Sepanjang
2015 kemarau panjang dan keras menerjang desa saya. Kronologisnya dimulai pada
April 2015. Saat itu sedang musim panen padi. Cuaca April yang tahun-tahun
sebelumnya cerah panas mendadak tahun 2015 hujan deras setiap hari. Bulir-bulir
padi yang sudah waktunya dipanen jadi terlambat dipanen. Akhirnya banyak yang
rontok sementara yang masih di malai terkena paparan hujan terus menerus
sebagian mulai berkecambah. Ada juga yang membusuk apalagi jika batang padinya
roboh sehingga terendam air. Gabah yang dijemur meski belum kering benar
terpaksa langsung dimasukkan karung. Hasilnya ketika diselep menghasilkan beras
bermutu rendah karena banyak yang pecah. Usai panen padi jerami yang tersisa di
sawah lambat mengering dan banyak yang membusuk. Selain itu tanah yang tertutup
di bawah jerami juga ikutan lambat kering. Idealnya Mei sudah tanam tembakau
jadi molor Juni 2015 meski lahan belum kering benar akibatnya tanaman tembakau
gampang diserang penyakit tular tanah. Ditambah dengan guyuran abu gunung Raung
membuat kualitas daun tembakau jelek dan berujung harga terjun bebas. Harga
tembakau yang tahun-tahun sebelumnya bisa mencapai Rp 10 juta/kwt jatuh hingga
hanya Rp 1 juta padahal BEP Rp 3-4 jutaan. Selain itu batang tembakau tidak bisa
tinggi alias jumlah daunnya sedikit karena telat tanam. Jadi petani tembakau sudah jatuh
tertimpa tangga.
Abu gunung Raung pada daun tembakau |
Usai tembakau bagi lahan yang memiliki belik atau posisi dekat sungai maka mereka masih bisa bertanam jagung hibrida. Rupanya El Nino menyebabkan suplai air sungai menurun
tajam. Lahan saya yang setiap tahun selalu mendapat jatah air sungai tahun 2015
tidak lagi. Air sungai sudah habis 1 km di utara saya. Terpaksa menggunakan
belik tapi mata air belik sangat minim. Perhitungan saya untuk mengairi lahan jagung
1 ha butuh waktu hampir 2 minggu jika menggunakan pompa air diesel padahal
tahun-tahun kemarin paling parah 4-5 hari sudah selesai. Biaya BBM untuk pompa
juga membengkak karena pompa menyedot air jauh di bawah. Cuaca kering panas
juga membuat budidaya sayuran seperti bunga kol, terong, dan tomat rawan
diserang hama parah. Serangan ulat tritip (Plutella xylostella) pada bunga kol mengganas. Belasan
insektisida dengan aneka bahan aktif berbeda tidak mempan. Begitu juga serangan
kutu kebul pada terong membuat buahnya penuh dengan bercak cokelat. Sementara
serangan aphid dan thrips pada tomat juga tidak kalah mengerikan. Hampir semua
daunnya keriting dan menggulung. Orang tua saya tanam mentimun cuma dapat
beberapa kali petik. Selebihnya tanaman cepat sekali mati karena kuwalahan leb.
Mentimun ¼ ha aja leb bisa membutuhkan waktu berhari-hari. Leb dari timur ke barat. Belum
sampai di bagian paling barat, yang bagian paling timur sudah kering duluan.
Parahnya lagi mentimun tidak laku akhirnya cuma dibagikan ke tetangga-tetangga.
Di lahan lain orang tua saya menanam cabai rawit. Sebenarnya sudah saya ingatkan agar tidak menanam rawit karena boros air tetapi mereka nekad. Benar ternyata 100% tanaman rawitnya mati kekeringan. Sebenarnya di situ ada belik tetapi airnya sangat kecil sekali. Dalam sehari penuh mungkin hanya bisa mengairi 5 baris. Sungai irigasi juga tidak mengalir. Uang ratusan ribu yang sudah diinvestasikan untuk membeli bibit cabai rawit pun amblas. Di bekas cabai rawit itu kemudian ditanami kacang tanah dengan asumsi tidak memerlukan banyak air tetapi ternyata salah timing. Begitu kacang tanah sudah masuk waktunya panen hujan turun terus menerus. Kacang tanah jadi susah dicabut. Saya membantu mencabut dan memang luar biasa sulit. Diperlukan tenaga besar dan kuat. Jadilah terpaksa harus menyewa tenaga laki-laki yang kuat. Lahan 1/4 bau (1 bau = 7000 m2) baru selesai 3 hari penuh mencabut. Masalah lain tanahnya lembek sehingga lengket pada kacangnya. Terpaksa membawa power sprayer untuk membersihkan kacang. Mulai pagi sampai sore power sprayer beroperasi tanpa henti dan menghabiskan banyak BBM. Selain itu masih membutuhkan banyak tenaga kerja untuk memotong kacang dari tangkainya dan tenaga menyemprot bulir-bulir kacangnya. Di rumah pekerjaan masih belum selesai. Kacang harus dipetik dari tangkainya. Lagi-lagi harus memperkerjakan banyak tenaga. Karena uang sudah habis terpaksa menggunakan sistem bawon 1:10. Tiap mendapat 10 kg kacang pekerja dikasih 1 kg. Pekerjaan berlanjut menjemur kacang. Berhubung cuaca masih sering hujan, menjemur kacang memakan waktu 10 hari sendiri! Usai kacang kering dimasukkan ke dalam zak dan dicarikan pedagang. Sialnya harganya jatuh. Kata pedagangnya kalau musim hujan harga kacang tanah turun. Gak tau deh bener atau enggak. Lagipula saya juga sudah masa bodoh mau murah atau tidak laku. Kesimpulan akhir: budidaya kacang tanah rugi total.
Akhir November sudah mulai turun hujan meski curah hujannya masih rendah dan
banyak petani yang berpendapat mungkin musim hujan sudah tiba padahal biasanya
awal November sudah masuk musim hujan. Mereka dengan tergesa-gesa membuat
persemaian padi. Hasilnya awal Desember hingga akhir Januari cuaca malah kering
kerontang. Persemaian padi banyak yang hangus kekurangan air. Yang selamat
terserang blast. Ada sedikit petani yang nekad membajak lahan tengah Januari dan
kemudian mengairinya mati-matian untuk bertanam padi. Mengapa saya katakan mati-matian? Karena
saking keringnya tanah dan cuaca seberapa banyak air yang digelontorkan ke
lahan semuanya seperti lenyap ditelan bumi. Hanya menyisakan warna sedikit
gelap dan lembab. Itupun biasanya cuma bertahan 2 hari. Sesudahnya tanah
kembali kering dan terasa sangat panas jika diinjak dengan kaki telanjang. Untuk
mengairi lahan ¼ ha aja bisa menghabiskan 20 lt premium/hari. Hitung sendiri
biaya total BBM-nya. Untuk menanam padi 1 ha bisa menghabiskan waktu 3 hari
penuh karena orang-orang yang tandur harus menunggu dibajak dulu karena
pembajakan harus dilakukan mendadak. Begitu diairi harus langsung dibajak
karena kalau tidak, air akan amblas terus ke dalam tanah yang lebih dalam. Awal
Februari hujan mulai turun dengan lebat. Usia bibit padi yang sudah terlalu tua
dan penuh dengan blast akhirnya terpaksa ditanam. Jelang tengah Februari cuaca
mulai mengering kembali hingga artikel ini dibuat (jelang akhir Februari).
Susah sekali menggenangi lahan. Lahan bisa tergenang tapi cuma sebentar. Esok kering
kembali. Akibatnya gulma cepat sekali tumbuh meski sudah dikendalikan dengan
herbisida. Kini masalah baru muncul. Karena bibit yang ditanam sudah terlalu
tua maka banyak petani mencoba menggunakan pupuk urea berlebihan untuk
memperbanyak anakan. Hasilnya malah padi rentan terserang penyakit. Serangan
blast dan kresek (bakteri) luar biasa. Macam-macam pestisida sudah diaplikasikan
tapi memang susah memulihkan tanaman yang sudah terlanjur terserang. Usia tanam
padi para petani sekarang kebanyakan belum 40 HST tapi banyak padi yang sudah
mulai mengeluarkan malai tapi malainya pendek. Pertanda produktivitas padi
tahun ini (2016) akan merosot. (bersambung)
Padi 2016 |
No comments:
Post a Comment