Monday, February 29, 2016

Pengalaman Membudidayakan Aneka Jamur Konsumsi dan Obat


Selain tiram putih dan merang, ada beberapa spesies jamur konsumsi dan obat yang sempat saya budidayakan rentang 2001-2005.

1.       Tiram Cokelat (P. cystidiosus)
Awal saya tertarik dengan spesies ini karena secara kualitas jamur ini di atas tiram putih yang sudah lama kondang. Waktu itu kebetulan saya dikasih oleh teman. Tubuh buahnya yang tebal dan empuk membuat jamur ini sangat ideal untuk dijadikan hidangan sup atau oseng-oseng. Bahkan gagangnya juga empuk. Beda dengan gagang tiram putih yang ulet. Budidayanya sedikit lebih sulit dari tiram putih karena ternyata jamur ini memiliki masa inkubasi yang agak panjang sekitar 2 bulan. Bandingkan dengan tiram putih yang hanya sebulan. Karena masa inkubasi yang panjang itu membuat tiram cokelat mudah terserang jamur liar sehingga persentase kontaminasi tinggi. Kelebihan lain jamur ini relatif tahan panas sehingga lebih cocok bila dibudidayakan di dataran rendah. Daya tahan pasca panennya juga OK. Sayangnya jamur ini kurang disukai pasar karena warnanya yang kurang menarik (kusam). Selain itu produktivitas rendah. Dalam 1 baglog saya cuma bisa panen 2x sementara tiram putih bisa 6x. Yang membedakan spesies ini dengan tiram abu-abu (P. pulmonaris) adalah adanya bintik-bintik kehitaman di miselium (coremia) yang pada tiram abu-abu tidak ada.
Tiram cokelat (foto: pribadi)

2.       Tiram abu-abu (P. pulmonaris)
Tiram abu-abu juga sedikit lebih sulit dibudidayakan dibandingkan tiram putih. Spesies ini memerlukan suhu lebih sejuk (lebih rendah dari tiram putih) untuk memunculkan primordia. Pada dataran rendah jamur ini memiliki produktivitas rendah. Pengalaman saya bobot tubuh buahnya ringan sehingga kurang menguntungkan untuk skala komersial terkecuali jika bisa mendapatkan harga sangat bagus. Selain itu kekurangan yang mencolok dari jamur ini adalah daya tahan pasca panen yang sangat rendah sehingga susah dikirim jauh. Daya tahannya lebih rendah dari tiram putih. Warnanya juga kurang menarik. Yang aneh dari jamur ini adalah jika tubuh buahnya membusuk maka akan terbentuk banyak primordia di atasnya. Stamets mengatakan hal itu sebagai “biologically uncontrolled”.
3.       Tiram pink (P. djamor)
Untuk spesies ini saya tidak pernah membudidayakannya langsung. Saya hanya melihatnya tumbuh liar di tumpukan zak berisi serbuk kayu. Yang paling mengesankan dari spesies ini adalah warnanya yang menawan bagi siapapun yang melihatnya. Sayangnya warna pink-nya akan semakin memudar seiring bertambahnya usia tubuh buah jamur. Saya pernah baca di Trubus jika spesies ini sangat populer di Malaysia karena selain warnanya cantik juga memiliki tekstur yang lebih lembek yang mungkin sesuai dengan lidah orang-orang sana.

4.       Kuping (Auricularia sp)
Kendala utama di dataran rendah adalah kelembaban yang rendah sehingga harus rajin menyiram karena tubuh buah jamur kuping tidak tahan dengan kelembaban rendah. Tubuh buah dengan mudah mengering begitu kelembaban turun. Selain itu serapan pasar relatif kecil. Jauh lebih kecil dibandingkan tiram putih. Dalam 1 bulan rata-rata dulu saya hanya menjual maksimal 3 kg kering di pasar dekat rumah. Saya pernah juga mengirimnya ke Surabaya tapi di sana harga dihancurkan oleh jamur kuping impor dari Cina. Kata beberapa orang kuping Cina lebih gurih, enak, dan tipis dibanding produk lokal.

5.       Shiitake (L. edodes)
Ini termasuk spesies jamur yang susah dibudidayakan di dataran rendah. Di tempat saya hanya Juli-Agustus mampu memunculkan tubuh buah. Itupun saya pakai strain koshin, kalau pakai dongko mungkin malah gak bakalan bisa memunculkan tubuh buah sama sekali padahal kualitas dongko lebih bagus. Tubuh buahnya kurus dan kecil-kecil. Masa Inkubasi dan dormansi sangat panjang mencapai 3 bulan. Akibatnya sangat rawan kontaminasi baik pada masa inkubasi ataupun growing. Saya pernah melihat sendiri di Batu (Jatim) banyak baglog shiitake pekebun terserang green mold saat growing. Padahal kalau tiram putih bisa dibilang aman serangan jamur jika sudah masuk tahap growing. Serapan pasar jamur ini juga rendah karena selain banyak orang yang belum mengenal jamur ini juga harganya yang aduhai. Sekilo jamur shiitake kering bisa mencapai ratusan ribu rupiah kualitas bagus. Aromanya mirip jengkol jadi buat para penggemar jengkol jamur ini bakalan pasti jadi favorit. Pasar bagi pekebun lokal masih berat karena gempuran shiitake dari Cina. Dulu saya pernah baca ada seorang importir shiitake bisa mendatangkan shiitake kering hanya Rp 70 rb padahal pekebun kita harus menjualnya di atas Rp 100 ribu supaya dapat laba. Bahkan para pekebun di Jepang dan Korea sudah lama banyak yang bertumbangan karena banjir shiitake dari Cina.

6.       Lingzhi (G. lucidum)
Jamur ini termasuk jamur berkhasiat obat. Jamur ini mengandung germanium organik. Germanium mampu mengikat oksigen lebih banyak dalam darah. Jika direbus, air rebusan berasa agak pahit dengan aroma seperti kayu. Saya pernah membudidayakan 1 ruangan dengan tiram dan walhasil sporanya mencemari tiram putih. Tudung tiram yang berwarna putih berubah menjadi merah kecokelatan. Memang waktu itu strain yang saya budidayakan termasuk strain berspora. Belakangan sesudah tidak membudidayakan Lingzhi baru tahu saya kalau ada strain non spora. Strain non spora ini lebih tebal tudungnya. Limbah baglog jamur ini termasuk sulit ditangani karena seolah tidak akan pernah membusuk. Mulai pinhead sampai dengan siap panen jamur ini memerlukan waktu lebih kurang 3 bulan. Untuk pasar masih sangat kecil. Jadi buat yang membudidayakan sebaiknya lihat pasarnya dengan jeli. Ada baiknya anda memiliki kontrak dengan perusahaan farmasi atau jamu atau diolah sendiri. Jamur ini jika anda jual segar di pasar dekat rumah tentu tidak akan ada yang beli. Beda dengan tiram putih. Pengalaman buruk saya yang hanya asal memproduksi jamur tapi tidak memiliki pasar yang jelas akhirnya 2 zak jamur lingzhi kering saya kasihkan gratis ke seorang teman di Surabaya. Saya suruh dia menjualnya dan mengambil semua uangnya.

7.       Himematsutake (A. braziliensis)
Dulu dikenal A. blazei murril. Jamur ini selain bisa dikonsumsi juga bisa berguna sebagai obat. Aroma miseliumnya seperti almond. Saya mendapatkan kultur ini dari lab ITB. Pertama saya buat bibitnya kemudian saya inokulasikan ke kompos. Kompos ini saya buat dari kotoran sapi yang sudah agak lama.  Jamur ini sebenarnya bisa dibudidayakan di serbuk kayu (Stamets) cuma saya belum pernah mencobanya. Propagasi miselumnya cukup lama. Spesies ini termasuk sulit dibudidayakan. Sudah 2x saya membeli kultur dari ITB yang berarti 2x ujicoba budidaya semuanya gagal. Tidak ada tubuh buah yang muncul. Miselium entah kenapa mati sendiri. Masih penasaran sih ingin membudidayakannya lagi lain kali.


Berhubung sebelum 2005 saya belum memiliki kamera baik digicam atau kamera ponsel maka saya tidak bisa menghadirkan gambar-gambarnya di sini. Gambar-gambar di atas sebagian saya copy dari buku Paul Stamets.

Pustaka
Stamets, Paul, “Growing Gourmet and Medicinal Mushrooms”, Ten Speed Press, 2000.

No comments:

Post a Comment