Selain
tiram putih dan merang, ada beberapa spesies jamur konsumsi dan obat yang
sempat saya budidayakan rentang 2001-2005.
1. Tiram Cokelat (P. cystidiosus)
Awal saya tertarik dengan spesies ini karena secara kualitas jamur ini
di atas tiram putih yang sudah lama kondang. Waktu itu kebetulan saya dikasih
oleh teman. Tubuh buahnya yang tebal dan empuk membuat jamur ini sangat ideal
untuk dijadikan hidangan sup atau oseng-oseng. Bahkan gagangnya juga empuk.
Beda dengan gagang tiram putih yang ulet. Budidayanya sedikit lebih sulit dari
tiram putih karena ternyata jamur ini memiliki masa inkubasi yang agak panjang
sekitar 2 bulan. Bandingkan dengan tiram putih yang hanya sebulan. Karena masa
inkubasi yang panjang itu membuat tiram cokelat mudah terserang jamur liar
sehingga persentase kontaminasi tinggi. Kelebihan lain jamur ini relatif tahan
panas sehingga lebih cocok bila dibudidayakan di dataran rendah. Daya tahan
pasca panennya juga OK. Sayangnya jamur ini kurang disukai pasar karena
warnanya yang kurang menarik (kusam). Selain itu produktivitas rendah. Dalam 1
baglog saya cuma bisa panen 2x sementara tiram putih bisa 6x. Yang membedakan
spesies ini dengan tiram abu-abu (P. pulmonaris) adalah adanya bintik-bintik
kehitaman di miselium (coremia) yang pada tiram abu-abu tidak ada.
2. Tiram abu-abu (P. pulmonaris)
Tiram abu-abu juga sedikit lebih sulit dibudidayakan dibandingkan tiram
putih. Spesies ini memerlukan suhu lebih sejuk (lebih rendah dari tiram putih)
untuk memunculkan primordia. Pada dataran rendah jamur ini memiliki
produktivitas rendah. Pengalaman saya bobot tubuh buahnya ringan sehingga kurang menguntungkan untuk skala komersial terkecuali jika bisa mendapatkan harga sangat bagus. Selain itu
kekurangan yang mencolok dari jamur ini adalah daya tahan pasca panen yang sangat rendah sehingga susah dikirim jauh. Daya tahannya lebih rendah dari tiram
putih. Warnanya juga kurang menarik. Yang aneh dari jamur ini adalah jika tubuh
buahnya membusuk maka akan terbentuk banyak primordia di atasnya. Stamets
mengatakan hal itu sebagai “biologically uncontrolled”.
3. Tiram pink (P. djamor)
Untuk spesies ini saya tidak pernah membudidayakannya langsung. Saya
hanya melihatnya tumbuh liar di tumpukan zak berisi serbuk kayu. Yang paling
mengesankan dari spesies ini adalah warnanya yang menawan bagi siapapun yang
melihatnya. Sayangnya warna pink-nya akan semakin memudar seiring bertambahnya usia tubuh buah jamur. Saya pernah baca di Trubus jika spesies ini sangat populer di
Malaysia karena selain warnanya cantik juga memiliki tekstur yang lebih lembek
yang mungkin sesuai dengan lidah orang-orang sana.
4. Kuping (Auricularia sp)
Kendala utama di dataran rendah adalah kelembaban yang rendah sehingga
harus rajin menyiram karena tubuh buah jamur kuping tidak tahan dengan
kelembaban rendah. Tubuh buah dengan mudah mengering begitu kelembaban turun.
Selain itu serapan pasar relatif kecil. Jauh lebih kecil dibandingkan tiram
putih. Dalam 1 bulan rata-rata dulu saya hanya menjual maksimal 3 kg kering di
pasar dekat rumah. Saya pernah juga mengirimnya ke Surabaya tapi di sana harga
dihancurkan oleh jamur kuping impor dari Cina. Kata beberapa orang kuping Cina
lebih gurih, enak, dan tipis dibanding produk lokal.
5. Shiitake (L. edodes)
Ini termasuk spesies jamur yang susah dibudidayakan di dataran rendah.
Di tempat saya hanya Juli-Agustus mampu memunculkan tubuh buah. Itupun saya
pakai strain koshin, kalau pakai dongko mungkin malah gak bakalan bisa
memunculkan tubuh buah sama sekali padahal kualitas dongko lebih bagus. Tubuh
buahnya kurus dan kecil-kecil. Masa Inkubasi dan dormansi sangat panjang mencapai 3 bulan.
Akibatnya sangat rawan kontaminasi baik pada masa inkubasi ataupun growing.
Saya pernah melihat sendiri di Batu (Jatim) banyak baglog shiitake pekebun terserang
green mold saat growing. Padahal kalau tiram putih bisa dibilang aman serangan jamur jika sudah masuk tahap growing. Serapan pasar jamur ini juga rendah karena selain
banyak orang yang belum mengenal jamur ini juga harganya yang aduhai. Sekilo
jamur shiitake kering bisa mencapai ratusan ribu rupiah kualitas bagus.
Aromanya mirip jengkol jadi buat para penggemar jengkol jamur ini bakalan pasti
jadi favorit. Pasar bagi pekebun lokal masih berat karena gempuran shiitake
dari Cina. Dulu saya pernah baca ada seorang importir shiitake bisa mendatangkan shiitake kering hanya Rp 70 rb padahal pekebun kita harus menjualnya di atas Rp 100 ribu supaya dapat laba. Bahkan para pekebun di Jepang dan Korea sudah lama banyak yang
bertumbangan karena banjir shiitake dari Cina.
6. Lingzhi (G. lucidum)
Jamur ini termasuk jamur berkhasiat obat. Jamur ini mengandung germanium
organik. Germanium mampu mengikat oksigen lebih banyak dalam darah. Jika
direbus, air rebusan berasa agak pahit dengan aroma seperti kayu. Saya pernah
membudidayakan 1 ruangan dengan tiram dan walhasil sporanya mencemari tiram
putih. Tudung tiram yang berwarna putih berubah menjadi merah kecokelatan. Memang
waktu itu strain yang saya budidayakan termasuk strain berspora. Belakangan
sesudah tidak membudidayakan Lingzhi baru tahu saya kalau ada strain non spora. Strain non spora ini lebih tebal tudungnya. Limbah baglog jamur ini termasuk sulit ditangani karena seolah tidak akan
pernah membusuk. Mulai pinhead sampai dengan siap panen jamur ini memerlukan
waktu lebih kurang 3 bulan. Untuk pasar masih sangat kecil. Jadi buat yang
membudidayakan sebaiknya lihat pasarnya dengan jeli. Ada baiknya anda memiliki
kontrak dengan perusahaan farmasi atau jamu atau diolah sendiri. Jamur ini jika anda jual segar di
pasar dekat rumah tentu tidak akan ada yang beli. Beda dengan tiram putih.
Pengalaman buruk saya yang hanya asal memproduksi jamur tapi tidak memiliki
pasar yang jelas akhirnya 2 zak jamur lingzhi kering saya kasihkan gratis ke
seorang teman di Surabaya. Saya suruh dia menjualnya dan mengambil semua
uangnya.
7. Himematsutake (A. braziliensis)
Dulu dikenal A. blazei murril. Jamur ini selain bisa dikonsumsi juga
bisa berguna sebagai obat. Aroma miseliumnya seperti almond. Saya mendapatkan
kultur ini dari lab ITB. Pertama saya buat bibitnya kemudian saya inokulasikan
ke kompos. Kompos ini saya buat dari kotoran sapi yang sudah agak lama. Jamur ini sebenarnya bisa dibudidayakan di
serbuk kayu (Stamets) cuma saya belum pernah mencobanya. Propagasi miselumnya
cukup lama. Spesies ini termasuk sulit dibudidayakan. Sudah 2x saya membeli
kultur dari ITB yang berarti 2x ujicoba budidaya semuanya gagal. Tidak ada
tubuh buah yang muncul. Miselium entah kenapa mati sendiri. Masih penasaran sih
ingin membudidayakannya lagi lain kali.
Berhubung sebelum 2005 saya belum memiliki kamera baik digicam atau
kamera ponsel maka saya tidak bisa menghadirkan gambar-gambarnya di sini.
Gambar-gambar di atas sebagian saya copy dari buku Paul Stamets.
Pustaka
No comments:
Post a Comment