Wednesday, March 8, 2017

Masalah Hukum = Masuk Daging Keluar Sosis

     Beberapa waktu lalu saya berjumpa dengan seorang teman lama yang sudah lama sekali tidak berjumpa. Di tengah-tengah obrolan tiba-tiba dia bercerita tentang masalah hukum yang tengah menjeratnya. Dia menjelaskan secara panjang lebar masalah yang tengah dirundungnya itu. singkat cerita sewaktu dia bekerja di luar negeri dia berniat membeli sebidang tanah yang tak jauh dari rumah orang tuanya. Waktu itu dia meminta orang tuanya yang mencarikan tanah buatnya, dia hanya mengirimkan sejumlah uang sebagai pembayaran atas tanah itu. setelah pulang ke Indonesia rupanya tanah itu adalah tanah yang sudah lama bermasalah. Sayangnya orang tuanya tidak melakukan penelitian status tanah itu sebelum membelinya. Tanah itu ternyata masih dalam sengketa para ahli warisnya. Rupanya salah seorang ahli warisnya sebut saja si P membawa masalah itu ke meja hijau. Jadilah masalah ini kemudian berlarut-larut. Si P ini adalah orang yang punya banyak duit. Dia tak segan-segan menekan teman saya itu dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan menggunakan kekuatan LSM. Dia menggandeng salah satu LSM dan merekrut para anggota LSM sebagai PANASBUNG (Pasukan Nasi Bungkus) buat men-demo teman saya itu. Luar biasa bahkan meski kasus itu sudah berjalan bertahun-tahun namun seperti tidak ada titik terang hingga sekarang. Teman saya itu masih terus ditekan habis-habisan baik oleh si P, LSM, atau jaksa. Meski demikian teman saya itu tetap bersikukuh kalau dia berada di jalan yang benar. Dia juga tidak mau menyewa pengacara. Dia akan ladeni apapun kemauan si P sampai kapanpun juga. Mendengar hal itu saya hanya bisa prihatin sekali tetapi saya juga tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantunya. Teman saya hanya menyadari betapa busuknya hukum di Indonesia ini. Saya cuma bisa berkata dalam hati “baru tahu dia..” dan saya sangat yakin jika hal itu sudah bukan rahasia lagi.

     Berkaca pada pengalaman sendiri sejak jaman jebot memang begitulah Indonesia ini. Dulu saya pernah melakukan pelanggaran lalin dan ditilang oleh seorang polisi. Si bapak seperti biasa minta uang damai Rp 20 ribu (sekitar tahun 1999 mungkin). Jelas saya tolak. Kalau saya kasih pasti uang itu akan masuk kantong dia sendiri. Akhirnya saya lebih memilih supaya masalah ini diselesaikan via sidang. Pas hari H sidang saya datang ke kantor Samsat yang sudah ditunjuk dan gila antri banget dan banyak sekali calonya padahal saya memiliki jadwal kuliah yang  padat yang tidak bisa saya tinggal. Terpaksa saya harus membayar jasa calo yang kalau ditotal malah jatuhnya lebih mahal (Rp 50 ribu). Padahal pelanggaran yang saya lakukan itu termasuk pelanggaran minor sudah kayak gitu rasanya. Saya tidak tahu lagi jika pelanggaran yang termasuk kategori mayor entah bagaimana rasanya.

     Mafia-mafia yang menguasai pengadilan dan hukum di Indonesia masih terlalu kuat. Mereka bebas berbuat apa saja. Belakangan ini saya agak keheranan dengan salah satu kejadian tak jauh di tempat saya. Sudah sekitar 1 tahun pos polisi di wilayah saya kok dihilangkan? Memang sih selama ini isi pos polisi itu adalah para petugas yang suka menertibkan para pengemudi yang melanggar lalin. Entah tidak pakai helm, melanggar lampu merah, dll. Rupanya ada salah seorang pengusaha tembakau ternama merasa terganggu dengan keberadaan pos polisi itu. Saya tidak mengetahui persis kejadiannya tetapi ada selentingan jika petugas polisi di situ sering menindak para pengemudi pickup yang membawa tembakau dengan “andang”. Andang adalah tempat tembakau ditumpuk dan dibuat dari bambu. Lebar andang selalu lebih dari lebar pickup sehingga kalau andang ini diletakkan di atas pickup melintang maka ada bagian andang yang keluar dari bak pickup. Kira-kira 30-40 cm kiri dan kanan bak pickup. Jadi lebar andang ini sudah melewati kaca spion pickup padahal itu sangat berbahaya karena bisa menyerempet pengendara lain. Saya sendiri pernah beberapa kali hampir terserempet pickup dengan andangnya ini di jalan raya. Sebenarnya andang ini bisa diletakkan membujur tetapi tentu tidak ekonomis karena jadi memakan ruang dalam bak pickup. Si bos besar pengusaha tembakau itupun rupanya dengan powernya “mengusir” para polisi dari pos-nya supaya tidak lagi menilang para pengemudi pickup yang membawa tembakau + melanggar lalin dengan andang yang berbahaya itu. Bukan bermaksud memfitnah tetapi begitulah yang saya dengar entah itu benar atau tidak tetapi yang jelas petugas di pos itu sudah tidak pernah tampak lagi.
     Oleh sebab itu ketika melihat berbagai kasus hukum di Indonesia seperti kasus Jessica vs Mirna yang berlarut-larut, atau kasus penistaan agama oleh Ahok, dll saya cuma bisa bilang ah, Indonesiaku...  Terkena kasus hukum seperti daging yang masuk ke dalam penggilingan sosis. Digiling hingga lumat dan masih ditambah garam, pengawet, pewarna, dll lalu keluar pun sudah berwujud sosis yang kemudian masih direbus atau digoreng sebelum dikonsumsi. 

No comments:

Post a Comment