Jamur Tiram Putih |
1. Lebih optimal dibudidayakan di
dataran tinggi. Kebetulan lokasi budidaya saya di dataran rendah. Meski budidaya
jamur tiram bisa dilakukan di dataran rendah, tetapi produktivitasnya juga rendah.
Jadi kalau di dataran tinggi 1 baglog bisa menghasilkan produksi misal total 2 ons
maka di dataran rendah hanya sekitar 1 ons. Di dataran rendah yang hawanya
selalu hangat membuat masa pemunculan pinhead dari full miselium molor. Ini
membuat siklus produksi jadi lebih lambat. Di dataran rendah hanya pada
bulan-bulan dingin (Juli-Agustus) jamur bisa berproduksi dengan baik (lintang selatan). Meskipun demikian ada yang bilang jika jamur tiram dari dataran rendah memiliki kelembaban yang lebih rendah sehingga lebih tahan lama saat disimpan. Saya masih belum membuktikannya sendiri.
2. Biaya produksi terus melambung.
Contoh Sebelum tahun 2005 satu rit serbuk kayu total saya cuma harus
mengeluarkan Rp 300 ribu sudah termasuk ongkos kirim, tenaga kerja yang
mengangkut serbuk ke atas truk dan menurunkan, mewadahi serbuk, beli zak, dan termasuk serbuknya. Sekarang saya harus mengeluarkan Rp 1 juta per truknya. Begitu pula
dengan plastik PP terus naik. Tiap kali saya beli harganya selalu tidak pernah
sama alias naik terus menerus. Yang juga cukup mencekik adalah biaya tenaga
kerja semakin tahun semakin mahal padahal kebutuhan tenaga kerja sangat besar dan mendominasi sebagian besar biaya total.
3. Harga jual jamur relatif tidak
terlalu banyak berubah. Awal usaha budidaya jamur dulu tahun 2002 saya bisa
menjual Rp 8000/kg dan sekarang harga hanya menjadi Rp 11000/kg. Bandingkan
dengan jamur merang yang sekarang sudah tembus Rp > 20 ribu/kg padahal awal
tahun 2000-an harga kedua jamur itu kurang lebih sama. Kombinasi biaya produksi yang terus
melambung dan harga jual yang rendah membuat margin laba terus terkoreksi.
4. Serangan ulat (sciarid) sangat
intens. Penggunaan kumbung yang sama terus menerus tanpa henti untuk budidaya membuat
serangan ulat sukar dikendalikan. Ulat ini bersembunyi di balik plastik baglog
sehingga menyulitkan jika diaplikasikan pestisida. Ditambah dengan udara hangat sepanjang tahun (iklim tropis dataran rendah) membuat cepat berkembang biak sehingga populasinya meledak.
5. Daya tahan pasca panen jamur tiram
rendah (perishable). Bahkan disimpan dalam pendingin pun tidak bisa bertahan
lama. Ini menyulitkan untuk dikirim ke tempat yang jauh. Ditambah jamur tiram
sangat rapuh. Tekanan atau guncangan sedikit saja akan membuat tubuh jamur
terutama tudungnya mudah hancur. Adik saya yang tinggal di Surabaya sering mengeluh jika membeli jamur tiram lewat pedagang sayur keliling karena rasa dan aromanya jauh berbeda dibandingkan dengan langsung dipetik. Bahkan sebenarnya jamur yang sudah kadaluarsa sangat rawan mengandung bakteri yang bisa menyebabkan penyakit seperti diare. Jamur tiram juga tidak bisa dikeringkan seperti jamur kuping atau Shiitake karena begitu mengering maka tidak akan bisa kembali ke bentuk semula walaupun sudah direndam di dalam air hangat/panas.
6. Masih banyak masyarakat yang belum
mengenal jamur tiram ini sampai sekarang jika dibandingkan dengan jamur merang.
Bahkan masih ada sebagian yang menganggapnya beracun.
7. Menghasilkan spora sangat banyak.
Spora ini pada orang tertentu bisa menimbulkan alergi berupa sesak napas atau
batuk (terutama bagi pemetik jamur). Spora ini juga sering meninggalkan noda putih seperti debu pada kemasan jamur. Spora ini juga dapat menarik Sciarid untuk hinggap lalu menyerang.
8. Terlalu banyak menghasilkan limbah
plastik padahal limbah ini sukar terurai. Budidaya jamur tiram putih di satu sisi dapat mengatasi limbah kehutanan yang relatif lebih mudah diatasi namun di sisi lain justru menghasilkan limbah berbahaya dalam jumlah masif yaitu sampah plastik. Untuk sementara saya mengatasinya dengan membakarnya walaupun cara ini tidak benar sepenuhnya. Sebenarnya ada teknis budidaya lain dengan menggunakan sistem bed seperti jamur merang yang lebih sedikit mengkonsumsi plastik, sayangnya sangat rentan terkena serangan hama dan penyakit.
9. Mekanisme pasar yang aneh dan tidak
adil. Jika di pasar tidak ada jamur karena pasokan seret atau pasokan
normal-normal saja maka harga beli pedagang dari petani tetap tetapi jika
pasokan jamur berlebih harga langsung merosot. Jika merosot harga bisa mencapai
Rp 8000 saat ini bahkan bisa di bawahnya yang artinya sama saja dengan harga tahun 2000-an. Maklumlah jamur tiram bukan bahan makanan pokok seperti beras atau cabai.
10. Hampir semua petani jamur tiram
memproduksi jamur hanya untuk dijual segar. Jarang ada yang berpikir untuk
memberikan nilai tambah seperti dengan diolah menjadi makanan kecil. Padahal
menjual jamur segar memiliki resiko tinggi karena daya tahannya yang sangat pendek dan cepat rusak.
11. Kebanyakan petani jamur tiram hanya berpikir
jangka pendek. Mereka hanya memikirkan mendapatkan keuntungan
sebanyak-banyaknya dalam jangka pendek sementara dalam jangka panjang mereka
sama sekali tidak memiliki visi yang baik. Mereka pasok pasar terus menerus
dengan jamur segar
tiap hari. Mereka jual baglog dan bibit besar-besaran.
Mereka terus menerus menarik pemain baru. Yang jadi korban akhirnya para pemain baru ini. Sementara ada satu yang terlupa yaitu
marketing. Membangun pasar tidaklah mudah. Butuh waktu panjang dan kerja keras.
Marketing memiliki peranan yang tak kalah penting dengan produksi. Ketika pasar
jamur segar runtuh maka berguguranlah satu per satu petani jamur tiram. Easy
come easy go. Banyak pemain baru yang datang tapi banyak juga yang berguguran.
Itulah yang saya amati selama ini. Saya tidak menampik jika masih banyak petani jamur yang "sukses" membudidayakannya dengan berhasil mengatasi sejumlah masalah-masalah di atas. Pelajarannya adalah meskipun banyak kendala menghadang tidak berarti tidak ada peluang sama sekali untuk meraih keberhasilan. Usaha budidaya jamur tiram milik saya juga masih berjalan hingga saat ini meskipun kapasitasnya hanya tinggal 25% (22 Mei 2017).
12. Boros energi. Energi ini berupa baik bahan bakar minyak ataupun gas terutama untuk proses sterilisasi.
13. Boros waktu apalagi jika semua pekerjaan masih dilakukan secara manual. Jika ingin membuat penggunaan waktu lebih efisien maka satu-satunya jalan hanyalah dengan mekanisasi penuh.
14. Semakin sulit mendapatkan serbuk kayu bermutu. Dulu mudah saja mendapatkan pasokan serbuk kayu karet dari PTP berapapun jumlah yang dibutuhkan tetapi seiring waktu pihak PTP malah menggunakannya untuk memupuk tanaman mereka sendiri (mungkin untuk menghemat biaya). Serbuk kayu karet lebih bagus dibandingkan sengon. Itulah sebabnya walaupun tak jauh dari rumah tersedia serbuk sengon melimpah saya tak pernah menggunakannya. Baglog yang terbuat dari serbuk sengon cepat gembos (paling banter 3 bulan). Bandingkan dengan baglog dari serbuk kayu karet yang bisa mencapai 5 bulan. Produktivitas baglog dari sengon relatif rendah padahal biaya produksinya tak jauh berbeda dengan serbuk kayu karet. Akhirnya saya pun terpaksa menggunakan serbuk kayu sengon dan jenis-jenis kayu lain yang kadang tak jelas asal usulnya.
Jamur tiram siap petik |
12. Boros energi. Energi ini berupa baik bahan bakar minyak ataupun gas terutama untuk proses sterilisasi.
13. Boros waktu apalagi jika semua pekerjaan masih dilakukan secara manual. Jika ingin membuat penggunaan waktu lebih efisien maka satu-satunya jalan hanyalah dengan mekanisasi penuh.
14. Semakin sulit mendapatkan serbuk kayu bermutu. Dulu mudah saja mendapatkan pasokan serbuk kayu karet dari PTP berapapun jumlah yang dibutuhkan tetapi seiring waktu pihak PTP malah menggunakannya untuk memupuk tanaman mereka sendiri (mungkin untuk menghemat biaya). Serbuk kayu karet lebih bagus dibandingkan sengon. Itulah sebabnya walaupun tak jauh dari rumah tersedia serbuk sengon melimpah saya tak pernah menggunakannya. Baglog yang terbuat dari serbuk sengon cepat gembos (paling banter 3 bulan). Bandingkan dengan baglog dari serbuk kayu karet yang bisa mencapai 5 bulan. Produktivitas baglog dari sengon relatif rendah padahal biaya produksinya tak jauh berbeda dengan serbuk kayu karet. Akhirnya saya pun terpaksa menggunakan serbuk kayu sengon dan jenis-jenis kayu lain yang kadang tak jelas asal usulnya.
15. Tidak betah kurang tidur terus menerus. Kalau masalah ini sifatnya kasuistik yang artinya bisa saja tidak berlaku buat semua orang. Sejak awal budidaya fokus pasar adalah pasar tradisional. Semua sudah tahu jika pasar tradisional mulai buka tengah malam dan biasanya pukul 7 atau 8 pagi sudah buyar. Dulu pengepul jamur saya biasa berangkat pukul 4 pagi sehingga pukul 3 saya sudah harus bangun memetik dan mengirimkan jamur. Kalau jamur banyak bahkan saya kadang harus bangun pukul 2. Usai mengirim jamur jelas sudah subuh dan tak mungkin tidur kembali. Awalnya sih kuat-kuat saja setiap hari kurang tidur tetapi lama kelamaan saya menyerah. Selama 13 tahun saya benar-benar kekurangan waktu tidur!! Itu juga yang akhirnya membuat saya jadi sering jatuh sakit. Apalagi belakangan ini pengepul saya semakin "gila" memajukan jadwal menjadi pukul 3 sehingga pukul 2 saya harus sudah bangun. Ini nanggung banget karena usai pukul 3 saya jadi susah tidur kembali sehingga defisit waktu tidur jadi semakin besar. Akhirnya saya lebih memilih berhenti mengusahakan jamur tiram ini.
Saya memang tidak memetik malam atau sore sebelumnya karena jamur tiram ini cepat sekali turun kesegaran dan bobotnya.
Sumber foto: pribadi
Saya memang tidak memetik malam atau sore sebelumnya karena jamur tiram ini cepat sekali turun kesegaran dan bobotnya.
Sumber foto: pribadi
No comments:
Post a Comment