena pestisida.
Kalau saya
pengen masak yang pedas-pedas yah pakai cabai kering saja seperti B*ncab*. Toh
rasanya sama pedesnya. Kalau di negara-negara lain warganya tidak terlalu
mafhum dengan cabai segar sehingga kalau tidak ada cabai segar mereka sudah
biasa menggunakan cabai bubuk. Kalau masyarakat kita sepertinya masih belum terbiasa
menggunakan cabai bubuk. Cabai sebenarnya relatif mudah dibudidayakan. Memang beberapa
varietas rentan penyakit (biasanya varietas hibrida atau introduksi). Kalau pengen
menghemat pengeluaran untuk cabai bisa menanam sendiri di dalam pot. Cukup beli
cabai cabai merah atau rawit lalu kupas dan jemur bijinya. Semaikan lalu tanam
di dalam pot. Sirami dengan teratur dan kalau di dalam pot jangan menggunakan
pupuk kimia karena akan membuat medianya cepat mengeras. Gunakan saja pupuk
kompos atau pupuk kandang. Kalau ada hama misal aphids ambil saja secara
manual. Anda tidak ingin meracuni makanan sendiri dengan pestisida kan? Selamat membudidayakan cabai di rumah!
No comments:
Post a Comment